192
A. Menurut Syariat Islam
Jelaslah bahwa ketentuan ketiga yang disebutkan dalam Pasal 1 Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi belum
dikenal pada masa awal sejarah Islam karena PBB baru didirikan pada tahun 1945, yakni 14 abad setelah
kemunculan Islam. Akan tetapi, karena negara-negara Islam adalah juga anggota PBB dan oleh karenanya mereka secara
otomatis menjadi negara pihak dari Piagam yang melahirkan organisasi dunia itu, ketentuan ini berlaku pula
bagi negara-negara Islam dan wajib diterapkan oleh mereka. Sedangkan dua ketentuan lainnya yang menyangkut
tindak pidana berat, baik dilakukan dengan satu cara ataupun cara lainnya, akan dipaparkan dalam penjelasan
berikut ini :
A.1. Larangan memberikan suaka kepada pelaku tindak kejahatan non-politik
Terdapat larangan memberikan suaka kepada pengungsi yang merupakan pelaku tindak kejahatan,
terutama tindak kejahatan yang diancam dengan sanksi pidana hadd sanksi hukum yang telah baku dalam al-
Qur’an dan Hadis, seperti pembunuhan dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan. Ini merupakan ajaran otentik
Syariat Islam.
193
Faktor penyebab ini dipegang teguh umat Islam dan mereka terapkan di dalam kehidupan sosial mereka sejak dekade
awal sejarah negara Islam dan masa-masa sesudahnya. Dalam kaitan ini, penulis mengemukakan 2 dua indikator
penting.
a Tidak memberikan suaka kepada pelaku tindak
kejahatan, sesuai dengan perjanjian internasional
Apabila terdapat perjanjian yang melarang negara Islam memberikan hak suaka kepada golongan individu
tertentu, dan perjanjian itu tidak bertentangan dengan sumber dan dalil Syariat Islam maka negara Islam wajib
mematuhi perjanjian tersebut karena prinsip kesucian perjanjian dan kewajiban penunaian perjanjian
merupakan prinsip yang sangat sulit dilepaskan dari Syariat Islam.
Sebagai contoh, perjanjian yang dibuat Nabi Muhammad SAW untuk mengikat kaum Muhâjirîn dan Ansâr, yang
mengikutsertakan Yahudi: : “ Sesungguhnya bagi orang yang telah menyepakati
perjanjian dan beriman kepada Allah serta Hari Kiamat tidak boleh menolong orang yang bersalah dan memberi
perlindungan kepadanya. Siapa saja yang menolongnya atau memberikannya perlindungan maka ia terkena
194
laknat dan murka Allah pada Hari Kiamat kelak, tidak dipalingkan darinya sedikitpun.”
238
Contoh lainnya, surat ‘Abd al-‘Azîz ibn Mûsa ibn Nasîr kepada Raja Tadmîr, raja Oreolah, Andalusia
Spanyol Utara: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih,
Maha Penyayang. Ini surat Abd al-‘Azîz ibn Mûsa ibn Nasîr kepada Raja Tadmîr, bahwa ia siap berdamai dan
ia punya perjanjian dengan Allah dan jaminan Nabi SAW; ia tidak boleh melindungi budak yang kabur, tidak
boleh melindungi musuh, tidak boleh menakut-nakuti orang yang terlindungi, dan tidak boleh
menyembunyikan informasi tentang musuh yang ia ketahui.”
239
Contoh lainnya juga, surat Khalifah ‘Umar ibn al- Khattâb kepada Raja Romawi, yakni pada saat Iyâd bin
Nizzâr berangkat ke negeri Romawi di tengah-tengah momen penaklukan Jazirah Arabia:
“Telah sampai informasi kepadaku bahwa seorang tokoh terkemuka bangsa Arab telah meninggalkan negeri
238
Lihat Majmû‘ah al-Watsâiq al-Siyâsiyyah, Bab Nomor 22, al-‘Umarî, Akram Dhiya’, al-Sîrah al- Nabawiyyah al-Sahihah Muhawalah li Tatbîq Qawâid al-Muhaddisin fi Naqd Riwâyât Sîrah, Jilid 1, h. 283;
dan Ibrahim ‘Ali, Sahih al-Sirah al-Nabawiyah Jordan: Dâr al-Nafâis, t.th, cet. ke-6, 1423 H2002 h. 205, al- Sîrah al-Nabawiyah karya Ibn Hisyâm, Jilid I, h. 301. Di antara contohnya adalah peristiwa yang terjadi pada
masa pemerintahan ‘Umar bin al-Khattab ketika ia mengutus Suwaid bin Maqran ke Tabaristan terletak di selatan Laut Kaspia dan masuk wilayah Republik Islam Iran sekarang, lalu ia menulis surat kepada penduduk
Tabaristan yang berbunyi: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ini adalah tulisan Suwaid bin Maqran kepada Farkhan Ashbadz Khurasan yang berkuasa atas Tabaristan… .
Sesungguhnya engkau aman dengan perlindungan Allah untuk mempertahankan atas tanahmu dengan suaramu dan penduduk sekitarnya, maka para pemberontak tidak akan kami lindungi.”, Muhammad al-Khudari, Itmâm
al-Wafâ’ fi Sîrah al-Khulafâ’, h. 88-89.
239
Lihat Muhammad Hammadah, al-Wasâiq al-Siyâsiyyah wa al-Idâriyyah fi al-Andalus wa Syimâl Afriqiyya, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1400 H1980, h. 120.
195
kami dan mendatangi negerimu. Demi Allah keluarkan mereka dari negerimu atau masukkan mereka ke
komunitas Nasrani, kemudian kami akan usir mereka ke negerimu.” Maka, Raja Romawi mengeluarkan mereka
dari negeri Romawi.”
