Pembelajaran konstruktivisme melaui komputer (computer based instruction ) untuk mengakomodasi keragaman kemampuan siswa

(1)

Prof. Ahmed Abou-El-Wafa

Riyadh - 2009 (1430 H.)

Produced and Printed by Printing Press of Naif Arab University for Security Sciences

The Right to Asylum

between Islamic Shari’ah and

International Refugee Law

A Comparative Study

HAK – HAK PENCARIAN SUAKA

DALAM SYARIAT ISLAM DAN

HUKUM INTERNASIONAL

(SUATU KAJIAN PERBANDINGAN)

Produksi buku ini didanai oleh UNHCR

Produced and Printed by Printing Press ofNaif Arab University for Security Sciences

Cy

a

n

M

agen

ta

Y

ello

w


(2)

i

HAK – HAK PENCARIAN SUAKA DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM

INTERNASIONAL

(SUATU KAJIAN PERBANDINGAN)

Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’


(3)

ii

HAK – HAK PENCARIAN SUAKA

DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL (SUATU KAJIAN PERBANDINGAN)

Judul Asli:

Haqq al-Lujû′ bain al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûnal-Dauliy li al-Lâji’în, Dirâsah Muqâranah

Penulis:

Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafa’

Konsultan:

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M

Penerjemah:

Dr. Asmawi, M.Ag

Dr. H. Abdurrahman Dahlan, M.A Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A

Afwan Faizin, M.A

Pembaca Ahli:

Dr. H.Ahmad Mukri Aji, M.A Harry Alexander, S.H, L.LM

Editor dan Penyelaras Bahasa:

Dr. Asmawi, M.Ag

Sekretariat:

Nurhabibi Ihya, S.H.I, M.H Diterbitkan atas kerjasama:

Kantor Perwakilan UNHCR di Indonesia

dan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia

Cetakan I, Oktober 2011

Kantor Perwakilan UNHCR di Indonesia

http://www.unhcr.or.id

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jl. Ir.H.Djuanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412, Indonesia http://www.fsh-uinjkt.net


(4)

iii

Nurhabibi Ihya, S.H.I, M.H

Diterbitkan atas kerjasama: Kanto

Atas Nama Allah Yang Maha Besar

dan Maha Pengampun


(5)

iv Allah SWT berfirman:

Dan orang-orang yang beriman, yang hijrah dan yang jihad di jalan Allah, serta orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman; mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. (Q.s. al-Anfâl/8:74)

“Setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka di negara lain untuk melindungi dirinya dari penganiayaan/penyiksaan.“ (Pasal 14 Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).

“Setiap orang berhak, dalam pandangan Syariat Islam, berpergian dan mengungsi ke negara lain... apabila menghadapi penganiayaan. Negara tujuan wajib memberikan suaka kepada orang tersebut sehingga ia memperoleh keamanan, terkecuali pelarian didorong oleh alasan dan tindakan yang dipandang oleh Syariat Islam sebagai kejahatan.” (Pasal 12 Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Menurut Islam).


(6)

v

United Nations High Commissioner for Refugees Kantor Regional Republik

Arab Mesir

Kantor Regional Negara-Negara Teluk

e-mail: [email protected] email: [email protected] Website Berbahasa Arab:

www.unhcr.org.eg

Website Berbahasa Inggris: www.unhcr.org

Cetakan Pertama 2009

Buku ini ditulis atas nama UNHCR Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafa’, Ketua Jurusan Hukum Publik Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Kairo, Mesir.

Kandungan isi buku ini sepenuhnya merupakan opini penulis, bukan opini UNHCR.

Pengutipan, perujukan dan penyalinan isi buku ini, baik untuk tujuan akademis, tujuan pendidikan, ataupun tujuan non-komersial lainnya dapat diperkenankan tanpa perlu ada izin formal dari UNHCR, dengan catatan menyebutkannya sebagai referensi.

Buku ini tersedia dalam Bahasa Arab, yang dapat diunduh pada situs: www.unhcr.org.eg dan Bahasa Inggris pada:

www.unhcr.org

Penerjemahan kedalam bahasa Indonesia dilakukan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri, 2011


(7)

vi DAFTAR ISI

Daftar Isi... vi Sambutan Komisioner Tinggi UNHCR... x Sambutan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi

Islam...

xvii

Sambutan Rektor Universitas Ilmu Keamanan Naif Arab...

xxiv

Sambutan Rektor Universitas Al-Azhar………... xxvi

Persembahan………... xxxvi

Pengantar Umum……….... 1

Bab I: Persyaratan pemberian suaka menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional ...

18

A. Menurut Syariat Islam……….... 18

B. Menurut Hukum

Internasional………...

25 Bab II: Prinsip - prinsip hukum tentang suaka

menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional...

27 A. Perbedaan antara tujuan dan prinsip yang mengatur

pemberian suaka……….

27 B. Prinsip - prinsip utama yang mengatur hak – hak

suaka………...

29 B.1. Prinsip Larangan Pemulangan (non-refoulement) 29 B.2. Asas larangan menghukum pengungsi yang masuk

atau hadir secara ilegal di wilayah suatu negara………

47 B.3. Asas non-diskriminasi... 56 B.4. Prinsip karakter manusiawi dalam hak suaka... 62 Bab III: Macam - Macam Suaka dalam Syariat Islam

dan Hukum Internasional...

65


(8)

vii

2. Suaka Teritorial………... 79

3. Suaka Diplomatik……….... 133

Bab IV: Status Hukum Pengungsi Menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional... 147 1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengungsi……... 147

2. Penyatuan keluarga……….. 156

3. Harta kekayaaan pengungsi………... 166

4. Perlindungan diplomatik ………... 171

5. Hak – hak pengungsi anak………... 174

6. Hak atas harta kekayaan……….. 179

7. Muamalah atau interaksi dengan orang non-Muslim 180 8. Aturan umum dalam Syariat Islam, bahwa pengungsi, meskipun non-Muslim, dihormati………. 180 9. Larangan pemaksaan perpindahan agama terhadap orang non-Muslim……….... 181 10. Peradilan Islam menghormati hak-hak pengungsi non-Muslim………... 186 11. Perlindungan atas hidup non-Muslim………... 188

12. Hak pengungsi dalam mendapatkan perlakuan yang adil………... 189 Bab V: Faktor yang Menghalangi Pencarian Suaka Menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional... 191

I. Faktor penghalang pada masa kemunculan hak suaka: orang yang tidak berhak mendapatkan status pengungsi... 191 II. Faktor yang menghalangi keberlangsungan suaka: perlindungan sementara………... 214 III. Faktor penghalang di penghujung suaka: Solusi jangka panjang dan penyebab berakhirnya suaka…. 219 III.1. Solusi Jangka Panjang (Durable Solutions)…….. 219

III.2. Berakhirnya suaka……….. 239 Bab VI: Perbandingan antara Syariat Islam dan

Hukum Internasional dalam Konteks Hak Suaka ...


(9)

viii

A. Segi persamaan antara pandangan Syariat Islam dan Hukum Internasional tentang hak suaka……...

250 B. Perbedaan pandangan Syariat Islam dan Hukum

Internasional tentang hak suaka………....

251

Penutup……… 271


(10)

(11)

x

SAMBUTAN

KOMISIONER TINGGI BADAN PERSERIKATAN

BANGSA – BANGSA UNTUK URUSAN

PENGUNGSI (UNHCR)

Tradisi dan budaya bangsa Arab merupakan fondasi yang kokoh bagi upaya perlindungan manusia dan penghormatan harkat-martabat mereka. Penggunaan beberapa istilah seperti al-ijârah (perlindungan), al-istijârah (meminta perlindungan) dan

al-îwâ’ (perlindungan), tiada lain, menunjukkan gambaran yang terang benderang tentang ide perlindungan kemanusiaan, yang kemudian pada era sekarang ini menjadi tugas pokok UNHCR.

Syariat Islam hadir untuk mengukuhkan prinsip-prinsip kemanusiaan, seperti persaudaraan, persamaan dan toleransi. Pemberian bantuan, jaminan keamanan dan perlindungan kepada orang yang membutuhkan, hingga kepada musuh sekalipun, merupakan ajaran mulia Syariat Islam, yang nota bene hadir mendahului kelahiran sejumlah instrumen hukum internasional modern tentang hak asasi manusia dan pengungsi, yang mengatur, antara lain, hak suaka dan larangan ekstradisi pengungsi. Itu semua dalam rangka melindungi keselamatan jiwa orang bersangkutan dan menghindarkannya dari penganiayaan atau pembunuhan.


(12)

xi

Syariat Islam mengatur masalah suaka dengan jelas dan rinci. Syariat Islam juga menjamin secara penuh perlindungan, penghormatan, dan pemeliharaan bagi setiap pencari suaka. Ia juga menggariskan aturan, bagi masyarakat Islam, yang wajib dijalani dalam rangka memenuhi permintaan-permintaan suaka. Oleh karena itu, tindakan menolak permintaan pencari suaka adalah dilarang secara tegas. Yang kini dikenal dengan “asas larangan pengusiran/pengembalian pencari suaka ke negara asalnya (Prinsip non-refoulement)”, yang menjadi dasar dari Hukum Pengungsi Intenasional, beranjak dari prinsip dalam Syariat Islam tersebut.

Tradisi panjang pemberian perlindungan dalam sejarah kemanusiaan menuntut adanya pemberian perlindungan bagi pencari suaka, baik yang Muslim maupun non-Muslim. Hal ini ditegaskan oleh Q.s. al-Taubah/9:6, yakni: “ dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya; yang demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” Makna terdalam “permintaan perlindungan” (istijârah) tersebut ialah kebutuhan akan adanya payung perlindungan komprehensif bagi pencari suaka, keluarganya dan harta kekayaannya, terutama yang terkait dengan “tempat-tempat suci”, sebagaimana dinyatakan dalam Q.s. al-Baqarah/2:125,


(13)

xii

Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (Q.s. al-Baqarah/2:125). Begitu pula dalam Hadis:

Siapa saja yang masuk ke dalam Masjidilharam, ia dijamin aman; siapa saja yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, ia dijamin aman; siapa saja yang melempar senjatanya, ia dijamin aman; dan siapa saja yang menutup pintu rumahnya, ia dijamin aman. (Diriwayatkan oleh Muslim)1

Sebagaimana ditegaskan sejumlah sarjana Islam, migrasi (hijrah) dan pengungsian orang-orang Muslim ke Ethiopia (Abessinia/ Habsy) dan migrasinya Nabi SAW ke Madinah untuk menghindari penganiayaan kaum kafir Quraisy merupakan perwujudan dari rasa kasih sayang. Hal tersebut juga merupakan preseden penting bagi adanya hubungan yang erat antara pencari suaka dan pemberi suaka yang membentuk ikatan hak bagi pencari suaka dan kewajiban bagi pemberi suaka.

Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber hukum yang telah memberikan fondasi yuridis bagi hukum suaka kontemporer dengan lebih memadai dibandingkan dengan yang diberikan sumber-sumber hukum bersejarah lainnya. Meskipun banyak dari

1

Muslim. Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj, Sahîh Muslim, tahqîq Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Bâqi, (Kairo: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1347 H/1954 M), Hadis No. 1780, Jilid III, h. 8-14; dan Ibn Abî Syaibah, Abû Bakr ‘Abdullah, Kitâb al-Magâziy, tahqîq ‘Abd al-Azîz Ibrahîm al-‘Umri, (Riyadh: Dâr Sibiliyâ, 1420 H/1999 M), h. 318-319.


(14)

xiii

nilai hukum itu merupakan bagian dari budaya dan tradisi bangsa Arab pra-Islam, tetapi realitas ini tidak selamanya diakui , termasuk di dunia Arab. Kalangan masyarakat internasional perlu mengapresiasi tradisi murah hati dan ramah tamah terhadap tamu ini yang praktiknya telah berlangsung selama 14 abad. Begitu juga, mereka perlu mengakui kontribusi tradisi tersebut bagi terbentuknya hukum modern.

Di dalam studi yang intensif ini, penulis mendeskripsikan secara detil Syariat Islam dan tradisi bangsa Arab, termasuk standar dan norma yang menjadi rujukan hukum, yang mendasari aktivitas - aktivitas UNHCR.

Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ menunjukkan betapa Islam memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap pengungsi, meskipun non-Muslim; juga menunjukkan betapa Islam melarang tindakan pemaksaan perubahan agama mereka; dan juga menunjukkan betapa Islam memerintahkan berbuat adil terhadap mereka, tidak mengurangi hak-hak mereka, melindungi diri dan harta kekayaan mereka, dan menyatukan mereka dengan keluarga mereka. Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ juga menghimpun teks-teks ayat al-Qur’an dan syair bangsa Arab pra-Islam dan pasca-Islam, yang disertai dengan penjelasan mendalam dan sumber-sumber teks tersebut. Dari sisi inilah nampak jelas kelebihan dan keutamaan karya ini dalam menyingkap nilai yang dikandung tradisi Islam dan bangsa Arab, yang memandang bahwa siapa saja


(15)

xiv

yang memberi perlindungan kepada orang yang bermigrasi ke lingkungannya, itulah orang Mukmin yang sejati; juga memandang hak suaka sebagai salah satu hak asasi manusia yang mendasar dan sakral, bahkan bagi pendatang non-Muslim.

Dewasa ini, mayoritas pengungsi di berbagai belahan dunia adalah Muslim. Ini merupakan realitas yang sangat kentara pada era di mana fanatisme dengan berbagai bentuknya, baik yang bersifat etnik maupun keagamaan, tumbuh subur di belahan dunia manapun, bahkan di kawasan negara-negara maju sekalipun. Kita dapat melihat fenomena rasisme dan kebencian terhadap segala sesuatu yang berbau asing (xenophobia), yang bertujuan memprovokasi dan memanipulasi opini publik, dengan cara mengaburkan pengertian antara pengungsi (pencari suaka), imigran, dan bahkan teroris. Sikap dan perilaku ini berakibat terhadap menjamurnya mispersepsi terhadap Islam; dan ini harus dibayar mahal oleh para pengungsi Muslim. Marilah kita klarifikasi bahwa pengungsi itu bukanlah teroris, mereka justru menjadi korban pertama dan utama terorisme. Melalui buku ini kita dapat memahami kewajiban kita untuk menghadapi, menangani serta memberantas sikap dan perilaku tersebut.

Perlu diakui bahwa buku ini menawarkan kajian yang sangat berharga, suatu kajian perbandingan antara Syariat Islam dan hukum internasional, terutama yang berkaitan dengan urusan pengungsi dan suaka, serta migrasi dan perpindahan secara


(16)

xv

terpaksa. Buku ini lahir sebagai produk kerjasama yang erat dan berkesinambungan antara UNHCR dan Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Hal yang penting sesungguhnya bukanlah semata penyematan “pengungsi” kepada seseorang, melainkan upaya pemberian perlindungan terhadap orang tersebut. Pemberian perlindungan itu merupakan tradisi sekaligus praktik yang terus dijalankan oleh negara-negara OKI. Hasil kerjasama antara UNHCR dan OKI ini dapat dilihat dari lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dalam Islam, yang disahkan pada tahun 1990 dalam Konferensi OKI di Kairo, Mesir, yang menyatakan bahwa setiap orang yang dianiaya oleh pemerintahnya berhak untuk meminta perlindungan/suaka kepada negara lain; dan negara yang bersangkutan wajib memberikan perlindungan/suaka hingga ia merasa aman.

Buku ini merupakan referensi yang sangat penting untuk dipelajari dan dikaji, yang dilengkapi dengan contoh-contoh historis-faktual dan teks-teks ayat al-Qur’an. Buku ini juga sangat penting untuk dibaca oleh orang yang memiliki ketertarikan terhadap isu - isu hak asasi manusia (HAM), urusan pengungsi dan migrasi. Sebab, buku ini merupakan buah studi yang sangat relevan dengan upaya sosialisasi dan promosi nilai-nilai luhur ajaran Islam dan tradisi bangsa Arab, yang berperan penting


(17)

xvi

sebagai rujukan, baik secara langsung maupun tak langsung, dalam pembentukan hukum dan perjanjian internasional.

Kerjasama strategis antara UNHCR dan Dunia Islam ini merupakan hal yang sangat penting bagi kontinuitas komitmen terhadap tradisi murah hati, penerimaan ramah tamah, dan pemberian perlindungan tanpa diskriminasi yang telah ada sejak 14 abad yang lalu. Prinsip – prinsip ini, dan prinsip – prinsip dasar hak asasi manusia dijelaskan secara rinci di dalam buku ini; dan sekaligus juga dibuktikan betapa prinsip-prinsip tersebut menjadi sumbu/poros bagi kehadiran hukum internasional yang mengatur kerja-kerja kemanusiaan internasional. Kami akan selalu mengingat prinsip Islam bahwa semua manusia adalah setara dihadapan manusia lainnya.

António Guterres


(18)

xvii

SAMBUTAN

SEKRETARIS JENDERAL

ORGANISASI KONFERENSI ISLAM (OKI)

Segala puji tertuju kepada Allah, Tuhan di alam dan semesta. Salawat dan salam tertuju kepada Rasulullah yang mulia, keluarganya yang diberkahi dan sahabat – sahabatnya yang baik.

Sungguh suatu kebahagian tersendiri bagi saya, dapat menyampaikan kata pengantar bagi hasil kerja ilmiah yang besar ini, dibawah arahan UNHCR - badan kemanusiaan internasional yang memberikan penanganan dan perlindungan yang baik bagi pengungsi di berbagai negara di dunia. Apa yang dilakukan UNHCR merupakan kerja dan aktivitas yang patut dihargai dan sungguh mendatangkan manfaat kemanusiaan. Saya juga patut menyampaikan ucapan terima kasih kepada UNHCR atas perhatian dan kepeduliannya terhadap isu pengungsi demi tercapainya tujuan-tujuan kemanusiaan, lebih lagi karena persentase terbesar pengungsi di berbagai kawasan dunia merupakan orang-orang Muslim.

Adanya penugasan UNHCR terhadap Prof. Ahmad Abu al-Wafâ’ untuk mengadakan riset/kajian tentang hak suaka dalam pandangan Syariat Islam sungguh merupakan indikator gamblang tentang obyektivitas Syariat Islam dan perhatiannya terhadap misi


(19)

xviii

kemanusiaan. Hal demikian dipertegas oleh pernyataan Komisioner UNHCR, Mr. António Guterres, dalam kata sambutannya atas hasil kerja ilmiah yang istimewa ini, yang mengatakan: “Syariat Islam hadir dalam rangka mengukuhkan prinsip-prinsip kemanusiaan: persaudaraan, persamaan dan toleransi sesama manusia. Upaya memberikan bantuan, perlindungan, tempat tinggal, dan jaminan keamanan, bahkan terhadap musuh sekalipun, sungguh merupakan ajaran Syariat Islam yang integral dan hadir lebih awal berabad-abad, mendahului kemunculan hukum dan konvensi internasional tentang hak asasi manusia di era modern, termasuk hak suaka dan larangan pemulangan pengungsi (prinsip non-refoulement), yang dimaksudkan dalam rangka memelihara keselamatan jiwa pengungsi dan memastikan mereka terhindar dari penganiayaan dan pembunuhan.”

“Syariat Islam telah menggambarkan masalah suaka secara jelas dan rinci, dan menjamin dengan penuh perlindungan, kehormatan, dan pemeliharaan bagi para pencari suaka. Syariat Islam juga menggariskan prinsip-prinsip yang wajib ditaati oleh masyarakat Islam dalam rangka memenuhi berbagai permintaan suaka. Tindakan pemulangan pencari suaka hukumnya tentu haram berdasarkan Syariat Islam. Apa yang dikenal sekarang ini sebagai larangan pemulangan pencari suaka (prinsip


(20)

non-xix

refoulement) yang menjadi fondasi hukum suaka internasional sesungguhnya merupakan manifestasi dari prinsip tersebut.”

