Migrasi akibat pendudukan musuh atas wilayah Islam

128 ketiga bergantung juga pada batasan fisik dan ruang, yakni kehadiran dan kedudukan pengungsi dalam teritori negara yang bersangkutan. Dengan demikian, jika mereka tidak berada di atau telah meninggalkan teritori, secara langsung mereka tidak dapat menikmati perlindungan sebagai perluasan perjanjian tersebut, kecuali terdapat perjanjian atau kesepakatan dalam bentuk lain. c. Tidak adanya intervensi dan ketidakikutsertaan dalam perlawanan, serta pada saat yang sama menciptakan perdamaian. Tidak diragukan lagi bahwa dengan adanya pengecualian dalam ayat Q.S. al-Nisâ’4:90 konsekuensi yang muncul adalah tidak boleh adanya kekerasan atau perlawanan terhadap kaum yang telah memiliki perjanjian damai dengan dengan kaum Muslimin, karena mereka telah dianggap sebagai pengungsi bagi kaum Muslim.

12. Migrasi akibat pendudukan musuh atas wilayah Islam

Para ahli fikih dari kalangan mazhab Maliki berpendapat bahwa berpindah dari kawasan yang dikuasai pihak musuh dan berupaya untuk tidak berlama-lama berada di satu tempat dengan para musuh merupakan suatu keharusan. Masalah ini dapat dijelaskan sebagai berikut, dengan adanya suatu pertanyaan. 129 Bagaimana bila terdapat sebuah negara Islam yang dikuasai, dijajah bahkan ditindas oleh pihak musuh non- Muslim? Warga Muslim dan negara Islam yang dijajah dan dikuasai pihak musuh ini hidup dalam keadaan terkekang, dikuasai bahkan dieksploitasi. Dipinggiran daerah negara tersebut, terdapatlah gunung yang tidak dapat dimasuki musuh karena dijaga oleh penduduk setempat. Sebagian diantara warga negara yang dijajah itu berpindah dengan seluruh anggota keluarga, anak dan harta bendanya ke gunung tersebut. Ada juga warga Muslim yang tetap bertahan di tempatnya masing-masing dan berada di bawah kekuasaan hukum orang kafir, dan mereka diwajibkan untuk membayar pajak seperti jizyah. Diantara orang-orang ini, baik yang telah berpindah maupun yang masih menetap, terdapat para ulama. Dengan kata lain, ulama terbagi menjadi dua golongan. Ulama yang telah menyingkir dari kawasan penguasa zalim menuju ke pinggiran kota bahkan di gunung-gunung bersama beberapa warga Muslim lain berpendapat bahwa bermigrasi atau menyingkir dari penguasa zalim hukumnya adalah wajib. Mereka bahkan memberikan fatwa yang mengharamkan hidup, kekayaan, keluarga dan budak wanita dari para Muslim tersebut, yang tetap tinggal bersama para penguasa zalim, padahal sebetulnya mereka mampu untuk menyingkir. Bahkan keluarga, anak dan cucu-cucunya bisa dianggap 130 sebagai tawanan perang. Fatwa ini didasarkan atas pendapat yang mengatakan bahwa siapapun yang tetap bertahan tinggal bersama dengan penguasa zalim, padahal mampu untuk hijrah ke tempat lain, berarti sama saja ia membantu pihak musuh untuk memerangi kaum Muslimin, bahkan sama saja ia telah merampas harta kaum Muslimin dan sama halnya telah membantu kemengangan pihak musuh. Argumentasi atau dalil lain tentu saja masih ada. Sedangkan ulama yang tetap bertahan bersama beberapa orang pihak musuh yang non Muslim dan berada pada hukum penguasa kafir ini berpendapat bahwa hijrah, eksodus atau menyingkir dari kawasan tersebut hukumnya tidak wajib. Dasar argumentasinya merujuk kepada sejumlah dalil hukum, antara lain kalam Allah: …kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri siksa-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali mu. Q.S. Ali ‘Imrân3:28. dan Hadis Nabi: Tidak ada kewajiban hijrah setelah fathu Mekkah, tetapi jihad dan niat, jika kalian diperintahkan untuk berperang, maka berangkatlah. Hadis Muttafaq ‘alaih. 167 dan juga dalil-dalil yang lain. 168 167 Lihat halaman 108. 168 Abû ‘Abdillah al-Syaikh Muhammad Ahmad ‘Ilyasy, Fath al-‘Aliy al-Mâlik fi al-Fatwâ ‘ala Madzhab al-Imam Mâlik, Kairo: Maktabah Mustafa al-Bâb al-Halabi, 1378 H1958 M, h. 375-385. 