50
dikenakan hukuman. Namun, jika tidak terdapat kebiasaan itu maka status orang tersebut seperti sediakala, yakni rentan
dan tidak memperoleh perlindungan. Demikian juga, jika tidak ada benda perniagaan yang menyertainya, ketika dia
mengklaim bahwa dirinya adalah musta’min orang yang mencari perlindungan, maka dia harus dipandang telah
bersikap tidak jujur. Dalam keadaan demikian, orang ini dapat menjadi tawanan perang, di mana penguasa negara
dapat memutuskan dengan pilihan, yakni menjatuhkan baginya hukuman mati, menjadikannya sebagai budak,
membebaskannya secara cuma-cuma, atau memulangkannya dengan membayar tebusan.
74
3. Klaim seseorang yang didukung oleh bukti prima facie
kondisional
Dalam hal ini, Imam al-Syâfi’i berkata: “Jika seorang non-Muslim ditemukan di jalan umum tanpa bersenjata dan
dia mengatakan: ‘Saya datang sebagai utusan’, maka pernyataannya itu dapat diterima dan kita tidak boleh
mengabaikannya. Jika keadaannya mencurigakan atau meragukan, maka dia dapat diminta untuk bersumpah. Jika
sudah bersumpah maka dia mesti dilepaskan. Demikian pula, jika dia bersenjata dalam keadaan sendirian, tidak ikut dalam
74
al-Buhûti, Kasyf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, Ibid, Bab III, h. 108.
51
rombongan yang dilarang, maka, pernyataannya dapat diterima dan tidak boleh ditolak. Sebab, kedua keadaan
tersebut sejalan dengan pengakuan keduanya. Dalam hal ini terdapat semacam kaidah hukum, yaitu: siapapun yang
menyatakan sesuatu, dan terdapat fakta yang sesuai dengan apa yang dikatakannya serta kebohongan tidak dapat
ditemukan, maka perkataannya dapat dipegangdianggap benar bila disertai dengan sumpah.
75
Tak diragukan bahwa apa yang dikemukakan para ulama fikih tentang penerimaan klaim pencari suaka yang didukung
oleh bukti kondisional prima facie sejalan dengan asas yang berlaku dalam hukum internasional yang menetapkan
urgensinya pengambilan petunjuk dari keadaan yang meragukan atau penafsiran keadaan meragukan untuk
kebaikan pencari suaka benefit of doubt.
76
4. Jika dia masuk ke wilayah negara Islam untuk memperoleh perlindungan
Abû al-Wafâ’ ibn ‘Uqail menerima pandangan ini. Dia mempersyaratkan keharusan memperoleh izin bagi orang
yang memasuki wilayah negara Islam, dengan mengatakan: “Non-Muslim harbiy tidak boleh memasuki ke wilayah
75
al-Syâfi’î, al-Umm, Kairo: Dâr al-Sya’b, t.th, Bab III, h. 201.
76
Lihat ketentuan ini dalam Manual of Applicable Procedures and Standards in Refugee Status Determination under the 1951 Convention and 1967 Protocol relating to Refugee Status, UNHCR, Genewa,
1992, h. 62
52
negara Islam tanpa izin penguasa negara itu karena dia mungkin termasuk sebagai mata-mata yang datang untuk
mencari informasi tentang kondisi masyarakat Muslim itu, dan mungkin melakukan aktifitas penghancuranperusakan di
wilayah negara Islam”. Abû al-Wafâ’ ibn ‘Uqail menambahkan: “Jika dia memasuki wilayah itu untuk
kepentingan misi kaum Muslimin atau untuk melakukan aktivitas yang membawa manfaatmaslahat bagi mereka maka
dia dapat masuk tanpa hambatan apapun”.
77
Lebih jauh, Abû al-Wafâ’ ibn ‘Uqail berkata: “Jika mereka memasuki wilayah negara Islam itu tanpa izin atau
bukan untuk memperoleh suaka atau bukan untuk melakukan perniagaan maka status hukum orang yang masuk dengan
sifat seperti ini serupa dengan status hukum tawanan perang, di mana penguasa negara dapat memutuskan 4 empat
macam pilihan tindakan, yaitu hukuman mati, pembebasan cuma-cuma, pemulangan dengan pembayaran uang tebusan,
atau penetapan sebagai budak.”
78
77
Sâlih al-Rasyîd, Abû al-Wafâ` ibn ‘Uqail, Hayâtuhu wa Ikhtiyarâtuhu al-Fiqhiyyâh, Disertasi Doktor, Kairo: Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas al-Azhar, t.th., Bab III, h. 343-344.
78
Ibid, h. 444.
53
5. Ringkasan argumen-argumen yang mendukung perlindungan bagi pengungsi yang masuk tanpa izin