240
Alhasil, pemberian suaka kepada seseorang terkadang terkait dengan perjanjian yang dibuat terhadap
orang tersebut. Tatkala perjanjian telah disetujui maka perjanjian menjadi wajib ditaati dengan syarat-syarat
yang ada dalam kesepakatan itu karena terkadang perjanjian dalam beberapa kondisi tidak dapat diikuti,
dan bahkan dapat menimbulkan adanya pengaruh- pengaruh lain. Di dalam beberapa pergaulan kaum
Muslimin ada hal – hal yang menunjukkan kondisi itu. Tatkala Secularus berlindung kepada Kerajaan
Romawi setelah perang dengan musuhnya, ia meminta perlindungan ke negera Muslim lalu membuat perjanjian
dengan Simsam al-Daulah termasuk perjanjian berikut: “Kamu butuh perlindungan dengan mediasi saudara kami
dan panglima perang kami, Abi Harb Rabar ibn Sarahrakoub. Pikirkan keadaanmu sendiri dalam masa
tinggal dan kebebasanmu yang panjang untuk kembali ke
240
Lihat Ahmad Zakiy Safwât, Jamharat Rasâ’il al-‘Arab, Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th., Jilid I, h. 234.
196
negerimu. Karena itu, ketika kamu telah mendapat jalan dan mendapat peluang kembali ke negerimu untuk
memegang kekuasaan kembali, maka pelindung kami harus menjadi pelindungmu dan musuh kami menjadi
musuhmu, berdamai ketika kami berdamai, dan berperang ketika kami berperang. Kamu harus ikut
mempertahankan kota-kota pelabuhan kami dari serangan musuh dan wilayah lain di bawah kekuasaan
kami dan orang-orang yang masuk dan tunduk kepada kekusaan kami. Jangan pernah kamu mengirim pasukan
untuk menyerang mereka, jangan pernah menginvasi mereka, jangan pernah mengumumkan perselisihan atau
konflik terhadap mereka, dan jangan pernah melakukan tipu daya secara terang-terangan atau sembunyi-
sembunyi. Jangan pernah menyakiti atau melukai mereka secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.”
241
Demikian pula dalam menerima para pengungsi, sebaiknya suatu negara mengikuti ketentuan yang
mengikuti perjanjian internasional yang telah disepakati oleh negara asal pengungsi tersebut.
242
241
Disebutkan dalam Muhammad Mâhir Hammâdi, al-Wasâiq al-Siyâsiyyah wa al-Idâriyyah fi al- Andalus wa Syimâl Afriqiyya, Beirut 1400 H1980M h. 321
242
Misalnya, Raja Lyon yang dikucilkan dari gereja karena dituduh sebagai pengkhianat oleh Paus, dan Paus meminta kepada Raja Portugal untuk memeranginya. Raja Lyon pun menuju Seville, untuk mencari
suaka kepada Khalifah al -Mansur dan meminta bantuan tentara dan uang. Meskipun Khalifah memberikan
sambutan yang baik kepadanya karena Islam melarang perbuatan semena-mena kepada seorang raja, tapi dia tidak
mengabulkan permintaan suaka, karena adanya perjanjian gencatan senjata dan perjanjian damai antara
197
b Tidak boleh memberikan suaka kepada pengungsi yang terlibat tindakan kejahatan serius yang
dilakukan di negara asalnya.
Tujuan utama dari pemberian suaka ialah melindungi seseorang dari penganiayaan yang mungkin
menimpanya bila ia harus tinggal di negara asalnya atau di tempat lain. Oleh karena itu, seharusnya seorang
pengungsi tidak boleh terlibat tindakan kejahatan serius, lalu ia ingin mencari suaka untuk bebas dari hukuman
yakni menikmati impunitas. Dalam hal ini, al-Haitami menganggap tindakan melindungi mereka dari upaya
orang-orang yang berusaha menebus hak dari mereka sebagai dosa besar. Yang dimaksud mereka di sini adalah
orang yang melakukan suatu pelanggaran pidana menurut Syariat Islam. Hal ini diperkuat oleh Hadis yang
diriwayatkan dari Ali ibn Abi Tâlib: Allah melaknat orang yang menyembelih dengan selain nama Allah.
Allah melaknat orang yang mengutuk orang tuanya.
Dinasti al -Muwahhidin dan Raja Castile. Lihat Dr Abdul Hadi al-Tazi, al-Tarîkh al-Diblûmasiy fi al-Magrîb min
Aqdam al-Usûr ila al-Yaum, t.t.p: Matâbi’ al-Fadalah al-Muhammadiyyah, 1407 H1987 M, Jilid VI, h.66.
Bila tidak ada perjanjian internasional yang melarang pemberian suaka, maka aturan yang berlaku
bahwa semua tindakan pada dasarnya diperbolehkan mubâhât, yaitu apa yang tidak tegas dilarang,
diperbolehkan .
Oleh karena itu ,
suaka dapat diberikan
dalam kasus tersebut.
Jadi , Abû Syâmah mengatakan bahwa penguasa Tripoli Libya pernah minta suaka kepada Sultan Dinasti al-
Ayyubi, Salahuddin Saladin, lalu ia masuk Islam dan Sultan Salahuddn mendukungnya. Lihat Abu Syamah ‘Uyun ar-Raudatain fi Akhbâr al-Daulatain al-Nuriyyah wa al-Salahiyyah, Damaskus: Wizârat al-Tsaqâfah,
1992, Jilid II, h 131.
198
Allah melaknat orang yang memindahkan patok tanah.
243
Karena Islam tidak mengizinkan kezaliman dalam bentuk apapun, maka Islam tidak menyetujui pemberian suaka
kepada orang-orang semacam ini,
244
khususnya bila pengungsi tersebut seorang kepala negara atau pengambil
keputusan atau para pelaku kriminal berbahaya. Dalam nada yang sama, Ibn Taimiyah
mengatakan:
245
Hal yang biasa terjadi ialah banyak kepala suku dari desa atau perkotaan yang dimintai suaka oleh seseorang
yang mengalami kesulitan; atau orang yang memiliki hubungan keluarga atau pertemanan. Didorong oleh
tradisi Jahiliah atau arogansi kelompok, dan mengejar popularitas, mereka membantunya, meski ia adalah
seorang penindas batil, dengan memperlakukannya sebagai korban yang dizalimi, terutama jika pimpinan
243
Lihat Sahih Muslim, Hadis No.1978, Jilid 3 h. 1567; dan Musnad Iman Ahmad, musnad Ali ibn Abi Thalib, Hadis No. 855, Jilid 2 h. 212.
