166
Sementara itu, dalam sejarah hidup Nabi, terdapat suatu praktek yang mengharuskan kaum Muslim untuk tidak memisah-
misahkan anggota keluarga seseorang. Dalam konteks hak suaka, agaknya telah dipahami bahwa,
kebersatuan keluarga adalah sesuatu yang diberikan, misalnya dalam kasus “status derivatif”, dalam mana apabila status
pengungsi diberikan kepada seseorang yang memenuhi persyaratan pengungsi, status tersebut diperluas juga
pemberlakuannya bagi anggota keluarga lainnya yang berada dibawah asuhannya atau mengikutinya yang disebut sebagai
tanggungan yaitu pasangan dan anak – anak dibawah 18 tahun. Perlu dicatat, bahwa tanggungan yang memenuhi syarat sebagai
pengungsi dapat diberikan status sendiri, selain melalui status derivatif.
210
3. Harta kekayaan pengungsi
A. Menurut Syariat Islam
Dalam Syariat Islam, harta kekayaan pengungsi dijamin keamanannya dan tidak boleh diganggu atau direbut diluar
keinginan pemiliknya atau dipergunakan secara sembarangan. Terkait dengan status seorang musta`min orang non Muslim
210
Lihat informasi pencari suaka dan pengungsi di Mesir, UNHCR Kantor Perwakilan Regional Mesir, November 2005, h. 38. Lihat pula Direktif No. 862003 M, diterbitkan oleh Uni Eropa, tentang Penyatuan
Keluarga, dalam Collection of International Instrument and Legal Texts concerning Refugees and others of Concern to UNHCR, op. cit, Vol. IV, h.1682-1690. Lihat pula Collection of International Instrument and Legal
Texts concerning Refugees and others of Concern to UNHCR, Rekomendasi 23 99 oleh Dewan Menteri Eropa, h.1409.
167
yang tinggal di kawasan Negara Islam, Imam al-Nawawi mengatakan: ”Jika ada seorang kafir memasuki Negara Islam
dengan aman atau dengan jaminan keamanan, maka harta, anak-anaknya dan keluarga yang bersamanya dijamin
keamanannya. Tetapi tidak harta, anak – anak dan keluarganya yang ia tinggalkan di negara non-Muslim.” Dalam kondisi itu,
harta milik orang kafir bisa dianggap sebagai harta rampasan perang dan anak keturunannya bisa ditahan sebagai tawanan
perang. Penulis kitab al-Hawi al-Mawardi mengemukakan, jika seorang kafir diberikan ‘aman’ secara umum, maka dirinya,
hartanya dan saudaranya akan menerima perlindungan, namun jika ia hanya diberikan ‘aman’ secara khusus, maka hanya
dirinya yang menerima perlindungan, tapi tidak harta dan saudaranya.Mayoritas kaum ulama fikih berpendapat bahwa
terkadang perlu dibedakan antara perlindungan yang diberikan kepada pemilik dan perlindungan terhadap harta yang
dimilikinya. Oleh sebab itu jika ada seorang Muslim memasuki wilayah non-Muslim dengan aman perlindungan, lalu ada
seorang kafir harbiy non-Muslim yang memberikan sejumlah uang kepada yang Muslim tersebut untuk membeli berbagai
keperluan, maka uang atau harta yang diberikan itu harus tetap dijamin aman tidak digunakan hingga uang tersebut
dikembalikan kepada sang pemilik uang tersebut kafir harbiy meskipun sang pemilik tidak memiliki perlindungan. Demikian
168
halnya jika harta itu diberikan kepada seorang kafir dzimmiy yang memasuki wilayah non-Muslim dalam kondisi memiliki
perlindungan. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, pendapat lain mengemukakan bahwa harta yang diberikan itu tidak
mendapatkan perlindungan. Karena perlindungan kafir dzimmiy tersebut batal secara hukum. Pendapat yang pertama adalah
pendapat yang lebih kuat dan populer karena seorang kafir harbiy telah meyakini kebenaran perlindungan tersebut
sehingga harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya kafir harbiy.
