Penyatuan keluarga A. Menurut Syariat Islam

156

2. Penyatuan keluarga A. Menurut Syariat Islam

Memelihara dan menjaga hak – hak kekerabatan dan anjuran untuk menyatukan keluarga dalam satu tempat sangat ditekankan dalam ajaran Sunnah Nabi SAW dan dalam praktek – praktek dalam Negara Islam. Beberapa contoh dalam hal ini adalah: Abu Ayyub berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memisah – misahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia dengan orang-orang yang dicintainya di hari kiamat.” Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi. 196 Imam al-San’ani mengatakan bahwa Hadis ini merupakan dalil tegas yang mengharamkan tindakan mencerai-beraikan antara seorang ibu dengan anak kandungnya; dan larangan ini diperluas, dengan analogi, yang juga berlaku dalam konteks kehidupan keluarga karib kerabat berdasarkan hubungan persaudaraan. 197 mencegah suatu Negara Pihak, dalam waktu perang atau keadaan – keadaan gawat atau luar biasa lainnya, untuk mengambil tindakan-tindakan sementara yang dianggapnya esensial bagi keamanan nasional dalam kasus seseorang tertentu, sementara menunggu penentuan oleh Negara Pihak itu bahwa orang tersebut sebenarnya adalah seorang pengungsi dan bahwa kelanjutan tindakan – tindakan demikian adalah perlu dalam kasus orang tersebut demi kepentingan keamanan nasional. Lihat pula Guidelines on the Reception of Asylum Seekers, Geneva: International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies, 2001, h. 34. 196 al-Tirmidizi, Sunan al-Tirmidzi, tahqîq Muhammad Fuâd ‘Abd al-Bâqî, Hadis No. 1238, Jilid III, h. 580. Menurut al-Tirmidzi, Hadis ini merupakan Hadis hasan garîb. Lihat pula Musnad al-Imâm Ahmad, tahqîq Syuaib al-Arnote, Hadis No. 23499, Jilid 38, h. 485-486. 197 al-San’âni, Subul al-Salâm, ibid., Jilid II, h. 494-495, Jilid tentang Persyaratan Jual-Beli dan Jual- Beli yang Dilarang, Hadis No. 30. 157 Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan aku agar menjual dua budak yang bersaudara, maka aku membeli keduanya, lalu aku memisahkannya.” “Kemudian aku bercerita kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, dapatkan lagi kedua budak itu, kembalikan agar keduanya bersatu dan jangan sampai kamu jual lagi kecuali keduanya bersatu. 198 Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dianggap sahih oleh Ibnu Huzaimah . 199 Abu Musa berkata, Rasulullah SAW melaknat orang yang memisahkan antara seorang ibu dan anak kandungnya dan antara dua saudara kandung. Diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dan al- Dâruqutni. 200 Diriwayatkan pula dari Rasulullah SAW pernah bahwa beliau disodorkan beberapa tawanan perang. Beliau berdiri dan melihat seorang wanita di antara mereka yang sedang menangis, maka beliau bertanya, “Mengapa kamu menangis?” Ia menjawab, “Puteraku dijual kepada suku Bani Abbas.” Kemudian Rasulullah bersabda kepada sahabatnya yang menjual anak laki-laki wanita tersebut: “Kamu benar telah memisahkan antara keduanya? Maka kembalikan dan datangkan anak laki- 198 Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Hadis No. 760, Jilid II, h. 551. 199 al-San’âni berkata: “Hadis itu menunjukkan batalnya jual-beli tersebut dan menunjukkan keharaman memisahkan seorang ibu dengan anaknya sebagaimana ditunjukkan oleh Hadis yang disebut pertama. Sementara Hadis yang disebut pertama menunjukkan keharaman tindakan memisahkan seorang ibu dengan anaknya dengan cara apapun, Hadis yang terakhir ini menegaskan keharaman tindakan pemisahan tersebut dengan cara menjual-belikan sang anak. Mereka para ulama fikih menganalogikan, dengan kasus ini, keharaman tindakan memisahkan tersebut dengan cara perbuatan hukum yang lain, seperti hibah dan nadzar; dan hal demikian dilakukan dengan kemauan orang yang melakukan tindakan memisahkan. Adapun tindakan pemisahan dengan cara melakukan pembagian melalui pewarisan, orang yang memisahkan tersebut tidak memiliki pilihan karena kepemilikan itu bersifat “memaksa”. Lihat al-San’âni, Subul al-Salâm, Jilid 4, h. 486, Hadis No. 31. 