244
Dalam interpretasi Hadis Nabi Muhammad SAW: Setiap Muslim adalah sama di dalam darah; terendah-peringkat di antara mereka dapat memberikan keamanan
dan zimma jaminan satu dengan lainnya. Tidak akan pernah seorang muslim dibunuh karena membunuh orang kafir dan tidaklah orang di bawah perjanjian damai dapat dibunuh selama ia mematuhi perjanjian.
Orang yang melakukan pelanggaran akan bertanggung jawab untuk itu. Mereka yang melakukan pelanggaran atau melindungi pelaku akan mendapat kutukan Allah, malaikat dan semua orang.
Imam al-Khattabî menyatakan: Perkataan Nabi SAW “Orang yang memberikan perlindungan kepada pelaku kejahatan akan mendapat kutukan Allah” mengandung makna bahwa orang yang memberikan
perlindungan kepada pelaku kriminal, atau memberikan perlindungan diri pelaku kriminal dari seterunya atau menghalanginya dari hukuman qisâs, maka ia akan mendapat kutukan Allah, malaikat, dan semua orang. Imam
al-Khattabî, Maâlim al-Sunan, Jilid 4, h. 16-19.
Untuk arti ungkapan siapa memberikan perlindungan kepada pelaku dosa, Lihat Ibn Hajar al-Asqalânî Fath al-Bâri bi Syarh Sahih al-Bukhârî, Jilid 13, h. 239-240.
245
Ibn Taimiyah, Majmû’ah Fatâwa Ibn Taimiyah, Ibn Qâsim al-Najdî ed., Riyadh: Matâbi’ al- Hukûmah, 1381 H, Jilid 28, h. 326-327.
199
orang-orang tadi dianggap sebagai musuh mereka. Dalam hal ini mereka berpikir bahwa menyerahkan pencari
suaka kepada musuh akan menjadi tanda kehinaan dan kelemahan. Ini merupakan sikap Jahiliah, salah satu
bahaya terbesar untuk agama dan dunia ini. Telah diriwayatkan bahwa inilah yang sering menjdi sebab
pemicu perang sipil antar suku Arab dalam masa pra- Islam, seperti perang Basus, perang antara Bani Bakar
dan Taghlib, dan sebagainya. Faktor ini pula penyebab intervensi orang-orang Turki dan Mongol ke wilayah
Islam dan penguasaan wilayah Mesopotamia dan Khurasan.
Ibnu Taimiyah menambahkan, untuk menguatkan pendapat terdahulu:
Ini adalah tugas setiap orang untuk memberikan bantuan dan perlindungan bagi orang yang mencari perlindungan,
jika ia terbukti benar-benar terzalimi. Seorang pria tidak akan dinilai sebagai terzalimi hanya berdasarkan klaim
mereka sendiri. Sering terjadi orang mengadu, meskipun mungkin dirinya sendiri adalah orang zalim. Seharusnya
ia diverifikasi dahulu kepada lawannya atau sumber lainnya. Bila ia terbukti menjadi orang zalim, maka ia
akan ditolak dengan cara halus dan jika memungkinkan
200
dengan perdamaian atau penilaian yang adil, atau bila tidak memungkinkan baru dengan tindakan keras.
246
A.2. Diperbolehkannya ektradisi pengungsi
Menurut Syariat Islam
247
pengungsi dapat diekstradisi dalam dua kasus:
246
Cerita berikut menunjukkan di mana pencari suaka dengan secara terpaksa meminta perlindungan setelah melakukan tindakan kejahatan di negara asalnya ketika mereka memiliki kekuasaan. Contohnya, ketika
Bani Marwan Dinasti Umayyah melarikan diri ke Ethiopia Abessinia Habsy, ketika Abbasiyyah mengambil alih kekuasaan. Kaisar Ethiopia bertanya, “Apa yang membawa Anda ke sini?”. “Penguasa baru telah
mengubah nasib kami, maka kami mencari suaka kepada Anda.” jawabnya. Lalu Kaisar berkata, “Anda mengklaim Nabi Anda melarang minum arak, tapi mengapa Anda meminumnya”. Ia berkata: ‘Yang melakukan
hanyalah orang-orang tak bermoral diantara kami”. Kaisar berkata lagi “Anda mengatakan bahwa dilarang berpakaian sutra, mengapa Anda memakainya?. Bani Marwan berkata: “Hanya beberapa pengikut kami saja
yang melakukan”. Kaisar berkata: “ Dan ketika Anda berangkat untuk berburu burung gereja, Anda mengepung desa-desa, merebut harta milik mereka, dan merusak perkebunan mereka.” Jawab mereka: “Hanya orang bodoh
yang melakukannya”. Kaisar berkata: “Tidak, demi Allah. Akibat kesalahan-kesalahan itu, Anda telah melakukan dosa terhadap Tuhan, sehingga Ia lucuti kekuasaan Anda“. Lihat Ibn al-Jauzi, al-Syifâ’ fi Mawa’iz
al-Muluk wal-Khulafâ , tahqîq Fuad ‘Abd al-Munim, Iskandariyah: Muassasat Syabâb al-Jâmiah, 1398 H1978 M, h. 60.
Dalam hal ini kami juga mengutip pendapat Ibn Syâhin bahwa seorang raja tidak boleh bersikap penuh kedekatan kepada setiap buronan dari seorang raja rekan, atau mengungkapkan rahasia raja rekan
kepadanya, tetapi harus menghormati dan menjauhi sikap demikian. Bila ia melarikan diri dari raja musuh, dia harus berhati-hati karena bisa jadi buronan tadi mungkin bertindak tidak terpuji kepada tuannya; atau ia
membuat intrik untuk mendapatkan informasi tentang keadaan di negara suaka dan kemudian melaporkan kepada rajanya. Atau buron mungkin dapat berdampak kepada demoralisasi pada prajurit. Jika buronan
melarikan diri dari seorang raja, maka bersikap diam dan tidak terlalu dekat kepadanya adalah upaya menghindari bahaya. Mengenai seorang buronan yang dijatuhi hukuman mati, berusaha berlindung pada raja
negara suaka, kami telah jelaskan sebelumnya terkait perkataan Amirul Mukminin, “Engkau jangan sekali-kali mengabaikan hukuman yang telah ditentukan Allah. Jika buronan memiliki dosa dan kemudian bertobat, upaya-
upaya harus dilakukan untuk meminta permaafan sehingga ia bisa kembali ke tuannya.. Lihat Gars al-Dîn ibn Syâhin al-Zâhirî, Kitab Kasyf al-Zubdât Mamâlik Bayân wa al-Turuq wa al-Masâlik, tashîh Bolos Rawis,
Kairo: Dâr al-‘Arab al-Bustânî, 1988-1989, h. 60-61.
