KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAPASITAS PEMBANGKIT
RUPTL 2015- 2024 15
x Untuk mengantisipasi adanya kemungkinan keterlambatan penyelesaian pembangunan pembangkit.
Berkaitan dengan kebijakan tersebut, PLN akan memonitor progres implementasi proyek pembangkit dari tahun ke tahun. Apabila progres fisik
proyek pembangkit berjalan baik atau dapat diselesaikan lebih awal, maka PLN akan mengimbanginya dengan mitigasi tertentu. Mitigasi tersebut misalnya
pemasaran agresif untuk menyeimbangkan penjualan dengan pasokan maupun memastikan interkoneksi dengan sistem kelistrikan lain sehingga dapat
dilakukan power exchange.
Pemilihan lokasi pembangkit dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber energi primer setempat atau kemudahan pasokan energi
primer, kedekatan dengan pusat beban, prinsip regional balance¸ topologi jaringan transmisi yang dikehendaki, kendala pada sistem transmisi
10
, dan kendala-kendala teknis, lingkungan dan sosial
11
. Lokasi pembangkit yang tercantum dalam RUPTL merupakan indikasi lokasi yang masih dapat berubah
sesuai dengan perkembangan dalam penyiapan proyek di lapangan. Pemenuhan kebutuhan beban puncak sistem besar dengan pembangkit
berbahan bakar BBM tidak direncanakan lagi. Untuk selanjutnya PLN hanya merencanakan pembangkit beban puncak yang beroperasi dengan gas LNG,
mini LNG, CNG. Apabila ada potensi hidro, PLN lebih mengutamakan pembangkit hidro, seperti pumped storage, PLTA peaking dengan reservoir.
BBM hanya direncanakan sebagai buffer untuk mempercepat ketersediaan daya sebelum tersedianya energi primer lebih ekonomis.
Proyek PLTGU berbahan bakar gas lapangan gas pipa hanya direncanakan apabila terdapat kepastian pasokan gas. Dalam hal tidak tersedia pasokan gas
lapangan, maka PLTGU sebagai pembangkit medium pemikul beban menengah menjadi tidak dapat direncanakan. Konsekuensinya sebagian
pembangkit beban dasar, yaitu PLTU batubara, dapat dioperasikan sebagai pemikul beban menengah dengan capacity factor yang relatif rendah, walaupun
10
Pembebanan lebih, tegangan rendah, arus hubung singkat terlalu tinggi, stabilitas tidak baik.
11
Antara lain kondisi tanah, bathymetry, hutan lindung, pemukiman.
16 RUPTL 2015- 2024
untuk fungsi tersebut PLTU batubara perlu dibantu oleh pembangkit jenis lain yang mempunyai ramping rate
12
tinggi seperti PLTG dan PLTA Bendungan. Penyelesaian kekurangan pasokan listrik jangka pendek dilakukan melalui
pengembangan mobile power plant MPP yang bisa dibangun dalam waktu relatif cepat dan sifatnya yang mobile. Tipe MPP yang bisa dikembangkan
meliputi barge mounted, truck mounted dan container. Pengembangan MPP juga difungsikan untuk mengurangi ketergantungan pada mesin sewa. Untuk
fleksibiltas dalam hal bahan bakar, MPP direncanakan menggunakan bahan bakar gas dengan teknologi pembangkit dual fuel.
Untuk pengembangan kelistrikan di sistem kelistrikan yang isolated dan di pulau-pulau kecil masih diperlukan pembangkit berbahan bakar minyak. Secara
jangka panjang perlu kajian penggunaan teknologi yang memungkinkan untuk mengganti bahan bakar minyak menjadi bahan bakar yang lebih efisien
misalnya LNG, biomassa dan batubara. Teknologi yang potensial untuk mengganti hal tersebut di atas antara lain pembangkit thermal modular
pengganti diesel PTMPD dengan bakar bakar biomassa dan batubara, PLTMG, PLTD dual fuel serta pembangkit energi terbarukan yang di-hybrid
dengan PLTD maupun alternatif penggunaan bahan bakar biofuel untuk PLTD. Untuk sistem kelistrikan Jawa-Bali, PLN telah merencanakan PLTU batubara
kelas 1.000 MW dengan teknologi ultra super critical
13
untuk memperoleh efisiensi yang lebih baik dan emisi CO2 yang lebih rendah. Penggunaan ukuran
unit sebesar ini dimotivasi oleh manfaat economies of scale dan didorong oleh semakin sulitnya memperoleh lahan untuk membangun pusat pembangkit skala
besar di pulau Jawa. Pertimbangan lainnya adalah ukuran sistem Jawa Bali telah cukup besar untuk mengakomodasi unit pembangkit kelas 1.000 MW.
Secara umum pemilihan lokasi pembangkit diupayakan untuk memenuhi prinsip regional balance. Regional balance adalah situasi dimana kebutuhan listrik
suatu region dipenuhi sebagian besar oleh pembangkit yang berada di region tersebut dan tidak banyak tergantung pada transfer daya dari region lain melalui
saluran transmisi interkoneksi. Dengan prinsip ini, kebutuhan transmisi interkoneksi antar region akan minimal.
12
Ramping rate adalah kemampuan pembangkit dalam mengubah outputnya, dinyatakan dalam per menit, atau MW per menit.
