Pemberian suaka teritorial kepada sandera yang memeluk Islam atau menjadi non-Muslim

96 menempatkannya di dekat singgasananya. Setelah duduk, Zufar berkata kepada khalifah: ”Wahai Khalifah pimpinan Saya memohonkan suaka kepada Anda untuk seorang pria, mohon lindungilah dia”. Khalifah menjawab: “Saya akan memberinya suaka, kecuali jika dia adalah Khalid”. Zufar menukas: “Dia adalah Khalid”. “Tidak, dan tidak ada pengecualian”, tegas Khalifah. Kemudian Zufar menoleh kepada kedua anaknya, sambil berkata: “Papah saya”. Sambil keluar, ia berkata kepada Khalifah: “Wahai Khalifah ‘Abdul Malik, demi Allah, seandainya Anda lihat bahwa tangan saya mampu memikul panah dan mengendalikan kuda, pasti Anda akan memberi suaka kepada orang yang saya lindungi”. Khalifah kemudian tertawa dan berkata: “Wahai Abu al-Huzail, kami memutuskan memberinya suaka”. 130

3. Pemberian suaka teritorial kepada sandera yang memeluk Islam atau menjadi non-Muslim

dzimmiy Sejak zaman dahulu, menawarkan suaka dalam bentuk penuh kepada sandera misalnya, sejumlah orang, telah digunakan sebagai salah satu alat untuk menjamin pelaksanaan perjanjian internasional. Toleransi Islam telah mencapai batas yang sangat jauh, sampai memberi hak untuk tinggal kepada 130 Abû al-Faraj al-Asfahâni, Kitab al-Agâni, Jilid XVII, h. 10-11, h. 232-233. Pada tahun 633 H. al- Nâsir Daud pindah dari al-Kark ke Baghdad, untuk meminta suaka kepada Khalifah al-Mustansir, ketika dia merasa takut terhadap pamannya, al-Kamil. Muhammad Kurdi Ali, Khuttât al-Syâm, Damaskus: Matba’ah al- Haditsah, 1343 H1925 M, Jilid II, h. 96. 97 sandera non-Muslim di wilayah Muslim, jika ia memeluk Islam. Dalam pada itu, tidak boleh mengekstradisinya, karena hal itu bertentangan dengan keinginannya. Sebab, dengan memeluk Islam penghormatan terhadap darahnya menjadi setara dengan penghormatan terhadap darah jiwa sandera Muslim. Dalam hubungan ini, Imam Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâni berkata: “Jika sandera non-Muslim memeluk Islam, sedangkan kelompok musyrikin mengancam dengan mengatakan: “Apabila kalian tidak mengekstradisi orang-orang pelarian kami, maka kami akan membunuh orang-orang Islam yang menjadi sandera kami, atau kami akan memperbudak mereka”, sedangkan para sandera non-Muslim tersebut itu tidak mau diekstradisi, maka imam pemimpin tidak boleh mengekstradisi mereka. Bahkan meskipun imam tahu bahwa mereka akan membunuh kaum Muslim yang mereka sandera. Sebab, kehormatan jiwa mereka sama seperti kehormatan jiwa kaum Muslim yang mereka sandera. Apabila sandera dari pihak mereka kaum musyrik yang telah memeluk Islam berkata: “Kembalikanlah kami kepada mereka, dan ambillah sandera Anda yang berada pada mereka”, maka jika penguasa negara meyakini bahwa mereka akan dibunuh setelah dikembalikan, ia tidak boleh mengembalikan sandera tersebut kepada mereka. Dalam hal 98 memberikan izin yang melegitimasi pembunuhan seseorang atau menjadikan seseorang terkena resiko untuk menjadi terbunuh, tidak boleh ada pertimbangan diambil yang dapat menjadi alasan untuk membolehkan seseorang tersebut dibunuh. Namun, dalam kasus di mana kita tidak tahu apa yang akan menimpa diri mereka, maka tidak apa-apa jika kita mengembalikan mereka. Karena mengembalikan mereka dengan seizin mereka bukanlah merupakan tindakan menzalimi. Lagi pula, mengembalikan mereka bukan penyebab bagi kebinasaan mereka. Biasanya, dalam kasus seperti itu, mereka para pelarian tidak akan mau kembali, jika mereka merasa diri mereka tidak aman. 131 Berdasarkan uraian sebelumnya, jelaslah bahwa dalam Islam, menjaga keselamatan dan keamanan pengungsi adalah suatu kewajiban ditinjau dari dua segi: 131 Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâni, Syarh a-Siyar al-Kabir, Heiderabad: Matba’ah Haidarabad, t.th., Jilid IV, h. 43. Hal tersebut di atas berlaku juga untuk kasus di mana sandera telah memperoleh status sebagai “Ahl al-dzimmah status ini diberikan jika seseorang telah tinggal selama lebih dari satu tahun atau ia mengajukan permintaan. Di dalam kitab al-Siyar al-Kabîr terdapat uraian: “Jika seorang penguasa memberi mereka sandera non-Muslim status zimmah perjanjian aman dan kemudian meminta pengembalian sandera Muslim, namun mereka kaum musyrikin menolak mengembalikannya kecuali setelah penguasa mengembalikan ahl al-zimmah itu, maka penguasa tidak boleh mengingkari perjanjiannya untuk tidak mengembalikan sandera non-Muslim yang bertentangan dengan keinginan mereka. Sebab, ketika mereka telah berada dalam jaminan kita, maka status penghormatan terhadap jiwa mereka sama dengan penghormatan terhadap jiwa orang Islam. Demikian juga, jika mereka ahl al-dzimmah itu memeluk Islam. Jika sandera non-Muslim merasa nyaman dan rela untuk dipulangkan, maka tidak ada keberatan untuk itu. Namun jika imam meyakini bahwa mereka akan dibunuh, maka imam tidak boleh memulangkan mereka, berdasarkan analogi kepada kasus yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu ketika sandera memeluk Islam. Hal ini mirip dengan kasus pertukaran sandera Islam dengan sandera dzimmiy. Sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, hal ini diperbolehkan, jika sandera non Muslim rela. Sebaliknya tidak boleh, jika sandera tersebut tidak rela”.Lihat al-Siyar al-Kabîr, h. 45-46. Berdasarkan uraian sebelumnya, menurut pendapat kami, ini berarti bahwa pemberian suaka dalam kasus-kasus tersebut merupakan sejenis suaka teritorial paksa, ketika sandera yang telah mengkonversi agama mereka ke Islam atau yang telah menjadi dzimmiy ingin kembali ke negeri mereka, sedang mereka berpotensi untuk dibunuh di negerinya itu. 99 Pertama, tidak boleh mengembalikan sandera kepada otoritas negara lain, apabila mereka akan dibunuh di sana. Bahkan sandera non-Muslim tidak boleh dikembalikan, meskipun jika pihak negara lain tersebut mengancam akan membunuh sandera Islam. Karena, seperti ungkapan Imam Asy-Shibani: “Penghormatan atas jiwa sandera non Muslim sama dengan penghormatan terhadap jiwa sandera Muslim”. Kedua, tidak boleh memulangkan sandera, meskipun mereka setuju dipulangkan, namun dengan kepulangan mereka, kemungkinan besar mereka akan dibunuh. Hal ini didasarkan pada premis Islam: “Dalam kasus di mana seseorang akan dibunuh atau mengalami resiko dibunuh, tidak boleh ada pertimbangan diambil yang dapat menjadi alasan untuk membolehkan seseorang tersebut dibunuh”.

4. Hijrah migrasi sebagai bentuk suaka teritorial