Ini berarti bahwa Ibn Syâhin menetapkan tiga aturan khusus untuk pengungsi: 1. Perlu kehati-hatian penuh, karena seorang buron yang datang ke negara Islam mungkin telah dikirim untuk
tujuan lain; misalnya untuk mengumpulkan informasi. Dengan demikian, Ibn Syahin telah meramalkan praktek yang digunakan oleh badan intelijen modern dalam menyebarkan orang kepada negara-negara lain
secara rahasia dalam penyamaran sebagai pengungsi politik, pembangkang, atau terdakwa yang dicari untuk diadili atas kejahatan yang dilakukan.
2. Jika buron telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hadd, maka raja harus memulangkannya, mengingat dia diperlukan agar tidak mengganggu penegakan hukuman yang ditentukan Ilahi hudûd.
Rupanya Ibn Syâhin membatasi ketentuan ini dalam hubungan antar negara Islam yang mengadopsi konsep hudûd.
3. Jika pelakunya bertobat dari tindakan yang telah dilakukan misalnya, dengan tidak menyerang rezim di negara asalnya dan mundur dari ajakan untuk menggulingkan pemerintah, maka negara Islam mungkin ikut
campur dan meminta amnesti bagi dia atau memulangkan dia asalkan ada jaminan bahwa ia tidak akan dihukum dalam kasus ini. Lihat Dr Ahmed Abu al-Wafa, Kitab al-I’lâm bi al-Qânûn Qawâîd al-Dauliy wa
al-‘Alâqât al-Dauliyyah fi Syarî’at al-Islâm, Jilid XIV, h. 555-556.
201
a Ektradisi pengungsi pelaku kriminal: Sejauh mana ekstradisi pelaku kriminal diperbolehkan dalam
Islam
Idealnya, seorang tersangka pelaku tindak kriminal, diadili dalam persidangan di negara tempat ia berbuat
tindakan tersebut. Sebab dengan demikian, proses lainnya akan lebih mudah dilaksanakan, seperti pengadaan barang
bukti, pendengaran pernyataan para saksi, inspeksi ke Tempat Kejadian Perkara TKP dan penelitian terhadap
kondisi – kondisi lainnya. Namun kenyataannya, banyak negara di dunia ini tidak mau menyerahkan atau tidak
memprioritaskan penyerahan warga negaranya ke negara lain untuk diproses di pengadilan sesuai dengan undang-
undang yang berlaku. Bagaimana pandangan Syariat Islam dalam hal ini ?
Ada 2 dua aspek pokok dalam Syariat Islam khususnya terkait dalam kasus bila pelaku kriminal tersebut seorang
Muslim yang melakukan kejahatan di dar al-harb negara yang sedang berkonflik dengan Negara Islam kemudian ia
lari ke negara Islam. i. Aspek yang pertama: “Aspek Personalitas”:
Dimungkinkan penetapan hukuman dalam kondisi ini,
247
Lihat juga “Extradition Problems Affecting Refugees ” dalam Conclusions on the International Protection of Refugees, adopted by the Executive Committee of the UNHCR Programme, Cairo, 2004, 39, No.
17 XXXI
202
karena setiap Muslim wajib tunduk kepada Syariat Islam dimanapun ia berada. Mayoritas ulama berpendapat
demikian. ii. Aspek kedua: ”Aspek Teritorial”: Dapat dilihat bahwa
hukuman terhadap tindak pidana menjadi tergantung pada eksistensi yurisdiksi Islam pada saat terjadinya
tindak pidana itu. Bila yurisdiksi ini tidak ada di wilayah dar al-harb, maka seorang Muslim tidak dapat dihukum
karena tindakan yang dilakukannya di luar negara Islam. Pendapat ini didukung oleh Mazhab Hanafi.
Akan tetapi apakah boleh, terkait dengan kewajiban ini, menyerahkan seorang Muslim atau dzimmiy ke dar al-harb
untuk diadili karena kejahatan yang dilakukannya disana walaupun dalam rangka penerapan perjanjian internasional?
248
248
Mantan Mufti Republik Arab Mesir, Prof. Dr. Nasr Farîd Wâsil mendukung ekstradisi Osama bin Laden dengan alasan-alasan berikut: Perang melawan Afghanistan menjadikan orang sipil tak berdosa dan
lemah sebagai sasaran. Oleh karena itu, dalam situasi seperti ini tidak ada keberatan dari perspektif Syariat Islam, Osama bin Laden menyerahkan diri karena oleh Amerika Serikat karena dianggap sebagai terdakwa
utama tindakan terorisme di New York dan Washington, agar diadili dalam rangka menjaga perdamaian dunia dan keselamatan orang Afghan. Sebagai alternatif, rezim Taliban yang memberinya tempat berlindung, dapat
menyerahkannya ke pengadilan di bawah Organisasi Islam Internasional atau badan yang netral di bawah pengawasan internasional untuk memastikan bahwa ia akan diadili secara adil, dengan menyelamatkan warga
sipil Afghanistan yang lemah dan telah menjadi korban untuk penindasan dan agresi. Jadi, jika penghentian perang melawan Afghanistan dan pemulihan perdamaian internasional memerlukan ekstradisi Osama bin Laden,
ia harus menyerahkan diri kepada suatu badan internasional di mana keadilan dapat ditegakkan oleh pengadilan yang adil, sebagaimana diabadikan oleh hukum universal yang diakui syariat-syariat agama Samawi dan
kesepakatan hukum internasional. Yang penting bahwa pengadilan yang adil harus dipastikan dan Osama bin Laden harus memiliki kesempatan untuk membela diri dan menyerahkan bukti-bukti untuk membantah tuduhan
terhadap dirinya. Akan tetapi apabila ada kebutuhan mendesak yang berarti bahwa kebenaran tidak dapat diungkap atau keadilan dapat ditegakkan kecuali bila sidang dilakukan oleh seorang hakim Muslim, dalam hal
ini Osama bin Laden harus diadili di depan pengadilan Islam ... Lihat Nasr Farîd Wâsil, “ Mufâja’ah Yufajjiuraha Mufti al-Jumhûriyyah: Taslîm Bin Laden li-Amrika Wâjib bi Syurût’ “, Jarîdah Saut al-Azhar, 23
Syaban, 1422 HNovember 9, 2001, h. 3.
