Suaka sebagai taktik untuk mewujudkan tujuan militer atau lainnya Suaka seorang Muslim ke negara non-Muslim

112 . Terdapat sebuah contoh lain yang terkait tata aturan suaka territorial ini, yaitu dalam kasus perjanjian Hudaybiyyah dan berbagai hal yang akan kami bahas kemudian. 148 Kemudian hal penting yang bisa dikemukakan adalah hak-hak suaka diplomatik, bukan hak-hak yang besifat territorial dalam arti yang teknis, yang telah disepakati perjanjian internasional dan tidak bertolak belakang dengan prinsip-prinsip mendasar dalam Syariat Islam.

6. Suaka sebagai taktik untuk mewujudkan tujuan militer atau lainnya

Model suaka jenis ini membentuk pelanggaran atas tujuan dari hak suaka, yang memperjuangkan kondisi kemanusiaan seseorang yang terancam penganiayaan dengan cara pemberian perlindungan baginya. Seorang pengamat hubungan antara Negara Islam dan Negara – negara lainnya mencatat bahwa hak suaka dalam beberapa kasus memang melangkahi tujuan ini. Dalam hal ini, kita tidak menilik kasus suaka dalam arti katanya, namun lebih sebagai suatu tindakan memata-matai atau bersiasat dalam perang 149 atau tindakan lainnya yang dilarang untuk 148 Lihat halaman 203 – 208 mengenai ekstradisi sebagai penerapan perjanjian internasional 149 Di antara data pendukung dalam masalah ini ada sebuah pendapat yang dikemukakan dalam sebuah referensi bahwa pada saat Abu Ja’far memperoleh kabar kasus al-Isbahbadz, dan apa yang diperbuatnya atas 113 pengungsi, namun dapat dilakukan oleh tentara pada saat perang. 150

