Prinsip – prinsip utama yang mengatur hak-hak suaka

29 Sementara itu, komunike final dari Simposium dan Seminar Anggota Parlemen Dunia Arab tentang Hukum Pengungsi Regional dan Internasional serta Masalah Migrasi, yang diselenggarakan di Kota Sharm el-Syaikh kota wisata di tepi Laut Tengah, Mesir pada bulan Oktober 2008, menyatakan bahwa “tradisi, kebiasaan dan praktek – praktek dalam nilai - nilai Arab dan Islam, berlaku sebagai poros yang kokoh bagi perlindungan para pengungsi, dan penghormatan atas integritas kemanusiaan mereka.

B. Prinsip – prinsip utama yang mengatur hak-hak suaka

Patut diketahui bahwa prinsip utama yang mengatur hak – hak suaka terdiri dari 4 empat prinsip. B.1 Prinsip larangan pemulangan non-refoulement

A.Menurut Syariat Islam

Islam menolak keras tindakan pemulangan atau pengembalian pengungsi ke suatu daerahwilayah dimana ia merasa takut kebebasan dan hak-hak dasar lain yang dimilikinya terancam seperti menjadi korban kekerasan, penindasanpenyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, atau lainnya. Bahkan, dikatakan bahwa Islam ialah yang pertama kali mengakui asas larangan pemulangan dan asas larangan 30 ekstradisi bagi mereka yang melakukan kejahatan politik. 42 Alasan yang mendasari hal tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1. Asas larangan pemulangan atau non-refoulement dianggap sebagai asas yang bersumber dari hukum kebiasaan 43 atau ‘urf dalam tata pergaulan antar bangsa dan telah jelas di dalam qawâ’id fiqhiyyah kaidah Syariat Islam bahwa sesuatu yang diakui oleh kebiasaan atau ‘urf adalah setara dengan aturan atau sesuatu yang diperjanjikan al-ma’rûf ‘urf-an ka al-masyrût syart-an 44 ; bahwa sesuatu yang dilandasi kebiasaan atau ‘urf adalah setara dengan sesuatu yang tertuliskan dalam teks atau dilandasi teks syara’ al- tsâbit bi al-‘urf ka al-tsâbit bi al-nass 45 ; dan bahwa kebiasaan atau ‘urf merujuk kepada pengadilan al-‘âdah muhakkamah 46 , maksudnya kebiasaan atau ‘urf itu dapat dijadikan rujukan dan fondasi hukum. 42 Lihat S mahmassani: The Principles of International Law in the Light of the Islamic Doctrine, RCADI Vol.117, 1966, h.256 43 Vide infra 44 Al-Farghani, Abu al-Mahasin Hasan, Fatawa Qadikhan al-Fatawa al-Khaniyah, Jilid I, h. 385, Hasyiyah al-Fatawa al-Hindiyyah. 45 al-Sarkhasiy, Syarh al-Sair al-Kabîr, h. 170 dan 290; dan al-Husairi, al-Qawâ’id al-Dâwâbit al- Mustakhlasah min Syarh al-Jâmi’ al-Kabîr, tahqîq ‘Ali ibn Ahmad al-Nadwiy, Kairo: Matba’ah al-Madaniy, 1411 H, h. 283-285. 46 Ibn al-Subki, Tâj al-Dîn ‘Abd al-Wahhâb, al-Asybâh wa al-Nazâ’ir, tahqîq ‘Âdil ‘Abd al-Maujûd dan ‘Ali ‘Iwad, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H1991 M, Jilid 1 , h. 50; Nâzir Zâdah Muhammad ibn Sulaimân, Tartîb al-La’âli fi Salak al-Amâliy Kitâb fi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, tahqîq Khâlid ibn ‘Abd al- ‘Azîz, Riyadh: Maktabah al-Rusyd, t.th., Jilid 2, h. 821. 