KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TRANSMISI DAN GI

RUPTL 2015- 2024 21 dengan memenuhi standar nasional SNI, SPLN atau standar internasional yang berlaku. Kebijakan lebih rinci mengenai pengembangan transmisi dan GI adalah sebagai berikut: a. Penggunaan teknologi kabel 500 kV di ibu kota provinsi di Jawa-Bali b. Setiap Ibu kota kabupaten yang belum terlayani jaringan tegangan tinggi direncanakan GI-GI baru. Perencanaan GI-GI baru tersebut tetap mempertimbangkan kelayakan teknis dan ekonomis. c. Peningkatan unit size trafo daya 15020 kV menjadi maximum 100 MVA untuk GI Baru di wilayah yang padat dan sulit mendapatkan lokasi GI. d. Jumlah unit trafo yang dapat dipasang pada suatu GI dibatasi oleh ketersediaan lahan, kapasitas transmisi dan jumlah penyulang feeder keluar yang dapat ditampung oleh GI tersebut. Dengan kriteria tersebut suatu GI dapat mempunyai 3 atau lebih unit trafo. Sebuah GI baru diperlukan jika GI-GI terdekat yang ada tidak dapat menampung pertumbuhan beban lagi karena keterbatasan tersebut. e. Pengembangan GI baru juga dimaksudkan untuk mendapatkan tegangan yang baik di ujung jaringan tegangan menengah. f. Trafo daya TTTM pada dasarnya direncanakan mempunyai kapasitas sampai dengan 60 MVA. g. Trafo IBT GITET 500150 kV dan 275150 kV dapat dipasang hingga 4 unit per GITET. h. Spare trafo IBT 1 fasa disediakan per lokasi untuk GITET jenis GIS, dan 1 fasa per tipe per provinsi untuk GITET jenis konvensional. i. Pembangunan gardu induk dengan desain minimalis dapat dilaksanakan untuk melistriki komunitas dengan kebutuhan listrik yang dalam jangka panjang diperkirakan akan tumbuh lambat. Untuk meningkatkan pelayanan dan mengantisipasi kebutuhan tenaga listrik yang semakin besar di kabupaten- kabupaten yang tersebar dan belum dilayani dari jaringan tegangan tinggi, dalam RUPTL ini terdapat rencana pembangunan GI-GI baru di beberapa kabupaten. Perencanaan GI-GI baru tersebut tetap mempertimbangkan kelayakan teknis dan ekonomis. 22 RUPTL 2015- 2024

2.4. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DISTRIBUSI

Fokus pengembangan dan investasi sistem distribusi secara umum diarahkan pada 4 hal, yaitu: perbaikan tegangan pelayanan, perbaikan SAIDI dan SAIFI, penurunan susut teknis jaringan dan rehabilitasi jaringan yang tua. Kegiatan berikutnya adalah investasi perluasan jaringan untuk melayani pertumbuhan dan perbaikan sarana pelayanan. Pemilihan teknologi seperti jenis tiang beton, besi atau kayu, jenis saluran saluran udara, kabel bawah tanah, sistem jaringan radial, loop atau spindle, perlengkapan menggunakan recloser atau tidak, termasuk penggunaan tegangan 70 kV sebagai saluran distribusi ke pelanggan besar, ditentukan oleh manajemen unit melalui analisis dan pertimbangan keekonomian jangka panjang dan pencapaian tingkat mutu pelayanan yang lebih baik, dengan tetap memenuhi SNI atau SPLN yang berlaku. Dalam RUPTL 2015-2024 ini, telah ada rencana penggunaan transformator 15020 kV dengan kapasitas 100 MVA pada daerah perkotaan yang padat, sehingga sisi instalasi pada sistem distribusi perlu diantisipasi seperti kapasitas pemutus hubung singkat, penambahan jalur keluar tegangan menengah dari gardu induk dan peralatan lainnya. Dengan pemberlakuan Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara Persero dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik, Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air oleh PT Perusahaan Listrik Negara Persero sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri ESDM No. 22 tahun 2014 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas oleh PT Perusahaan Listrik Negara Persero, dimana banyak bermunculan pengajuan pembangkit EBT dari pengembang yang terhubung pada sistem distrbusi, maka pengembangan sistem distribusi perlu mengantisipasi dengan memperhatikan pedoman penyambungan pembangkit terdistribusi Distribution Generation ke jaringan distribusi milik PLN. RUPTL 2015- 2024 23