Beliau juga mengatakan: “Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber hukum yang telah memberikan fondasi bagi hukum suaka kontemporer dengan lebih memadai dibandingkan dengan yang diberikan sumber-sumber hukum bersejarah lainnya. Nilai-nilai hukum itu merupakan bagian dari budaya dan tradisi bangsa Arab pra-Islam, meskipun kenyataan ini belum diakui sepenuhnya, termasuk di dunia Arab. Kalangan masyarakat internasional perlu mengapresiasi tradisi bermurah-hati dan beramah tamah terhadap tamu ini yang praktiknya telah berlangsung selama 14 abad. Begitu juga, mereka perlu mengakui kontribusi tradisi tersebut bagi terbentuknya hukum internasional kontemporer. ”

Studi tentang hak suaka dalam perspektif Syariat Islam merupakan hasil kerja genius yang diteliti secara mendalam oleh Prof. Ahmad Abu al-Wafâ’, Ketua Jurusan dan Guru Besar Hukum Publik Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Kairo, Mesir. Di dalam buku ini, penulis menyajikan bahasan sejumlah isu, yakni pengertian “pengungsi”, suaka menurut hukum internasional dan Syariat Islam, persyaratan pemberian suaka, prinsip-prinsip yang mengatur hak suaka, dengan fokus pada karakter kemanusiaan dari prinsip – prinsip tersebut. Penulis juga menjelaskan secara terperinci klasifikasi suaka yang meliputi suaka atas dasar isu keagamaan, teritorial, dan politik, di samping


(21)

xx

menjabarkan mengenai hak-hak pengungsi menurut Syariat Islam dan hukum internasional.

Studi ini juga mempunyai bobot istimewa lantaran adanya paparan prinsip-prinsip yang adil dan toleran yang dipratikkan Syariat Islam terhadap para pengungsi serta adanya perhatian terhadap kesejahteraan dan kepentingan pengungsi, dengan menjunjung tinggi integritas manusia dan hak – hak manusia untuk hidup dengan bebas dan layak. Penulis telah mencatat sedemikian banyak bukti historis tentang keterdepanan Islam dalam bidang ini dan keunggulan prinsip-prinsip dan hukum-Syariat Islam terkait isu ini. Penulis menegaskan: “ Boleh jadi apa yang kami ungkapkan memperjelas bukti keunggulan sistem Islam atas sistem-sistem yang lain, yang menjadikan ras dan etnis sebagai parameter dan dasar diskriminasi (sebagaimana muncul di Amerika Serikat dan negara lain seperti Afrika Selatan) terhadap umat manusia, padahal manusia sendiri tidak punya peran sama sekali dalam menentukan ras dan etnis yang inheren dalam dirinya. Hal ini diperkuat oleh pengakuan sejumlah pakar Barat bahwa Islam hadir membawa ajaran pemberantasan diskriminasi rasial. Bahkan, mereka (para pakar Barat) menganggap misi pemberantasan diskriminasi rasial yang diserukan Islam inilah yang merupakan faktor penyebab agama ini tersebar meluas di segala penjuru dunia dan yang merupakan unsur/elemen penting


(22)

xxi

bagi terbentuknya hubungan antarnegara (internasional), antara umat Islam dan umat non-Islam.

Penulis juga memperkuat pembahasan dan uraiannya dengan berbagai keputusan hasil sejumlah muktamar Organisasi Konferensi Islam (OKI) tentang hak asasi manusia serta berupaya memperkenalkannya kepada pembaca.

Studi ini ditandai dengan adanya perhatian yang intens terhadap teks – teks sumber Syariat Islam, baik al-Qur’an maupun Hadis, yang mendasari prinsip-prinsip dan garis-garis besar pikiran terkait isu hak suaka. Tidak hanya itu, studi ini juga menilik pandangan-pandangan yurisprudensial terkait isu hak suaka dan aspek-aspek yang sehubungan dengannya. Ketertarikan penulis tidak hanya terbatas pada aspek – aspek diatas, namun juga mencakup kejadian–kejadian bersejarah yang berhubungan. Pada level kontemporer, penulis memaparkan keberlakuan berbagai resolusi dan perjanjian yang dibuat oleh OKI dan organisasi internasional lainnya yang terkait, di mana sisi ini menjadikan buku ini memiliki keunggulan teoritis dan perhatian atas praktik kontemporer isu suaka. Karena itu, di bagian awal bab kesimpulan, penulis menyatakan: “Syariat Islam telah benar-benar menetapkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan pokok terkait hukum suaka, baik secara eksplisit maupun implisit; secara tertulis maupun tersirat; dalam kata maupun perbuatan. Hal ini


(23)

xxii

ditekankan oleh Syariat Islam itu sendiri, sehingga menjadi kewajiban bagi setiap Muslim.”2

Penulis juga bersikap kredibel dan obyektif dalam studinya, terutama cermat dalam mengutip dokumen dan pendapat para pakar. Isu-isu terkait penyikapan Syariat Islam tentang topik ini dibahas secara obyektif dan independen, dengan pendekatan perbandingan hukum, tanpa memaksakan adanya kesamaan dan keserupaan antara sistem Syariat Islam dan sistem hukum internasional. Hal ini memberi nilai tambah ilmu pengetahuan tersendiri bagi studi apabila dibandingkan dengan studi komparatif lainnya, terutama karena studi ini berhasil menunjukkan kontribusi Syariat Islam dalam perjalanan sejarah kemanusiaan, terutama menyangkut hukum internasional pada umumnya dan dalam perlindungan dan hak pengungsi pada khususnya.

Saya memohon kepada Allah, semoga buku ini bermanfaat besar dan semoga penulisnya dianugerahi Allah dengan lebih banyak pencapaian kedepannya. Sekali lagi, saya menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi kepada UNHCR dan Yang Mulia Komisioner Tinggi, atas keberhasilan ini, yang memperkaya dinamisasi studi perbandingan hukum internasional.

2


(24)

xxiii

Dengan penuh hormat dan kebanggaan, saya sampaikan semua ini dengan tulus kepada penulis, Prof. Ahmad Abû al-Wafâ’, semoga beliau senantiasa dalam lindungan Allah SWT.

Prof. Akmal al-Dîn Ikhsan Ogouli


(25)

xxiv

SAMBUTAN

REKTOR UNIVERSITAS NAIF ARAB UNTUK

ILMU KEAMANAN

Salah satu keistimewaaan Syariat Islam adalah adanya prinsip-prinsip yang komprehensif, ketentuan - ketentuannya, dan pendekatannya ke berbagai aspek yang mampu memberikan keselamatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syariat Islam hadir untuk memproteksi hak asasi manusia (HAM) secara umum, termasuk diantaranya adalah hak atas keamanan, dalam arti menyeluruh. Hak-hak suaka adalah salah satu hak mendasar yang paling penting yang dijamin oleh Syariat Islam dan diberikan olehnya perangkat untuk mendukung implementasinya. Syariat Islam memberikan proteksi atas hak ini, sejalan dengan nilai-nilai budaya, tradisi dan peradaban bangsa Arab yang baik.

Meskipun masyarakat internasional telah mengatur hak-hak suaka melalui penerbitan dan pengesahan sejumlah deklarasi dan perjanjian internasional, tetapi efektivitas aturan-aturan tersebut menuntut adanya tanggung jawab moral para pihak yang melaksanakan penerapannya. Dari sinilah muncul signifikansi pengaturan hak-hak suaka oleh Syariat Islam, yang dibahas dalam


(26)

xxv

studi ini, yaitu bahwa ajaran ini dicirikan dengan luasnya cakupan perlindungan dan hakikat kemanusiaan dari hak suaka.

Tema yang diangkat dalam buku ini menjadi semakin signifikan kehadirannya di tengah-tengah kondisi kian bertambah pesatnya jumlah pengungsi di negara Arab dan negara-negara Islam pada beberapa tahun terakhir ini sebagai akibat berbagai peristiwa internasional dan regional yang terjadi. Hal demikian tentu menuntut adanya kerjasama internasional dan implementasi Hukum Shari’ah dan ketentuan hukum yang berkaitan dengan hak suaka.

Pada kesempatan ini, saya ingin menggarisbawahi ikatan kerjasama bilateral antara Universitas Naif Arab untuk Ilmu Keamanan dan UNHCR. Ikatan ini diharapkan dapat mendorong bertambahnya program-program dan kajian-kajian yang dapat menekankan pentingnya isu ini dan menekankan pentingnya peran dunia internasional yang beradab dalam menangani masalah suaka dan pengungsi.

Hanya Allah yang berada di balik segala keinginan dan tujuan ini.

Prof. Dr. ‘Abd al-‘Azîz Saqr al-Gâmidi Rektor Universitas Naif Arab untuk Ilmu Keamanan


(27)

xxvi

SAMBUTAN

REKTOR UNIVERSITAS AL-AZHAR-MESIR

Atas nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun, Islam mungkin merupakan satu-satunya agama yang bersikap terbuka terhadap agama-agama lain dan terbuka terhadap sistem budaya dan nilai lain, baik menyangkut moral maupun hukum. Islam mengambil semua nilai kebajikan itu dan memasukkannya ke dalam sistemnya (Islam), baik dalam hal intelektual maupun spiritual. Di dalam mengambil dan memasukkan nilai tersebut, Islam menyeleksi dengan satu parameter, yakni unsur yang diambil dan dimasukkan itu, selain sejalan dengan norma - norma akhlak yang baik, juga mampu mewujudkan kemaslahatan yang otentik, yang bersama-sama dengan norma akhlak itu, menuju pada satu tujuan yang sama. Dalam hal ini, kita merujuk kepada Hadis Nabi yang bersumber dari Abu Hurairah:

Aku [Nabi Muhammad]diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.3

3

Hadis diriwayatkan oleh al-Hâkim, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn ‘Abdillah, dalam kitab al-Mustadrak‘ala al-Sahîhain, tahqîq Mustafa ‘Abd al-Qâdir ‘Atiyyah, (Beirut: Dâr Kutub

al-‘Ilmiyyah, 1411 H/1990 M), dan al-Hâkim berkata: “Hadis ini sahîh menurut persyaratan Imam Muslim.” Ini disetujui oleh Imam al-Dzahabiy dalam Kitab al-Talkhîs, Hadis No. 4221, Jilid II, h. 67. Hadis ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn Ismâ’il, dalam kitab al-Adab al-Mufrad,

takhrîj Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqi, (Beirut: Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, 1417 H/1997 M), Hadis No. 273, h. 104; juga oleh al-Baihaqi, Abû Bakr Ahmad ibn Husain, dalam kitab al-Jâmi’ li Syu’b al-Îmân, tahqîq

Mukhtâr Ahmad al-Nadwi, (Bombay, India: Dâr al-Salafiyyah, 1414 H/1993 M), Jilid XIV, Hadis No. 4608, h. 134. Pen-tahqîq berkata: “ Hadis ini sanadnya hasan.” Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Suyûti, Jalâl al-Dîn


(28)

xxvii

Hadis ini menunjukkan bahwa akhlak yang mulia merupakan tujuan luhur pesan-pesan Islam dan bahwa akhlak mulia yang merupakan nilai-nilai kebaikan kemanusiaan yang hampir punah dan lenyap pengaruhnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat pra-Islam dibangkitkan lagi di dalam agama Islam. Bahkan lebih lagi, melalui agama ini, dibangkitkanlah bersamanya khazanah ilahiah yang hampir punah ditelan zaman sekiranya agama Islam tidak tampil di muka bumi.