131 Pertanyaan di atas dijawab dengan uraian sebagai berikut: Sesungguhnya hijrah dari negara kafir menuju negara Islam hukumnya wajib hingga kelak hari kiamat, demikian halnya hijrah dari kawasan yang haram, zalim dan penuh dosa atau godaan. Rasulullah SAW bersabda, “Suatu saat akan terjadi anggapan bahwa harta seorang Muslim yang paling baik adalah sekedar seekor kambing yang akan terus diikuti oleh pemiliknya hingga ke bukit-bukit dan tempat-tempat turunnya hujan, ia lari dengan agamanya karena takut terjadi malapetaka menimpa”. 169 Diriwayatkan pula oleh Asyhab dari Mâlik, bahwa hendaknya tidak ada orang yang menetap di suatu tempat dimana berlaku aturan dan perbuatan yang tidak baik. Apabila tidak ada negara yang lebih baik semua negara sama buruknya maka orang tersebut harus memilih di antara dua tempat yang paling sedikit resiko keburukannya. Negara dimana kejahatan dan ketidakadilan berada, tetap lebih baik daripada negara yang kafir. Negara yang didalamnya terdapat kejahatan atau ketidakadilan namun halal, tetap lebih baik daripada negara yang adil namun penuh keharaman. Negara dimana terdapat kemaksiatan terkait hak-hak Allah SWT, tetap lebih baik dari negara dimana terdapat kemaksiatan- 169 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhari, Hadis No. 19, Jilid 1, h. 15. 132 kemaksiatan yang berakibat kepada perlakuan zalim terhadap warga masyarakat. Fatwa di atas sampailah pada pernyataan bahwa “Jika orang-orang Islam yang tinggal di negara kafir menyerang kita beserta para pemimpin mereka, maka nyawa mereka halal untuk diambil dan apabila mereka membantu memerangi kita dengan menggunakan harta mereka, maka harta itu halal untuk dirampas. Fatwa di atas ditutup dengan kesimpulan bahwa jika hal-hal yang telah disebut di atas terjadi, maka tidak ada seseorang tidak boleh kembali ke negara tersebut atau menahan diri dari kegiatan bermigrasi, namun wajib meninggalkan negara yang dikuasai oleh kaum musyrik dan kaum yang merugi menuju ke sebuah negara yang aman dan penuh dengan keimanan. Oleh sebab itu kepada mereka yang tidak bermigrasi, Allah SWT berkalam: Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? Q.s al-Nisâ’4:97. 170 Dari uraian fatwa di atas, bisa kami simpulkan sebagai berikut. Pertama, dari sisi redaksional, yakni pelarian dari negara yang dikuasai oleh pihak musuh menjadi sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap warganegara Muslim yang mampu 170 Lihat kembali Abû ‘Abdillah al-Syaikh Muhammad Ahmad ‘Ilyisy, Ibid, h. 375-385;.Lihat juga h. 385-387 133 melakukannya. Hanya orang-orang yang lemah yang dapat dibebaskan dari kewajiban tersebut. Kedua, dari sisi makna dan substansinya, bermigrasi adalah wajib hukumnya apabila seorang Muslim khawatir akan terjadi penganiayaan dalam melaksanakan ajaran agamanya dan terhalangi mengekspresikan syi’ar agamanya secara bebas. Jika hal-hal buruk ini tidak ada penganiayaan dan pelanggaran kebebasan beragama, maka tidak ada kewajiban untuk meninggalkan negeri tersebut.

B. Menurut Hukum Internasional

Suaka teritorial diartikan sebagai ketika seseorang berpindah dari suatu tempat asalnya yang tidak nyaman bagi dirinya menuju tempat lain yang dirasa lebih nyaman. Negara yang menerima kedatangan orang tersebut akan memberikan suaka yang diminta sebagai tanda kekuasaan negara dalam teritori itu yang didatangi. 171

3. Suaka Diplomatik A. Menurut Syariat Islam

Pembahasan tentang suaka diplomatik akan kami ulas sesuai arti katanya. Demikian pula terdapat pembahasan terkait 171 Lihat pula I’lân al-Umam al-Muttahidah haul al-Lujû’ al-Iqlîmiy, Tahun 1967; Konvensi Tahun 1954 tentang Kepengungsian Teritorial di lingkungan Negara-negara Benua Amerika; dan Konvensi Tahun 1977 tentang Kepengungsian Teritorial di lingkungan Negara-negara Benua Eropa, dalam Collection of International Instrument and Legal Texts Concerning Refugees and other of Concern to UNHCR, op. Cit.,Vol. I h. 49, Vol. III, h. 1207, Vol. IV, h. 1397.