31 2. Asas ini telah diterapkan sejak periode awal negara Islam Madinah di bawah kepemimpinan Nabi SAW dan yang telah beliau akui legalitasnya, sehingga asas ini menjadi berlaku bagi setiap pengungsi. Salah satu contoh, ketika kaum Quraisy Mekkah meminta Abû Tâlib paman Nabi SAW menyerahkan beliau kepada mereka, Abû Tâlib menolaknya dan menggubah syair yang menyatakan bahwa ia tidak akan menyerahkan diri Muhammad SAW kepada kaum Quraisy Mekkah meskipun harus meregang nyawa demi membela diri Muhammad SAW, yakni: 47 Kalian berbohong, saya tidak akan menyerahkan Muhammad Dan kami akan berjuang mati-matian demi dirinya Kami tidak akan menyerahkannya Sebelum kami berguguran di sekeliling dirinya Dan diasingkan dari anak dan isteri kami Lalu, kaum yang lain akan bangkit Dengan gemerincing suara pedang yang menghantam kalian 3. Pemulangan atau pengusiran pengungsi atau pencari suaka ke daerah dimana dikhawatirkan akan terjadi tindak kekerasan atau penyiksaan terhadapnya bertentangan dengan asasprinsip Islam yang dikenal dengan “asas larangan mencederai jaminan perlindungan” atau “asas 47 Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1418 H1998 M, Jilid 3, h. 103-104. 32 larangan mengkhianati janji perlindungan orang yang meminta perlindungan”. Umar ibn al-Khattab berkata: “Sesungguhnya kata mitras ungkapan bahasa Persia memiliki arti keamanan. Apabila kata tersebut kamu ucapkan kepada siapa saja yang tidak paham bahasa itu, maka kamu telah menjamin perlindungan terhadapnya.” 48 Tak diragukan lagi, ungkapan ‘Umar ibn al-Khattab itu mengandung maksud bahwa di dalam perjanjian jaminan perlindungan, tidak ada syarat keharusan penggunaan bahasa Arab, ia boleh menggunakan wadah bahasa apapun. Ketika Negus, Raja Ethiopia Abessinia Habsy, menolak penyerahan orang Muslim Muhâjirîn kepada rombongan utusan suku Quraisy ‘Amr ibn al-‘Âsh dan ‘Imârah ibn al- Walîd, Ja’far ibn Abî Tâlib berkata: “Kini, kami benar – benar berada di negeri yang paling baik dan di dalam perlindungan yang paling berharga.” 49 4. Pemulangan pengungsi ke negara dimana ia khawatir akan terancam jiwanya atau terlanggar hak-hak asasinya dinilai sebagai tindakan pengkhianatan dan menurut Syariat Islam, pengkhianatan hukumnya haram. Hal demikian berlaku, 48 Ibn Qudâmah, al-Mugni, Jilid 3, h. 193. 49 Lihat Ibn Hadîdah al-Ansâri, al-Misbâh al-Mudî’ fi Kitâb al-Nabiy al-Ummiy wa Rusulih ilâ Mulûk al-Ard min ‘Arabiy wa A’jamiy, Beirut: Dâr al-Nadwah al-Jadîdah, 1406 H1986 M, h. 231. 33 baik pengungsi itu orang Muslim maupun orang yang berpindah ke Islam. Sebab, dalam kondisi tersebut orang tersebut sudah memperoleh semua hak yang dimiliki orang Muslim, antara lain hak perlindungan terhadap jiwanya dan keselamatan badannya, baik pengungsi itu orang non- Muslim pencari perlindungan musta’min maupun orang non-Muslim yang tinggal di teritori Islam ahl al- dzimmah. Sebab, dengan diberikannya perlindungan al- amân dan al-dzimmah, mereka memperoleh penghormatan yang sama dengan yang diperoleh orang Muslim. Bahkan, kalangan ulama fikih berpendapat bahwa negara Islam tidak boleh mengekstradisi sandera atau orang non- Muslim pencari perlindungan musta’min tanpa kerelaan yang bersangkutan, ke negara asal mereka, meskipun dalam konteks pertukaran sandera atau tawanan yang Muslim, dan walaupun negara asal mereka menyampaikan ancaman agresi jika tidak dilakukan ekstradisi. Terkait hal ini, dikemukakan dalam kitab al-Siyâr al-Kabîr : 50 “Apabila seorang non-Muslim harbiy datang kepada kita dengan meminta perlindungan sehingga ia disebut musta’min, lalu pimpinan negara orang itu meminta 50 Lihat Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, Kairo: Ma’had al-Makhtûtât bi Jâmi’ah al-Duwal al-‘Arabiyyah, 1972, Jilid 4, h. 1612-1614. Lihat pula sumber yang sama dengan terbitan Haidarabad al-Dakan, Jilid 3, h. 300-301. 