Orang yang merenungi kandungan isi al-Qur’an tidak akan tergelincir ke dalam faham pluralisme agama atau diversifikasi agama samawi karena al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa agama ilahi itu hanya satu, yakni agama yang tampil pada sepanjang zaman di pentas sejarah dunia, dimulai sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW melalui masa-masa Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s, Nabi Musa a.s, Nabi ‘Isa a.s, dan para nabi/rasul lainnya. Al-Qur’an juga mengindikasikan bahwa agama ilahi tidak pernah putus hubungan dengan kehidupan manusia sepanjang zaman dan bahwa cahaya hikmah yang dikandung risalah para Nabi dan Rasul Allah tetap terus berkilau memancarkan sinar panduan dan pedoman bagi kehidupan umat manusia sepanjang zaman.

Abû Bakr, dalam kitab al-Jâmi’ al-Sagîr fi Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), Hadis No. 2584, h. 155. al-Suyûti berkata: “ Hadis ini sahîh.”


(29)

xxviii

Dari sisi inilah risalah Islam dan risalah ilahi pra-Islam secara bersama-sama membentuk satu “kesatuan entitas” yang melahirkan persaudaraan sejati yang mengikat erat tali hubungan antara Nabi Muhammad SAW dan para rasul sebelumnya tanpa diskriminasi apapun. Diantara mutiara hikmah Nabi SAW yang diwartakan melalui Abu Hurairah, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:

Saya adalah manusia yang paling dekat dengan Nabi ‘Isa a.s di dunia dan akhirat kelak. Para nabi itu saudara sebapak, ibu mereka berbeda tetapi agama mereka satu/sama.4

Demikian pula halnya, kita mengetahui hal senada dari sejumlah ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa seseorang tidak diakui sebagai orang Mukmin kecuali dia mengimani semua Nabi dan Rasul seperti halnya dia mengimani Nabi Muhammad SAW. Seperti halnya bahwa iman kepada al-Qur’an tidak dianggap sah pada hati seorang Muslim kecuali jika dia mengimani kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Al-Qur’an itu adalah saudara kandung Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s, saudara kandung Injil yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa a.s. Al-Qur’an menggambarkan kedua kitab tersebut sebagai “petunjuk“ (hudan) dan “cahaya” (nûr). Penting

4

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn Ismâ’il, dalam kitab Sahîh al-Bukhâriy, tahqîq Mustafa Dîb al-Bigâ, (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr wa al-Yamâmah, 1414 H/1993 M), Hadis No. 3259, Jilid III, h. 1270. Ungkapan اع اوأmaksudnya “mereka yang saudara sebapak dari ibu yang berbeda.”


(30)

xxix

diketahui pembaca, satu kesatuan entitas itu tidak hanya ditandai oleh kesamaan dimensi persaudaraan kenabian dan persaudaraan kitab suci saja, tetapi berarti kita memahami dengan sangat jelas dalam kandungan ajaran Islam itu sendiri, legislasinya dan hukum-hukumnya. Terkait ini, Q.s. al-Syûra/42:13 menyatakan:

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yakni tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (Q.s. al-Syûra/42:13).

Hal ini adalah kebalikan dari kaidah Syariat Islam:

Syariat umat sebelum kita merupakan syariat kita juga, selama tidak ada yang menggantikan5.

Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang menjamin kontinuitas kebajikan dari generasi ke generasi; dan bahwa ia merupakan agama yang membuka pintu terhadap siapa saja, meskipun sang manusia itu datang dari zaman kebodohan dan kegelapan. Diriwayatkan dari Abû Hurairah, dari Rasulullah

5

Syariat umat sebelum kita tersebut diperoleh informasinya melalui sumber-sumber ajaran kita (Islam) , yakni al-Qur’an dan Sunnah. Artinya, apabila diperoleh informasinya melalui sumber periwayatan ahl al-kitâb seperti Taurat dan Injil yang ada pada mereka, atau periwayatan yang ada di kalangan umat Islam yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah maka syariat umat sebelum kita tersebut tidak boleh digunakan sebaga hujah, dalil dan sumber hukum, lihat Atûr Syu’aib ‘Abd al-Salâm, Syar’u Man Qablana: Mahiyyatuhu wa Hujjiyyatuhu wa Nasy’atuhu wa Dawâbituhu wa Tatbîqatuhu, (Kuwait: Jâmi’at al-Kuwait, 2005), h. 383.


(31)

xxx

SAW, ketika ditanya mengenai tokoh-tokoh bangsa Arab, Nabi Muhammad SAW menjawab: “Yang terbaik di antara mereka pada zaman Jahiliah adalah yang terbaik pula pada zaman Islam bilamana mereka faham (agama).”6

Dari sini nampak jelas kedudukan penting masalah “perlindungan” atau “suaka” yang menjadi fokus studi buku ini dengan pendekatan komparatif antara Syariat Islam dan sejumlah piagam/dokumen hukum internasional dan berbagai perjanjian internasional. Studi buku ini mengeksplorasi pengertian “perlindungan” atau “suaka”, dimensi moral dan etis menurut Syariat Islam dan yang tidak terungkap atau hampir tidak terlihat dalam hubungan internasional kontemporer. Studi buku ini juga mengungkapkan kepioniran Islam dalam mengakui hak perlindungan atau “suaka”. Meskipun demikian, saya berpendapat bahwa semata-mata penjelasan mengenai kepioniran Islam tersebut tidaklah cukup untuk menguraikan dimensi moral dan etis yang merupakan pijakan dasar di balik legislasi hak asasi manusia menurut pandangan filsafat Islam.

Studi buku ini menunjukkan asal muasal metodologi konsep yang telah disebutkan penulis. Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ telah mengidentifikasi segi-segi perbedaan dan persamaan antara pandangan filsafat Syariat Islam dan filsafat hukum internasional

6

al-Bukhâri, Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Jilid XIII, h. 1224, Hadis No. 317; dan Muslim, Sahîh Muslim, Jilid III, h. 1846, Hadis No. 2378.


(32)

xxxi

kontemporer tentang hak perlindungan/suaka. Seperti yang diindikasikan penulis, konsep “perlindungan” atau “suaka merupakan dasar fundamental hukum kontemporer, dan bahkan telah dipraktikkan di kalangan masyarakat Arab pra-Islam. Prinsip ini disebarkan melalui Syariat Islam, karena merupakan bentuk tradisi dan budaya yang baik, yang mencakup perilaku dan nilai etis yang luhur seperti sikap melindungi dan menolong terhadap orang yang sangat membutuhkan dan yang tengah dizalimi. Karena itu, Islam sangat menganjurkan dan menuntut kaum Muslimin mempraktikkan ajaran tolong-menolong (ta’âwun) ini dalam realitas kehidupan di segala tempat dan waktu, oleh dan terhadap siapapun, laki-laki maupun perempuan, orang dewasa maupun kanak-kanak7, orang merdeka maupun hamba sahaya. Kita memahami berdasarkan sejarah bahwa Abû Sufyân meminta sebelum ia memeluk Islam melalui Fatimah,

7

Anak pra-mumayyiz tidak sah perjanjian perlindungannya; berdasarkan konsensus ulama fikih . Mengenai anak mumayyiz (para puber), para ulama fikih berbeda pendapat tentang keabsahan perjanjian perlindungannya. Kalangan ulama mazhab Hanafi dan ulama mazhab Syafi’i berpandangan bahwa perjanjian perlindungan yang dilakukan anak mumayyiz tidak sah secara hukum Islam karena ia terbebas dari taklîf

(tuntutan hukum) dan perkataannya tidak mengikat secara hukum. Pandangan ini diikuti juga oleh kalangan ulama mazhab Hanbali menurut satu riwayat. Sedangkan Malik, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani dan satu riwayat dari kalangan ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa perjanjian perlindungan yang dilakukan anak

mumayyiz adalah sah secara hukum Islam karena didasarkan kepada keumuman makna sabda Nabi SAW: “perlindungan (dzimmah) orang-orang Muslim itu satu, dengannya berjalan orang yang lebih rendah dari

mereka.” ( مھان أ اھب عسي حاو ني س لا م ). Pendapat yang terkuat ialah yang menyatakan

ketidakabsahan perjanjian perlindungan yang dilakukan anak mumayyiz. Ibn Qudâmah berkata: “ Barangsiapa diantara kita memberikan janji perlindungan kepada mereka, baik laki-laki, perempuan, maupun hamba sahaya maka dibolehkan/dinilai sah janji perlindungannya; dan dinilai sah janji perlindungan dari orang Muslim yang dewasa, berakal sehat, dan tidak terpaksa, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang merdeka maupun hamba sahaya; dan dinilai tidak sah janji perlindungan dari anak kecil. Lihat Ibn Qudâmah, al-Mugni, tahqîq ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Muhsin al-Turkiy dan ‘Abd al-Fattâh Muhammad al-Halwa, (Kairo: Dâr Hajar, 1413 H/1992 M), Jilid XIII, h. 75. Lihat pula al-Fatâwâ al-Hindiyyah, Jilid II, h. 155; dan Mugni al-Muhtâj, Jilid IV, h. 237; dan

Kasysyâf al-Qinâ’, Jilid III, h. 104; dan Mawâhib al-Jalîl, Jilid III, h. 361; sebagaimana dikutip dari Sâlih ‘Abd al-Karîm al-Zaid, Ahkâm ‘Aqd al-Amân wa al-Musta’minîn fi al-Islâm, (Riyadh: Dâr Wataniyyah li al-Nasyr, 1406 H), h. 57, 25,77.


