Penyatuan keluarga Klasifikasi suaka Pengaruh “Kedaulatan Negara” terhadap pemberian suaka

265 penduduk tetap atau keringanan proses naturalisasi.

9. Penyatuan keluarga

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, reunifikasi atau penyatuan anggota keluarga pengungsi diatur dalam Syariat Islam dan hukum internasional. Meskipun demikian, ada perbedaan pandangan antara dua sistem hukum tersebut. Dalam hukum internasional, suatu negara harus memfasilitasi penyatuan kembali anggota keluarga pengungsi dengan segala cara Pasal 74 Protokol Tambahan Pertama 1977 atas Konvensi Genewa 1949. Menurut Syariat Islam, haram hukumnya memisahkan anggota keluarga, maka implikasinya adalah adanya kewajiban untuk menghindari hal itu. Ketika mengomentari Hadis yang menyatakan: Siapa saja yang memisahkan seorang ibu dari anaknya, niscaya Allah akan memisahkan dirinya dari orang yang dicintainya pada hari kiamat kelak. Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi Seorang ulama Hadis terkenal, al-San’ani, mengatakan bahwa Hadis ini secara jelas melarang pemisahan antara ibu dan anaknya, tetapi larangan ini diperluas dengan analogi kepada semua sanak saudara lainnya berdasarkan hubungan pertalian saudara. 335 335 al-San’âni, Subul al-Salâm, op. cit, Jilid. 2 h. 494-495. 266

10. Klasifikasi suaka

Menurut Syariat Islam dan hukum internasional, suaka teritorial dan suaka diplomatik diakui dan bisa diberikan kepada yang membutuhkan. Akan tetapi, Islam menetapkan kemungkinan pemberian suaka keagamaan misalnya untuk mendengar kalam Allah atau masuk ke kawasan al-Haram. Sedangkan hukum internasional, sebagaimana didiskusikan sebelumnya, 336 tidak menjadikan agama sebagai landasan aturn-aturannya.

11. Pengaruh “Kedaulatan Negara” terhadap pemberian suaka

Konsep “kedaulatan” merupakan konsep politik yang mendasari hukum internasional kontemporer, dengan melihat masalah – masalah fundamental yang terkait. Kedaulatan termanifestasikan dalam 2 dua hal. Pertama, kedaulatan tertinggi terhadap orang-orang dan rakyatpenduduk di atas wilayah negara unsur kedaulatan yang ditujukan kepada personal imperium . Kedua, kedaultan negara atas segala sesuatu yang ada di wilayahnya unsur kedaulatan yang bersifat teritorial, dominium. Dengan demikian, semua orang dan segala sesuatu yang berada di atas wilayah negara tunduk kepada kedaulatan dan kekuasaan negara itu, 337 sesuai dengan asas hukum qui quid est in 336 Vide supra, h. 75-76 337 Kedaulatan termanifestasi dalam dua aspek. Aspek positif yaitu penggunaan semua tanda-tanda kedaulatan oleh suatu negara di seluruh wilayah teritorial darat, air, dan udaranya. Aspek negatif yaitu keengganan oleh negara-negara lain untuk melawan kedaulatannya. Lihat detilnya dalam komentar kami 267 territorio est etiam de territorio. Pada kenyataannya, eksistensi suatu negara dalam kerangka masyarakat internasional mengharuskan, dengan satu cara ataupun lebih, adanya batasan – batasan terhadap kedaulatan negara tersebut. Ini bukanlah hal yang tidak lazim karena realitas kehidupan internasional menunjukkan hal demikian. Keberadaan individu dalam suatu komunitas yang terorganisir negara mengakibatkan adanya pembatasan terhadap kebebasannya dalam bertindak, bahkan kebebasan ini terbelenggu pada sejumlah hal, dahulu, seorang individu boleh menggunakan haknya dengan tangan kekuatan-nya sendiri; demikian pula suku-suku berperang satu sama lain dalam upaya mereka untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka; dan semua itu telah usai pada era sekarang ini seiring dengan mantapnya kedaulatan dan kekuasaan negara atas wilayahnya. Demikian pula halnya dengan negara, di mana eksistensinya dalam masyarakat internasional masyarakat internasional modern atau dalam mengenai kasus aktivitas militer dan para militer di dan terhadap