34 pertukaran tawanan orang Muslim dengan orang non- Muslim harbiy yang sudah menjadi musta’min itu, dan ia menolak pertukaran itu dengan mengatakan bahwa jika kalian serahkan diri saya kepada mereka maka pasti saya akan dibunuh, maka kita tidak boleh menyerahkan orang non-Muslim tersebut kepada pimpinan negaranya. Sebab, ia berada dalam jaminan perlindungan kita sehingga ia seperti orang non-Muslim dzimmiy ketika menolak pertukaran. Di samping itu, kita menzaliminya bilamana membuka ruang untuk terjadi pembunuhan terhadap diri orang itu lantaran mengembalikan mereka ke negara asalnya, sedang berbuat zalim haram hukumnya, baik terhadap orang non-Muslim musta’min, orang non-Muslim dzimmiy maupun orang Muslim yang mencari perlindungan. Akan tetapi, kita mengatakan kepada dirinya: “Kembalilah ke negaramu atau kemanapun yang kamu inginkan jika orang-orang non-Muslim merelakan hal ini.” Sebab, pemerintah memiliki kekuasaan yurisdiksi terhadap orang non-Muslim bukan warganegara yang mencari perlindungan musta’min meskipun tidak ada kekhawatiran terbunuhnya tawanan yang Muslim. Ketahuilah bahwa seandainya tawanan yang non-Muslim itu tinggal menetap dalam waktu yang lama di negara kita Muslim maka ia dapat diusir. Maka dari itu, ketika ada 35 kekhawatiran terhadap terbunuhnya tawanan yang Muslim atau ketika ada upaya pertukaran tawanan tersebut, maka tawanan non-Muslim itu dapat diusir dengan syarat ia tidak berkeberatan atau nyata-nyata ada kekuasaan yurisdiksi.” Begitu juga, negara Islam tidak boleh mengekstradisi orang non-Muslim musta’min, walaupun dalam konteks pertukaran tawanan yang Muslim. Sebab, menghindarkan diri dari pengkhianatan atas perjanjian merupakan perbuatan yang wajib hukumnya menurut ajaran Syariat Islam dan mengekstradisi orang non-Muslim tersebut merupakan bentuk pengkhianatan atas perjanjian. 51 Bahkan, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani berpendapat bahwa tidak boleh hukumnya mengekstradisi orang non-Muslim musta’min yang berada di negara kita, meskipun pemerintah negara asal mereka mengeluarkan ancaman agresi militer dan deklarasi perang. Lebih rinci, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani mengatakan: “Jika kaum non-Muslim berkata kepada kaum Muslim: Serahkanlah ia kepada kami Jika tidak, kami akan perangi kalian Padahal kaum Muslim tidak punya kekuatan militer untuk melawan mereka, maka kaum Muslim tidak boleh melakukan hal yang diminta tersebut”. Sebab, tindakan hal demikian merupakan pengkhianatan kita atas janji jaminan 51 Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, Jilid 4, h. 1612-1614. 36 perlindungan terhadap dirinya dan itu tidak diperbolehkan. Sama halnya, sekiranya mereka berkata: “Jika kalian sependapat dengan kami, itu baik; jika tidak, kami akan serang kalian.” Akan tetapi, mereka mengatakan kepadanya: “Keluarlah dari negara Islam, pergilah kemanapun yang kamu inginkan.” Sekiranya mereka berkata: “Keluarlah ke daerahwilayah lain dalam jangka waktu tertentu; jika tidak, kami akan ekstradisi kalian ke negara asal kalian; lalu ia menjawab: “Ya, saya terima”, namun ia tidak keluar. Jika ia merasa nyaman jiwanya dengan ekstradisi itu, maka kita dapat mengekstradisi dirinya. Namun jika ia menolak, kita tidak boleh mengekstradisinya. Sebab, ia memperoleh jaminan perlindungan di negara kita hingga ia kembali memperoleh perlindungan di tempatnya yang semula. Dikatakan bahwa apabila lama tinggal menetapnya orang tersebut di negara kita melewati