(33)

xxxii

puteri Nabi SAW, agar Nabi SAW memberikannya hak suaka di tengah-tengah kehidupan masyarakat Madinah. Permintaan Abû Sufyân ini tidak dipenuhi oleh Nabi SAW lantaran ia telah melanggar perjanjian yang ditandatangani Nabi SAW dan kaum musyrikin, yang dikenal dengan “Perjanjian Hudaibiyah”.8

Pembaca Muslim patut berbangga dengan buah karya riset ini yang telah mengemukakan bahwa Islam mencari segala cara untuk memenuhi hak suaka kepada orang non-Muslim. Disini kita mengetahui bahwa Nabi SAW telah memberikan hak suaka kepada orang-orang musyrik, semata-mata dengan alasan memberikan suaka bagi mereka yang mendekati Masjidil Haram atau tindakan mereka memasuki rumahnya masing-masing atau tindakan mereka memasuki rumah Abû Sufyân. Ketentuan hukum ini berlaku dalam setiap situasi dan kondisi yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Penulis mengungkapkan perkataan ‘Umar ibn al-Khattâb bahwa kata metras merupakan kata bahasa Persia yang bermakna “perlindungan”; apabila seorang Muslim mengatakannya kepada seorang non-Muslim

harbiy (Orang non-Muslim harbiy adalah orang non-Muslim yang melakukan tindakan penyerangan/agresi secara fisik terhadap orang Muslim) yang tidak memahami bahasa Arab maka ia harus memberikan kepada orang tersebut jaminan perlindungan/suaka.

8

Abû ‘Ubaid al-Qâsim ibn Salâm, Kitâb al-Amwâl, tahqîq Abû Anas Sayyid Rajab, (Riyadh: Dâr al-Fadîlah, 1428 H/2007 M), Jilid I, h. 295.


(34)

xxxiii

Hal ini menunjukkan bahwa dalam yurisprudensi Islam, seorang non-Muslim harbiy yang berada dibawah perjanjian perlindungan tidak boleh dibunuh dan harta kekayaannya akan diamankan. Kalau ada seorang Muslim berkata kepada seorang non-Muslim

harbiy: “Berhenti dan letakkan senjatamu!” Ibn Qudâmah mengemukakan bahwa ‘Umar ibn al-Khattâb pernah berkata kepada Hormuzan: “Bicaralah dan jangan takut!”; ketika Hormuzan telah berbicara, ‘Umar ibn al-Khattâb menginstruksikan agar ia dibunuh. Lalu, Anas menyelak dan langsung berkata kepada Umar: “Engkau tidak punya alasan untuk hal demikian, sebab engkau telah menjanjikan perlindungan terhadapnya.” ‘Umar ibn al-Khattâb menjawab: “Tidak sama sekali.” Lalu, Zubair berkata: “ Sungguh engkau telah mengatakan kepadanya: “ Bicaralah dan jangan takut!“. Lalu, ‘Umar menarik kembali instruksinya tersebut. Sejauh yang penulis ketahui, ini semua tidak diperdebatkan lagi oleh para ulama.9

Perlu waktu yang panjang apabila kita mau melakukan perbandingan yang relevan tentang konsep suaka menurut Hukun Syari’ah yang banyak sekali dijumpai buku ini. Akan tetapi, kita cukup mengapresiasi artikulasi penyajian dan kedalaman pembandingan yang ditunjukkan penulis, Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’. Beliau cukup berhasil dalam kajian ilmu pengetahuan

9


(35)

xxxiv

ini, terutama karena atribusi konsep hak perlindungan/suaka dalam perspektif Islam dengan landasan teori maslahah. Beliau memang memiliki pengetahuan mendalam dan wawasan luas tentang hal-ihwal teori ini dan dimensi-dimensi penerapannya serta aturan fundamental yurisprudensi teori ini. Lebih dari itu, beliau kaya akan pengetahuan yang mendalam tentang qawâ’id usûliyyah dan qawâ’id fiqhiyyah sehingga mampu menyajikan pembahasan dan pandangan yang kokoh di dalam karya riset beliau yang istimewa ini, yang dengan mantap menginspirasi pembaca bahwa Syariat Islam bukanlah teks-teks Tuhan yang dibacakan atau peta hukum yang dihapal, tetapi ia merupakan sistem kehidupan yang terus bergerak dinamis di dalam kehidupan manusia di dunia.

Saya mengakhiri kata sambutan ini dengan mengutip pernyataan Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ sendiri yang dijadikan oleh beliau sebagai kalimat penutup pembahasan dan uraiannya, suatu pernyataan yang sesungguhnya telah dikemukaan oleh Ibn al-Nabulsi al-Hanafi, yakni: “ Adapun memaksa seseorang untuk tinggal menetap di suatu tempat dan mewajibkan mereka dengan hal demikian melalui cara pemaksaan dan otoriter merupakan tindakan zalim dan melanggar hukum, yang wajib dihindari dan dicegah oleh umat Islam.


(36)

xxxv

Adalah wajib bagi kaum Muslimin untuk mencegah dan menahan tindakan yang tidak adil ini.”

Prof. Dr. Ahmad At-Tayyib


(37)

xxxvi

PERSEMBAHAN

Kepada Almarhumah Ibuku Tercinta Kepada Almarhum Ayahku Tercinta

Dariku dengan kesetiaan, rasa syukur dan dalam kenanganku


(38)

1

PENGANTAR UMUM

Ajaran Islam tidak hanya berkaitan dengan persoalan keagamaan, tetapi juga dengan persoalan hari-hari keduniaan, termasuk persoalan hubungan antar individu, antar masyarakat, antar bangsa dan antar negara.10 Karena itu tidaklah aneh apabila Islam hadir untuk menjelaskan segala sesuatu: urusan keagamaan dan urusan muamalah (keduniaan). Ini ditegaskan oleh kalam Allah SWT :

Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu. (Q.s. al-Nahl/16:89).

Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.s. al-Nahl/16:44).

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu. (Q.s. al-Mâ’idah/5:3 ).

Pengungsi dikualifikasi sebagai kelompok orang yang rentan (vulnerable persons). 11 Seseorang dapat dikualifikasi sebagai pengungsi manakala:

10

Ahmad Abû al-Wafâ’, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ’id al-Qânûn al-Dauliy wa al-‘Alâqât al-Dauliyyah fi Syarî’at al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1428 H/2007 M), Jilid I, h. 5-6.

11

Ahmad Abû al-Wafâ’, al-Himâyah al-Dauliyyah li Huqûq al-Insân, (Kairo: Dâr Nahdah al-‘Arabiyyah, 1428 H/2008 M), h. 53-62.


(39)

2

1. Dalam konteks pertimbangan personal-individual, yakni seseorang yang lari mengungsi baik sendirian atau beserta keluarganya dari negaranya dimana ia dapat mengalami penindasan/penyiksaan ke negara tujuan tempat ia mencari suaka.

2. Sebagai bagian dari kelompok yang terusir/terasingkan akibat situasi dan kondisi politik, keagamaan, militer, atau lainnya, dimana ia menghadapi ancaman penindasan/penyiksaan.

Pengungsi berbeda dari orang yang bermigrasi di wilayah negaranya dan orang yang bermigrasi dengan motif ekonomi (migran ekonomi), atas dasar perbedaan sebagai berikut:

1. Pengungsi adalah orang yang menyeberangi batas teritorial negara lain dengan maksud mencari perlindungan, rasa aman, dan suaka.

2. Pengungsi dalam negeri (internally displaced person), tujuan mereka terkadang sama dengan tujuan pengungsi. Akan tetapi, mereka berbeda dari pengungsi luar negeri, terutama dari segi bahwa mereka tetap tinggal di wilayah negaranya sendiri dan memperoleh perlindungan yang harus diberikan kepada mereka sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.


(40)

3

3. Migran ekonomi adalah orang yang meninggalkan

negaranya secara sukarela dan bukan lantaran rasa takut akan penindasan/penyiksaan; melainkan lebih didasarkan pada motif ekonomi, demi peningkatan kesejahteraan hidupnya. Oleh karena itu, Deklarasi Negara - negara Arab tentang Tenaga Buruh Migran Internasional yang diadopsi oleh Liga Arab pada tahun 2006 menghimbau pemerintah negara-negara Arab untuk membedakan secara intrinsik antara orang yang migrasi dan pengungsi yang masing-masing memiliki motivasi hak dan kebutuhan yang berbeda. Konsep pengungsi dan suaka menurut Syariat Islam dan hukum internasional

Kami akan memaparkan konsep pengungsi dan suaka menurut pandangan Syariat Islam, dan kemudian menurut pandangan hukum internasional.

Menurut Syariat Islam

Di dalam bahasa Arab, kata al-malja’ memiliki lebih dari satu arti. Di antaranya sebagai kata kerja, kata tersebut berarti “berlindung” seperti dalam ungkapan: “seseorang berlindung di benteng itu“. Maksudnya, ia berlindung dari hal yang membahayakan dengan tinggal/berada di dalam benteng itu. Sedangkan al-malja’ sebagai kata benda adalah tempat atau obyek yang dijadikan untuk berlindung dari hal yang


(41)

4

membahayakan, seperti benteng, gunung/bukit, dan goa. Arti ini muncul pada Q.s. Taubah[9]:57 dan 118, dan Q.s. al-Syûra[42]:47, yakni :12

Jikalau mereka memperoleh tempat perlindunganmu atau gua-gua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka segera pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya. (Q.s. al-Taubah [9]:57).

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, kecuali kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.s. al-Taubah [9]:118)

Patuhilah (seruan) Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kamu tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu). (Q.s. al-Syûra[42]:47).

Di dalam pokok bahasan masdar (kata benda), terdapat lebih dari satu bentuk masdar dari asal satu kata kerja. Ibn Qutaibah mengatakan: “ âwaitu lahu ma’wiyah wa ‘iyah, yang berarti

12

Lihat Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, Mu’jam Alfâz al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Hai’ah al-Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1390 H/1970 M), Bab II, h. 564-565.