2.5. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN LISTRIK PERDESAAN

Pembangunan listrik perdesaan merupakan program Pemerintah untuk melistriki masyarakat perdesaan yang pendanaannya diperoleh dari APBN, dan diutamakan pada provinsi dengan rasio elektrifikasi yang masih rendah. Saat ini sebagian pembangunan listrik pedesaan juga dilakukan oleh Pemda melalui pendaan APBD dimana pembangunannya berupa jaringan distribusi berikut pemasangan dan penyambungan listrik gratis bagi masyarakat tidak mampu. Hal ini dilakukan dengan berkoordinasi dengan PLN. Pengembangan listrik perdesaan telah mempertimbangkan hasil roadmap lisdes 2013-2017 provinsi dan membantu meningkatkan rasio elektrifikasi. Kebijakan yang diambil oleh Direktorat Jendral Ketenagalistrikan DJK dan PLN dalam pembangunan listrik desa adalah untuk menunjang pencapaian rasio elektrifikasi menjadi 80 di tahun 2014 dan 99,4 di tahun 2024 dengan melakukan hal hal sebagai berikut : x Pembangunan jalur keluar jaringan distribusi untuk mendukung evakuasi daya dari proyek GI Baru atau Extension Trafo GI. x Pembangunan jalur keluar jaringan distribusi untuk mendukung evakuasi daya dari pembangkit skala kecil baik EBT maupun pembangkit lainnya dan pembangkit mikromini tenaga air. x Melistriki desa baru maupun desa lama yang sebagian dari dusun tersebut belum berlistrik, daerah terpencil dan daerah perbatasan. x Dimungkinkan pengadaan hybrid PLTS dan hybrid PLTB 19 yang sistemnya terhubung dengan grid PLN. x Melaksanakan program penyambungan listrik dan instalasi gratis bagi masyarakat yang tidak mampu dan daerah tertinggal.

2.6. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN

Sejalan dengan salah satu misi PLN yaitu menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan, Peraturan Pemerintah No. 792014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 tahun 2006 tentang 19 PLTS: Pembangkit Listrik Tenaga Surya, PLTB: Pembangkit Listrik Tenaga Bayu 24 RUPTL 2015- 2024 Pengusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Terbarukan Skala Menengah, PLN merencanakan pengembangan energi baru dan terbarukan EBT yang meliputi pengembangan panas bumi yang sangat besar, pembangkit tenaga air skala besar, menengah dan kecil, pembangkit tenaga angin PLTB skala besar dan kecil serta EBT skala kecil tersebar berupa PLTS, biomassa, biofuel, biogas dan gasifikasi batubara energi baru. PLN juga mendorong penelitian dan pengembangan EBT lain seperti thermal solar power, arus laut, OTEC ocean thermal energy conversion dan fuel cell. Kebijakan PLN dalam pengembangan EBT didukung oleh kebijakan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penugasan kepada PT Perusahaan Listrik Negara Persero Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara dan Gas. Peraturan tersebut dijabarkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM Nomor 02 Tahun 2010 yang selanjutnya telah dicabut dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 Tahun 2012, Peraturan Menteri ESDM Nomor 21 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2014. PLTP dan PLTA dapat masuk ke sistem tenaga listrik kapan saja mereka siap, dengan tetap memperhatikan kebutuhan listrik dan adanya rencana pembangkit yang lain. Pemerintah juga mendukung pengembangan EBT dengan pemberlakuan Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 tahun 2013 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara Persero dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik, Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air oleh PT Perusahaan Listrik Negara Persero sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas oleh PT Perusahaan Listrik Negara Persero. Untuk tenaga air, kebijakan ini tidak membatasi PLN untuk merencanakan sebuah proyek PLTA tanpa menganut prinsip demand driven 20 demi mencapai 20 Demand driven adalah sebuah pendekatan perencanaan yang mensyaratkan adanya jaminan demand listrik yang cukup untuk menjustifikasi kelayakan sebuah proyek pembangkit.