200 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Hadis No. 2250, Jilid II, h. 756. 158 lakinya agar tetap bisa bersamanya” Maka sahabat tersebut melakukannya. Diriwayatkan dari Umar, bahwa beliau menulis sebuah surat yang berisi agar jangan sampai ada seseorang yang memisahkan antara dua saudara kandung, antara seorang ibu dengan anaknya, baik jika keduanya masih kecil, maupun jika salah satunya masih kecil dan yang lainnya sudah besar. 201 Dikemukakan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi SAW melihat seorang budak yang terpisah dari anaknya, di antara sekian banyak jenis harta rampasan perang. Beliau bertanya, “Apa yang terjadi pada budak wanita itu?” Ketika itu dijawab oleh seseorang bahwa budak wanita itu menangis karena anaknya dijual, maka Beliau bersabda: “Jangan kamu pisahkan seorang ibu dengan anak kandungnya” 202 Dari uraian di atas, bisa dikemukakan beberapa hal penting sebagai berikut: 1. Beberapa tradisi Nabi yang sahih di atas secara tegas melarang untuk memisahkan antara seorang ibu dangan anak kandungnya, juga antara sanak kerabat yang masih kecil-kecil. Keberlakuan tradisi ini dalam Muslim, mencakup konteks yang lebih luas lagi. Menurut Imam al-Sayibani apabila pemindahan seorang ibu dengan anaknya atau seorang budak dengan saudara kandungnya 201 al-Sarkhasî, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Imâm al-Syaibânî, Jilid V, h. 2073. 202 Ibid. Jilid III, h.1040. 159 tidak dapat dihindarkan, maka pilihan yang ada adalah antara meninggalkan mereka bersama atau memindahkannya bersama. 203 2. Dampak dari pelanggaran atas larangan memisahkan antara kedua ibu dan anaknya atau antara dua saudara yang masih kecil ini terlihat sangat jelas dalam tradisi Nabi Muhammad SAW, dan pentingnya menyatukan mereka terlihat jelas didalamnya. 3. Pelarangan untuk memisahkan antara dua saudara kandung yang masih kecil sebagaimana dinyatakan dalam Hadis, tampaknya tidak banyak terbatas pada anak kecil saja. Menurut kami pemisahan anggota keluarga yang sudah dewasa sekalipun tetap akan membawa pengaruh buruk. Hal ini bisa dilihat dalam 2 dua kejadian dalam masa kehidupan Nabi: i Apa yang terjadi pada saat terjadi pengiriman pasukan Zaid bin Haritsah, ketika itu ditangkaplah seorang wanita bernama Halimah, yang memberikan petunjuk kepada seluruh pasukan tentang dimana Bani Sulaim tinggal. Maka mereka mendapat kemenangan dan mengambil rampasan perang seperti ternak, 203 Demikian pula disebutkan di dalam kitab Syarh al-Siyar al-Kabîr: Jika mereka mampu membawa kedua budak bersaudara itu, maka saya tidak suka mereka meninggalkan salah seorang dari keduanya karena hal itu berarti tidak mendatangkan kemaslahatan kepada orang-orang Muslim padahal mampu berbuat demikian. Dalam hal tindakan pemisahan antara ibu dengan anak kandungnya, ini tidak diperbolehkan. Sebab hal tersebut merugikan untuk keduanya sehingga tidak boleh dilakukan kecuali tidak ada kemungkinan untuk memindahkan keduanya. Berbeda halnya, jika mereka mendapati ibu dan anaknya itu sudah berada di suatu tempat maka mereka boleh mengambil salah seorang dari keduanya, apabila mereka menyetujuinya. Hal ini adalah pemisahan