170
termasuk warga MTA di dusun Bangkerep untuk menjelaskan keikhlasan mereka dalam mengeluarkan biaya untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh MTA
tersebut. Seperti disampaikan oleh Sudipo: Karena di MTA tidak ada istilah kalau ayam bertelur ayam, kalau sapi
anaknya ya sapi. Bebek bertelur bebek. Burung emprit telurnya ya telur burung emprit. Tidak ada kamu harus iuran dana sekian. Masing-
masing warga MTA sudah merasa sendiri, saya mampu atau tidak. Ibaranya saya masih taraf bebek ya bertelurnya telur bebek. Siapa yang
mampu iuran yang tidak mampu ya jangan iuran. Jangan sampai menekan warganya. Saya orang kecil ditekan sekian tidak ada. Dan itu
sudah merasa sendiri karena setiap hari ngaji.
194
D. Rekonstruksi identitas
1. Identitas Diri yang Baru
Suatu malam sehabis sholat Isya‟, saya dan beberapa warga MTA berdiskusi santai tentang banyak hal di teras masjid. Suprih, salah satu warga MTA baru saja
mengakses berita tentang penemuan piramida Garut di televisi yang katanya peradabannya lebih tua dari peradabana manapun di bumi ini. Ustadz Suwanto, salah
satu dari dua Ustadz MTA kemudian mengatakan bahwa banyak berita televisi yang harus dikritisi, selain banyak pengetahuan yang ada. Salah satu contoh yang diajukan
Ustadz Suwanto adalah evolusi Darwin. Menurut Ustadz Suwanto, evolusi Darwin itu tidak berdasar karena mengatakan manusia berasal dari kera. Sementara Al Quran
tidak ada satupun pendapat mengenai hal tersebut selain manusia dari tanah dan
194
Terjemahan wawancara dengan Sudipo, 27 Juni 2012
171
melalui proses penciptaan. Menurutnya, Al Quran sudah pasti benar, sementara kalau ilmu pengetahuan sudah pasti ada kelirunya.
195
Diskusi tersebut menggambarkan adanya perbedaan pola pikir dan tingkat yang dimiliki warga MTA dibanding warga Bangkerep lainnya. Mereka memiliki
akses pada informasi aktual dibanding warga lainnya yang didapatkan dari jaringan mereka di MTA, baik di pusat maupun di seluruh Indonesia. Misalnya informasi
terkait dengan Jaringan Islam Liberal JIL, pluralisme, Ahmadiyah, Lady Gaga dan berbagai informasi lainnya. Selain itu mereka juga memiliki kemampuan menganalisa
dan mengkritisi setiap peristiwa yang mereka amati dan mencari landasan rasionalitas atau disandarkan pada sumber hukum Al Quran dan Hadits. Hal ini berbeda dengan
warga Bangkerep lainnya yang dalam obrolan mereka di warung kopi, masjid, atau saat kegiatan kolektif masih didominasi oleh tema pekerjaan, pertanian atau peristiwa
umum lainnya. Dalam konteks identitas, Ricard Jenkins melihat identitas individu
didefinisikan sebagai identitas sosial. Identitas sosial adalah suatu proses individu dan kolektif membedakan dirinya dalam relasi sosial mereka. Menurut Jenkins identitas
adalah “our understanding of who we are and of who other people are, and
reciprocally, other‟s people understanding of themselves and of others which includes us. Dengan demikian identitas sosial adalah suatu proses yang saling
berlawanan satu sama lain. Lebih lanjut Jenkins mengatakan bahwa identitas
195
Catatan lapangan 27 Juni 2012
172
bukanlah sesuatu yang jadi, melainkan proses yang terus berlangsung dan dengan demikian lebih tepat mengatakan proses identifikasi daripada identitas.