211
Seorang hakim Agung, al-Baidhawi mengemukakan bahwa jaminan keamanan bagi warga non-Muslim itu meliputi apa
yang ada bersamanya berupa keluarga dan hartanya, meskipun aman tersebut diberikan secara umum, sebab orang tersebut
telah meninggalkan segala kepunyaannya yang pastinya dapat
211
al-Nawâwî, Raudat al-Tâlibîn, Jilid X, h. 289. Di kalangan mazhab Maliki dikemukakan bahwa jika di antara kami ada seorang non-Muslim kafir harbiy yang berhasil masuk ke wilayah kami dengan aman, lalu
ternyata ia meninggal dan meninggalkan sejumlah harta, maka harta tersebut tidak boleh dianggap sebagai fa`i atau rampasan perang, melainkan harus dikembalikan kepada ahli warisnya. Bahkan Imam Malik pernah ditanya
oleh seseorang mengenai seorang kafir harbiy yang berhasil memasuki kawasan negara Islam secara aman, lalu dibunuh oleh seorang Muslim, beliau menjawab bahwa diat ganti rugi orang yang dibunuh itu harus dibayar
oleh si pembunuh kepada ahli warisnya yang ada di negara non-Muslim. Dalam hal ini Ibn al-Qasim berkomentar bahwa hal ini menunjukkan bahwa harta yang dimiliki oleh seorang kafir harbiy itu menjadi hak
milik ahli warisnya. Ibn al-Qasim berkomentar bahwa sejauh yang diketahuinya, ia tidak mengetahui adanya pendapat Imam Malik yang lain, kecuali pendapat yang mengatakan bahwa si pembunuh dalam kasus ini juga
harus memerdekakan budak dan menyerahkan hartanya dan ganti ruginya kepada pemerintah dari kalangan kafir harbiy tersebut, seperti layaknya jika ia dibunuh di negaranya sendiri. Lihat Syahnûn al-Tanûkhî, al-
Mudawwanah al-Kubrâ fî Fiqh al-Imâm Mâlik, Beirut: Dâru Sadir, Mesir: Matba’ah al-Sa’âdah, 1323 H, Jilid II, h. 24. Demikian halnya dikemukakan bahwa seorang Muslim tidak berhak mengambil harta orang non-
Muslim, jika ia mati, ia juga tidak berhak mengambil diatnya jika ia terbunuh, melainkan seluruh hartanya harus dikembalikan kepada ahli warisnya di negaranya. Lihat al-Khattâb, Mawâhib al-Jalîl bi Syarh Mukhtasar
Khalîl, Kairo: Dâr al-Fikr, 1398 H 1978 M, Jilid III, h. 363.
169
membahayakan dirinya, karena hal – hal tersebut adalah pokok dan penting untuk kehidupannya.
212
Sejalan dengan ketentuan yang telah disebutkan di atas, jelas bahwa kekebalan atau imunitas tidak berlaku bagi
berbagai macam harta benda yang tidak dibawa oleh seorang pengungsi baik itu berupa benda, harta atau anggota keluarga.
Demikian halnya seluruh harta benda dan anggota keluarga yang ditinggalkan di negara non-Muslim, kecuali jika mereka
masuk ke sebuah negara Islam. Oleh sebab itu hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh al-Imam al-Qurtubi bahwa
”Barang siapa non-Muslim yang keluar dari kawasan konflik dan menuju kepada kami kawasan Muslim dengan tujuan
meminta suaka, maka kami tidak bisa memberikan perlindungan sedikitpun kepada harta, benda dan sanak saudara
atau anak dari yang bersangkutan, yang ditinggalkannya di negara non-Muslim asalnya.”
213
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa kekebalanimunitas terhadap harta kekayaan seorang pengungsi mencakup 3 tiga
aspek penting berikut:
Aspek positif : yaitu harta kekayaan pengungsi yang
dibawanya akan dijaminkan keamanan sebagaimana adat kebiasaan yang berlaku dan juga seperti apa yang dikemukakan
212
al-Baidâwî, al-Gâyah al-Quswâ fî Dirâyah al-Fatwâ, tahqîq ‘Alî Muhyiddîn Dâghî, Kairo: Dâr al- Nasr li al-Tibâ’ah al-Islâmiyyah, 1982, Jilid II, h. 953.
213
Abû ‘Amr bin ‘Abdul Barr al-Namri al-Qurtubî, Kitâb al-Kâfî fî Fiqh Madzâhib al- Madînah al- Mâliki, Riyadh: Maktabah Riyâd al-Hadîtsah, 1400 H1980 M, Jilid 1.
170
oleh al-Baidhawi bahwa kekayaan tersebut dianggap sebagai kebutuhan yang sifatnya pokok.
Aspek negatif: yaitu jaminan keamanan tidak berlaku bagi
harta benda dan berbagai macam kekayaan yang ditinggalkan oleh seorang pengungsi di negaranya, mengingat peraturan
perundang – undangan yang berlaku terikat teritori dan tentu saja karena batas kewenangan negara Islam tidak bisa
menjangkau batas wilayah negara lain.
Aspek praktis: jaminan perlindungan berlaku bagi anggota
keluarga seorang pengungsi yang datang bersama mereka. Sebab mereka dianggap sebagai para pengikut atau tanggungan
termasuk juga dalam hal ini ada jaminan keamanan bagi harta benda pengungsi, tetapi tidak bagi anggota keluarga yang
masih tinggal di kawasan non-Muslim yang ditinggalkannya.
B. Menurut Hukum Internasional