133
melakukannya. Hanya orang-orang yang lemah yang dapat dibebaskan dari kewajiban tersebut. Kedua, dari sisi makna dan
substansinya, bermigrasi adalah wajib hukumnya apabila seorang Muslim khawatir akan terjadi penganiayaan dalam
melaksanakan ajaran agamanya dan terhalangi mengekspresikan syi’ar agamanya secara bebas. Jika hal-hal
buruk ini tidak ada penganiayaan dan pelanggaran kebebasan beragama, maka tidak ada kewajiban untuk meninggalkan
negeri tersebut.
B. Menurut Hukum Internasional
Suaka teritorial diartikan sebagai ketika seseorang berpindah dari suatu tempat asalnya yang tidak nyaman bagi
dirinya menuju tempat lain yang dirasa lebih nyaman. Negara yang menerima kedatangan orang tersebut akan memberikan
suaka yang diminta sebagai tanda kekuasaan negara dalam teritori itu yang didatangi.
171
3. Suaka Diplomatik A. Menurut Syariat Islam
Pembahasan tentang suaka diplomatik akan kami ulas sesuai arti katanya. Demikian pula terdapat pembahasan terkait
171
Lihat pula I’lân al-Umam al-Muttahidah haul al-Lujû’ al-Iqlîmiy, Tahun 1967; Konvensi Tahun 1954 tentang Kepengungsian Teritorial di lingkungan Negara-negara Benua Amerika; dan Konvensi Tahun
1977 tentang Kepengungsian Teritorial di lingkungan Negara-negara Benua Eropa, dalam Collection of International Instrument and Legal Texts Concerning Refugees and other of Concern to UNHCR, op. Cit.,Vol. I
h. 49, Vol. III, h. 1207, Vol. IV, h. 1397.
134
problematika suaka teritorial yang berkaitan erat dengan para diplomat atau mereka yang bertugas dalam urusan Islam.
A.1. Pemberian suaka diplomatik dalam Islam
Karena hubungan diplomasi yang ada antar negara terjadi ditengah-tengah kemunculan Islam dilakukan atas
dasar ad hoc, maka jenis suaka ini tidak banyak ditemukan penerapannya dalam ajaran Islam. Sebab, suaka diplomasi
kerap kali diasosiasikan dengan diplomasi tetap, seperti yang terepresentasikan dengan pembentukan kedutaan besar
dan pemberian tempat timggal dan kantor permanen kepada utusan diplomatik di negara tempat mereka ditugaskan.
Sedangkan representasi diplomatik pada awal masa sejarah Islam merupakan representasi diplomatik yang bersifat
sementara atau ad hoc. Pertanyaannya adalah apakah pemberian suaka
diplomasi pada saat ini, dimana terdapat utusan diplomatik tetap, berlawanan dengan ajaan Islam?
Kami berpendapat bahwa memang dimungkinkan untuk memberikan suaka diplomatik dalam Islam dengan alasan-
alasan sebagai berikut: 1 Keadaan dan kebiasaan telah berubah. Dengan demikian,
suaka diplomatik memungkinkan atas dasar aturan: “Ketika keadaan berubah, aturan dan ketentuan juga harus berubah.”
135
2 Pada saat suatu negara Islam terikat dalam perjanjian internasional yang menyangkut kewajiban pemberian suaka
diplomatik, maka kesepakatan dan perjanjian tersebut harus ditepati, sebab dalam ajaran Islam terdapat prinsip dasar
untuk menepati janji dan memenuhi akad-akad, sebagaimana kalam Allah:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. QS al-Mâ’idah5:1
3 Duta Besar Muslim dari negara-negara Islam mungkin memberikan suaka diplomatik dengan mempertimbangkan
Hadis Nabi: Orang-orang Muslim itu sepadan darah mereka dalam
masalah qisâs dan diat, orang yang paling jauh dapat memberikan suaka, mereka dapat saling tolong menolong,
dan orang paling dekat dari mereka dapat mengupayakan jaminan.
172
Meskipun dengan beberapa alasan diatas penguasa negara Islam dapat melakukan pemberian suaka diplomatik,
namun bukan berarti mereka berada dibawah kewajiban untuk memberikan suaka diplomatik dalam semua kondisi
dan situasi. Melainkan perlu dilakukan peninjauan dari segi kemaslahatan yang akan muncul dengan adanya pemberian
perlindungan kepada pencari suaka diplomasi ini. Bahkan
172
Takhrîj Hadis ini telah dikemukakan sebelumnya dalam buku ini halaman 83.