(42)

5

menyayangi; serta âwaitu ila bani fulân âwan auyan; dan âwaitu fulân-an îwâ-an, yang berarti melindungi.13

Tak diragukan lagi, semua arti tersebut dapat diterapkan dalam hal pencarian dan pemberian suaka atas dasar pertimbangan bahwa sekiranya yang tampak itu makna “melindungi” maka makna ini pada intinya perluasan dari makna “menyayangi” pengungsi, dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Perlu dicatat bahwa bangsa Arab

menggunakan kata “awaituhu” (saya memberikan suaka

kepadanya) dengan pola kata kerja fa’altu (saya sudah memberikan perlindungan) dan af’altu (saya sudah memberikan perlindungan) untuk makna yang sama, tetapi terkadang mereka menggunakan ungkapan “ âwaitu ila fulan “ (aku memberi perlindungan kepada seseorang).14

Hak perlindungan diakui merupakan jiwa tradisi masyarakat Arab yang telah mengakar kuat, yang dilarang keras untuk dilanggar. Pemberian bantuan perlindungan kepada orang yang sangat membutuhkan merupakan perilaku mulia bangsa Arab dan umat Muslim. Oleh karena itu, para pujangga Arab menyebut-nyebut nilai-nilai kebaikan itu dalam syair-syair mereka dalam rangka mengabadikannya dan untuk memotivasi para

13

Ibn Qutaibah, Adab al-Kâtib, tahqîq oleh Muhammad Muhyi Dîn ‘Abd Hamîd, (Kairo: Dâr al-Fikr, 1382 H/1962 M), h. 257.

14


(43)

6

pembacanya agar tetap memegang teguh nilai-nilai tersebut. Salah seorang pujangga Arab menggubah syairnya:15

Kapan saja aku menyeru kaumku

Para ksatria perang bangsawan pasti menjawab seruanku

Engkau lihat orang yang tersuaka merasa aman di tengah- tengah mereka

Hidup di bawah perjanjian yang sangat kokoh

Apabila kami telah memberinya perjanjian perlindungan Maka, kami memegangnya dengan teguh

Melalui syairnya pula, pujangga Arab yang lain menyuarakan:16

Pengungsi datang kepada kami mencari perlindungan dari rasa takut

Berharap dan kami menawarkan kepadanya suaka Dia hidup di bawah suaka yang bermartabat

Semua itu sepanjang musim panas hingga berakhirnya musim dingin

Kami menjamin harta mereka, maka esok akan selamat Kami harus menjamin kekurangan dan kelebihannya

Dan saya tidak melihat orang ditawan sebagai yang dikorbankan Dan saya tidak melihat tetangga rumah yang diusir

Tetangga rumah dan lelaki yang menyerunya Perjanjian keduanya sama dihadapan kehidupan

Pemberian perlindungan/suaka dan penerimaan atas permintaan perlindungan/suaka memperoleh porsi perhatian tersendiri dalam syair-syair para pencari perlindungan/suaka (

15

Hamd ibn Tsaur al-Hilâliy, Dîwân Hamd ibn Tsaur, tahqîq oleh ‘Abd al-‘Azîz al-Maimaniy, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1371 H/ 1951 M), h. 46.

16

Abû al-‘Abbâs Tsaglab, Syarh Dîwân Zuhair ibn Abî Sulamiy, (Kairo: Dâr al-Qaumiyyah, 1348 H/1964 M), h. 79-80.


(44)

7

mustajirin).17 Di sisi lain, siapa saja yang tidak mengabulkan permintaan mencari suaka akan merasakan betapa pahitnya rasa bahasa yang diekspresikan para pujangga melalui syair-syair mereka18, disamping mendapatkan tatapan yang mencerminkan celaan dan ejekan.

Telah nyata bahwa pemberian suaka itu bertujuan mewujudkan rasa aman dan kenyamanan secara penuh kepada pengungsi. Hal demikian nampak jelas dengan adanya Sumpah ‘Aqabah kedua tentang kesetiaan (bay’ah) yang mendahului peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Ketika warga Yatsrib menerima migrasi (hijrah)-nya Rasulullah ke daerah mereka maka Nabi Muhammad SAW berkata: “ Saya akan

17

Tufail al-Ganawi telah menggubah syairnya, yakni:

Semoga Allah memberi pahala keluarga Ja’far atas kemurahan hati mereka kepada kami Ketika kaki kami melangkah g kami menuju jalan mereka

Mereka membiarkan kami bergaul dengan orang – orang mereka Mereka menempatkan kami di kamar yang hangat dan menyenangkan Mereka tidak pernah bosan dan kesal terhadap kami

Mereka sangat peduli, ibu kami tak pernah memperbuat seperti yang mereka perbuat Mereka menerima kami dengan hangat di rumah mereka, melihat apa adanya Kami akan membalas uluran tangan mereka yang telah dibentangkan kepada kami Kami mengucapkan selamat kepada mereka dengan memuji Allah

Lihat Tufail al-Ganawi, Dîwân Tufail al-Ganawi, tahqîq Muhammad ‘Abd al-Qâdir Ahmad, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1968) , h. 98.

Ketika memuji Ma’n ibn Zâ’idah dan menggambarkan perilaku kebaikan Bani Syaibân dan upaya mereka memberikan /perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka, Marwân ibn Abî Hafsah menggubah syairnya, yakni:

Mereka adalah kaum, yang ketika berbicara, berkata benar,

Ketika diajak, memperkenankan ajakan Ketika memberi, memberi dengan yang terbaik, dan memberi dengan melimpah

Mereka memberikan perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka Orang yang tersuaka oleh mereka itu laksana garis edar planet-planet

Pujangga lain juga menggubah syairnya, yakni:

Mereka memberikan perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka

Orang yang tersuaka oleh merekaitu laksana kantong air di dada tengah burung rajawali Lihat Ibn ‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Farîd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1404 H/1983 M), Jilid I, h. 121-122.

18

Muhammad al-Sudaisi, Ijâbat Dâ’iy wa Gauts Mustanjid ‘ind ‘Arab hasb Taswîriha fi al-Syi’r al-Qadîm, dalam Jurnal Universitas Islam al-Imâm Muhaamd ibn Su’ud, Edisi VI, 1413 H/1992 M, h. 441-446.


(45)

8

memberikan sumpah untuk melindungi, asalkan kamu semua juga melindungi dan membela saya sebagaimana kamu sekalian membela isteri dan anak kalian.”19

Bangsa Arab (pra-Islam) dan bangsa Muslim dalam hal ini memiliki kepioniran dalam beberapa hal. Abd al-Malik ibn Marwân berkata kepada Ju’ail ibn ‘Alqamah: “Seberapa jauh perlindungan yang Engkau tawarkan untuk orang lain?” . Ia menjawab: “Siapapun di antara kami akan membela orang yang telah memberi kepadanya perlindungan dari ancaman kaum lain, sebagaimana ia membela dirinya sendiri.“Abd al-Malik berkata: “ Seperti halnya kamu pula ketika orang mensifati kaumnya.”20

Telah jelas bahwa ada kebiasaan bahasa Arab, sebagai bahasa al-Qur’an, untuk menggunakan sejumlah kata untuk mengungkapkan satu konsep/gagasan dan satu sistem mengenai hak untuk suaka. Terkadang digunakan pula kata al-îwâ’ (ءاويإا yang berarti perlindungan)21 sebagaimana terdapat dalam

19

Hadis ini di-takhrîj oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, bersumber dari Ka’b ibn Mâlik, Hadis No. 15798, Jilid XXV, h. 92 dan 95. Kitab ini di-tahqîq oleh Syu’aib al-Arnaut, dkk, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1420 H/1999 M). Para ulama ahli tahqîq mengatakan: “ Ini Hadis yang kuat dan sanad-nya hasan.”

20

Ibn ‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Farîd, Jilid I, h. 531; dan Jilid II, h. 7-8.

21

Diucapkan: ي وأ, dengan cara baca memendekkan huruf hamzah (bi al-qasr) bila ia dijadikan sebagai kata kerja intransitif ( ا لعف). Juga diucapkan: ي وأ , dengan cara baca memanjangkan huruf hamzah (bi al-madd) bila ia dijadikan sebagai kata kerja transitif ( عتملعف). al-Qur’an menggunakan kedua bentuk kata ini, yakni di dalam Q.s. al-Kahf/18:63, Q.s. al-Kahf/18:10, Q.s. al-Kahf/18:50, Q.s. al-Kahf/18:6. Lihat al-Nawawi, Tahdzib al-Asmâ’ wa al-Lugât, al-Qism al-Tsâni, Jilid I, (Mesir: Idârat Tibâ’ah al-Munîriyyah, t.th.), h. 16.

Para ahli bahasa Arab menghimpun antara ءا يإا ( اف لإ تيوأو هتيوأو هتيوأ) dan فيضتلا ( تفض

هتفيضت و لج لا) pada satu judul, yakni فيضتلاو ءا يإا . Lihat Ibn Sayyidih, al-Mukhassas, al-Sifr al-Tsâni ‘Asyr, (Beirut: t.np., t.th.), h. 312-313. Diantara penggunaan lafaz itu ialah lafaz yang muncul dalam wasiat Rasulullah SAW kepada orang-orang Ansâr, ketika beliau mengalami sakit parah, yakni bahwa “Mereka adalah keluargaku yang aku berlindung kepadanya.” Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, (Kairo; Matba’ah Mustafa al-Bâb al-Halabiy, 1375 H/1955 M), Jilid II, h. 650.


(46)

9

Anfâl/8:26, Q.s.Anfâl/8:72, Q.s.Anfâl/8:74, dan Q.s. al-Duha/93:6, yakni :

Dan ingatlah (hai orang-orang yang hijrah) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekkah), kamu takut orang-orang (Mekkah) akan menculik kamu. Maka, Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. (Q.s.al-Anfâl [8]:26).

Lafaz اووأ muncul dalam al-Qur’an dengan dua makna, yaitu berhimpun (ا ض) dan berhenti (ا ھتنا), lihat Muqâtil ibn Sulaimân al-Balkhi, al-Asybâh wa al-Nazâ’ir fi al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Hai’ah al-Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1414 H/1994 M), h. 289.