13
PLTU ultra super critical merupakan jenis clean coal technology CCT yang telah matang secara komersial. Jenis CCT lainnya, yaitu Integrated Gassification Combined Cycle IGCC
diperkirakan baru akan matang secara komersial setelah tahun 2024.
RUPTL 2015- 2024 17
Namun demikian kebijakan regional balance ini tidak membatasi PLN dalam mengembangkan pembangkit di suatu lokasi dan mengirim energinya ke pusat
beban melalui transmisi, sepanjang hal tersebut layak secara teknis dan ekonomis. Hal ini tercermin dari adanya rencana untuk mengembangkan PLTU
mulut tambang skala besar di Sumatra Selatan dan menyalurkan sebagian besar energi listriknya ke pulau Jawa melalui transmisi arus searah tegangan
tinggi high voltage direct current transmission atau HVDC
14
. Situasi yang sama juga terjadi di sistem Sumatera, dimana sumber daya energi batubara,
panas bumi dan gas lebih banyak tersedia di Sumbagsel, sehingga di wilayah ini banyak direncanakan PLTU batubara dan PLTP yang sebagian energinya
akan ditransfer ke Sumbagut melalui sistem transmisi tegangan ekstra tinggi. Kepemilikan proyek-proyek pembangkitan yang direncanakan dalam RUPTL
disesuaikan dengan kemampuan pendanaan PLN. Mengingat kebutuhan investasi sektor ketenagalistrikan yang sangat besar, PLN tidak dapat secara
sendirian membangun seluruh kebutuhan pembangkit baru. Dengan demikian sebagian proyek pembangkit akan dilakukan oleh listrik swasta sebagai
independent power producer IPP maupun pihak ketiga non-IPP dengan model bisnis tertentu seperti power wheeling, kerjasama excess power, penetapan
wilayah usaha tersendiri dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik bagi smelter dan kawasan industri
baru dimana PLN belum mampu memenuhi kebutuhan listriknya, pengembang smelter atau kawasan industri tersebut dapat membangun pembangkit sendiri
atau memanfaatkan pembangkit yang dimiliki oleh pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik IUPTL lain dan memanfaatkan jaringan transmisi
atau distribusi milik PLN atau pemegang IUPTL lain melalui skema power wheeling, dengan tetap memperhatikan kemampuan transmisi atau distribusi
tersebut. Berikut ini kebijakan PLN dalam mengalokasikan kepemilikan proyek
kelistrikan: Proyek pembangkit direncanakan sebagai proyek PLN apabila telah
mendapat indikasi pendanaan dari APLN maupun lender, telah mempunyai
14
Persyaratan untuk melaksanakan proyek interkoneksi Sumatera – Jawa ini adalah kebutuhan listrik di seluruh wilayah Sumatera telah terpenuhi dengan cukup.
18 RUPTL 2015- 2024
kontrak EPCpenunjukan pemenang lelang EPC, atau ditugaskan oleh Pemerintah untuk melaksanakan sebuah proyek pembangkit.
Proyek pembangkit direncanakan sebagai proyek IPP apabila PLN telah menandatangani PPALetter of Intent, PLN telah menyampaikan usulan
kepada Pemerintah bahwa suatu proyek dikerjakan oleh IPP, atau pengembang swasta telah memperoleh IUPTL dari Pemerintah.
Rencana proyek baru yang belum ditetapkan calon pengembang maupun sumber pendanaannya, dapat dibangun oleh PLN maupun IPP atau dalam
bentuk kerja sama khusus dimana PLN tidak menjadi off-taker sepenuhnya, dimasukkan dalam kelompok proyek “unallocated”.
Berdasarkan UU No. 302009 tentang Ketenagalistrikan menyatakan bahwa BUMN diberikan prioritas pertama melakukan usaha penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan umum, namun demikian terbuka peluang bagi BUMD, badan usaha swasta atau koperasi. Dalam RUPTL ini, peluang
tersebut terbuka untuk proyek unallocated. Dalam hal tidak ada BUMD, badan usaha swasta atau koperasi yang dapat mengembangkan proyek
unallocated tersebut, maka Pemerintah wajib menugasi BUMN untuk melaksanakannya.
PLTP: Sesuai dengan peraturan dan perundangan di sektor panas bumi, pengembangan PLTP pada umumnya didorong untuk dikembangkan oleh
swasta dengan proses pemenangan WKP melalui tender sebagai total project
15
. Sedangkan potensi panas bumi yang WKP-nya dimiliki oleh Pertamina berdasar regulasi terdahulu, Pertamina dan PLN dapat bekerja
sama mengembangkan PLTP
16
. Beberapa WKP PLTP di Indonesia Timur yang dimiliki PLN akan dikembangkan sepenuhnya sebagai proyek PLN.
Disamping itu, pengembangan PLTP yang baru baik oleh PLN maupun IPP tidak boleh mengorbankan pasokan uap untuk PLTP eksisting yang sudah
berjalan.
15
Total project PLTP adalah proyek dimana sisi hulu uap dan hilir pembangkit listrik dikerjakan oleh pengembang dan PLN hanya membeli listrik.
16
Yaitu Pertamina mengembangkan sisi hulu dan PLN membangun power plant, atau Pertamina mengembangkan PLTP sebagai total project dan PLN membeli listriknya.
RUPTL 2015- 2024 19