136
dapat disimpulkan bahwa pemberian suaka diplomatik jumlahnya sangat terbatas, dibandingkan pemberian suaka
teritorial.
173
Namun kiranya
perlu diingat bahwa bentuk suaka
diplomatik oleh orang Muslim, dapat termanifestasi dalam bentuk lain seperti pemberian perlindungan dan keamanan
dalam camp tentara. Dalam hal ini, Abu Yusuf mengatakan: “Saya bertanya
kepada Khalifah, tentang seseorang non-Muslim yang keluar dari negaranya dalam suasana perang untuk menuju masuk
ke negara Islam. Orang tersebut lari bersama-sama rombongan tentara kaum Muslimin, baik melalui jalan raya
atau jalan belakang. Lalu orang tersebut tertangkap oleh pasukan Muslim dan diinterogasi. Orang non-Muslim itu
menjawab bahwa ia keluar untuk menuju negara Islam dalam rangka mencari perlindungan dan keamanan atas
173
Di antara beberapa kasus yang populer tentang masalah ini adalah pada saat penguasa Yaman mengirim utusan kepada pembesar Ethiopia AbessiniaHabsy, ketika itu ada salah seorang wanita yang
beragama Islam, yang mana wanita Muslimah ini menikah dengan laki-laki setempat. Mereka berasal dari Musawwa’. Wanita tersebut keluar dari agama Islam dan memeluk agama Nasrani di di ibu kota Ethiopia. Ia
memiliki dua orang anak perempuan. Agar kemurtadan ibu dua anak ini tidak berpengaruh terhadap kedua putrinya, maka bibi dari kedua anak perempuan ini membawa lari kedua anak perempuan ini kepada sang
pemimpin utusan dari Yaman yang berada di Ethiopia dan memohon agar keduanya dilindungi. Kemudian sang pemipin utusan Yaman ini membawa keduanya untuk tinggal bersama salah seorang anggota utusan Yaman.
Pada saat ibu kandung dari kedua anak perempuan ini mengetahui hal tersebut, maka keesokan harinya, ia ditemani 12 pengawal yang terdiri dari para pembesar agama Nasrani dan para tokohnya, menjemput paksa
kedua putrinya. Namun para utusan Yaman tadi menolak keras apa yang diinginkan oleh ibu kandung dan rombongannya. Di mata para utusan Yaman kasus ini dianggap sebagai sebuah kasus serius, sebab pasti
menyinggung para pemeluk agama Nasrani, sehingga mereka menunggu dengan sungguh – sungguh keputusan Sang Maharaja Ethiopia. Tetapi ternyata Sang Maharaja, ataupun para menterinya tidak mengambil tindakan
apa-apa. Hingga akhirnya pemimpin utusan Yaman, setelah melihat ada sebuah kesempatan yang baik, ia mengirikmkan kedua putri yang dititipkan ini kembali kepada ayahnya di Musawwa’. Lihat Abdullah ibn Hâmid
al-Hayyid, Safârat al-Imâm al-Mutawakkil ‘alaallah Ismâ’îl ibn al-Qâsim ila al-Balât al-Milkiy fi ‘Âsimah Jûndar, ‘Âm 1057 H1647 M , Majallah Kulliyyat al-Syarî’ah wa al-Dirâsat al-Islâmiyyah, Jâmi’ah Umm al-
Qurâ, Makah al-Mukarramah, Vol. 3 1397-1398H, h. 34-35.
137
nyawa saya, nyawa istri dan nyawa anak-anak saya, atau ia juga bisa mengaku bahwa dirinya adalah seorang utusan.
Apakah kita harus mempercayainya?”. Selanjutnya
Abu Yusuf
menegaskan bahwa jika orang non-Muslim yang lari tersebut termasuk sebagai anggota
tentara yang pada saat ia berjalan terlihat kuat dan bersenjata, maka ucapannya tidak bisa diterima dan tidak
boleh dipercaya. Namun jira tidak demikian, maka pengakuannya dapat diterima dan ia bisa dipercaya.
174
Dari uraian di atas, menurut pendapat kami, jika dari tanda-tanda alamiah seseorang yang akan mencari suaka itu
memang tampak dan tidak dibuat – buat dan ada indikasi bahwa ia memang perlu dilindungi, maka ia berhak
mendapatkan perlindungan, sekalipun ia merupakan anggota tentara.
