181
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan
. Q.s al-Isrâ 17:70.
Istilah anak-anak keturunan Adam bersifat umum dan
bukan istilah khusus untuk umat manusia, mencakup Muslim dan non-Muslim, tanpa membedakan ras, bangsa atau agama,
terlepas dari apakah mereka pengungsi atau bukan.
9. Larangan pemaksaan perpindahan agama terhadap orang
non-Muslim
Hal ini didasari oleh kalam Allah: Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam, karena telah
jelas antara petunjuk dengan kesesatan. Q.S. al- Baqarah2:256.
Di dalam kitab tafsirnya, setelah menyebutkan bahwa Allah
telah mengemukakan dalil-dalil ajaran tauhid atau monoteisme secara jelas dan mematahkan alasan yang menyanggah dalil-
dalil tersebut, al-Razi menyatakan “Maka sesungguhnya tidak ada lagi alasan bagi orang kafir untuk mempertahankan
kekafirannya”; tidak ada pilihan lain kecuali orang kafir itu mengaku beriman atau ia dipaksa untuk itu. Namun pemaksaan
itu tentu tidak boleh dilakukan di dunia ini, karena kehidupan di dunia ini adalah tempat ujian. Sementara memaksa seseorang
182
untuk memeluk suatu agama berarti menafikan makna ujian tersebut. Hal ini didasarkan kepada kalam Allah:
“…barangsiapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir.” Q.S. al-
Kahfi18:29.
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu
hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang- orang yang beriman semuanya? Q.S.Yûnus10:99.
Boleh jadi kamu Muhammad akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman. Jika Kami kehendaki niscaya
Kami menurunkan kepada mereka mukjizat dari langit, maka senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya. Q.S. al-
Syu’arâ’26:3-4.
Al-Qâsimi menyebutkan bahwa Allah SWT tidak
memberlakukan perintah iman dengan cara paksaan dan tekanan, tetapi Dia memerintahkannya melalui pemberian
kapasitas akal dan pemberian pilihan.
229
Di dalam kitab al- Siyar al-Kabîr dijelaskan bahwa kekafiran, meskipun termasuk
tindak dosa yang paling besar, tetapi merupakan urusan antara hamba dan Tuhannya. Balasan terhadap dosa ini ditunda sampai
datangnya Hari Kiamat nanti. Sementara, adanya peperangan antara agama di dunia saat ini terjadi atas dasar kepentingan
229
Lihat Tafsîr al-Imâm al-Râzi, Jilid II, h. 319; dan Alkiyâ al-Harrâsi, Ahkâm al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Kutub al-Haditsah, 1974, Jilid I, h. 339.
183
manusia
230
Artinya, sebenarnya tidak ada paksaan dalam memeluk agama, namun perang terjadi karena keinginan untuk
memperoleh kemanusiaan atau kekuasaan oleh manusia itu sendiri, dan hal – hal tersebut muncul sebagai agresi dan
tindakan penganiayaan yang dikaitkan dengan masalah agama. Al-Qur’an itu sendiri menekankan bahwa banyak manusia
berpegang kepada agamanya namun akan dihakimi nanti pada Hari Kiamat, sebagaimana kalam Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-
orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu. Q.S. al-Hajj22:17.
Dialah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan. Q.S. al-Tagâbun64:2.
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh- bunuhan orang-orang yang datang sesudah rasul-rasul itu,
sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang
beriman dan ada pula di antara mereka yang kafir. Q.S.al- Baqarah2:253.
Prinsip-prinsip tersebut berlaku pula terhadap pengungsi. Disini kita menyebutkan 3 tiga contoh:
230
Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâni, Syarh Kitab Siyar al-Kabîr, Heiderabad al-Dakan: t.np., t.th., Jilid III, h. 182.
184
Pertama: Contohnya Musa bin Maimun, seorang pemeluk Yahudi yang tinggal di Andalusia Spanyol, dan pernah
dipaksa untuk masuk Islam, sehingga ia hidup sebagai Muslim, tapi dalam hati tetap berpegang pada agama Yahudi. Kemudian
ia lari ke Mesir dan tinggal di kota Fustat dengan kelompok orang yang sama keyakinannya dan ia menampakkan
agamanya. Tatkala Abul Arab, seorang ahli hukum Andalusia, singgah di Mesir, ia menginterogasi Musa bin Maimun perkara
kepindahan agamanya ke Islam, bahkan ia memiliki tujuan untuk menyakitinya. Namun Qadhi al-Fadhil mencegahnya
seraya berkata kepadanya: “Seseorang yang dipaksa tidak sah ke-Islamannya menurut Syariat Islam.”
