1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena meningkatnya gairah keagamaan di kalangan masyarakat di pedesaan untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran
Islam secara murni puritan. Fenomena tersebut bisa dilihat dari pesatnya perkembangan organisasi dakwah Islam yang memiliki misi utama mengajak umat
Islam untuk meninggalkan praktek-praktek keagamaan yang menyimpang atau dipengaruhi oleh ajaran di luar Islam dengan mengamalkan ajaran Islam sesuai
dengan dua sumber pedoman resmi yaitu Al Quran dan Hadits sekaligus membangun masyarakat yang berlandaskan kedua hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Fokus penelitian ini ingin mendalami faktor yang mempengaruhi perubahan orientasi beragama masyarakat Islam di pedesaan yang sebelumnya masih melestarikan
praktek-praktek agama yang bercampur dengan tradisi lokal kemudian mengalami konversi dalam waktu yang relatif singkat menjadi umat yang teguh mempelajari dan
mengamalkan Islam secara ketat sesuai dengan Al Quran dan Hadits. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisa pemaknaan identitas mereka sebagai seorang
muslim setelah bergabung dalam organisasi Islam yang bercorak puritan maupun dalam konteks identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat lokal dan global.
2
Selama ini pemahaman terhadap perilaku keagamaan masyarakat Islam di Indonesia mengacu pada seberapa jauh hukum dan prinsip keagamaan menjadi
landasan dalam kehidupan mereka sehari-hari serta ketaatan mereka dalam menjalankan kegiatan ritual agama. Pendekatan tersebut menghasilkan gambaran
kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan Jawa yang kental dengan budaya sinkretis, yakni perpaduan antara Islam dengan budaya lokal yang datang dari masa
pra-Islam seperti selametan, sedekah bumi, ruwatan, upacara memperingati hari kelahiran dan kematian dan berbagai praktek lainnya. Pandangan ini terutama
diwakili oleh Clifford Geertz 1981 dengan konsep trikotomi Abangan, Santri, dan Priyayi yang menjelaskan bahwa Abangan adalah agama yang dianut oleh sebagian
besar masyarakat Jawa, yakni mereka yang menganut Islam hanya kulit luarnya saja tetapi dalam keyakinan dan tindakannya dipengaruhi oleh budaya Hindu, Budha dan
Animisme. Abangan mewakili karakter masyarakat Jawa yang beragama Islam tetapi tidak terlalu taat dalam mempraktekkan ajaran Islam dan sebaliknya masih teguh
memelihara dan menjalankan tradisi-tradisi lokal yang diwarnai oleh pra-Islam seperti Hindu, Budha dan animisme, dalam hal ini adalah para petani di pedesaan. Sementara
Santri adalah mereka yang berkomitmen menjalankan agama Islam dan diwakili oleh kalangan pedagang, dan Priyayi merujuk pada kelompok birokrat yang secara
perilaku dekat dengan budaya Abangan. Oleh Geertz, Islam dan tradisi lokal cenderung diposisikan sebagai entitas yang berlawanan dan tidak mungkin
3
bersenyawa dan pada akhirnya akan melahirkan pemahaman tentang Islam yang mengalami penyimpangan dari keasliannya.
1
Meski konsep trikotomi Geertz tidak relevan dengan perubahan situasi sosial politik maupun pengaruh modernisasi yang mencairkan pembedaan-pembedaan di
masyarakat, realitas di lapangan menunjukkan sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa masih kurang dalam pemahaman maupun mempraktekkan ajaran Islam dan pada
saat yang sama masih memegang teguh kepercayaan lokal. Pada saat yang sama reaksi muncul dari gerakan keagamaan yang berupaya melakukan pemurnian Islam
puritanisme dan menganggap pemahaman dan praktek sinkretisme sebagai unsur penyimpangan bi
d‟ah, syirik dan takhayul. Meningkatnya faham keagamaan yang puritan di kalangan masyarakat
pedesaan di Jawa belakangan ini merupakan hal menarik mengingat berbagai kajian utama menyatakan bahwa gerakan pemurnian agama dari berbagai unsur atau elemen
lokal hanya berkembang di daerah perkotaan atau urban. Ernest Gellner mengatakan bahwa kota menyediakan basis yang tepat bagi gerakan keagamaan puritan karena
kekakuan skriptualisme dalam faham keagamaan membutuhkan kemampuan melek
1
Sementara pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Mark R Woodward 1989 yang mengemukakan bahwa antara Islam dan budaya lokal terjadi proses akulturasi yakni hubungan yang
saling melengkapi atau saling memberi dan menerima.
1
Sementara Niels Mulder 1997 menyatakan bahwa agama di Asia Tenggara adalah agama yang telah mengalami proses lokalisasi, yakni bahwa
agama asing yang datang dan menyerap tradisi lokal yang sudah ada, termasuk Islam di Indonesia khususnya Jawa sehingga bisa dikatakan bahwa Islam Jawa hakekatnya adalah Islam yang menyerap
tradisi lokal. Andrew Beatty 1999 dalam penelitiannya di Banyuwangi menjelaskan adanya titik temu antar masyarakat dengan latar belakang golongan sosio-kultural dan ideologi yang berbeda dalam satu
tradisi berupa slametan.
