174
perlindungan diajukan, secara hukum dan sebagaimana dibenarkan sebelumnya tinggal menetap di negara tersebut.
217
Meskipun demikian, pasal 8 paragraf 3 menambahkan bahwa hal tersebut tidak berlaku dalam hal adanya aktivitas
yang secara internasional dinilai salah, yang dilakukan oleh negara asal pengungsi tersebut.
5. Hak – hak pengungsi anak A. Menurut Syariat Islam
Tidak diragukan lagi bahwa dalam ajaran Islam, hal – hal terkait hak anak harus dimuliakan dan diperhatikan, baik anak
itu pengungsi maupun bukan pengungsi. Dalam Islam terdapat perjanjian khusus terkait dengan hak - hak anak tahun 2005
yang telah diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam OKI tentang hak-hak anak yang memberikan hak – hak seperti hak
persamaan, hak memperoleh kohesi keluarga, hak memperoleh kemerdekaan secara individu, hak dibesarkan, hak mendapatkan
pendidikan, hak akan kebudayaan, hak memperoleh waktu cukup untuk istirahat dan bermain, hak atas kesehatan,
perlindungan, keadilan dan seterusnya. Dalam perjanjian itu juga ditetapkan mengenai pengungsi anak-anak bahwa “Negara
Pihak perjanjian ini akan memastikan, semaksimal mungkin, pengungsi anak atau anak – anak yang secara hukum disamakan
217
Lihat pula Resolusi Majelis Umum PBB No. A61102006 M.
175
dengan status tersebut, dapat menikmati hak – hak dalam perjanjian dalam legislasi nasional mereka.” pasal 21.
218
Dalam Konvensi tentang Hak Anak tahun 1989 M, ditetapkan sebuah peraturan tentang anak – anak yang terlantar
secara sementara atau permanen, yang didasarkan pada sistem kafala pemeliharaan dari Syariat Islam. Dalam pasal 20
paragraf 3 disebutkan bahwa “Perawatan mencakup, diantaranya, penempatan dirumah orang tua asuh, kafalah
pemeliharaan berdasarkan Syariat Islam, adopsi, atau jika dibutuhkan, penempatan di institusi anak yang sesuai untuk
perawatan anak.” Demikianlah dalam ketetapan Konvensi ini ditekankan adanya suatu sistem kafalah pemeliharaan yang
merupakan sebuah sistem yang telah lama dijalankan menurut Syariat Islam.
Hadis Nabi telah menggariskan sejumlah hal terkait anak.
219
Diantaranya ialah anjuran menikahi perempuan yang sehat reproduktif untuk memperbanyak populasi penduduk Muslim,
anjuran memilih isteri yang baik, anjuran merayakan kelahiran
218
Lihat dokumen No.OIC9 - IGGEHRI2004Rep.Final .
219
Lihat pula Muhammad ‘Abd al-Jawwâd Muhammad, Himâyat al-Tufûlah fi al-Syarî’ah al- Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Duwaliy al-‘Âmm, wa al-Sûdaniy wa al-Su’ûdiy, Iskandaria: Mansya’at al-Ma’ârif,
h. 29-80. Sebagian ahli Syariat Islam membagi hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya menjadi hak- hak yang bersifat materiil hak akan garis keturunan, hak untuk disusui, hak untuk diasuh,, hak akan perwalian,
hak untuk memperoleh nafkah dan hak yang bersifat moriil dan hak – hak moral hak untuk dibesarkan dengan baik, perlindungan moral, hak atas nama yang terbaik, hak atas perlakuan yang adil dan setara diantara anak –
anak lainnya. Sementara hak – hak orang tua mencakup: hak menerima bakti anaknya, hak untuk memperolah bantuan nafkah pada saat mereka telah memasuki usia dewasa, dan hak untuk diperlakukan dengan hormat
ketika masih hidup atau sudah wafat. Lihat ‘Abdullah Muhammad Sa’îd, al-Huquq al-Mutabâdilah bain al-Âbâ` wa al-Abnâ` fi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Disertasi Doktor, Kairo: Kulliyyat al-Syarî’ah wa al-Qânûn, 1402
H1982 M, h. 466.