yang diperbolehkan. Dalam hal terjadi pemisahan dan seorang anak diambil atau dipindahkan, dan orang yang mengambilnya yakin bahwa ia dapat menghidupi anak tersebut, maka hal itu boleh dilakukan. Tetapi apabila tidak seperti demikian, pemisahan tidak diperbolehkan sehingga pilihan yang ada adalah, mengambil ibu dan anaknya itu jika mereka mampu, atau meninggalkan keduanya. Sebab, tindakan mengambil anaknya saja merupakan tindakan pemisahan antara ibu dan anaknya, yang tidak membawa manfaat apapun. Lihat al- Sarkhasî, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Syaibâni, Jilid IV, h. 1559. 160 dan salah satu di antaranya suami dari wanita tersebut. Ibnu al-Atsir mengatakan bahwa ketika Rasulullah SAW mengetahuinya, Beliau memerintahkan agar wanita penunjuk jalan itu dilepaskan dan diberi kesempatan untuk pergi bersama suaminya. 204 ii Demikian ceritanya, di masa jahiliah, sebelum masa kemunculan Islam, Zubair bin Bata al-Quradzi pernah memberikan perlakuan baik kepada tawanannya, Tsabit bin Syammas dengan melepaskannya. Pada saat perang Khaibar, Tsabit menemui Zubair, kemudian Zubair bertanya kepada Tsabit: “Kenalkah Anda dengan saya?”. Tsabit menjawab, “Mungkinkah orang sepertiku lupa dengan kamu?” “Saat ini aku ingin membalas kebaikanmu”, kata Tsabit. Zubair menimpali, “Orang yang murah hati, akan membalas orang yang murah hati pula.” Maka waktu itu Tsabit sebagai pihak yang akan membalas kebaikan Zubair datang kepada Rasulullah SAW dan bercerita singkat kepada Beliau. Kata Tsabit, saya mempunyai hutang budi kepada Zubair wahai Nabi, berikanlah ia Zubair kepadaku agar aku bisa melepaskannya membalas budinya. Nabi SAW menyetujuinya, lalu Tsabit mendatangi Zubair dan berkata: ”Sesungguhnya Nabi telah memberikan dirimu kepadaku, 204 Ibn Sa’ad, al-Tabaqat al-Kubra, Jilid II, h. 85; dan Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi, al-Sirah al- Nabawiyyah, tahqîq Basysyâr ‘Awwâd, Beirut: Muassasat al-Risâlah, 1422 H2001 M, Jilid II, h. 21. 161 maka engkau kubebaskan.” Zubair mengatakan: “Namun aku adalah orang tua renta yang tidak memiliki saudara dan anak karena saudara dan anaknya itu masih berstatus tawanan perang. Maka Tsabit mendatangi Nabi SAW dan memintakan pembebasan atas saudara dan anak Zubair. Kemudian Rasulullah mengabulkan permintaannya. Lalu Zubair kembali berkata, bahwa keluarganya di Hijaz tidak memiliki harta sama sekali. Maka Tsabit kembali mendatangi Rasulullah SAW dan memintakan harta dari Rasulullah SAW. Maka Rasulullah sekali lagi mengabulkan permintaannya sehingga Zubair mendapatkan semuanya. 205 4. Alasan mengapa tidak boleh memisahkan antara anak dengan ibu kandungnya dan antara keluarga dekat ini sangat jelas, yakni untuk pemenuhan kebutuhan moral dan psikologis yang harus dimiliki oleh manusia. Oleh sebab itu, Imam Ahmad pernah mengatakan: “Janganlah kalian memisahkan antara seorang ibu dengan anak kandungnya, sekalipun sang ibu menyetujuinya. Penyebab dari tidak diperbolehkannya hal itu, Wallahu a’lam. Sebab bisa jadi hal ini merugikan anak tersebut dan suatu hari sang ibu mungkin menyesalinya dan berharap dapat merubah keputusannya. 206 205 Ibn al-Atsîr, al-Kâmil fi al-Târikh, Beirut: Dâr Sâdir, 1399 H, h. 148. 206 Ibn Qudâmah, al-Mugnî wa al-Syarh al-Kabîr, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1403 H1983 M, Jilid X, h. 468-471; al-Buhûtî, Kasysyaf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, Jilid III, h. 57-58. Adapun jika kedua budak itu masih kecil, maka dalam buku al-Siyar al-Kabîr maka salah satunya pasti akan sangat merasa kehilangan dan sedih akibat berpisah dengan saudaranya, dan hal ini sungguh akan sangat berat untuk dirasakan. 