Lain halnya jika indikasi yang ada menunjukkan sebaliknya, dalam arti misalnya ia bersenjata dan bersama
rombongan yang bertampang seperti tentara seperti ia sendiri, maka ia tidak bisa begitu saja langsung dilindungi.
Sebab orang seperti itu terkategori sebagai tentara. Kaidah mendasar sebagaimana telah dijelaskan di atas, adalah
bahwa perlindungan hanya berlaku bagi warga sipil yang memang sangat membutuhkan perlindungan suaka dari
174
Abû Yûsuf, Kitab al-Kharâj, h 203-205.
138
negara tempat mereka terdampar atau singgah sementara. Tetapi bukan untuk anggota tentara dalam suasana perang.
A.2. Suaka teritoral bagi anggota misi diplomatik
Terkadang terjadi pimpinan atau anggota misi diplomatik yang sedang bertugas meminta suaka teritorial ke
negara Islam. Masalahnya, apakah hal ini diperbolehkan? Memang
terkadang, Islam
bisa saja tidak menerima permintaan suaka dari seorang duta besar atau utusan, sebab
duta atau utusan teresbut memiliki misi menyampaikan pesan yang harus dijawab dan disampaikan dahulu kepada
sumber pengirim pesan, melalui dirinya utusan yang bersangkutan. Landasan hal ini adalah kejadian yang terjadi
pada Abu Râfi’, budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah SAW; ia Abu Râfi’berkata: “Orang-orang Quraisy
mengutus aku untuk menemui Nabi SAW. Tetapi begitu saya bertemu Nabi, dalam benak saya justru terbersit sebuah
semangat untuk masuk dan memeluk agama Islam. Maka pada saat itu saya langsung berkata kepada Rasulullah SAW,
‘Wahai Rasulullah, saya tidak akan kembali lagi kepada mereka kaum Quraisy.’ Tapi Rasulullah bersabda, saya
tidak akan berbuat curang dan membatalkan janji, saya tidak akan menahan seorang utusan atau duta. Kembalilah dulu
kepada mereka, jika apa yang terbersit dalam hati kamu saat
139
ini nanti masih ada juga dalam hati kamu ketika kau sudah dirumah, maka kembalilah ke sini “
175
. Dari Hadis ini bisa diketahui bahwa Rasulullah SAW
memerintahkan kepada utusan kaum Quraisy itu agar kembali terlebih dahulu kepada masyarakat yang
mengutusnya kaum Quraisy, untuk menyampaikan jawaban dari pesan yang dikirimkan. Baru setelah ia
melakukan hal tersebut, jika memang niatannya untuk masuk Islam itu masih kokoh dan mantap seperti semula,
seperti pada saat ia bertemu Nabi, maka segeralah datang kembali untuk membuktikan keseriusan niat masuk Islam
ini. Terkait dengan Hadis ini, secara khusus al-Khattâbi
mengatakan, Hadis yang berbunyi: “Saya tidak akan menahan utusan.”, mengandung makna bahwa suatu misi
yang dibawa oleh utusan pasti menuntut jawaban, dan jawaban harus disampaikan oleh utusan yang sama tersebut.
Jadi pada hakekatnya seorang utusan adalah seseorang yang memiliki janji prasetia kepada pihak yang mengutus, sejak ia
pergi menunaikan tugasnya hingga ia kembali.
176
175
Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Hadis No. 2758, Jilid III, h. 129 , Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Hadis No. 23857, Jilid XXXIX, h. 282; dan al-Nasâ’i, al-Sunan al-Kubrâ, , Hadis No. 8621,
Jilid VIII, h 52.