Di dalam kitab Tafsîr al-Tabariy-ketika sampai pada penafsiran firman Allah, Q.s. an-Nisâ’/4:100, yang berbunyi:

ً جاھمهتْيب ْنمْ ْ ي ْنموً عسواً ي كاً غا مضْر ْأايفْ جي ﱠﷲلي سيف ْ جاھي ْنمو و ﱠﷲ لإا

ْ ْلاهْكرْ يﱠمثهل سر

اً يحراًر فغ ﱠﷲ اكو ﱠﷲ عه ْجأعقو ْ قف

disebutkan bahwa para ulama membagi hijrah itu menjadi 2 (dua) jenis, yaitu hijrah hurûb dan hijrah talab. Adapun hijrah hurûb meliputi 6 (enam) macam, yaitu (1) hijrah dari dâr al-harb ke dâr al-Islâm, (2) migrasi dari daerah/wilayah yang dipenuhi bid’ah, (3) migrasi dari daerah/wilayah yang dipenuhi perkara haram, (4) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari bahaya yang mengancam keselamatan jiwa, seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s, dimana ketika takut terhadap kaumnya, beliau berkata: “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadaku,” (5) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari penyakit endemik/penyakit menular, dan (6) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari tindakan gangguan terhadap harta kekayaan yang dimiliki. Sedangkan hijrah talab (migrasi karena tuntutan tertentu) itu terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu talabdunyâ dan talabdîn. Adapun hijrah talabdîn meliputi bepergian untuk haji, bepergian untuk merenungkan kebesaran Tuhan, bepergian untuk berjuang, bepergian untuk pekerjaan, bepergian untuk bisnis/usaha, bepergian untuk studi/belajar ilmu pengetahuan, bepergian untuk kunjungan ke situs-situs simbol kebaikan, dan bepergian untuk mengunjungi sanak famili/handai taulan.

Di dalam bâb al-malja’ wa al-wazr, Qudâmah ibn Ja’far berkata: “ Yaitu hisn (perlindungan), amn

(keamanan), hirz (pemeliharaan), ‘izz (kemuliaan), mau’il (perlindungan), malâdz (perlindungan), wazr

(pemeliharaan), kahf (perlindungan), kanf (perlindungan), malja’ (perlindungan), manjâ (penyelamatan), ma’âl

(perlindungan), ma’âdz (perlindungan), mu’tasam (pemeliharaan), mu’tasar (perlindungan), mahîd

(pemeliharaan), manâs (pemeliharaan), mu’tamad (penyandaran), multahad (perlindungan), siyâs

(pemeliharaan), dan atam (perlindungan). Lihat Qudâmah ibn Ja’far, Jawâhir al-Alfâz, (Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 223-224.

Di kalangan bangsa Arab, ada ungkapan: افب ف ت (saya menjadikan si fulan sebagai pembela diri saya), apabila kamu mengupahi orang itu dan meminta kepadanya sebagai pembela dirimu. Lihat Abû Mansûr al-Azhari, al-Zâhir fi Garîb Alfâz al-Syâfi’i, tahqîq Muhammad Jabr Alfiy, (Kuwait: Wizârat Auqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1399 H/1979 M), h. 392. Untuk itu, sebagai contoh surat tentang “perlindungan” sebagaimana berikut ini:

“ Ini surat dari si fulan untuk si fulan. Sesungguhnya saya melindungimu atas darahmu, hamba sahayamu, dan pengikutmu. Bagimu dan mereka perlindungan Allah yang ditunaikan, peraduannya yang menenteramkan; lalu, perlindungan para nabi yang diutus membawa risalah-Nya, yang dimuliakan dengan wahyu-Nya; lalu, perlindungan orang-orang pilihan, dengan memelihara darahmu dan orang yang masuk namanya besertamu di dalam surat ini, dan keselamatan hartamu dan harta mereka, dan demikian seterusnya; maka, terimalah tawarannya, sambutlah perlindungannya, bergantunglah dengan tali perlindungannya, karena tidak ada lagi setelah itu tali pengikat bagi orang yang masuk dalam perlindungannya melainkan tali pengikat yang kamu ikat dengan sekuat-kuatnya dan kamu berlindung kepada seaman-amannya perlindungan dan keselamatan.” Lihat Ibn Qutaibah al-Dainûri, Kitâb ‘Uyûn al-Akhbâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1343 H/1925 M), h. 225


(47)

10

Sesungguhnya orang-orang beriman, hijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah ), mereka itu satu sama lain saling melindungi, dan (terhadap) orang-orang beriman, tetapi belum hijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka ber-hijrah. (Akan tetapi) Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.s.al-Anfâl [8]:72)

Dan orang-orang beriman, hijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (Q.s.al-Anfâl [8]:74).

Bukankah Dia mendapati-Mu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi-Mu? (Q.s. al-Duha[3]:6).

Terkadang digunakan pula kata al-hijrah ( جھلا) untuk menunjuk makna hak untuk mengungsi, seperti dalam Q.s.al-Hasyr [59]:9 :

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan


(48)

11

kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (Q.s.al-Hasyr [59]:9)

Demikian pula halnya penggunaan kata al-malja’ untuk menunjuk konsep/gagasan ini. Al-Qur’an menggunakan kata al-malja’ lebih dari satu tempat, di antaranya ialah:

Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golongan kamu, padahal mereka bukanlah dari golonganmu, tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu). (Q.s. al-Taubah/9:56)

Jikalau mereka memperoleh tempat perlindunganmu atau gua-gua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya. (Q.s. al-Taubah [9]::57)

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit pula( terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.s. al-Taubah/9:118).

Patuhilah seruan Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kamu tidak memperoleh


(49)

12

tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu). (Q.s. al-Syûra/42:47).

Kata al-malja’ dalam bahasa Arab, semakna dengan kata

adzm yang artinya “menaungi” dan “melindungi”, sedang kata

dzamm mengandung arti “mencela” âba.22 Di dalam bahasa Arab

terdapat ungkapan hishni (pemeliharaanku), maljaî

(perlindunganku), malâdzi, (perlindunganku), maw’ilî

(perlindunganku), ma’qilî (pemeliharaanku), ma’âdzȋ (perlindunganku), wizrȋ (bebanku), kahfȋ (perlindunganku),

maqsad

ȋ

(tujuanku), mu’tamadȋ (sandaranku), mu’tadadȋ (sandaranku), hirdzȋ (pemeliharaanku), mu’tasamȋ (pemeliharaanku), manjaya (penyelamatanku), mahȋsȋ (perlindunganku), ma’alȋ (perlindunganku) ,kanafȋ

(pemeliharaanku). 23 istajârahu (meminta perlindungan),

istasrakhahu (meminta pertolongan), istinjadahu (meminta pertolongan), istinsyârahu (meminta nasehat), istijâsyahu

(meminta perlindungan), lahifa ilaihi (mengadu kepadanya), jaza’a ilaihi (berkeluh kesah kepadanya), istizara bihi (meminta pertolongan kepadanya), isytawhasya ilaihi (menjadi senang kepadanya).24

Dari kata-kata tersebut pula terbentuk kata al-isti’adzah yang bermakna sama secara etimologis, yakni melindungi, memelihara, menaungi. Secara spesifik kata ةذاعتسإا muncul dalam Q.s. al-Nahl/16:98 :

22 Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasît, Ibrahim Mustafa, et. all. (eds.), (Turki:

al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1392 H/1972 M), Jilid I, h. 345.

23

Ibn Mâlik al-Tâ’iy, Kitâb al-Alfâz al-Mukhtalifah fi al-Ma’âni al-Mu’talifah, tahqîq oleh Najah Nauli, (Mekkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1411 H/1991 M), h. 34-35.

24

Ibn Mâlik al-Tâ’iy, Kitâb al-Alfâz al-Mukhtalifah fi al-Ma’âni al-Mu’talifah, tahqîq oleh Najah Nauli, (Mekkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1411 H/1991 M), h. 79.


(50)

13

Apabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.s. al-Nahl/16:98).

Menurut Hukum Internasional

Pengungsi adalah setiap orang yang mengalami rasa takut akan kemungkinan adanya penindasan/penyiksaan terhadap dirinya lantaran rasnya, agamanya, kebangsaannya atau keanggotaannya (afiliasinya) kepada kelompok sosial tertentu atau pandangan politiknya, di luar negara yang menaungi kebangsaannya, dan ia tidak mampu atau tidak ingin memperoleh perlindungan dari negara itu lantaran rasa takut tersebut, atau setiap orang yang tidak memiliki kebangsaan dan berada di luar negara tempat ia sebelumnya tinggal sehingga ia tidak mampu atau tidak ingin, lantaran rasa takut itu, pulang kembali ke negaranya. 25 Pengertian “pengungsi” yang tercantum dalam Konvensi 1951 tersebut, kemudian diperluas sebagai berikut.26

a. Konvensi Organisasi Persatuan Afrika tentang Aspek-Aspek Khusus Problem Pengungsi di Afrika (1969) 27

25

Pasal 1 (A-2) Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, sebagaimana diamandemen oleh Protokol 1967. Begitu pula, Resolusi Majelis Umum PBB 50/152 (1995) menyatakan bahwa Konvensi 1951 dan Protokol 1967 merupakan batu pijakan rezim perlindungan pengungsi internasional.

26

Lihat dalam konteks yang sama: Pasal 1 Konvensi Arab tentang Pengaturan Status Pengungsi di Negara-negara Arab (1994), yang dimuat di dalam Collection of International Instruments and Legal Texts Concerning Refugees and Others of Concern to the UNHCR, (Geneva: UNHCR, Juni 2007), Vol. 3, h. 1130

27

Konvensi Organisasi Persatuan Afrika tentang Aspek-aspek Khusus Problem Pengungsi di Afrika, yang disahkan pada 10 September 1969 dan mulai diberlakukan pada 20 Juni 1974.