196
Dalam konteks pemikiran Jenkins, bergabungnya sebagian warga Bangkerep ke dalam organisasi MTA merupakan proses identifikasi diri mereka yang berbeda
dari lingkungan dan masa lalu mereka. Bagi warga MTA, kemajuan dalam mengakses informasi yang tidak dimiliki warga lainnya dipandang sebagai hal yang membedakan
diri mereka dengan warga dusun lainnya. Dengan mendapatkan informasi aktual melalui jaringan MTA, warga MTA Bangkerep merasa lebih modern dan berorientasi
pada masa depan ketimbang menjadi bagian dari orang dusun yang kolot, stagnan dan hanya berorientasi pada masa lalu sebagai inspirasi. Hal ini disampaikan oleh Susilo
menanggapi soal darimana ia mendapat informasi mengenai JIL: Bedanya orang belajar kan gitu. Mau gak mau orang ngomong kita
dengarkan. Disamping itu kita juga baca sedikit-sedikit dapat informasi soal ideology seperti itu. Kan gak mungkin istilahnya kita terus
menerus lugu seperti keadaan masyarakat pada umumnya. Setiap hari mencangkul, meski kita sendiri ya setiap hari ya pegang cangkul dan
sabit.
197
Selain itu jaringan yang luas dengan warga MTA di seluruh Indonesia juga membuat identitas mereka menjadi berbeda dari identitas mereka sebagai warga desa
biasa. Menurut Parwanto: Kalo tidak seperti itu ya terus menerus jadi wong ndeso. Cuma ke
ladang. Mencangkul. Tidur...”
198
196
Richard Jenkins, Social Identity, Second Edition, Routledge, 2004, hal. 3-5
197
Terjemahan wawancara dengan Susilo 26 Juni 2012
198
Terjemahan wawancara dengan Parwanto, 28 Juni 2012
173
Selain itu identitas baru tidak hanya dibisa dilihat dari pola pikir, namun juga penampilan. Dalam kesehariannya, mereka selalu berpakaian dan berpenampilan rapi.
Bagi anggota MTA perempuan memakai jilbab yang menutupi hampir separo badan. Hal ini berbeda dengan warga perempuan non-MTA yang hanya beberapa orang saja
yang memakai jilbab dalam kesehariannya. Di siang hari, meski sama-sama bekerja di sawah atau ladang, warga MTA menyelesaikan pekerjaan mereka lebih cepat untuk
kemudian membersihkan diri dan bersiap menunaikan shalat Zuhur di masjid. Mereka biasanya bercelana panjang meski tidak ada ketentuan khusus untuk itu. Khusus jika
hari Selasa, sebagian dari mereka ada yang tidak pergi bekerja karena pada hari tersebut diselenggarakan pengajian di majelis MTA. Menjelang pengajian dimulai,
warga MTA laki-laki berpakaian rapi, laki-laki memakai celana panjang, memakai tas lengkap dengan alat tulis buku dan pensil dan A Quran terjemahan.
Selain itu identitas baru juga didapat dari kehidupan warga MTA yang didapat dibatasi oleh aturan-aturan dan kedisiplinan. Selain dilarang melaksanakan kegiatan
praktek tradisional kosmologis, aturan cara berpakaian khusus bagi yang perempuan. Kehidupan mereka kini terikat oleh aturan yang ketat, hirarkis dengan pimpinan dan
menjadi bagian dari komunitas MTA. Kesadaran untuk berubah menjadi pijakan dalam perubahan identitas warga MTA. Mereka menganggap proses tersebut sebagai
berpindah hijrah dari masa lalu yang diliputi kebodohan akibat meyakini dan menjalankan praktek tradisional menuju masa sekarang yang lebih beradab karena
dilandasi oleh ajaran Islam. Hijrah juga berarti proses berpindah dari diri yang pada
174
masa lalu gemar melakukan tindakan yang dilarang oleh agama menjadi muslim yang saleh dan taat. Dengan kata lain, makna Hijrah menjadi MTA berarti identitas yang
dulu disandarkan pada ikatan atau guyub sosial yang cair di dusun diganti menjadi identitas yang dibentuk ulang dari ikatan ketat berbasis agama yang kaku dan ketat.
Inilah yang dimaksud Giddens dengan identitas-diri yang baru pada diri individu diciptakan dan dibuat ulang dalam bentuk yang lebih aktif dari sebelumnya.
2. Dari Diri ke Masyarakat