7. Suaka seorang Muslim ke negara non-Muslim

Kini parameter telah mengalami perubahan secara mendasar. Sebagian umat Muslim berada dibawah kungkungan para penguasa diktator atau tiran, sehingga kaum Muslim pada saat itu, Abû Ja’far kemudian mengutus Khâzim ibn Huzaimah, Rûh ibn Hâtim, dan juga Marzûq Abû al-Khasîb, anak angkat Abû Ja’far untuk mengepung benteng pertahanan al-Isbahbadz sang penguasa Dailam. Pasukan ini menyerang benteng pertahanannya selama beberapa waktu. Pada saat itu Marzûq Abû al-Khasîb mengatur siasat peperangan dengan mengeluarkan instruksi kepada pasukan yang dipimpinnya: “Pukuli aku, gunduli rambut dan janggutku ini“ Maka anak buah Marzûq Abû al-Khasîb melakukan apa yang diminta oleh sang pemimpin perangnya itu, untuk kemudian akan ditunjukkan kepada al-Isbahbadz, sang musuh besarnya, yang menguasai benteng pertahanan. Pada saat itu Marzûq Abû al-Khasîb berkata kepada al- Isbahbadz: “Sunguh aku telah mendapat masalah besar, aku telah dipukuli dan rambut dan jenggotku digunduli oleh anak buahku. Mereka melakukan itu karena menuduhku telah bersekongkol dengan Anda”. Lalu Marzuq menyatakan kepada al-Isbahbadz bahwa ia berada dalam pihak al-Isbahbadz serta menunjukkan kelemahan pasukannya. Maka Marzûq Abû al-Khasîb pun disambut dan diterima dengan baik oleh al-Isbahbadz, bahkan dijadikan sebagai orang terdekatnya. Pada saat itu, pintu kota Dailam berada di bawah tanggungjawab sekelompok pasukan penjaga. Al-Isbahbadz telah menunjuk Marzûq Abû al-Khasîb sebagai wakilnya atas pasukan penjaga pintu kota. Lalu ia mempertanyakan mengapa ia tidak dipercayakan untuk menjaga pintu kota itu sendirian. Kemudian mereka menyatakan, “Mengapa Anda berpikir demikian?” Kemudian Marzûq Abû al- Khasîb bekata: “Begini saya mau minta bantuan kalian, bukankah kalian sudah menganggap aku sebagai saudara yang berpihak kepada kalian? Bukankah kalian sudah percaya sebagaimana kepercayaan al-Isbahbadz kepadaku? Oleh sebab itu, kalian tidak perlu memperlakukan aku seperti ini, kalian tidak lagi perlu membatasi gerak-gerikku, biarkan aku bebas keluar masuk di istana raja Dailam ini.” Maka, setelah mereka yakin bahwa Marzûq Abû al-Khasîb sudah tidak akan mungkin membangkang, akhirnya ia dibebaskan keluar masuk istana raja itu, tanpa ada hambatan sedikitpun dan diserahkan tanggung jawab atas pintu tersebut. Hingga akhirnya Marzûq Abû al-Khasîb menulis surat kepada Rûh ibn Hâtim dan Khâzim ibn Huzaimah, agar dipersiapkan pasukan khusus para penembak jitu agar pada malam tertentu datang dan serangan mendadak. Mereka pun bersiap-siap menghabisi seluruh musuh yang ada dalam istana al-Isbahbadz. Akhirnya, siasat Marzûq Abû al- Khasîb ini benar-benar berhasil tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti dari pihak al-Isbahbadz dan pasukannya berhasil masuk ke dalam istana. Dengan cara strategi seperti ini Marzûq Abû al-Khasîb ternyata berhasil menghancurkan pertahanan musuh, bahkan menahan tawanan perang dari kalangan musuh itu. Lebih lanjut lihat al-Tabari, Târîkh al-Rusul wa al-Muluk, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t.th, Jilid VII, h. 512-513. 150 Di antaranya, apa yang disebutkan pada salinan naskah pelantikan penguasa Sisse sebagai berikut: “Allah telah memberikan anugerah kekuasaan yang luas kepada kami dan telah menundukkan hati para penguasa di penjuru wilayah secara damai. Karena itu kami berjanji kepada Allah untuk tidak mengusir mereka, kami tidak menghalang-halangi jalan kemuliaan mereka, kami akan menghormati mereka, serta kami akan selalu memberikan perlindungan mereka. Hal ini kami lakukan karena bersyukur atas kekuasaan yang telah Allah berikan kepada kami seperti yang selama ini kami harapkan. Juga karena didadasarkan pada keyakinan bahwa sesungguhnya kekuasaan kami berada di genggaman-Nya kapan saja kami inginkan. Namun demikian, jika sekiranya ada seorang pengungsi yang masih menyimpan rasa dendam dan bahkan selalu bersikap memusuhi Islam, maka pengungsi tersebutlah yang berkewajiban untuk memelihara dirinya sendiri. Sebab seorang penjahat akan menanggung resiko atas kejahatan yang disembunyikannya dan orang yang melampaui batas akan menuai balasannya pada hari itu atau hari esoknya tergantung pada sikap permusuhannya pada masa lalunya”. Lihat al-Qalqasyandî, Subh al-A’syâ, op.cit., Jilid XIII, h. 267. Lihat pula, al-Qalqasyandî, Subh al-A’syâ, Jilid XIII, h. 534-535, yakni permintaan suaka Araghon dari Andalusia ke negeri para Khalifah Islam mengupayakan jaminan perlindungan di kawasan wilayahnya karena merasa tidak nyaman atas sikap dendam penduduk di bawah kekuasaannya. 114 terpaksa mencari suaka ke negara non-Muslim agar terhindar dari kemungkinan penganiayaan yang dapat menimpa mereka. Hal ini terjadi meskipun pada dasarnya ajaran Islam tidak diskriminatif dan dapat menampung, menerima dan melindungi hak pengungsi, serta memberikan rasa aman walau hanya berupa isyarat-isyarat atau ungkapan-ungkapan yang tidak difahami. Tidak diragukan lagi, hal mendasar itulah yang terabaikan atas para pengungsi Muslim tersebut sehingga mereka menempuh jalan itu. Akibatnya saat ini, sebagian negara-negara Islam yakni negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, menjadi negara yang berlaku sebaliknya. Sebagian warga negara Muslim pergi meninggalkan tanah airnya untuk memperoleh perlindungan di negara lain atau untuk mencari penghidupan. Dengan modus seperti ini, timbullah jenis pengungsi yang lain daripada yang sudah ada sebelumnya, yang mana Muslim mencari kewarganegaraan di negara lain tempat mereka mengungsi. Apakah hal seperti ini diperbolehkan menurut Syariat Islam? Hal ini akan dikemukakan pembahasannya pada uraian berikutnya. 151 151 Lihat uraian selanjutnya mengenai integrasi lokal orang Muslim di wilayah non-Muslim, halaman 232. 115

8. Mengungsi dengan cara diam-diam atau tanpa izin secara eksplisit