MTA Bangkerep di Tangan Generasi Kedua Kehidupan Sehari-hari Warga MTA Bangkerep

122 sebaliknya. Obrolan atau saling tolong menolong biasanya terjadi antara warga dengan warga MTA yang kebetulan sawah atau ladangnya berdekatan. Selain itu, relasi yang lebih akrab antara warga dengan warga MTA biasanya juga mudah terjalin antar ibu atau perempuan warga dusun dengan perempuan anggota MTA. Mereka biasanya berkumpul di gardu dekat rumah Pak Kamituwo Saji untuk mengobrol dan mengasuh anak dan berbicara satu sama lain dengan akrab dan hangat.

4. Konsolidasi MTA Bangkerep sebagai Pusat MTA di Wilayah Blora

a. MTA Bangkerep di Tangan Generasi Kedua

Setelah mengalami pasang surut dan penolakan dari masyarakat, MTA di Bangkerep mengalami perkembangan yang cukup pesat. Meski bertempat di dusun kecil, saat ini MTA di Bangkerep merupakan pusat dari kegiatan MTA di seluruh Kabupaten Blora atau dalam struktur organisasi MTA merupakan kantor perwakilan yang membawahi anggota di seluruh Blora setingkat kabupaten. Secara resmi, MTA perwakilan Blora diresmikan pada 24 April 2005 atau tepat dua tahun setelah konflik dengan warga Bangkerep selesai. Kini MTA perwakilan Blora membawahi tujuh MTA Cabang setingkat kecamatan di seluruh Blora. Ketua MTA perwakilan Blora saat ini dipegang oleh Suradi yang secara usia masih cukup muda. Saat konflik sepanjang tahun 2000-2003, Suradi saat itu masih berumur sekitar 15 tahun dan baru saja lulus SMP. Ia adalah keponakan Wakidi, 123 perintis MTA di Bangkerep. Setelah konflik usai, Suradi pergi ke Solo untuk bekerja dan mengaji di MTA Pusat selama lebih kurang dua tahun. Selaku ketua perwakilan, Suradi dibantu oleh Suwanto dan Susilo. Suwanto dan Susilo juga masih sangat muda, beberapa tahun di bawah Suradi. Mereka bertiga merupakan generasi kedua MTA di Bangkerep, setelah masa Tumin, Wakidi dan Sudipo. Mereka juga memiliki kesamaan “nasib” yaitu sama-sama masih berusia remaja belasan tahun ketika konflik antara warga Bangkerep dengan warga MTA terjadi sepanjang tahun 2000-2003.

b. Kehidupan Sehari-hari Warga MTA Bangkerep

Sebagai anggota organisasi keagamaan yang bercorak puritan, seluruh warga MTA sangat tegas menolak dan meninggalkan berbagai praktek keagamaan sinkretis yang masih berakar kuat di Bangkerep. Yang paling ditentang adalah sedekah bumi di bawah pohon beringin, karena selain tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam, kegiatan tersebut juga mengandung unsur kemusyrikan yang merupakan dosa besar dalam Islam. Praktek lainnya adalah Tahlilan dan Yasinan mendoakan orang meninggal serta kegiatan ibadah lainnya yang mengandung unsur kepercayaan lokal. Selain itu, warga MTA di Bangkerep juga terikat dengan berbagai aturan yang ditetapkan oleh organisasi MTA Pusat. Misalnya, kewajiban hadir di pengajian dengan konsekuensi dikeluarkan jika tidak hadir tanpa keterangan selama tiga kali berturut-turut. Warga MTA juga dilarang untuk merokok karena merupakan perbuatan yang boros dan mengganggu kesehatan. Secara spesifik, aturan dalam MTA 124 melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Dalam kesehariannya, aturan tersebut sangat dipatuhi oleh warga MTA, misalnya dalam acara resepsi pernikahan. Saat warga MTA menggelar hajatan pernikahan, tamu laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh hijab atau kain pembatas, sesuatu yang tidak lazim jika warga Bangkerep atau desa-desa lainnya menggelar hajatan pernikahan atau kenduri lainnya. Yang sangat menarik adalah penampilan warga MTA yang relatif berbeda dengan warga Bangkerep pada umumnya. Warga MTA laki-laki bisa dikenali dari pakaian mereka yang selalu rapi untuk ukuran dusun, terutama jika hendak melakukan shalat atau kegiatan pengajian. Menjelang shalat Dzuhur, mereka biasanya mandi dan membersihkan diri setelah setengah hari berada di sawah atau ladang. Hampir tidak ada warga MTA yang memakai sarung atau kopiah saat ke masjid atau mengikuti kegiatan di Majelis, umumnya kemeja dan celana panjang. Penampilan mereka sangat kontras dengan warga umumnya yang sholat di masjid Baitun Nadhliyin, yang umumnya mengenakan sarung dan kopiah, sebagian bahkan mengenakan pakaian atau penampilan fisik yang jauh dari kesan bersih dan rapi. Selain itu, kaum perempuan di Bangkerep sangat mudah dikenali apakah mereka warga MTA atau bukan. Warga MTA perempuan bisa dikenali dari jilbab atau penutup kepala mereka yang cukup lebar dan menutupi hampir separuh tubuh mereka. Sementara kaum perempuan Bangkerep umumnya tidak mengenakan jilbab atau kerudung dalam kehidupan sehari-harinya dan hanya dikenakan pada saat acara 125 pengajian. Beberapa perempuan Bangkerep memang mengenakan penutup kepala dalam menjalankan kegiatan sehari-hari -salah satunya istri Pak Kamituwo Saji- namun umumnya mereka hanya mengenakan kerudung atau jilbab pendek yang hanya menutupi kepala tanpa menutup tubuh mereka.

c. Dua Pengajian di Hari Selasa