RUPTL 2015- 2024 25
suatu tujuan khusus tertentu, walaupun hal ini hanya dilakukan secara sangat terbatas dan selektif. Dalam konteks ini PLN merencanakan pembangunan
PLTA Baliem berkapasitas 50 MW
21
untuk melistriki 7 kabupaten baru di dataran tinggi Pegunungan Tengah yang sama sekali belum memiliki listrik.
Proyek ini diharapkan akan mendorong kegiatan ekonomi di daerah tersebut untuk pengolahan sumber daya alam sejalan dengan tujuan MP3EI di koridor
Papua – Maluku. Khusus mengenai PLTS, PLN mempunyai kebijakan untuk mengembangkan
centralized PV untuk melistriki banyak komunitas terpencil yang jauh dari grid pada daerah tertinggal, pulau-pulau terdepan yang berbatasan dengan negara
tetangga dan pulau-pulau terluar lainnya. Hal ini didorong oleh semangat PLN untuk memberi akses ke tenaga listrik yang lebih cepat kepada masyarakat di
daerah terpencil. Lokasi centralized PVPLTS komunal dipilih setelah mempertimbangkan faktor tekno-ekonomi seperti biaya transportasi BBM ke
lokasi dan mengoperasikan PV secara hybrid dengan PLTD yang telah ada sehinggga mengurangi pemakaian BBM. Selain itu PLN juga memperhatikan,
alternatif sumber energi primerEBT yang tersedia setempat dan tingkat pelayanan
22
yang akan disediakan pada lokasi tersebut.
2.7. KEBIJAKAN MITIGASI
PERUBAHAN IKLIM
Sesuai misi PLN ”menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan”, dan sejalan dengan komitmen nasional tentang pengurangan emisi Gas Rumah
Kaca GRK, PLN akan melakukan upaya pengurangan emisi GRK dari semua kegiatan ketenagalistrikan.
Kebijakan PLN untuk mitigasi perubahan iklim adalah sebagai berikut. 1. Memprioritaskan pengembangan energi terbarukan
PLN memprioritaskan pemanfaatan PLTA dan PLTP untuk masuk ke sistem tenaga listrik kapan saja mereka siap
23
. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai
21
Dapat dikembangkan menjadi 100 MW.
22
Jam nyala per hari
23
Kebijakan ini disertai dengan kajian bahwa ada kebutuhan beban dan tetap memperhatikan rencana pembangkit lain
26 RUPTL 2015- 2024
keekonomian PLTP dan PLTA tidak menjadi faktor utama dalam proses pemilihan kandidat pembangkit. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah
adanya peningkatan biaya investasi PLN, sehingga pemanfaatan insentif dari pendanaan karbon carbon finance menjadi penting bagi PLN.
PLN telah berpengalaman mengembangkan proyek yang dapat menghasilkan kredit karbon, baik dalam kerangka UNFCCC maupun di luar
kerangka UNFCCC. Oleh karena itu kebijakan PLN terkait mitigasi perubahan iklim adalah untuk terus memanfaatkan pendanaan karbon guna
mendukung kelayakan ekonomi proyek-proyek rendah karbon, terutama PLTP dan PLTA.
2. Menggunakan teknologi rendah karbon Penyediaan tenaga listrik PLN hingga tahun 2024 masih akan didominasi
oleh pembangkit berbahan bakar fosil, terutama batubara. PLN menyadari bahwa pembakaran batubara menghasilkan emisi GRK yang relatif besar,
sehingga diperlukan upaya mitigasi emisi GRK yang bersumber dari PLTU. Kebijakan PLN terkait terkait hal ini adalah PLN hanya akan menggunakan
boiler supercritical, ultra-supercritical untuk PLTU batubara yang akan dikembangkan di pulau Jawa dan teknologi circulating fluidized bed CFB
boiler di Sumatera dan Indonesia Timur. 3. Pengalihan bahan bakar fuel switching
Dengan motif untuk mengurangi pemakaian BBM, PLN berencana mengalihkan pemakaian BBM ke gas pada PLTG, PLTGU dan PLTMG gas
engine. Langkah fuel switching secara langsung juga akan mengurangi emisi GRK karena faktor emisi gas lebih rendah daripada faktor emisi BBM.
4. Efisiensi energi di pusat pembangkit Efisiensi termal pembangkit yang mengalami penurunan sejalan dengan
umurnya akan mengkonsumsi bahan bakar lebih banyak untuk memproduksi satu kWh listrik. PLN selalu berupaya menjaga efisiensi
pembangkitnya untuk meningkatkan efisiensi produksi dan sekaligus menurunkan emisi GRK.
RUPTL 2015- 2024 27
BAB III KONDISI KELISTRIKAN HINGGA AKHIR TAHUN 2014
3.1 PENJUALAN
TENAGA LISTRIK
Penjualan tenaga listrik pada lima tahun terakhir tumbuh rata-rata 7,8 per tahun sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3. 1 Penjualan Tenaga Listrik PLN TWh
Pada Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa pertumbuhan rata-rata penjualan listrik di Jawa Bali adalah sebesar 7,1 per tahun. Pertumbuhan ini relatif lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata di regional Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua-Nusa Tenggara.
Rendahnya pertumbuhan penjualan di Jawa Bali pada tahun 2009 disebabkan oleh terjadinya krisis finansial global. Penjualan tenaga listrik pada tahun
tersebut hanya tumbuh 3,3. Pertumbuhan di Jawa pulih kembali dari dampak krisis keuangan global mulai tahun 2010. Selanjutnya pada tahun 2012,
penjualan tumbuh cukup tinggi akibat program penyambungan pelanggan yang mencapai 3,5 juta pelanggan “go grass” . Selain itu juga karena penyelesaian
daftar tunggu yang masih ada di tahun 2011 yang berdampak pada tahun 2012 Penjualan tenaga listrik di Sumatera tumbuh jauh lebih tinggi, yaitu rata-rata
9,4 per tahun. Pertumbuhan ini tidak seimbang dengan penambahan kapasitas pembangkit yang hanya tumbuh rata-rata 5,2 per tahun. Hal ini
menyebabkan terjadinya krisis daya yang kronis di banyak daerah. Pada tahun 2010, krisis daya ini diatasi dengan sewa pembangkit.
2009 2010
2011 2012
2013 2014
Rata-Rata 2009-2013
133,1 145,7
156,3 172,2
185,7 197,3
Pertumbuhan 4,3
9,4 7,3
10,2 7,8
6,3 7,8
104,1 113,4
120,8 132,1
142,1 149,9
Pertumbuhan 3,3
8,9 6,5
9,3 7,6
5,5 7,1
17,6 19,7
21,5 24,2
25,8 27,9
Pertumbuhan 7,2
11,6 9,3
12,6 6,4
8,2 9,4
4,7 5,1
5,7 6,4
7,0 7,8
Pertumbuhan 9,7
10,3 10,1
12,9 9,6
11,8 10,5
4,6 5,1
5,6 6,4
7,3 7,8
Pertumbuhan 8,8
10,7 11,0
13,7 13,3
7,7 11,5
2,2 2,4
2,7 3,1
3,6 4,0
Pertumbuhan 9,7
10,7 13,0
16,1 13,8
11,4 12,7
Estimasi Realisasi 2014 Maluku, Papua Nusa Tenggara
Wilayah
Indonesia Jawa - Bali
Sumatera Kalimantan
Sulawesi