203
Dalam hal ini, Syekh Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan dengan alasan sebagai
berikut: i. Kesepakatan para ahli Syariat Islam bahwa seorang
Muslim tidak boleh diadili oleh hakim non-Muslim. ii. Kesepakatan para ahli Syariat Islam bahwa seorang
Muslim tidak boleh diadili dengan hukum yang tidak berdasar al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
249
b Ekstradisi sebagai penerapan perjanjian internasional
Jika sebuah negara Islam terikat dengan perjanjian internasional yang memungkinkan untuk mengekstradisi
seseorang, maka tidak diragukan lagi negara tersebut harus menghormati kewajibannya, mengingat bahwa pemenuhan janji
adalah aturan dasar Syariat Islam.
250
249
Syekh Muhammad Abû Zahrah, al-Jarîmah, Kairo: Dâr al-Fikr al-Arabî,t.th., h. 382-383. Hal senada dijelaskan pula oleh Mahmûd Ibrâhim Dik, al-Mu’âhadât fi al-Syarî’ah al-Islamiyyah wa al-Qanûn al-
Duwalî al-‘Âmm, Dubai: al-Bayân al-Tijâriyah, h. 352-354. Seorang ahli menyatakan bahwa Islam adalah agama yang mengatur tentang ekstradisi para pelaku
kriminal berdasarkan kalam Allah: “Barang siapa membunuh sebuah jiwa tanpa alasan yang benar atau membuat kerusakan di atas
bumi, maka seolah-olah ia membunuh manusia seluruhnya dan barangsiapa memberikan kehidupan kepada seorang manusia maka seolah-olah ia memberikan kehidupan kepada seluruh manusia”. Q.S. al-Mâ’idah5:
32. Ini berarti bahwa keadilan harus merata, dan penjahat harus dihukum. Dia menambahkan:
“Lislam pose, le premier, le Principe de lekstradisi, en indiquant de la Facon la rationnelle et la, la sur laquelle dasar Noelle fondée est. En effet, il est dit dans le Quran SV ay. 32: «Celui qui aura un homme tue
sera regardé meurtrier du genre humain», nest - ce pas la de lindivisibilité justice de la et de la nécéssité de punir les coupables, nonobstant les politiques et les Frontières teori basées sur la theories de la souveraineté des
Etats et la territorialité, des lois pénales “. Lihat A. Rechid, LIslam et le droit des gens, RCADI, 1937, II, h. 434.
Menurut Hamidullah:”Jika orang dari negara Muslim melakukan kejahatan di negara luar, meskipun tindakan kejahatan tersebut dilakukan untuk melawan non-Muslim, maka kasus mereka tidak dapat diadili
dalam pengadilan Muslim, meskipun mereka mungkin akan diekstradisi jika ada perjanjian yang efektif. Hamidullah, Muslim Conduct State, Sh. M. Ashraf, Lahore:tp. 1945, h. 178.
250
Lihat juga al-Mâwardî, al-Hâwi al-Kabîr, Jilid 18, h. 412, 426.
204
Hal ini dapat disimpulkan dari insiden yang terjadi setelah Perjanjian Hudaybiyyah, ketika Abu Basir datang kepada Nabi
Muhammad SAW, lalu suku Quraisy mengirim dua orang untuk meminta ekstradisi. Nabi Muhammad SAW berkata
kepada Abu-Basir, Wahai Abu-Basir, kami telah memberikan orang-orang ini apa yang anda tahu perjanjian
251
dan dalam agama kami, pengkhianatan tidak pantas bagi kami. Allah Yang
Maha Kuasa akan memberikan anda dan orang-orang yang lemah jalan keluar dan melepaskan dari penderitaan. Jadi
kembalilah kepada kaummu. Abu Basir berkata: Wahai Rasulullah, apakah engkau akan mengembalikan saya kepada
orang-orang kafir untuk membujuk saya keluar dari iman? Nabi Muhammad SAW menegaskan: “Wahai Abu-Basir, pulanglah
kepada kaummu, karena Allah akan memberikan kamu dan orang-orang yang lemah jalan keluar dan melepaskan diri dari
penderitaan”. Maka Abu-Basir kembali ke kaumnya. Kemudian orang-orang Islam mulai tidak membiarkan orang mengunjungi
suku Quraisy. Akibatnya orang Quraisy menderita kerugian akibat apa yang mereka dilakukan. Lalu suku Quraisy menulis
surat kepada Nabi Muhammad SAW meminta untuk membawa mereka ke Madinah. Kemudian ayat al-Quran turun
menggantikan kata ketentuan dalam hal pemulangan wanita-
251
Perjanjian yang disepakati kedua pihak adalah: ”Apabila salah seorang dari kami, bahkan yang seagama denganmu Islam, datang kepadamu, maka engkau harus mengembalikannya kepada kami.”
205
wanita Mukmin,
252
Nabi Muhammad pun membuat ketentuan yang melarang ekstradisi wanita-wanita Mukmin.
Namun, dapatkah dikatakan bahwa ada pertentangan antara prinsip yang disebutkan sebelumnya mengenai tidak
memperbolehkan ekstradisi pengungsi dan peristiwa yang terjadi selama perjanjian Hudaybiyyah?. Yakni ketika umat
Islam memulangkan pengungsi dari Mekkah, meski mereka Muslim. Sementara itu orang Quraisy tidak akan mengizinkan
Muslim masuk ke tanah mereka? Realitasnya, apabila ditinjau dari pengamatan yang
sederhana pertentangan itu memang ada. Namun bila ditinjau secara mendalam, pertentangan itu tidak ada, didasari dengan
dua alasan berikut: 1 Menurut Syariat Islam, pemenuhan janji merupakan suatu
prasyarat yang wajib.