176
al-Khattâbi, Ma’âlim al-Sunan, yakni Syarh Sunan al-Imâm Abî Dâwûd, Jilid 2 al-Maktabah al- ’Ilmiyyah, Beirut 1401 H1981 M, h 317. Al-San’ânî mengatakan, dalam Hadis ini terdapat dalil tentang
kewajiban memelihara janji dan memenuhi janji, walaupun terkait dengan orang kafir. Melalui Hadis ini pula diketahui bahwa seorang utusan tidak boleh ditahan, melainkan harus dilepas untuk menyampaikan berita yang
ia peroleh dan sangat ditunggu-tunggu oleh pihak yang mengutusnya. Al-San’ânî, Subul al-Salâm Jâmia’h al-
140
Demikian, kalimat
Rasulullah SAW kepada Abu Râfi’ dalam Hadis yang berbunyi “
دربلا سبحأ او”, kata al-burud yang berarti utusan adalah bentuk jamak dari kata al-barid,
yakni utusan harus kembali kepada pihak yang mengutusnya, tidak boleh ditahan, sebab seorang utusan
memiliki dua misi, pertama untuk menyampaikan pesan, kedua untuk menyampaikan jawaban atas pesan yang ia
bawa. Apabila sang utusan tidak mengindahi salah satu bagian dari misinya tersebut misalnya tidak kembali ke
pengutus maka berarti ia telah mengkhianati misi dan tugasnya, dan hal ini adalah statu sifat yang tidak dapat
diterima oleh Nabi SAW.
177
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam contoh di atas, praktek tersebut diberlakukan dalam kondisi
diplomatik yang berlaku secara ad hocsementara, bukan karena adanya misi diplomatik permanen. Oleh sebab itu
bisa ditegaskan bahwa hukum dan ketentuan dalam kasus di atas sebagai sebuah pengecualian sebab pada dasarnya tidak
diperbolehkan mengembalikan seorang utusan yang telah menyatakan diri masuk Islam kepada komunitasnya yang
Imâm ibnu Su’ud al-Islâmiyyah, Riyâd, 1408H, Jilid 4, h 133, Ahmad Hasan al-Dahlâwî : Hâsyiyah al- Dahlawi, ‘alâ Bulûg al-Marâm min Adillat al-Ahkâm, Damaskus: al-Maktabah al-Islâmî, 1392 H1972 M,
Jilid II, h 292-293; ‘Abdurrahmân ibn Qâsim al-Hanbali al-Najdi, Ahkâm Syarh Usûl al-Ahkâm, Damaskus: Matba’ah al-Tarqî, 1375 H1957 M, Jilid II, h. 403.
177
Lihat Ahmad ‘Abd al-Rahmân al-Bannâ, al-Fath al-Rabbâniy Tartîb Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal al-Syaibâni berikut syarah-nya Bulûg al-Amâni min Asrâr al-Fath al-Rabbâniy, Kairo: Dâr al-Syihâb,
Jilid XIV, h 118.
141
masih kafir. Jadi, menurut hemat kami, contoh ini tampaknya tidak sesuai dengan apa yang diterapkan bagi
anggota misi diplomatik permanen yang ditempatkan di negara Islam. Kasus dalam Hadis di atas hanya bisa
dijadikan dasar hukum bagi pengiriman delegasi atau duta sementara yang memiliki kewajiban untuk menyampaikan
suatu hal penting yang sifatnya khusus dan wajib membawa kembali hasilnya.
178
Di samping argumen yang telah dikemukakan diatas yaitu bahwa kasus ini terbatas pada masalah misi diplomasi
yang bersifat khusus dan terbatassementara, kami perlu menegaskan sebuah pendapat lain yang membenarkan
bahwa Hadis di atas tidak terlalu sesuai untuk dijadikan pegangan dalam misi diplomatik yang bersifat permanen.
Alasan lain yang dimaksud tersebut adalah penuturan kaum ulama fikih modern yang menyatakan bahwa Hadis tersebut
menekankan pentingnya penyampaian jawaban kembali kepada pihak yang bertanya atau mengirim. Dengan
demikian, tidak diragukan lagi, di masa modern ini misi
178
Abû Dâwud mengatakan bahwa hal ini terjadi di masa lalu, sedang untuk kondisi saat ini sudah tidak sesuai. Atas dasar ini, jika ada seorang utusan orang kafir yang mendatangi seorang pemimpin kaum
Muslimin dan ia menyatakan diri ingin masuk Islam dan ia tidak berkeinginan untuk kembali lagi kepada pihak kafir yang mengutusnya, maka seorang pemimpin pasukan Islam tidak boleh mengembalikan utusan itu kepada
kaumnya. Adapun tindakan Rasulullah SAW yang memberikan kesempatan untuk kembali terhadap Abû Râfi’, dinilai sebagai sesuatu yang berlaku khusus. Yakni beliau ingin meyakinkan dahulu apakah dia benar-benar
ingin masuk Islam atau tidak serius. Dalam kejadian, apabila pada masa itu Rasulullah tetap menahan sang utusan, maka permasalahan akan muncul, karena akan terdengar reputasi Beliau sebagai yang menahan utusan
dan menghalangi tersampaikannya pesan dan terselesaikannya sebuah misi, yang bukanlah sesuatu yang baik dalam konteks menyebarkan Islam. Dalam masa penerus Nabi, praktek ini sudah tidak dijalankan lagi. Lihat al-
Sahâranfûrî, Badzl al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, Jilid XII, h. 379-380.
