Kesimpulan MTA DAN FENOMENA GERAKAN KEBANGKITAN ISLAM DALAM

80 dan televisi serta untuk membiayai berbagai kegiatan lainnya yang memerlukan dana cukup besar. Selain zakat wajib, kegiatan operasional MTA juga didukung dari sumbangan atau infaq. Sama seperti zakat yang ditekankan sebagai bagian dari perjuangan menegakkan Islam, infaq atau sumbangan sukarela di MTA menjadi kata kunci yang selalu di sampaikan kepada warga anggota MTA sebagai bagian tak terpisahkan dalam menegakkan dakwah Islam. Sementara konsep Jihad jiwa adalah bersungguh-sungguh mengerahkan seluruh hidupnya untuk berdakwah. Dalam prakteknya, seluruh anggota MTA dituntut untuk mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan di cabang, perwakilan atau pusat baik yang sifatnya rutin seperti pengajian Ahad Pagi atau kegiatan insidental seperti peresmian-peresmian cabang MTA di seluruh Indonesia termasuk kegiatan Nafar selama bulan Ramadhan dimana anggota MTA dari satu cabang dikirim ke tempat lain baik di lokal atau ke seluruh wilayah Indonesia selama satu bulan penuh untuk belajar agama sekaligus membangun jejaring dengan anggota lainnya.

D. Kesimpulan

Melalui uraian di atas bisa diperoleh gambaran mengenai MTA yang berdiri pada tahun 1972 di Surakarta atau pada situasi di saat umat Islam di seluruh dunia sedang bangkit dari keterpurukan sekaligus berupaya meraih kejayaannya kembali melalui jargon kembali kepada Al Quran dan Sunah. Tumbuh sebagai organisasi 81 dakwah lokal yang bertujuan menyeru umat Islam untuk mengamalkan praktek Islam yang total sekaligus bebas dari pengaruh dari luar Islam, MTA berkembang pesat di hampir seluruh Indonesia. Secara khusus, MTA mendapatkan banyak pengikutnya di pedesaan-pedesaan yang masyarakatnya masih kental dengan berbagai tradisi dan praktek keagamaan yang bercampur dengan kepercayaan lokal. Blora, terutama di wilayah pedusunan Bangkerep menjadi salah satu ikon dan gambaran sejarah perkembangan MTA yang mencakup warga yang awalnya masih kental dengan tradisi lokal, kemudian melakukan konversi menuju praktek pengamalan yang ketat dan puritan dengan segala konsekuensi dan identitas baru mereka. 82

BAB III DINAMIKA BANGKEREP : ANTARA TRADISI, MODERNITAS DAN

PURITANISME

A. Pengantar

Ayo Podho Solat Kanggo sangu neng akherat Pitulas rekaat rino wengi ojo telat Yen jejek solate bakal ngadek agamane Yen ninggal solate bakal rubuh agamane Senja itu, alunan irama menggunakan pelantang suara memecah keheningan di sebuah dusun kecil di Blora, Jawa Tengah. Sholawatan 140 yang mengalun merdu dengan nada menyerupai lagu Jawa populer caping gunung 141 tersebut berasal dari sebuah masjid kecil berdinding semi permanen yang terletak tepat di tengah dusun. Hampir bersamaan, suara adzan terdengar lantang dari sebuah masjid megah yang hanya terletak sekitar lima belas meter sebelah barat masjid sebelumnya. Berbeda dengan sholawatan bercengkok lagu Jawa, adzan dari masjid dengan dinding keramik tersebut berkumandang tanpa irama. 140 Sholawatan adalah puji-pujian yang dibaca oleh umat Islam kebanyakan di Jawa. Lazimnya dibaca antara waktu sesudah panggilan adzan dan sebelum iqomat atau pelaksanaan sholat. 141 Lagu Caping Gunung adalah lagu yang populer di masyarakat Jawa yang diciptakan oleh Gesang dan dipopulerkan Waljinah. Dalam versi aslinya, lirik lagu tersebut berbunyi: Dhek jaman berjuangNjuk kelingan anak lanangBiyen tak openiNing saiki ana ngendiJarene wis menangKeturutan sing digadangBiyen ninggal janjiNing saiki apa laliNing gunungTak jadongi sega jagungYen mendungTak silihi caping gunungSukur bisa nyawangGunung desa dadi rejaDene ora ilangGone padha lara lapa