252
Ketentuan itu berdasarkan ayat “ujian” di dalam suarat al-Mumtahanah ayat 10. Ayat itu berbunyi sebagai berikut:
Hai orang-orang beriman Ketika ada datang kepada kamu pengungsi wanita yang beriman, ujilah mereka: Allah tahu yang terbaik untuk iman mereka: jika kamu memastikan bahwa mereka beriman, janganlah
mengirimkan mereka kembali kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal sebagai istri untuk orang-orang kafir, atau orang kafir tidak halal suami untuk mereka. bayarlah kepada orang-orang kafir apa yang mereka
telah menghabiskan pada mahar mereka. Dan tidak akan ada atas kamu jika kamu menikahi mereka. Q.S. al- Mumtahanah60:10.
Mengomentari hal itu Ibn Hisyâm berkata: “Seandainya tidak ada ketentuan Allah tentang hal itu, Nabi Muhammad SAW akan memulangkan wanita-wanita Quraisy seperti yang dilakukannya dengan pria. Dan kalau
bukan karena gencatan senjata dan perjanjian damai dengan Quraisy di Hudaybiyya, beliau akan tetap menahan wanita-wanita itu dan menjadikannya tebusan. Ini adalah sikap Nabi SAW terhadap wanita-wanita muslim
sebelum adanya perjanjian. Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid 2, h. 326-327.
al-Hâzimî mengatakan tentang tidak dapat diterimanya pemulangan wanita: “Ada sebuah dalil bahwa jika kepala negara membuat syarat dalam perjanjian yang tidak boleh dilakasanakan karena bertentangan dengan
agama, maka syarat itu dianggap batal. Hal ini sesuai dengan Hadis Nabi Muhammad SAW: “Setiap ketentuan yang tidak terdapat dalam Kitab Allah maka ketentuan itu batal.” Lihat Muhammad ibn Mûsa al-Hâzimî, al-
Itibâr fi Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Âtsâr, op cit, h. 332.
206
2 Namun, ini tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Hal yang harus dipenuhi adalah musta’min dijamin
keselamatannya serta keamanan hidup dan harta miliknya. Hal ini membawa kita untuk mengatakan bahwa ekstradisi
dapat diterima dalam Islam setelah adanya perjanjian antara negaranya dengan negera Islam. Bila tidak ada perjanjian,
maka orang tersebut tidak dapat diekstradisi, karena bila tetap diekstradisi, maka hal itu akan dianggap sebagai
pengkhianatan dan pelanggaran hak aman yang sudah ada sebelumnya, mengingat bahwa tinggal terus-menerus tanpa
perjanjian adalah tanda kerelaannya untuk tunduk kepada hukum-hukum yang berlaku di negara Islam.
Menurut pendapat kami, kepala negara Islam harus menetapkan untuk mustamin, waktu untuk kembali ke negara
asalnya atau tempat lain pilihannya, demikian untuk mempertahankan “aman” yang diberikan kepadanya, dalam
penerapan prinsip tidak boleh ektradisi ke tempat di mana ada kekhawatiran akan dianiaya
253
dan dalam rangka pencegahan pengkhianatan dalam bentuk apapun.
253
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa ekstradisi oleh negara atas warga negara dari sebuah negara asing untuk dipulangkan ke negara mereka, tidak bertentangan dengan perjanjian “aman” atau Syariat
Islam, karena “aman” yang diberikan kepada mustamin, apabila ada perjanjian ekstradisi, telah memenuhi syarat dengan kondisi implisit dimnî yakni memulangkannya ke negaranya, jika ada permintaan dan syarat-
syarat untuk ekstradisi terpenuhi. Lihat Dr `Abd al-Karîm Zaydân, Ahkâm al-Dzimmiyyîn wa al-Musta’minîn fî Dâr al-Islâm, Baghdad; Maktabah al-Quds, Beirut: Muassasât al-Risâlah1402 H1982 M, h.121
Bahkan kita percaya bahwa ini dapat terjadi hanya jika perjanjian ekstradisi disepakati sebelum pemberian hak “aman”. Dalam hal demikian, ekstradisi akan berlaku di bawah syarat yang jelas dan didasarkan
pada pengetahuan sebelumnya oleh mustamin tersebut. Di sisi lain, jika perjanjian ekstradisi itu disepakati setelah pemberian hak aman, maka musta’min tidak dapat diekstradisi, tetapi ia akan ditawarkan pilihan untuk
207
Preseden perjanjian Hudaybiyyah menunjukkan dua pertimbangan:
Pertama: Negara Islam boleh mengektradisi Muslim jika terikat dalam perjanjian internasional, asalkan ia telah memasuki
wilayah Islam setelah ratifikasi perjanjian. Kedua: Dia yang masuk negara Islam sebelum ratifikasi
perjanjian internasional, tidak dikenakan ketentuan ekstradisi karena tidak adanya kesepakatan yang tersedia terkait hal itu.
254
Selain Perjanjian Hudaybiyyah, terdapat pula sebagai contoh dari sebuah perjanjian internasional yang ditandatangani oleh
negara Islam untuk mengekstradisi orang tertentu. Banyak contoh yang dapat ditelusuri dalam praktek negara-negara
Islam.
255
diantar ke tempat di mana ia merasa aman. Dalam kasus ini, tidak bisa dikatakan bahwa adanya “syarat dimnî dibenarkan untuk ekstradisi. Dalam pandangan kami, ini adalah pandangan asumtif yang tidak sesuai dengan
kenyataan. al-Syaukânî mengatakan, Ketahuilah bahwa kembalinya orang-orang kafir yang melarikan diri ke
tanah Muslim, yang ingin memeluk Islam, jelas bertentangan dengan ketentuan Syariat dan persyaratan kehormatan Islam. Hal ini tidak dapat dilakukan kecuali jika penguasa cenderung untuk percaya bahwa jika hal
ini tidak dilakukan, akan terdapat kerugian jauh lebih besar oleh orang-orang kafir terhadap kekuasaan Islam. Lihat al-Syaukânî, al-Sail al-Jarrâr al-Mutadaffiq alâ Hadâiq al-Azhâr. h. 537.