142
tersebut dapat dilakukan tanpa harus mengirim kembali utusan yang membawa pesannya, karena jawaban atas pesan
tersebut dapat dikirimkan melalui media komunikasi modern seperti telepon, telex, fax, radio, email dan sebagainya.
Berbagai teknologi ini, tanpa diragukan lagi, telah diterima dan dipergunakan oleh para ahli dan kaum ulama fikih
modern.
179
A.3.Intervensi utusan diplomatik untuk menyelesaikan problem terkait suaka teritorial yang diberikan kepada
individu di negara lain
Dalam kasus tertentu, terkadang dapat terjadi kasus dimana sebuah negara mengirim dutanya kepada sebuah
negara lain, untuk suatu misi terkait suaka seorang individu di negara lain tersebut. Dalam hal ini, negara pengirim duta
memiliki kepentingan agar individu yang meminta suaka tersebut ditolak permintaan suakanya oleh negara lain yang
didatanginya dan meminta agar individu yang bersangkutan diekstradisi atau dikembalikan ke negara pengirim duta
tersebut. Hal ini tidak bisa diragukan lagi berkorelasi erat
179
Ini didukung oleh Resolusi No. 5436 Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy dalam Muktamar OKI di Jeddah pada tanggal 17-23 Sya’ban 1410 H14-20 Maret 1990, di mana disepakati bahwa pelaksanaan berbagai
perjanjian bisa ditempuh dengan memanfaatkan teknologi masa kini seperti telepon, faksimili, komputer dan internet. Lihat keputusan ini di dalam Majallat al-Buhûts al-Fiqhiyyah al-Mu’âsirah, Edisi V, Tahun 1410 H, h.
200-201.
143
dengan masalah politik. Beberapa contoh kejadian serupa dapat ditemukan dalam praktek – praktek negara Islam.
Salah satu contohnya adalah pada tahun 360 H 967 M, setelah kaum pemberontak Byzantium Romawi Timur
dibawah kepemimpinan seseorang yang bernama Ward yang sangat menginginkan kekuasaan berhasil dikalahkan
oleh tentara Byzantin, Ward mendatangi pemerintahan Bani Abbasiah dan meminta perlindungan. Pada masa itu berkali
– kali berlangsung proses tukar menukar duta, terutama dari sisi kelompok Byzantin untuk mengurus masalah suaka
tersebut. Pada akhirnya pihak penguasa Abbasiah bersedia memenuhi permintaan pihak Byzantium untuk
mengembalikan Ward dan para pemberontak, setelah terlebih dahulu dibuat kesepakatan-kesepakatan dengan
kompensasi-kompensasi antara lain dalam bentuk kerja sama dan muamalah secara baik antara pihak tertawan dan
pihak penguasa terutama dalam hal penyediaan keamanan, perlakuan baik bagi pihak tertawan. Pada saat itu tercatat
bahwa Ward berada di tangan orang-orang Abbasiah selama lima tahun dan selama itu ia diperlakukan dalam muamalah
yang baik.