batas waktu menetapnya, hal itu merupakan petunjuk bahwa ia rela diekstradisi ke negara asalnya. Dengan demikian, kita harus menjadikan hal tersebut sama dengan pernyataan rela yang tegas. Seperti halnya, seorang kepala negara berkata kepada orang non-Muslim musta’min : “Kecuali kau keluar dalam kurun waktu yang diberikan, maka saya menjadikanmu sebagai dzimmiy.” non-Muslim yang tinggal di teritori Islam. Kemudian, ia 37 tidak keluar maka jadilah ia sebagai orang non-Muslim dzimmiy atas dasar adanya indikator kerelaan dirinya terhadap cara demikian. Kami berpendapat, demikian pula halnya jaminan perlindungan. Hal di atas merupakan indikator dalil yang bersifat hipotetis sehingga tidak boleh seseorang dihadapkan kepada risiko kematianpembunuhan, selama ia tidak menegaskan kerelaannya terhadap tindakan ekstradisi ke negara asalnya. Adapun perubahan statusnya sebagai orang non- Muslim dzimmiy merupakan suatu ketetapan hukum yang mengandung keraguanketidakpastian syubhah; dan hal ini diperbolehkan atas dasar indikator dalil yang bersifat hipotetis.” 52 Dari apa yang dipaparkan oleh Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Dalam kondisi apapun, seorang non-Muslim musta’min tidak boleh diekstradisi ke negara asalnya, meskipun kejadian itu berada dalam konteks pertukaran tawanan yang Muslim atau meskipun berimplikasi munculnya ancaman agresi militer terhadap negara Islam. Sebab, tindakan mengekstradisi orang tersebut dalam kondisi ini 52 Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, Haidarabad al-Dakan: t.np., t.tt., Jilid III, h. 300-301. Lihat pula Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, Kairo: t.np., t.tt., Jilid 4, h. 1612-1614. 38 setara dengan bentuk pengkhianatan yang tidak mengandung dispensasi apapun. b. Kepala negara atau pemegang kekuasaan memiliki otoritas memberikan pilihan kepada orang non-Muslim musta’min untuk keluar dari teritori negara Islam ke negara lain yang diinginkannya. Karena itu, pilihan yang dilaksanakan adalah pilihan yang ditentukan sendiri oleh orang non- Muslim musta’min tersebut. c. Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, dengan pandangannya itu, menjadi pionir terdepan sejak beberapa abad yang lalu, dalam menjalankan ketentuan – ketentuan yang diadopsi sejumlah piagam perjanjian internasional modern tentang hak asasi manusia, hak – hak suaka, prinsip larangan pemulangan pengungsi yang melewati teritori negara atau ketentuan larangan ekspulsi pengusiran pengungsi ke suatu negara di mana jiwa dan kebebasannya terancam. d. Pemenuhan jaminan perlindungan kepada pengungsi harus diprioritaskan dibanding yang lainnya. e. Tujuan adanya larangan mengekstradisi pengungsi negara asalnya ialah memberikan jaminan keselamatan fisik bagi pengungsi, dengan tidak mendatangkan kepadanya resiko kekerasan, penyiksaan atau kehilangan nyawa; karena ini 39 merupakan hal yang tidak boleh diremehkan dalam pandagan ajaran Islam. Beberapa contoh faktual terkait pelarangan ekstradisi pengungsi dalam Islam, diantaranya ialah: i Penolakan Raja Negus, Raja Ethiopia, atas ekstradisi sejumlah orang Muslim Muhâjirîn, di mana penolakan tersebut dilakukan terhadap delegasi suku Quraisy yang meminta ekstradisi tersebut. Raja Negus justru memberikan jaminan perlindungan bagi orang-orang Muslim tersebut sehingga mereka tinggal menetap dalam naungan jaminan perlindungan yang terbaik di negeri yang terbaik; sebagaimana