Nikaragua, Revue Egyptienne de Droit International, 1986, h. 364. Mahkamah Internasional telah bersidang sejak tahun 1949 mengenai kasus Corvu Channel h. 35 bahwa penghormatan terhadap kedaulatan teritorial di antara negara-negara merdeka merupakan dasar yang esensial dalam hubungan internasional. Lihat juga mengenai konsep kedaulatan, Ahmad Abû al- Wafâ, Arbitration and Adjudication of International Land Boundary Disputes, Mesir. DI, 1986, h. 145-147; Descamps, Le Droit International Nouveeau, RCADI, 1930, h. 439; Van Kleffens Sovereignty in International Law , RCADI , 1953 , 1 , h. 8; L’etat souverain à l’aube du Xxe siècle : SFDI, colloque de Nancy, Pedone, Paris, 1994, h.318. Instrumen-instrumen pokok dari organisasi-organisasi internasional secara umum menekankan prinsip- prinsip kedaulatan ini. Piagam PBB Pasal 2-1 menegaskan bahwa PBB didasarkan pada prinsip persamaan kedaulatan negara – negara anggotanya. The Charter of Organization of inter-American States pasal 5-B menegaskan bahwa “ketertiban internasional pada dasarnya dibangun atas penghargaan terhadap sifat, kedaulatan, dan kemerdekaan negara.” Piagam Organisasi Persatuan Afrika OAU Pasal 2-1 menegaskan bahwa “salah satu fungsi dari organisasi ini adalah untuk mempertahankan kedaulatan, integritas teritorial, dan kemerdekaan negara-negara Afrika.” Demikian halnya Mahkamah Hukum Internasional Laporan tahun 1986, paragraf 258, 263 merujuk kepada “prinsip dasar dari kedaulatan yang menjadi dasar semua hukum internasional.” 268 masyarakat terorganisir organisasi-organisasi internasional mengimplikasikan adanya pembatasan kedaulatan negara itu. 338 Indikasi pembatasan kedaulatan negara itu terlihat jelas manakala dikaitkan dengan isu suaka yaitu pada keharusan mentaati setiap negara terhadap prinsip-prinsip dasar suaka, terutama prinsip larangan pemulangan kembali non- refoulement. 339 Demikian pula, hal yang mutlak harus dipatuhi ialah keharusan negara melakukan pengaturan tata kelola urusan pencari suaka yang ditolak suakanya secara bertanggungjawab dan responsif.f 340 Namun demikian, sebagian negara terbukti, pada prakteknya, tidak melaksanakan prinsip aturan tersebut sebagaimana mestinya, seperti telah dibicarakan sebelumnya. Hal ini terbukti dari adanya sebagian negara yang membuat batasan-batasan untuk diterimanya pencari suakapengungsi, dan bahkan ada sejumlah negara yang memulangkan pencari suakapengungsi di daerah perbatasan. 341 338 Ahmad Abû al-Wafâ, al-Wasît fî al-Qûnûn al-Dauliy, op cit, h. 414. 339 Oleh sebab itu ditegaskan bahwa, perlindungan terhadap pengungsi pada dasarnya merupakan tanggung jawab negara. Negara-negara penandatangan Konvensi tahun 1951 memiliki kewajiban hukum di bawah syarat-syarat Konvensi ini dan harus mengaplikasikan syarat-syarat tersebut tanpa diskriminasi atas dasar ras, agama, atau negara asal dan menghormati prinsip-prinsip perlindungan, seperti non-refoulment larangan pemulangan kembali dan non-expulsion larangan pengusiran yang juga diawasi oleh negara-negara yang tidak menandatanganinya. Lihat Refugee Protection: A field Guide for NGOs, Kairo: UNHCR dan mitra LSM, 2000, h. 22. 340 Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees, adopted by the Executive Committee of the UNHCR Programme, No. 62, h. 151. 