115
8. Mengungsi dengan cara diam-diam atau tanpa izin secara eksplisit
Para ahli ulama fikih mengemukakan suatu kajian terkait suaka secara diam-diam, atau suaka individu-individu tanpa
izin. Mereka mengungsi secara sembunyi-sembunyi tanpa izin dari negara Islam atau wilayah yang mengikuti negara
Islam untuk memasuki wilayahnya. Dalam hal ini para ahli fikih dari kalangan mazhab Maliki
mengemukakan pendapat bahwa sekiranya para calon pencari suaka politik ini bersedia diperlakukan seperti warga negara
yang berstatus dzimmiy, maka mereka akan diperbolehkan. Akan tetapi, jika mereka enggan untuk menjadi warganegara
yang berstatus dzimmiy, maka seorang kepala negara Islam bisa mengirim mereka ke negara yang aman.
152
Dapat
152
Menurut Ibn Rushd, dalam kitab al-Bayân wa al-Tahsîl terdapat informasi sebagai berikut: Yahya berkata: ”Saya bertanya kepada Ibnu al-Qasim apabila ada orang – orang yang mencurigakan dari kalangan
musuh yang keluar dari negaranya menuju ke kawasan negara Islam dengan tanpa izin, maka tatkala mereka tertangkap di negara Islam atau di daerah perbatasan antara orang-orang Islam dan musuh, ketika mereka sedang
menuju ke Negara Islam, mereka hendak pindah ke negara Islam bukan dalam suasana perang atau dalam rangka mencari kesempatan untuk menangkap, mengambil yang diinginkannya, sementara mereka hanya
berkeinginan untuk tinggal di kawasan negeri Islam, secara bebas, tanpa kewajiban membayar jizyah, dengan demikian apakah mereka dapat diperlakukan sebagai orang bebas atau akan dikenakan jizyah? Apakah bila
mereka diterima, kepala negara akan menetapkan jizyah kepada mereka, dan jika mereka ditolak, maka mereka akan dikembalikan ke wilayah aman dan tidak boleh diganggu kehormatannya?. Ibn al-Qâsim berkata “Jika
pada saat mereka keluar dari negaranya dan masuk ke negara Islam mereka telah diperintahkan untuk membayar jizyah, maka kepala negara Islam wajib menerima mereka dengan ketentuan mereka membayar jizyah. Kepala
negara tidak boleh menjual mereka sebagai budak atau mengirim ke tempat lain. Lebih lanjut Ibn al-Qâsim berkata, seorang kepala negara Islam bisa saja menetapkan hukum berdasarkan wewenangnya terhadap kasus
seseorang dari negeri musuh yang masuk tanpa izin sesuai dengan pertimbangan nalar sehatnya. Jika sekelompok orang yang kapalnya rusak dan terdampar di tertangkap lalu mereka ditangkap oleh orang Muslim,
lalu mereka menyatakan bahwa mereka tidak sengaja masuk ke negeri Muslim, maka imam atau kepala negara dapat menjual mereka sebagai budak, atau menempatkan mereka dalam posisi-posisi tertentu untuk
kemaslahatan umum. Dalam hal ini, Yahya bertanya kembali apakah tawanan seperti ini boleh dibunuh saja? Ibn al-Qâsim menjawab: “Tidak, saya tidak setuju dengan pendapat yang membolehkan untuk membunuhnya,
dan saya juga pernah bertanya kepada Imam Malik apakah tawanan seperti ini boleh dibunuh. Beliau menjawab tidak boleh, kecuali ada kekhawatiran bahwa mereka akan menimbulkan bahaya besar. Jika ada indikasi akan
menimbulkan bahaya besar, maka mereka boleh dibunuh. Jika ada di antara sejumlah tawanan perang ini
116
dikatakan bahwa sesungguhnya melalui pendekatan ini, Syariat Islam berbeda dengan praktek dan ketentuan umum,
yang saat ini diikuiti sebagian Negara, yang memberlakukan hukuman keras bagi warganegara asing yang masuk ke
sebuah negaranya tanpa dilengkapi dokumen resmi.
9. Suaka tidak dengan sukarela kemauan sendiri