Hak konvensional kontraktual suaka teritorial dalam Islam

110 yang lemah dan tertindas di negeri Mekkah. Para Malaikat berkata: Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dari kejahatan di bumi itu?. Orang- orang itu tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” Q.S. al-Nisâ`4:97 Sebagai pengecualian, kewajiban hijrah tersebut dihilangkan apabila terdapat alasan kuat untuk tidak melaksanakannya, seperti: sakit, terpaksa dan lain-lain. Hal ini berdasarkan kalam Allah SWT: Kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita, ataupun anak-anak yang tidak mampu berusaha dan tidak mengetahui jalan untuk hijrah. Mereka itu, semoga Allah memaafkan mereka, dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Q.S. al-Nisâ`4:98-99. 146

5. Hak konvensional kontraktual suaka teritorial dalam Islam

Berbagai pengaturan yang mengatur suaka seseorang dari sebuah Negara ke teritori Negara lain dapat dibuat dibawah perjanjian internasional yang mengatur persyaratan- 146 Adalah hal yang wajar, jika seorang Muslim yang hijrah ke negeri Islam akan menikmati hak-hak yang sama dengan warga pribumi. Hal ini sebagaimana ditekankan oleh pendapat hukum internasional sebagai berikut: Merupakan suatu kebutuhan bagi seorang Muslim untuk bermigrasi ke negara Islam agar ia mendapat hak-hak kewarganegaraannya. Hak ini tersedia baginya segera setelah ia memasuki wilayah Islam, baik untuk menetap secara permanen atau untuk berkunjung. Keadaan ini persis sama dengan kasus kewarganegaraan umum di Persemakmuran Inggris. Dasar hukum hak-hak kewarganegaraan adalah satu kesatuan ideologi. Dasar hukum hak-hak kewarganegaraan adalah satu kesatuan ideologi. Karena itu, semata-mata masuk ke pintu wilayah itu, seharusnya sudah cukup untuk mencapai hak-hak tersebut. Lihat R. Kemal, Concept of Constitutional Law in Islam, India: Fase Brothers, 1955, h. 95-96. Ulama fikih lainnya berpendapat, bahwa dewasa ini tidak tepat untuk menggeneralisasi pertimbangan tinggal menetap di negara non-Muslim sebagai negatif atau positif. Ada tinggal menetap yang wajib dan diperlukan misalnya: para da’i yang datang untuk tujuan dakwah, dan ada pula tinggal menetap yang terlarang dan haram misalnya, orang yang tinggal secara sukarela di negara non-Muslim. Akan tetapi, ada juga yang tinggal menetap yang hukumnya boleh dan sah yakni orang-orang terpaksa tinggal selama ada alasan tertentu, seperti mahasiswa. Lihat Muhammad Abû al-Fath al-Bayânuni, al-Usûl al-Syar’iyyah li al-‘Alâqât bain al- Muslimîn wa Gairihim fi al-Mujtama’ât gair al-Muslimah, Majallat Jâmi’at al-Imâm Muhammad ibn Su’ûd, 1413H1993 M, Edisi 6, h. 164-167. 111 persyaratan suaka, dan bagaimana seorang pengungsi diperlakukan dan diekstradisi. Tidak terkecuali Islam, yang juga mengatur hak suaka sesuai dengan perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan yang telah ditetapkan bersama Negara-negara non-Islam. Sebagai contoh nyata dalam hal ini adalah perjanjian yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan komunitas masyarakat Jarba’ dan Adzrah sebagai berikut: Ini adalah surat dari Muhammad seorang Nabi kepada komunitas masyarakat Adzrah, sesunguhnya mereka selamat dan aman dalam perlindungan Allah dan Muhammad, selanjutnya mereka wajib memberikan jizyah sebesar seratus dinar pada setiap bulan Rajab dan harus dipenuhi secara baik. Allah menjamin keamanan mereka dengan memberikan nasehat dan kebaikan bagi kaum Muslimin. Orang-orang yang meminta perlindungan kepada masyarakat Adzrah dari gangguan orang-orang Islam bila terdapat rasa takut dan adanya sanksi hukum, maka mereka aman, sampai Nabi Muhammad menetapkan kebijakan baru sebelum Beliau keluar dari komunitas masyarakat Adzrah ini. 147 147 Ibn Sa’ad, al-Tabaqât al-Kubra, Beirut: Dâr Bairût, 1400 H1980 M, h. 290, Ibn Katsir, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Beirut: Dâr al-Ma’rifah,13951976, Jilid IV, h. 30. Terdapat sebuah perjanjian seorang penguasa di Yabras dan al-Istibtar sebagai berikut: “Jika terdapat seseorang yang lari meninggalkan tempat dan menuju ke tempat lain dengan membawa barang dan harta tertentu, maka harta yang ia bawa akan dikembalikan ke tempat semula. Sedangkan orang yang besangkutan disuruh memilih antara tinggal di tempat yang dituju atau kembali ke tempat semula. Jika orang yang lari itu hamba sahaya, yang mengabaikan agamanya, maka, uang seharga hamba sahaya akan dikembalikan. Tetapi jika ia mengikuti kepercayaannya, maka ia akan dikembalikan.” Lihat al-Qalqasyandi, Subh al-A’syâ, Jilid 14, h 38. 112 . Terdapat sebuah contoh lain yang terkait tata aturan suaka territorial ini, yaitu dalam kasus perjanjian Hudaybiyyah dan berbagai hal yang akan kami bahas kemudian. 148 Kemudian hal penting yang bisa dikemukakan adalah hak-hak suaka diplomatik, bukan hak-hak yang besifat territorial dalam arti yang teknis, yang telah disepakati perjanjian internasional dan tidak bertolak belakang dengan prinsip-prinsip mendasar dalam Syariat Islam.

6. Suaka sebagai taktik untuk mewujudkan tujuan militer atau lainnya