231
Kedua: Dalam surat Khalifah al-Ma’mun kepada Constantin, Kaisar Byzantium Romawi Timur, ia meyatakan:
“Demi Allah, seandainya orang-orang sebelum kamu, yakni
231
Ibn al-Ibry, Tarîkh Mukhtasar al-Duwal, Beirut: Dâr al-Musayyarah, t.th., h. 239. Oleh karena itu, dikatakan bahwa seseorang yang tidak boleh dipaksa masuk Islam seperti orang non-muslim dzimmiy dan
orang non-muslim musta’min; jika dipaksa masuk Islam, maka keislaman mereka tidak sah kecuali ada pertanda bahwa mereka dengan rela hati memeluk Islam, misalnya dia secara rela hati menyatakan masuk Islam
usai berlalunya pemaksaan itu; sehingga, apabila dia wafat sebelum pernyataan masuk Islamnya dengan rela hati itu terjadi maka dia dihukum sebagai orang yang wafat dalam keadaan kafir.
Ibn Qudâmah pun berpendapat bahwa tindakan memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak boleh dipaksakan, yakni berpindah agama menjadi Islam, maka secara hukum, keislamannya
itu tidak diakui, sama saja seperti seorang Muslim yang dipaksa untuk keluar dari agama Islam. Dalil dilarangnya pemaksaan ini ialah kalam Allah: “Tidak ada paksaan untuk memeluk Islam”. Para ulama telah
bersepakat bahwa orang non-Muslim dzimmiy dan orang non-Muslim musta’min yang telah menepati perjanjian, maka tidak boleh dibatalkan perjanjiannya itu dan tidak boleh pula memaksanya untuk melakukan sesuatu yang
tidak mengikatnya, karena pemaksaan demikian merupakan pemaksaan atas sesuatu yang dilarang untuk dipaksa sehingga secara hukum, tidak berlaku kepadanya apa yang dipaksakan itu. Lihat Ibn Qudâmah, al-
Mugni dan al-Syarh al-Kabîr, Jilid X, h. 104-105.
Demikian juga, William al-Sûriy berpendapat bahwa umat Islam, ketika memerintah Jerusalem, mempersilahkan penduduk Jerusalem untuk membangun kembali gereja-gereja mereka yang rusak dan
melaksanakan perayaan-perayaan agama mereka sebagaimana telah dilakukan pada masa-masa sebelumnya, serta mengizinkan para Uskup untuk tinggal dan memeluk agama Kristen tanpa pembatasan sedikitpun. Lihat
William al-Sûriy, al-Hurûb al-Salîbiyyah, alih bahasa Hasan Habasy, Kairo: al-Hai’ah al-Misriyyah al-Âmmah li al-Kitâb, 1991, Jilid I, h. 65-66.
185
orang-orang fakir miskin, para petani, orang lemah, dan para pekerja mengetahui apa yang menjadi hak-hak mereka dari
Khalifah, maka pasti mereka mendatangi Khalifah untuk menuntut hak akan tempat tinggal, hak atas lahan tanah yang
memadai, hak memperoleh air, hak akan perlakuan yang adil semaksimal mungkin. Khalifah akan memperlakukan mereka
dengan kasih sayang, kepedulian dan berbuat baik kepada mereka serta memberikan kebebasan pribadi dan beragama
mereka, tidak memaksa mereka berpindah ke agama yang tidak mereka inginkan. Demi Allah, apabila mereka mengetahuinya,
pasti mereka mendekat kepada Khalifah dan berlindung kepadanya Khalifah al-Ma’mun, bukannya kepadamu Raja
Romawi.
232
Ketiga: al-Qarafy pernah berkata mengenai kaum non- Muslim dzimmiy: “Barangsiapa bersikap memusuhi atau
membantu permusuhan terhadap kaum non-Muslim dzimmiy, walau hanya sekedar dengan kata-kata buruk atas
kehormatannya atau melakukan bentuk tindakan lain yang menyakitinya, maka sungguh telah ia sia-siakan jaminan
keselamatan dari Allah, Rasul-Nya dan dari agama Islam.”
233
232
Ahmad Farid Rifâ’i, ‘Asr al-Ma’mûn, Kairo: Maktabah Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1346 H1928 M, h. 235-236.
233
al-Qarafî, al-Furûq, Beirut: `Âlam al-Kutub, t.th, Jilid III, al-Farq 119 h. 14. Lihat pula perihal kewajiban berbuat baik, dan membantu pemenuhan kebutuhan mereka, dan sebagainya. h. 15. Termasuk dosa
besar adalah tindakan menyakiti tetangga meskipun ia seorang non-Muslim dzimmiy dan juga tindakan penzaliman oleh, penguasa, hakim, dan yang serupa dengan mereka terhadap orang Muslim atau orang non-
Muslim dzimmiy, dengan cara seperti pengambilan harta mereka, pemukulan, penghinaan, dan sebagainya. h. 522. Lihat Ibn Hajar al-Haitamî, al-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâir, Kairo: Dâr al-Syuab, 1400 H1980 M, h.
186
10. Peradilan Islam menghormati hak-hak pengungsi non- Muslim