254
Pada saat perang Hudaybiyyah, dua orang budak datang kepada Nabi Muhammad SAW sebelum perjanjian perdamaian ditandatangani. Tuan-tuan mereka menulis kepada Nabi dan berkata, “Wahai
Muhammad, mereka datang kepada anda bukan karena mencintai agama anda, tetapi dalam rangka lari dari perbudakan”. Beberapa sahabat Nabi berkata: “Mereka benar, wahai Rasulullah”. Nabi menjawab, “Anda kaum
Quraisy, aku lihat kalian tidak akan dihalangi sampai Allah mengirimkan kepada kalian beberapa orang untuk memotong leher kalian untuk ini”. Dia menolak untuk mengembalikan mereka ke perbudakan, Nabi
mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang dimerdekakan Allah” Lihat al-Khattabî, Ma‘âlim al-Sunan, Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1401 H 1981 M, Jilid. 2, h. 295.
255
Salah satu contoh adalah perjanjian antara Muslim dan dengan bangsa Nubia yang menyatakan: “Kami dengan ini melakukan kontrak dan perjanjian agar kalian memberikan kepada kami tiga ratus kepala
sapi setiap tahun; dan kalian boleh masuk ke negeri kami untuk transit bukan untuk tujuan tinggal. Demikian pula kami dapat memasuki negara kalian dengan ketentuan yang sama. Namun, jika Anda membunuh seorang
Muslim, maka perjanjian ini akan dibatalkan; dan jika Anda memberikan suaka bagi budak yang dimiliki oleh umat Islam, maka kalian harus memulangkan budak Muslim yang lari atau dzimmî yang meminta suaka kepada
208
Jika tidak ada perjanjian sejenis yang disepakati maka urusannya dikembalikan kepada kebijaksanaan penguasa
dimana pengungsi berada di sana.
256
kalian. Lihat Ibn ‘Abd al-Hakam, Futûh Misr wa al-Maghrîb, diedit oleh ‘Abd al-Munim Âmir, Kairo: Lajnah al-Bayân al-‘Arabî, Bagian Sejarah, h. 254.
Contoh lain adalah perjanjian antara Sultan Mamluk dan Gubernur Acca yang berbunyi :Setiap kali ada seorang yang secara sukarela lari dari wilayah di bawah kekuasaan Sultan dan putranya ke Acca, maka segala
harta benda, pakaian dan barang – barang yang dibawanya, harus ditanggalkan daripadanya dan dikembalikan ke negara Sultan dan orang tersebut ditinggalkan seadanya. Jika ia tidak memiliki niat untuk masuk Kristen,
dia akan kembali ke pintu-pintu negeri asalnya beserta semua harta benda dengan pertolongan orang-orang yang dapat dipercaya setelah diberikan hak aman. Demikian juga, jika salah satu orang dari Acca atau kota-kota
pesisir yang termasuk dalam perjanjian ini, datang dengan niat memeluk Islam lalu memeluk Islam dengan keinginannya sendiri, maka semua harta bendanya harus ditanggalkan daripadanya dan dikembalikan ke tempat
asalnya, dan ia dibiarkan ditinggalkan seadanya atas pilihannya. Jika ia tidak memiliki niat untuk masuk Islam dan ia benar-benar tidak mengubah agamanya, dia akan dikembalikan bersama dengan semua harta bendanya
kepada pemerintah Acca dan diberikan bantuan setelah diberikan hak “aman” Lihat al-Qalqasyandî, Subh al- A’syâ, Jilid 14, h.56-57.
Terdapat pula contoh perjanjian yang diratifikasi antara Raja Levon dari Cisse dan Sultan Qalawun yang berbunyi:
Setiap kali ada orang melarikan diri dari negeri Sultan Qalawun, Raja Levon dan wakilnya harus menahan dan memulangkannya ke negeri Sultan ...Jika salah seorang rakyat, budak, atau tentara Raja Levon
melarikan diri dan tetap mematuhi agamanya, maka wakil Sultan berjanji untuk memulangkannya. Tetapi jika ia memeluk Islam, maka harta benda yang dibawanya harus dikembalikan. Lihat Muhyi al-Dîn bin Abd al-Zâhir,
Tasyrîf al-Ayyâm wa al-‘Usûr fî Sirah al-Malik al-Mansûr, diedit oleh Murâd Kâmil, Kairo: Wizârah al- Tsaqafah wa al-Irsyâd al-Qaumî, 1961, h.100. Lihat juga h. 101: “Setiap kali sesuatu diambil atau seseorang
dari salah satu pihak tewas, pelaku harus diekstradisi untuk dikisas”.
Contoh lebih lanjut dapat dilihat pada perjanjian antara al-Mansur Qalawun dan Rodrigon dari Barcelona dan saudaranya penguasa Sisilia, yang menyatakan :”Setiap kali seseorang dari negara-negara di
bawah Sultan Qalawun yang terikat dengan perjanjian damai ini, melarikan diri ke wilayah Raja Rodrigon dan saudara-saudaranya atau membawa barang kepada pihak lain dan berada di negara-negara tersebut, Rodrigon
akan mengembalikannya beserta harta yang dibawanya ke wilayah Sultan, selama dia tetap seorang Muslim. Jika ia pindah agama ke Kristen, maka harta benda yang dibawanya, baik yang miliknya sendiri atau yang ia
peroleh dari kerajaan Rodrigon dan saudaranya, harus dikembalikan. Termasuk juga mereka yang lari dari negaranya memasuki teritori dibawah kekuasaan Sultan.. Lihat teks dalam Dr Muhammad Mâhir Hammadah,
al-Watsâiq al-Siyâsiyah wa al-Idâriyah li al-‘Asr al-Mamlûkî, Beirut: Muassasât al-Risâlah, 1403 H 1983 M, h. 490.