1
4
huruf.
2
Purifikasi merupakan proses rasionalisasi dalam kehidupan para pelakunya, dan terutama terkait dengan agama dan tradisi Peacock, 1978; gerakan pemurnian
agama akan mudah beradaptasi dengan masyarakat urban yang menganut pola hubungan transaksional, birokratis dan rasional Federspiel, 2001; kota menyediakan
basis yang kuat bagi organisasi keagamaan puritan karena tingkat pendidikan masyarakatnya yang tinggi Tamney, 1980.
Secara umum, fenomena meningkatnya gairah keagamaan puritan di pedesaan tersebut bisa dianalisa melalui tiga kerangka. Pertama, religiusitas yang meningkat
merupakan kelanjutan dari fenomena kebangkitan Islam di Indonesia yang dimulai pada tahun 1970-an dan kembali menemukan momentum pasca tumbangnya
pemerintah Orde Baru tahun 1998 yang ditandai dengan munculnya berbagai gerakan atau organisasi Islam. Kedua, perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam waktu
yang relatif cepat globalisasi berdampak pada tradisi dan identitas diri individu, termasuk mereka yang tinggal di wilayah pedesaan. Individu yang berada dalam
pusaran globalisasi mengalami kegamangan, kecemasan dan ketidakamanan yang membuat mereka mencari cara untuk mengatasi situasi tersebut, yang dalam hal ini
adalah prinsip-prinsip keagamaan yang ketat dan murni yang ditawarkan oleh organisasi Islam puritan. Ketiga, strategi yang digunakan organisasi Islam puritan
dalam menjalankan dakwahnya mampu menjawab kebutuhan utama masyarakat.
2
Ernest Gellner, Muslim Society, Cambridge: 1981, Cambridge University Press, hal 147
5
Kecenderungan meningkatnya faham keagamaan puritan di kalangan masyarakat pedesaan itu juga yang dialami masyarakat di Blora, Jawa Tengah. Dalam
beberapa tahun terakhir, banyak masyarakat di pedesaan Blora yang bergabung dalam Majelis Tafsir Al Quran MTA, sebuah organisasi dakwah yang berpusat di
Surakarta. Fenomena ini menjadi menarik mengingat masyarakat Blora selama ini dikenal memiliki karakter abangan sinkretis, yang ditandai dengan masih banyaknya
berbagai praktek-praktek seperti sedekah bumi, kesenian Barongan, selamatan desa atau upacara-upacara siklus kehidupan kelahiran, pernikahan, kematian. Sementara
Majelis Tafsir Al Quran MTA adalah organisasi yang bertujuan mengajak masyarakat untuk menuju pada kemurnian agama Islam dengan mempelajari Al
Quran dan menggunakannya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kesehariannya, anggota organisasi MTA menunjukkan pemahaman dan
praktek agama yang berbeda sama sekali dengan masyarakat di lingkungan tempat mereka tinggal. Mereka tidak lagi menjalankan berbagai praktek atau ritual yang
menurut mereka merupakan bentuk penyimpangan sebagai seorang Muslim sejati. Perubahan orientasi keagamaan tersebut tentu saja mendapat reaksi dari warga lainnya
yang tidak bergabung dengan MTA atau warga yang masih menjalankan berbagai ritual yang bersumber dari tradisi para leluhur mereka. Pada rentang waktu tahun
2000-2003, terjadi konflik horizontal antara warga yang bergabung dengan MTA dan warga non-MTA di dusun Bangkerep, Desa Balong, Kecamatan Kunduran,
Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Konflik terjadi karena warga dusun tidak senang
6
dengan sikap warga anggota MTA yang menolak mengikuti berbagai upacara sedekah bumi sehabis panen dengan alasan tidak sesuai dengan akidah juga syariat Islam.
3
Selain penolakan terhadap penyimpangan dalam ibadah, warga MTA juga menunjukkan perilaku keseharian dan cara pergaulan yang menurut mereka sesuai
dengan tuntunan Al Quran dan Hadits, antara lain cara berpakaian, relasi laki-laki dan perempuan, pendidikan keluarga dan solidaritas yang kuat antar sesama anggota. Bagi
mereka, Islam adalah agama sempurna yang memiliki seperangkat aturan yang lengkap yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dan hanya dengan
berpedoman pada ajaran Islam sebagaimana yang dituntunkan dalam kedua sumber hukum Islam tersebut secara sungguh-sungguh dan tanpa dipengaruhi oleh ajaran atau
keyakinan lainnya mereka telah menemukan identitas mereka sebagai seorang muslim sejati.
B. Rumusan Masalah