176
anak aqiqah, hak anak untuk memperoleh nama yang baik, hak akan pernasaban atau garis keturunan berdasarkan
hubungan perkawinan, bukti-bukti, atau pengakuan, hak anak untuk memperoleh pengasuhan, hak anak untuk bermain,
perlindungan terhadap perempuan dan anak pada kondisi perang, perlakuan khusus terhadap ibu dan anak dalam hukum
pidana Islam, hak untuk memperoleh pengajaran dan pendidikan, dan hak anak yang lahir dari budak untuk
dibebaskan dari status budak. Hak-hak anak lainnya telah ditetapkan pula melalui ijtihad pemberian pendapat hukum
oleh ahli Syariat Islam, diantaranya ialah hak anak untuk memperoleh nafkah, hak anak untuk memperoleh pengarahan
atau perwalian atas diri dan harta kekayaannya, hak anak hilang yang telah ditemukan kembali, hak bagi anak yang baru lahir
untuk memperoleh bantuan finansial dari Bait al-Mâl kantor perbendaharaan negara, dan hak akan wasiat wajibah hak
wasiat yang ditetapkan bagi anak dari harta warisan orang tuanya. Bahkan Syariat Islam juga mengatur hak-hak janin.
220
Adanya indikasi
perhatian Syariat Islam dalam hal anak,
terlihat dalam kisah yang cukup dikenal dari Khalifah Umar bin al-Khattab. Suatu ketika, datang serombongan pedagang, dan
kemudian singgah di suatu tempat shalat. Waktu itu, Umar
220
Terkait hak janin antara lain hak al-Ahliyyah wa al-Dzimmah, hak untuk diakui sebagai anak kandungnya, hak mendapatkan jatah waris, hak mendapat wasiat, wakaf, dan hak untuk tidak diaborsi dan lain-
lain, lihat Muhammad Sallâm Madkûr, al-Janîn wa al-Ahkâm al-Muta’alliqah bihi fi al-Fiqh al-Islâmiy, Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1389 H1979 M, h. 271-328.
177
mengajak Abdurrahman bin Auf ,
untuk bergabung dengannya mengawasi keamanan di malam hari untuk menghindari
pencurian. Maka kedua tokoh ini berjaga untuk melakukan ronda malam itu sambil tetap menjalankan shalat. Malam itu,
Umar mendengar sebuah tangisan bayi, lalu ia bergegas menuju ke arah bunyi anak kecil menangis itu dan berkata kepada sang
ibu: “Bertakwalah kamu kepada Allah dan rawatlah anak kamu dengan baik.” Setelah itu Umar kembali ke tempat berjaganya
semula, namun tidak selang lama beliau mendengar lagi tangisan anak yang sama. Sehingga ia kembali menghampiri
ibu sang anak hingga tiga kali. Maka kemudian sang ibu itu menuturkan bahwa si bayi itu ternyata baru saja disapih padahal
belum waktunya disapih. Hal tersebut dilakukan sang ibu karena seorang anak akan memperoleh bantuan dana apabila
telah disapih. Pada saat itulah Umar meminta petugas untuk mengumumkan dengan mengatakan: “Janganlah kalian
menyapih anak kalian sebelum waktunya, sebab mulai saat ini bantuan dana akan kami berikan bagi setiap anak yang
dilahirkan dalam keadaan Islam. Hal ini juga ia sampaikan ke seluruh pelosok di negara Islam. Demikian praktek ini
seterusnya dilanjutkan oleh Khalifah Ustman dan Ali bahkan hingga zaman Umar bin Abdul Aziz.
221
221
Lihat Ibn Sallâm, Kitab al-Amwâl, Kairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1388 H1976 M, h. 337-341.
178
B. Menurut Hukum Internasional