180
180
Lihat kembali uraian dalam Sulaiman Dafîda’al-Rahili, al-Safârat al-Islâmiyyah ila al-Daulah al- Bizantiyyah, Disertasi Doktor, Riyadh: Kulliyat al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah, Jâmi’at al-Imâm Ibn Su’ud al-
Islâmiyyah, 1406 H1986 M, h. 63-75. Perhatikan tentang adanya prinsip bahwa sesungguhnya suatu hal seperti ini bisa saja terjadi dalam hal penyerahan seorang diplomat ke negara lain. Salah satu contoh paling populer
dalam hal ini adalah apa yang terjadi dengan kasus al-Ma’az ibn Bâdis yang pernah menjabat sebagai gubernur
144
A.4.Larangan menyerahkan duta besar yang datang untuk mendiskusikan permasalahan pengungsi
Negus, Raja Ethiopia AbessiniaHabsy, adalah pencetus prinsip ini. Ketika orang Islam bermigrasi ke
negerinya, pada saat itu, sang Raja sedang menerima dalam kerajaannya ‘Amr bin Umayyah al-Damirî, yang diutus oleh
Rasulullah SAW untuk menangani masalah Ja’far dan kawan-kawannya yang telah bermigrasi ke Ethiopia
AbessiniaHabsy. Kemudian, pada waktu yang berdekatan ‘Amr ibn al-‘Âsh duta dari suku Quraisy yang juga ada
disana mengatakan bahwa ia melihat ‘Amr bin Umayyah al- Damiri masuk menghadap Raja Negus, tak lama kemudian ia
keluar meninggalkannya. Lalu, ‘Amr ibn al-‘Âsh berkata kepada teman-temannya: “Ini adalah ‘Amr bin Umayyah al-
Damiri. Andaikan saya dapat mendatangi Raja Negus dan saya meminta kepada beliau untuk menyerahkan al-Damiri
dan beliau kabulkan, maka akan saya tebas leher ‘Amr bin Umayyah al-Damiri. Apabila saya melakukan hal demikian,
di Afrika, dari dinasti Fathimiyyah. Pada tahun 433 H, ia merasa keberatan bila dikuasai oleh Dinasti Fathimiyyah dan memproklamirkan kesetiaan kepada Dinasti Abbasiah. Kemudian sang Khalifah Dinasti
Abbasiah mengutus Abû Gâlib al-Syairâzi agar memberikan piagam ketundukkan kepada ibn Bâdis. Dalam rangka penyampaian tersebut, utusan tersebut terpaksa singgah di kawasan Byzantium untuk mengarungi
samudera menuju Afrika. Akan tetapi, ternyata di Byzantium, utusan sang Khalifah ini bertemu dan berseteru dengan utusan Khalifah Dinasti Fatimiyyah yang juga telah mempunyai hubungan diplomatik baik dengan
Byzantium, sehingga Maharaja Byzantium menyerahkan utusan dinasti Abbasiah ini kepada utusan Fatimiyyah dan akhirnya ia dibawa ke Kairo, Mesir dengan penghinaan yang sangat dahsyat dan diarak diatas unta di sudut-
sudut jalan Kairo. Namun Khalifah al-Fatimiyyah mengetahui hal ini, dan meminta agar utusan Abbasiah itu dikembalikan secara terhormat ke Baghdad. Dan akhirnya ia pun dikembalikan. Lihat pula Sâbir Muhammad
Dayyâb, Siyâsat al-Duwal al-Islamiyyah fi Haud al-Bahr al-Mutawassit min Awâ’il al-Qarn al-Tsâni al-Hijriy hatta Nihâyat al-‘Asr al-Fâtimiy, Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1973 M, h. 225-226.
145
orang-orang Quraisy akan melihat bahwa saya telah berjasa kepada mereka karena saya membunuh utusan Muhammad
SAW.” Ia berkata lagi: “Lalu, saya mendatanginya dan kemudian bersujud kepadanya seperti yang pernah saya
lakukan.” ‘Amr ibn al-‘Âsh kemudian melanjutkan ceritanya,
bahwa Negus berkata: “Selamat datang, kawanku. Apakah kamu ingin menghadiahi aku dengan sesuatu dari negerimu?”
Saya menjawab: “Betul, wahai Raja. Saya persembahkan kepada engkau makanan yang banyak.” Lalu hadiah tersebut
saya dekatkan kepada beliau dan tampak beliau tertarik dan berkeinginan menyantapnya. Lalu, aku berkata kepada Negus
lagi: “Wahai Raja, kami tadi melihat seseorang yang belum lama ini keluar dari istana Anda; dan orang tersebut adalah
utusan musuh kami Rasulullah SAW. Maka dari itu, mohon serahkan ia kepada kami untuk kami bunuh Sebab ia benar-
benar telah melecehkan tokoh dan elit sosial masyarakat kami.” Namun Amr bin Umayyah al-Damiri melaporkan
bahwa Raja Negus sangat marah dan menolak permintaan itu dengan tegas.”
181
181
Musnad Ahmad ibn Hanbal, Hadis No. 17776, Jilid XXIX, h. 313-314. Lihat pula Ibn Hisyâm, Sirâh al-Nabawiyyah, Jilid II, h. 227.
146
B. Menurut Hukum Internasional