341 Sebagian negara tersebut menerbitkan peraturan perundang-undangan dan peraturan administrasi untuk membatasi masuknya pengungsi ke negara yang bersangkutan. Peraturan administrasi ini dijadikan landasan dalam pemberian kewenangan yang luas kepada para penjaga perbatasan untuk mencegah masuknya 269 Menurut Syariat Islam, seperti telah dikemukakan terdahulu, kedaulatan negara Islam dibatasi dengan sejumlah hal, terutama perihal penerimaan pencari suakapengungsi dan tata perlakuan terhadapnya. Diantara hal tersebut ialah: a. Keharusan memberikan suaka kepada setiap orang yang membutuhkan bantuan atau yang menghadapi risiko penganiayaan atau penyiksaan; b. Keharusan menerima pencari suakapengungsi yang datang untuk tujuan mendengar kalam Allah; c. Keharusan mengantarkan pengungsi ketempat yang aman apabila hak atas suakanya hilang atas alasan – alasan yang disebut diatas dan seiring dengan itu, larangan pemulangan para pencari suaka. Demikian pula, adanya pengenaan denda yang berjumlah besar kepada perusahaan penerbangan dan perusahaan lainnya yang terlibat dalam kerja pengangkutan para pencari suaka yang tidak membawa dokumen-dokumen penting yang otentik, mengakibatkan mereka terhalang memasuki negara yang dituju. Lihat M.Fullerton, Restricitng the Flow of Asylum Seekers in Belgium, Denmark, the Federal Republic of Germany and Netherlands: New Challenges to the Geneva Convention relating to the Status of Refugees and the European Convention on Human Rights, Virginia: Journal of International Law, 1988 Vol. 29, 1988, h. 33- 114. Ph. De Bruycker, La Comptabilite de Legislation Belge Avec le Droit International, RBDI, 1989, h. 201-225. Symposium, Refusing Refugees, Political legal Barriers to Asylum, Cornell ILJ, 1993, Vol.26, h. 495-770 Symposium, Refugee Law and Policy, Virginia JIL, 1993, Vol. 33, h. 473-526. Patut menjadi catatan, Asosiasi Hukum Internasional International Law Association, setelah mengadopsi, pada tahun 1986, Deklarasi tentang Pengusiran Massal Putaran 62 Seoul juga mengadopsi, pada tahun 1992 di Kairo, Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional terkait Pemberian Kompensasi kepada Pengungsi. Di dalam deklarasi ini dinyatakan bahwa negara yang memaksa seseorang untuk berpindah ke status pengungsi, berarti melakukan perbuatan melawan hukum menurut hukum internasional; dan bahwa yang demikian itu dapat dianggap sebagai pemusnahan ras apabila hal itu dilakukan dengan maksud pemusnahan massal atau pemusnahan sekelompok bangsa, ras atau agama tertentu; dan negara tersebut harus bertanggung jawab atas pengusiran pengungsi dengan: i menghentikan perbuatan tersebut; ii pengembalian status seperti semula sebelum terjadinya tindakan itu; iii memberikan kompensasi ketika pengembalian status tersebut mustahil untuk dilakukan; iv memberikan jaminan agar tidak terulang lagi tindakan tersebut; dan v menerapkan prosedur persangkaanpenuduhan sesuai yang diatur dalam perundang-undangan nasional lihat teks deklarasi pada h. 157-159, AJIL, 1953. Patut dikemukakan bahwa PBB menyetujui, dalam Resolusi No. 4170 1986 hak pengungsi untuk dikembalikan dengan jaminan kebebasan dan perlindungan ke negaranya; demikian pula, hak mereka untuk memperoleh kompensasi yang wajar manakala mereka tidak mau dipulangkan ke negaranya. Ada juga pendapat ahli yang menyatakan bahwa sebagian pengungsi tidak saling mengenal sehingga mereka tidak disukai. Lihat A. Harper, Iraq`s Refugees, Ignored and Unwanted, IRRC, Vol. 90, No. 869, 2008. 270 pencari suakapengungsi ke daerah dimana dikhawatirkan mereka akan mengalami penyiksaan; 342 dan d. Penghormatan penguasa di negara-negara Islam terhadap suaka yang diberikan individu atau orang biasa. 343 342 Ada suatu pendapat yang membedakan antara ijârah perlindungan yang diberikan terhadap “risiko penyerangan yang ditakuti pencari suaka di tempat ia tinggal, baik secara permanen ataupun sementara” dan al-lujû`perlindungan dari rasa takut terhadap penganiayaaan di negara asal yang telah ditinggalkannya. Sementara tempat dimana dia tinggal sekarang aman dan oleh sebab itu dia memilihnya sebagai tempat suaka dan tempat tinggal sementara. Lihat Ahmad al-Khamlisyi , Mâ dzâ Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’ât al- Dauliyyah al-Khassah bi al-Lâji’în, op cit, h. 12. Pendapat yang sama juga menetapkan bahwa tidak boleh