256
negara-negara lain. Patut dicatat bahwa Komite Eksekutif Program UNHCR,
melalui Konklusi No.12 tentang Pengaruh yang Bersifat Teritorial untuk Menentukan Status Pengungsi, mengatakan bahwa
sejumlah ketentuan aturan dalam Konvensi 1951 memungkinkan seorang pengungsi yang tinggal di dalam suatu negara pihak,
untuk menggunakan hak-hak tertentu sebagai seorang pengungsi di negara pihak yang lain; dan bahwa penggunaan hak ini tidak
mengharuskan dilakukannya kembali proses penentuan status pengungsi.
322
Seperti yang dijelaskan diatas, terlihat bahwa pengungsi hanya bisa menikmati hak-hak tertentu. sementara di negara
Islam, pengungsi dapat melaksanakan semua haknya.
4. Sifat dasar dari hak suaka
Penting dicatat bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih bermuara pada pertanyaan apakah suaka itu
merupakan hak negara ataukah hak individu. Dengan kata lain, apakah seorang individu memiliki hak, berhadapan dengan
negara, untuk menikmati suaka, meskipun dalam jangka waktu yang singkat, yang dengan demikian menafikkan kemungkinan
pemulangan kembali penolakan di perbatasan negara, pengusiran, atau ekstradisi penyerahan ke negara asalnya?
322
Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees adopted by the Executive Committee of the UNHCR Programme, h. 27.
257
Dalam Syariat Islam, suaka dapat dikatakan sebagai suatu hak yang valid bagi setiap individu dari dua sudut pandang, yaitu
sudut pandang pemberiannya dan sudut pandang pemerolehan dan penggunaannya.
Pasal 9 Deklarasi Islam Universal tentang Hak Asasi Manusia, yang ditetapkan oleh Islamic Council, London, tahun
1981,
323
menyatakan, “ Setiap orang yang teraniaya dan tertindas berhak mencari suaka. Hak ini harus dijamin bagi
setiap manusia, tanpa memandang ras, agama, warna kulit, ataupun jenis kelamin.”
Demikian pula, Pasal 13 Piagam Hak Asasi Manusia dalam Islam OKI, Dhaka, 1983 menyatakan:
“Setiap orang memiliki hak untuk berpindah tempat secara bebas dan memilih tempat tinggalnya, baik di dalam maupun di luar
negaranya. Jika dia menghadapi penganiayaan, dia memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan di suatu negara di luar negara
asalnya. Negara yang ditujunya untuk meminta suaka harus melindunginya dan memberinya suaka politik, kecuali suaka
politik yang diminta atas dasar alasan yang bertentangan dengan Syariat Islam.”
324
323
Dikatakan bahwa hak atas suaka benar-benar merupakan hak asasi manusia yang sejati. Lihat Asylum and Refugees in Islamic Tradition L asile et les Refugies dans la Tradition Musulmane, International
Law Association, Report of the Sixty-ninth Conference, op cit, h. 308.
324
Sebagian ahli hukum berketatapan bahwa syariat Islam menganggap suaka sebagai suatu hak bagi pengungsi dan sebagai suatu kewajiban bagi suatu negara Islam. Suaka bisa diberikan baik kepada Muslim atau
non-Muslim, tanpa perkecualian, berdasarkan prinsip umum yang mengakui hal itu. Sebelum terjadi bencana dunia, seluruh Muslim dan non-Muslim itu sederajat. Namun demikian, bisa terjadi penolakan untuk
memberikan hak suaka sebagaimana dalam kasus dari perjanjian perdamaian Hudaybiyyah, yang mengakui bahwa para pengungsi yang datang dari kaum Quraisy ke masyarakat Muslim akan dipulangkan, sementara jika
datang dari sebaliknya tidak demikian. Lihat. Muhammad Tal’at al-Gunaymi, al-Ahkâm al-‘Âmmah fi Qânûn al- Umam, h. 720; Hamdi al-Gunaimi, al-Malja‘ fi al-Qânûn al-Duwaliy, Kairo: Kulliyat al-Huqûq, Jâmi’ah al-
Iskandariyah, 1976, h. 132.
258
Sementara itu, Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 menegaskan bahwa setiap orang memiliki
hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain. Permintaan akan hak ini tidak selalu dapat dikabulkan. Begitu
juga Konvensi 1951 tidak memberikan perlindungan otomatis atau permanen kepada orang yang meminta suaka. Begitu pula,
Pasal 1-2 Konvensi Uni Afrika tentang Aspek-Aspek Problematika Pengungsi di Afrika tahun 1969 menegaskan
bahwa setiap negara harus mengerahkan kemampuan optimalnya untuk menerima para pengungsi dan menjamin pemukiman
mereka.
5. Suaka non-sukarela atau suaka wajib