162 5. Hadis dan tradisi Nabi yang berkaitan dengan pelarangan untuk memisahkan seorang budak dengan ibu kandungnya atau saudara kandungnya yang masih kecil, jelas selangkah lebih tegas dibandingkan dengan hukum internasional modern. Dimana dalam Islam larangan pemisahan menjadi kewajiban bagi orang Muslim, dalam hukum internasional hanya diusahakan sebisa mungkin sebuah keluarga untuk tetap disatukan. Hal ini dapat menjadi celah yang memberikan kesempatan munculnya tindakan sewenang-wenang oleh negara atau individu tertentu. 6. Hal lain yang penting dalam ajaran Syariat Islam adalah adanya pertimbangan simpatik atau “kasih sayang” atas diri seorang anak kecil. Hal ini sangatlah normal mengingat sifat dasar seorang anak yang cenderung lemah dan tidak memiliki kuasa, yang selalu diperhatikan dalam ajaran Syariat Islam di berbagai kawasan Negara Islam. Berikut adalah beberapa contoh- contohnya: i Terdapat sebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Abu Ja’far, bahwa salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Usaid datang kepada Nabi dengan membawa tawanan perang yang berasal dari Bahrain. Pada saat itu Rasulullah SAW melihat salah seorang wanita di antara para tawanan itu sedang Bahkan, bisa jadi keduanya bisa mengalami sakit dan bahkan meninggal. Hal-hal semacam ini tidak akan terjadi bila keduanya telah dewasa. Lihat Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Syaibânî, Jilid V, h. 2071. 163 menangis tersedu-sedu, lalu Beliau bertanya mengapa kamu menangis? Wanita itu menjawab: “Anakku dijual orang itu.” Maka Nabi bertanya kepada Abu Usaid: “Benarkah kamu menjual anak wanita tersebut?” Ia membenarkan. Nabi bertanya lagi, “Kepada siapa kamu menjualnya?” Abu Usaid menjawab: “Saya jual kepada Bani Isa. Lalu Nabi berkata, “Segeralah kamu datang ke sana dan bawa anak itu kepada ibunya” 207 ii Di antara sekian banyak kasus mengenai hal ini, terdapat sebuah contoh lain yang terjadi pada saat pengepungan kampung ‘Uka. Pada saat itu orang-orang Islam banyak memiliki kelompok orang yang berprofesi sebagai pencuri. Mereka masuk di tenda-tenda orang-orang Perancis untuk mencuri harta benda mereka. Suatu saat ada juga yang dicuri adalah seorang anak laki – laki yang baru berusia tiga bulan. Maka sang ibu dari anak bayi itu menangis sejadi – jadinya dan mengadukan halnya kepada rajanya. Maka para pembesar pihak musuh itu mengatakan kepada wanita itu bahwa para pemimpin pasukan Muslim adalah orang yang sangat santun dan pengasih. Ia memerintahkannya: “Maka keluarlah kamu wahai sang ibu, cari anakmu yang dicuri para pencuri Muslim itu” Pada saat sang ibu yang sedih ini bertemu dengan pembesar pasukan Muslim, sang pembesar 207 al-Kandahlâwî, Hayât al-Sahabah, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th., Jilid II, h. 79. 164 Muslim sangat sedih dan menyayangkan kejadian ini. Kemudian ia perintahkan agar bayi itu bisa diketemukan. Maka setelah ditelusuri, ternyata bayi itu sudah dijual di sebuah pasar. Kemudian ia mengeluarkan perintah untuk mengambil bayi itu dan membelinya kembali dari pembelinya. Setelah bayi itu kembali, diserahkannya kepada sang ibu. Setelah itu sang ibu langsung menerima dan menyusui bayi tersebut sambil menangis karena kebahagiaan yang tiada tara. Lalu pergilah sang ibu sambil membawa bayinya kembali ke tendanya dengan kuda yang dihias. Terhadap kasus ini Ibnu Syidad berkomentar: “Lihat dan cermatilah kejadian ini, betapa besar kasih sayang Islam bagi umat manusia.” 208

B. Menurut Hukum Internasional