menjadikan ayat al-Qur’an Q.S. al-Taubah9:6 sebagai landasan hak suaka dalam Syariat Islam. Pendapat tadi berargumen bahwa jika seorang kafir mencari perlindungan dari adanya bahaya di negara yang kebetulan didatanginya yaitu wilayah pemberi suaka, sementara di domisili aslinya bukan negara Islam dia merasa aman. Konsep ini ditegaskan oleh ayat ini dengan memerintahkan orang kafir tersebut diantarkan ke tempat dimana dia merasa aman asal domisilinya. Jadi jika seorang pengungsi berada dalam bahaya di negaranya sendiri, dia memperoleh perlindungan di negara pemberi suaka. Ayat ini juga memberlakukan “pemberian perlindungan” dan bukan “pemberian suaka” sebagaimana berlaku dalam terminologi masa kini.” Lihat Ahmad al-Khamlisyi, , Mâ dzâ Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’ât al-Dauliyyah al-Khassah bi al-Lâji’în, h. 12-13. Sebenarnya kami tidak setuju dengan pendapat ini dengan alasan-alasan sebagai berikut: Pertama, ayat ini mengandung kata yang umum, tidak secara khusus diperuntukan bagi perpindahan seseorang dari suatu tempat di mana dia merasa tidak aman ke tempat lain di mana dia merasa aman.. Point pertama ini dapat didasarkan kepada dua proposisi. Imam al-Zarkasyi berpendapat bahwa di dalam ayat ini terdapat isim nakirah kata benda tak tertentu dalam kalimat bersyarat, Lihat al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Kairo: al-Bâb al-Halabiy, Edisi II. Jilid. 2 h. 6. Aturan umumnya adalah “klausul umum meliputi semua yang ada di bawahnya tanpa pembatasan”. Lihat, al-Suyûtiy, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, tahqîq Muhammad Abû al- Fadl Ibrâhîm, al-Turast House, Kairo, Jilid. 3, h. 22-23. Kedua, penyampaian jaminan perlindungan dikemukakan secara umum, di mana mencakup tempat asal pengungsi atau tempat lain di mana saja ia dapat memperoleh perlindungan.. Ketiga, , penyampaian jaminan perlindungan dalam ayat, mengandung arti bahwa jika seorang pengungsi ingin pulang kembali, dia harus diantarkan ke tempat aman. Jika dia ingin tinggal di negara Islam, dia harus diterima dan tidak boleh dipaksa pulang kembali. Sama juga bila dia ingin pergi ke suatu tempat selain negara asalnya, dia harus diantarkan ke tempat aman. Keempat, para ahli Syariat Islam menggunakan istilah “istijârah” dalam pengertian umum, tidak membatasinya pada satu syarat atau satu tempat saja. Dalam hal ini al-Imam al-al-Baidawi berkata, “Merupakan kebiasaan dari seorang pencari suaka mostajer, untuk memegangi ekor atau kerah baju dari para pemberi suaka sebagai suatu tanda kebutuhan yang berlebih terhadap perlindungan.” Lihat, al-Ahâdits al-Qudsiyyah, Kairo: Majelis Umum untuk Urusan Islam, 1402 H1981, Jilid. 1-2, h. 117. 343 Ada satu opini yang berpendapat bahwa ada perbedaan yang jelas a di masa lalu dan masa kini tentang kelayakan pemberian suaka. Tidak lagi dapat diterima, baik di dalam maupun di luar fikih Islam, bahwa hak suaka dapat diberikan oleh individu, karena hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip yang mengatur masyarakat politik. Ahmad al-Khamlisyi, Mâ dzâ Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’ât al-Dauliyyah al- Khassah bi al-Lâji’în, ibid, h..23. Kami tidak setuju dengan pendapat ini dengan alasan, sebagai berikut. Pertama, dari sisi muatan isinya, opini ini bertentangan dengan Hadis Nabi, “ Muslim itu sederajat; yang terendah dari mereka bisa memberikan perlindungan dan menjalankan dzimmah perlindungan yang diberikan oleh orang Muslim yang lain dan mereka bersatu melawan musuh.” Ini berarti bahwa setiap orang Muslim bahkan dari kalangan bawah berhak untuk memberi suaka. Kedua, dari segi rasionalisasinya, kami tidak setuju dengan alasan yang dipergunakan untuk membenarkan aturan tersebut, yakni bahwa praktik semacam itu “bertentangan dengan prinsip-prinsip yang membentuk masyarakat