yang diwartakan oleh Ummu Salamah r.a. 53 ii Peristiwa yang terjadi negeri Yaman, terjadi upaya penahanan Ibn Najib al-Daulah yang datang untuk membantu Sayyidah Bint Ahmad dengan menyindir masyarakat untuk mentaatinya dalam rangka melawan sang penguasa, al-‘Ubaidi. Ketika hal itu telah diketahui olehnya, al-‘Ubaidimengirim 100 orang tentara dibawah kepemimpinan Ibn al-Khayyât untuk menangkapnya. Ketika Ibn al-Khayyât menemui Sayyidah Bint Ahmad dan meminta penyerahan Ibn Najib al-Daulah kepada 53 Ibn Ishâq, al-Sair wa al-Magâziy, h. 213-217, Sîrah Ibn Hisyâm, h. 289. 40 dirinya, Sayyidah Bint Ahmad menolak terang-terangan, seraya berkata: “Engkau itu utusan yang membawa surat; ambillah surat jawaban kami dan pergilah atau tunggulah karena kami akan mengirim surat kepada Khalîfah, dan kemudian surat jawaban Khalîfah dikirim lagi kepada kami.” Maka, pasukan itu menakut-nakuti dan mengancam Sayyidah Bint Ahmad, hingga Sayyidah Bint Ahmad bersumpah, demi kebaikan Ibn Najib al- Daulah, dengan empat puluh kali sumpah kepada Ibn al- Khayyât. Maka, Sayyidah Bint Ahmad mengirim surat tentang masalah ini kepada sang penguasa, al-‘Ubaidi, seraya memintakan maaf dan memohon pengampunan bagi Ibn Najib al-Daulah, kemudian, ia menyerahkan Ibn Najib al-Daulah kepada Ibn al-Khayyât. Kemudian, ketika Ibn al-Khayyât bergerak meninggalkan daerah Dzi Jabalah sejauh satu marhalah, ia melanggar perjanjian; ia menempatkan piringan besi seberat 100 kati ke kaki Ibn Najib al-Daulah, seraya mencelanya serta mencaci- makinya, kemudian dibawanya ke Aden, lalu dinaikkannya ke kapal air menuju Mesir. 54 iii Ketika ‘Abdullah al-Qa’syariy diangkat sebagai penguasa di Irak, penguasa Persia Iran memerintahkan agar 54 Lihat Yahya ibn al-Husain, Gâyat al-Amâniy fi Akhbâr al-Qatr al-Yamâniy, tahqîq Sa’îd ‘Âsyûr, Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1388 H1968 M, h. 286-287. 41 Mani, pemimpin sekte Maniwiah, agar dibunuh dan agar para pengikutnya dikejar dan dihabisi sehingga tidak tersisa seorang pun. Akan tetapi, mereka memperoleh jaminan keamanan, perlindungan dan ketenteraman di bawah naungan pemerintah Islam; dan Khalifah Khalid banyak memberikan jaminan perlindungan kepada mereka. 55 iv Peristiwa dikalahkannya ‘Utsmân ibn Abî al-‘Alâ’ dalam suatu pertempuran di kawasan dekat Faz oleh tangan kekuatan pasukan Sultan Sulaimân ibn al-Rabî’ al-Murîni pada tahun 707 H1309 M. Kemudian, ia lari ke Andalucía, Granda lantaran takut akan keselamatan jiwanya. Disana ia diangkat oleh Sultan Nasr Abû al- Jiyûsy sebagai komandanpanglima pasukan Andalusia. Ia berhasil memenangkan sebagian besar pertempuran. Hal ini memperkukuh faktor yang mendorong mereka menolak permintaan Sultan Sulaimân ibn al-Rabî’ al- Murîni untuk mengekstradisi Utsmân ibn Abî al-‘Alâ’ meskipun pihak Sultan acapkali menyampaikan ancaman keras, termasuk ancaman pemutusan bantuan negeri Marokko ke Andalusia. 56 55 Syibli al-Nu’mâni, Fadl al-Islâm ‘ala al-Hadârah al-Insâniyyah, tarjamah ‘Abd al-‘Azîz ‘Abd al- Jalîl, Kairo: Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah, 1401 H1981 M, h. 18. 56 Lihat al-Wazîr Ibn al-Khatîb, Kinâsat al-Dukkân ba’da Intiqâl al-Sukkân, haul al-‘Alâqât al- Siyâsiyyah bain Mamlakatai Garnâtah wa al-Magrib fi al-Qarn al-Tsâmin al-Hijriy, tahqîq Kamâl Syibânah, Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1386 H1966 M, , h.22 - 24 42

B. Menurut Hukum Internasional