256
` Ibn Tabâtiba menjelaskan tentang Dubays bin Shadaqah, penguasa Hillah dengan cara menceritakan kisah pemberian suaka Pangeran Abû al-Hasan, saudara Khalifah al-Mustarsyid: “Dubays adalah
tuan rumah, pelindung, tempat perlindungan dan benteng. Di bawah kekuasaannya, Hillah adalah pusat wisatawan, tempat perlindungan bagi musafir, benteng untuk orang terusir, dan pegangan bagi orang-orang
ketakutan”. Lalu Khalifah memintanya untuk mengucapkan sumpah kesetiaan kepada Khalifah dan mengekstradisi saudaranya. Dia setuju untuk mengucapakan sumpah kesetiaan, tetapi menolak untuk
mengekstradisi saudara Khalifah. Ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menyerahkannya kepada anda dan ia akan tetap menjadi tamuku bahkan jika saya harus tewas dalam membelanya.”Lihat Ibn Tabâtiba, al-Fakhr fi al-
Adab al-Sultâniyyah wa Duwal al-Islâmiyyah, Beirut: Dâr Sadir, t.th, h. 302.
Penyair ‘Adîl bin al-Farkh pernah menulis sebuah puisi yang menyebabkan kemarahan al-Hajjaj salah seorang gubernur pada masa Dinasti Abbasiyyah, dan menginginkan ia ditangkap. Tapi ‘Adîl berhasil
melarikan diri ke wilayah Romawi. Al-Hajjâj pun menulis surat kepada Kaisar Romawi, Demi Allah, jika anda tidak mengirimnya kembali ke saya, saya akan mengirimkan tentara perang kepada anda, yang dimulai padamu
dan berakhir padaku Kemudian ‘Adîl dipanggil dan dipulangkan ke al-Hajjâj tapi al-Hajjâj kemudian melepaskannya setelah penyair tadi menulis sebuah puisi yang memujinya. Lihat al-Raqqâm al-Basrî, Kitâb al-
Afw wa al-Itidzâr, Riyâd: Jâmi’ah Imam Muhammad bin Sa‘ûd al-Islamiyyah, 1401 H1981, Jilid 2, h. 353-
209
Hal tersebut di atas tidak bertentangan dengan Syariat Islam.
A.3.Sejauh mana
ekstradisi dapat diterapkan bagi pengungsi tawanan perang
Menurut Syariat Islam, disebutkan sebelumnya bahwa dibolehkan memberikan suaka teritorial bagi tawanan perang
yang berasal dari negara non-Islam, jika mereka memeluk Islam atau menjadi dzimmiy. Akan tetapi, apakah boleh
mengekstradisi tawanan perang yang beragama Islam yang lari
dari kawasan musuh untuk menyelamatkan diri dari musuh?
Dapat disimpulkkan bahwa para ahli Syariat Islam hampir sepakat bahwa tawanan Muslim tidak boleh dikembalikan
kepada musuh dalam kondisi seperti ini, meskipun ada perjanjian internasional yang membolehkan adanya ekstradisi,
karena perjanjian tersebut dipandang tidak sesuai dengan kondisi atau dianggap batal. Dan hal itu menjadi sesuatu yang
tidak boleh dilakukan.
257
Menurut Ibn Hazm, Jika seorang tawanan Muslim berada di tangan orang-orang kafir kemudian mereka membuat
perjanjian dengan meminta tebusan untuk pembebasannya,
356. Diantara contoh suaka adalah suaka Ibn al-Asyâts ke Kabul, Afghanistan, dan selama masa pemerintahan al-Hajjâj, di mana ia telah diberikan suaka oleh Shah Kabul, h. 368.
257
Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Azis, ia mengatakan, “Jika seorang tawanan perang muslim lari untuk mempertahankan hidupnya, ia akan ditebus oleh Muslim lain dan tidak akan dikembalikan kepada non-
Muslim, sebagaimana Allah SWT berkalam: Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, dan tidak halal bagi anda
untuk mengusir mereka. Ini ada di dalam bahasa Arabnya” Q.S. al-Baqarah2:85. Lihat Imam Hamîd bin Zanjawaih. Kitâb al-Amwâl, Riyâd: Markaz Mâlik Faisal li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-Islâmiyyah, 1406
H1986 M, Jilid I, h. 323.
210
jika akhirnya ia benar-benar dibebaskan, maka ia tidak boleh kembali kepada mereka atau memberikan apapun kepada
mereka, dan pemimpin Islam tidak boleh memaksanya untuk memberikan tebusan apapun kepada mereka.
258
Hal ini berlaku jika tawanan tersebut adalah Muslim. Namun bila tawanan tersebut non-Muslim, dan ia berada di
dalam kekuasaan Muslim, maka kita tidak boleh pula menyerahkan mereka, dan wajib memberikan hak aman dan
suaka kepadanya dalam kondisi tertentu jika ia ingin mendengar kalam Allah. Ini adalah penerapan kalam Allah:
Jika salah seorang dari orang-orang musyrik meminta suaka kepadamu maka berikanlanh suaka hingga mereka mendengar
kalam Allah kemudian sampaikan kepadanya perlindungan diri-nya. Hal demikian lantaran mereka sebagai kaum yang
tidak mengetahui. Q.S. al-Taubah9:6
Dengan kata lain, bila ia memeluk Islam, maka sudah menjadi kewajiban yang tidak dapat dipungkiri bagi negara
Islam untuk memberikan suaka kepadanya. Dari pernyataan diatas, terlihat jelas bahwa Islam telah
melampaui praktek – prakter internasional. Contohnya, dalam US Army Field Manual 1956 tentang penahanan pengungsi
dalam perang, menyatakan bahwa suatu kekuasaan untuk menahan, mungkin sah untuk, dengan kebijakannya sendiri,
258
Ibn Hazm, al-Muhallâ, Jilid. 7, h. 308-309. Lihat juga al-Syâfiî, al-Umm, Jilid 5, h. 194, al- Nawawi, Raudat al-Tâlibîn, Jilid X, h. 283.
211
memberikan suaka bagi tawanan perang yang tidak ingin dipulangkan.
259
B. Menurut Hukum Internasional