politik”, ini adalah alasan yang tidak dapat diterima karena sejak kemunculan negara Islam, sepanjang hidup Rasulullah SAW dan sesudahnya, sudah ada suaka yang diberikan oleh individu atau individu berhak untuk memberi suaka meskipun ada prinsip-prinsip yang membentuk masyarakat politik. Seiring dengan itu, kami berpendapat bahwa penguasa negara Islam bisa mengatur masalah ini menurut pola 271 PENUTUP A. Catatan Penutup Syariat Islam telah menetapkan aturan - aturan dan dasar - dasar yang aplikatif dan dapat diterima dalam perihal hak suaka, baik itu dalam tataran normatif maupun substantif dalam bentuk surat, kata, dalam pengalaman dan perbuatan. Apa yang ditetapkan Syariat Islam tersebut perlu mendapat perhatian dan penekanan dan menjadi kewajiban bagi kaum Muslim. 344 Arti penting dari hak suaka jelas terlihat dan tidak diragukan oleh siapapun. Sebab, pemenuhan hak suaka, melalui pemberian suaka, adalah unsur yang akan melengkapi hak asasi manusia secara keseluruhan, begitupun jika tidak dilaksanakan dalam situasi dan kondisi tertentu akan mengabaikan pelaksanaan hak asasi manusia secara menyeluruh. 345 Al-Qur’an secara eksplist menetapkan bahwa siapa saja yang memberikan tempat perlindungan kepada orang yang bermigrasi yang mencari perlindungan di tempat ia tinggal, maka ia adalah Mukmin sejati. Mengenai hal ini, al-Qur’an menyatakan: yang sesuai dengan kemaslahatan negara Islam. Hal ini masuk dalam kerangka kekuasaan penguasa dalam mengatur perkara yang dibolehkan mubâh dan tugasnya dalam mewujudkan kemaslahatan negara Islam. 344 Dikatakan: “Dans l Islam, l asile est un devoir tout d abord du persecute, qui est oblige de fuir dans le cas ou il ne peut resister a l oppression, puis ensuite, une obligation pour tous les musulmans de proteger la personne qui cherche asile.” Lihat dalam L Asile et les Refugies dans la Tradition Musulmane, op cit, h. 322. 345 Dalam kaitan ini, Deklarasi Cotonou, Benin 2004 menyatakan bahwa tidak ada satu negara pun yang terhindar dari risiko menghasilkan atau menerima sejumlah aliran pengungsi; dan karena itu upaya melindungi pengungsi merupakan tugas bersama semua negara dan merupakan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang bersifat mendasar. Lihat dalam Collection of International Instruments and Legal Texts Concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Vol. 3, op cit, h. 102. 272 Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang- orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan kepada orang-orang Muhajirin, mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Q.S. al-Anfâl8:72. Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan kepada orang-orang muhajirin, mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Q.S. al-Anfâl8:74. Migrasi hijrah dalam terminologi hukum internasional kontemporer sama dengan suaka teritorial, yakni relokasi dari suatu daerah ke daerah lain, dari daerah dimana seseorang merasa khawatir atas keselamatan jiwa, keluarga, dan harta kekayaannya ke daerah di mana dia memperoleh jaminan keamanan dan perlindungan. Seorang Muslim yang memberikan perlindungan kepada pengungsi atau migran dianggap sebagai orang Mukmin sejati karena ia telah mengamalkan aturan-aturan dan prinsip- prinsip dalam Syariat Islam. Kata hâjara dalam bahasa Arab berarti meninggalkan negara atau tanah airnya, seperti halnya kata tuhâjirû fîhâ, yang berarti pindah dari dâr al-fitnah wilayah dimana terjadi pelanggaran menuju dâr al-amân wilayah yang menjamin perlindungan. 346 Hal ini dinyatakan dalam ayat al- Qur’an berikut: Para Malaikat berkata, Bukankah bumi Allah itu luas sehingga 346 Lihat dalam Mu’jam Alfâz al-Qur’ân al-Karîm, Jilid. 2, h. 1141. 273 kamu dapat hijrah di bumi itu?. Q.S. al-Nisâ’4:97 Dan dalam al-Anfâl8:74.

B. Pandangan ahli hukum non-Muslim