BIOMASSA PENGEMBANGAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN EBT

RUPTL 2015- 2024 57

4.8. ENERGI KELAUTAN

Perkembangan pembangkit listrik menggunakan energi kelautan masih dalam tahap penelitian. Sampai saat ini belum ada pabrikan teknologi konversi energi laut menjadi listrik yang sudah terbukti kehandalannya untuk beroperasi komersial selama 5 tahun. PLN akan mempertimbangkan pengembangan energi kelautan apabila teknologinya telah matang dan tersedia secara komersial. Energi kelautan yang menarik adalah energi pasang surut, yang mana lebih akurat untuk dapat diprediksi potensi energi yang tersedia.

4.9. COAL BED METHANE CBM

Reserve gas CBM diperkirakan lebih besar daripada reserve gas konvensional, terutama di South Sumatera Basin 183 TCF dan Kutai Basin. PLN berkeinginan untuk memanfaatkan gas non-konvensional ini apabila telah tersedia dalam jumlah yang cukup. Studi yang telah dilakukan oleh PLN bersama Exxon-Mobil mengenai pengembangan CBM di Kalimantan Selatan untuk kelistrikan di Indonesia telah memberikan pemahaman mengenai keekonomian gas CBM ini.

4.10. COAL SLURRY

Coal slurry merupakan batubara yang dicairkan melalui proses upgrading sehingga lebih ramah lingkungan serta lebih mudah ditransportasikan dan disimpan dalam tangki. Coal slurry digunakan untuk pembangkit termal melalui proses pembakaran dengan mekanisme penyemprotan. Coal slurry digunakan sebagai pembangkit skala kecil pengganti PLTD untuk beban dasar. PLN sudah membangun pembangkit pilot project dengan kapasitas 500 kW di Karawang, Jawa Barat yang disimulasikan seperti pembangkit dan kelistrikan kepulauan. Pada tahun 2015, PLN merencanakan untuk mengimplementasikan pembangkit dengan bahan bakar coal slurry di sistem kecil tersebar terutama di wilayah Papua dan Maluku. 58 RUPTL 2015- 2024

4.11. NUKLIR

Kesulitan terbesar dalam merencanakan PLTN adalah tidak jelasnya biaya kapital, biaya radioactive waste management decommisioning serta biaya terkait nuclear liability 37 . Untuk biaya kapital misalnya, sebuah studi bersama antara PLN dan sebuah perusahaan listrik dari luar negeri pada tahun 2006 mengindikasikan biaya investasi PLTN sebesar 1.700kW EPC saja atau 2.300kW setelah memperhitungkan biaya bunga pinjaman selama konstruksi. Angka tersebut kini dipandang terlalu rendah, karena menurut berbagai laporan yang lebih baru, biaya pembangunan PLTN pada beberapa negara telah mencapai angka yang jauh lebih tinggi. Dalam Feasibility Study PLTN yang dilaksanakan oleh PLN dengan dibantu konsultan luar negeri pada tahun 2014, diperoleh biaya investasi PLTN adalah sekitar 6.000kW. Dengan semakin mahalnya harga energi fosil dan dengan semakin nyatanya ancaman perubahan iklim global sebagai akibat dari emisi karbon dioksida dari pembakaran batubara atau energi fosil lainnya, sebetulnya telah membuat PLTN menjadi sebuah opsi sumber energi yang sangat menarik untuk ikut berperan dalam memenuhi kebutuhan listrik di masa depan. Apalagi apabila biaya proyek, biaya pengelolaan waste dan biaya decommisioning telah menjadi semakin jelas. Disadari bahwa pengambilan keputusan untuk membangun PLTN tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan keekonomian dan profitability, namun juga pertimbangan lain seperti aspek politik, Kebijakan Energi Nasional KEN menargetkan penggunaan EBT sebesar 23 pada tahun 2025, penerimaan sosial, budaya, perubahan iklim dan perlindungan lingkungan. Dengan adanya berbagai aspek yang multi dimensional tersebut, program pembangunan PLTN hanya dapat diputuskan oleh Pemerintah. Tingginya investasi awal dan panjangnya waktu implementasi dari pembangunan PLTN memerlukan dukungan Pemerintah dalam jangka panjang agar pembangunan PLTN dapat diselesaikan dengan sempurna dan tepat pada waktunya. Oleh karena itu dalam RUPTL 2015-2024 ini PLTN masih merupakan opsi yang belum dimunculkan sampai adanya program pembangunan PLTN yang diputuskan oleh Pemerintah. 37 Kecelakaan PLTN Fukushima Daichi pada bulan Maret 2011 telah menunjukkan biaya nuclear liability penting untuk diperhitungkan.