(51)

14

memberi tambahan atas definisi “pengungsi” yang tercantum dalam Konvensi 1951 sebagai berikut:

“Bahwa kata “pengungsi” juga berlaku bagi setiap orang yang terpaksa harus meninggalkan negaranya dan mencari suaka di luar negaranya atau tempat tinggal asalnya lantaran adanya agresi asing, pendudukan asing, penguasaan asing, atau peristiwa yang mengganggu kepentingan umum di suatu bagian atau seluruh wilayah negara orang tersebut. Dengan demikian, sesuai dengan Konvensi ini, seseorang dapat disebut sebagai pengungsi apabila mengalami keadaan seperti di atas, meskipun ia

tidak mengalami ketakutan terhadap penyiksaan/penindasan. Konvensi ini bersandarkan pada

prinsip bahwa perlindungan internasional harus diberikan kepada pengungsi ketika tidak ada perlindungan negara asal mereka lantaran negara mereka itu tidak mampu atau tidak mau memberikan jaminan perlindungan kepada warga negaranya. Hal ini biasanya terjadi di tengah situasi peperangan atau pendudukan militer.

b. Deklarasi Cartagena tentang Pengungsi (1984) memberi tambahan atas definisi “pengungsi” yang tercantum dalam Konvensi 1951, yakni bahwa kata atau konsep “pengungsi” juga berlaku bagi setiap orang yang lari dari


(52)

15

negaranya lantaran kehidupannya, keselamatannya atau kebebasannya terancam oleh kekerasan yang meluas, agresi asing, konflik di dalam negeri, pelanggaran hak asasi manusia secara luas, atau situasi apapun yang membahayakan ketertiban umum. Meskipun Deklarasi ini tidak mengikat karena hanya deklarasi semata, bukan perjanjian internasional yang mengikat, sehingga tidak berlaku terhadapnya “pacta sunt servanda” (perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya) atau prinsip “ex consensus advenit vinculum” (kesepakatan bersifat mengikat); akan tetapi, prinsip ini diimplementasikan dalam praktik hukum dan legislasi nasional di sebagian negara-negara Amerika Tengah.

Lebih lagi, Pasal 14 Deklarasi Universal tentang Hak Asas Manusia menyatakan bahwa :

(1) setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka untuk memperoleh perlindungan dari negara pemberi suaka dan untuk menghindari penyiksaan/penindasan;

(2) hak ini tidak dapat diperoleh apabila keadaan itu lahir atas dasar tindak pidana/kejahatan non-politik atau lantaran perbuatan yang melanggar tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB.28

28

Ketentuan ini juga tercantum pada Pasal 1 Deklarasi tentang Suaka Teritorial yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1967 dengan Resolusi No. 2312, yang menyatakan :


(53)

16

Lebih jauh lagi, hak suaka diartikan diperolehnya perlindungan yang diberikan oleh suatu negara, di wilayah negara tersebut atau di wilayah lain yang tunduk kepada pemerintah negara tersebut, kepada seseorang yang meminta suaka/perlindungan.29

Komponen – komponen hak suaka

Hak suaka mengandung 3 (tiga) komponen, yaitu:

1. Masuknya seseorang kedalam suatu teritori tertentu, dengan asumsi ia mencari suaka (dalam bahasa hukum, ini disebut

1. Semua negara wajib menghormati suaka yang diberikan negara lain, dalam rangka melaksanakan kedaulatannya, kepada setiap orang yang berhak untuk meminta diberlakukannya Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, termasuk orang-orang yang berjuang melawan kolonialisme.

2. Hak mencari dan menikmati suaka boleh tidak diberikan kepada siapa saja diduga kuat melakukan tindak kejahatan terhadap perdamaian atau tindak kejahatan perang atau tindak kejahatan terhadap kemanusiaan, sesuai dengan yang diatur dalam instrumen hukum internasional.

3. Negara pemberi suaka berhak mengevaluasi alasan-alasan pemberian suaka.

Perlu dikemukakan bahwa seseorang dimungkinkan menjadi pengungsi dalam negeri (refugee sur place in situ). Misalnya, pejabat diplomatik, utusan/delegasi negara, tawanan perang, mahasiswa, dan pekerja migrant; mereka adalah orang-orang yang tinggal di luar negara asal mereka tanpa berkeinginan sama sekali mencari suaka; namun, akibat situasi dan kondisi yang terjadi, mereka merasa takut akan kemungkinan terjadinya penganiayaan terhadap mereka atas dasar alasan ras, agama, kebangsaan, afiliasi kepada kelompok sosial tertentu, atau pendapat/pandangan politik tertentu, atau kemarahan mereka atas peristiwa yang terjadi di negara mereka, atau keterkaitan mereka dengan tokoh-tokoh politik yang ada di luar negeri dan kelompok oposisi. Mereka ini, sesudah memenuhi persyaratan, dapat dikualifikasi sebagai pengungsi

Telah diketahui bahwa seseorang dapat dikualifikasi sebagai pengungsi lantaran keadaannya yang demikian; dan karena itu, pengakuan terhadapnya sebagai pengungsi oleh pihak negara pemberi suaka membawa efek deklaratif, bukan konstitutif. Terdapat perbedaan penting antara efek deklaratif dan efek konstitutif. Sebab, status “pengungsi” merupakan status yang empirik sifatnya manakala telah terpenuhi persyaratannya dan unsur-unsurnya tanpa tergantung kepada unsur-unsur eksternal. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat dianggap sebagai pengungsi hanya dengan pengakuan terhadap dirinya, tetapi pengakuan tersebut menjadi sempurna tatkala dia berstatus sebagai pengungsi. Lihat UNHCR, Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951 Convention and the 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees, (Genewa: UNHCR, 1992), h. 9.

29 Lihat Ann. IDI, 1950, Vol. 43, h. 157. Lihat pula P. Weiss, The present state of international law of

territorial asylum, Ann. Suisse de DI, 1975, Vol. 31; Mubanga-Chipoya, The right to everyone to leave any country, including his own and to return to his country, E/C4/Sba. 2, 1988, h. 35, Juni 1988, h. 103-106. Lihat pula S.Agha Khan, Legal problems relating to refugees and displaced persons, RCADI, 1976. Lihat pula pengertian hak suaka dalam UNHCR, Madkhal ila al-Himâyah al-Dauliyah li al-Lâji’in, 2005, h.184 (dalam Bahasa Arab).


(54)

17

îjâb), yang kemudian dijawab dengan persetujuan negara tujuan (dalam bahasa hukum, disebut qabûl).

2. Pemberian izin kepada pencari suaka untuk menetap di wilayah negara tujuan. Ini melahirkan 2 (dua) implikasi penting, yaitu (1) pencari suaka tersebut tidak boleh dipulangkan ke negaranya; dan (2) pencari suaka tersebut tidak boleh diekstradisi ke suatu negara atau pihak lain yang memintanya, apabila hal ini akan berakibat hukuman atau penganiayaan bagi pencari suaka tersebut.

3. Pencari suaka itu tidak boleh dihukum lantaran memasuki wilayah negara tersebut secara ilegal, Hal ini dibenarkan menurut konsep alasan darurat yang mendorong pencari suaka itu lari dari negaranya ke negara lain karena menghindari penganiayaan yang akan dialami diri yang bersangkutan.


(1)

276 C. Pandangan Pribadi Penulis

Penting untuk disampaikan bahwa pemberian hak suaka sejalan

dengan 3 (tiga) prinsip dalam Syariat Islam sebagai berikut:355

1. Kewajiban melindungi dan membantu orang yang mengalami

penganiayaan atau penyiksaan. 356 Pemberian suaka

merupakan bentuk minimal dari upaya pemberian perlindungan dan bantuan bagi orang tersebut. Hal ini disokong oleh ayat al-Qur’an:

(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang

yang benar. (Q.S. al-Hasyr/59:8)

2. Al-Qur’an sangat menganjurkan untuk memiliki “sikap

bergerak” dan “sikap tidak terikat dengan daerah tertentu” apabila terdapat alasan-alasan mengharuskan “bergerak atau berpindah tempat”. Ini sesuai dengan pesan ayat-ayat

al-Qur’an berikut:357

Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini)

355

Seorang ahli hukum berpendapat bahwa, “Dans le monde musulman d aujourd hui, les pratiques et

les legislations relatives a l asile et aux refugies sont loin d etre musulmanes. Elles s alignent tres souvent sur la

pratique internationale moderne, tres souvent restrictive et assez peu genereuse.” See: L’asile et les refugies

dans la tradition musulmane, , h. 333 dan 337.

356

Ada yang berpandangan bahwa “jiwar” saat ini telah menjadi ranah kebijakan luar negeri dalam Islam yang mengombinasi kombinasi berbagai sifat mulia, yang mana bermakna perlindungan terhadap kehidupan, keluarga, kekayaan, dan penghargaan terhadap individu maupun kelompok”. Lihat Ali Ahmad

al-Khatîb, Muqaddimah fî Hijrat al-Rasûl, Final Volume, (Jiwar), op cit, h. 164.

357

Hal ini juga dikukuhkan oleh hukum internasional. Lihat C. Mubanga-Chipoya, The Right to

Everyone to Leave any Country, Including his Own and to Return to his Country, UN doc.E/C4/Sba.2 1988/35,


(2)

277

kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang

baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa". (Q.S.

al-A’râf/7:128)

Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai

hamba-hamba-Ku yang saleh. (Q.S. al-Anbiyâ’/21:105)

Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali

setelah) dibangkitkan. (Q.S. al-Mulk/67:15)

Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat menetap dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu

supaya kamu mendapat petunjuk. (Q.S. al-Zukhruf/43:10).

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah

banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S.

al-Jumu’ah/62:10)

Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang-orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang

lain lagi berperang di jalan Allah,.. (Q.S.

al-Muzzammil/73:20)

3. Tindakan melanggar dan membatalkan perjanjian suaka yang

diberikan kepada pengungsi merupakan hal yang ditentang

Islam selamanya.358 Hal demikian terbukti dari faham bahwa

358

Hal demikian terbukti dari norma Syariat Islam yang menyatakan bahwa setiap pelanggaran, oleh orang Muslim, terhadap ketentuan dan persyaratan perlindungan, akan dihukum menurut Syariat Islam. Lihat

Ahmad Abû al-Wafâ’, Islam and the West: Co-Existence or Clash? (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1427


(3)

278

penghormatan terhadap orang yang bermigrasi dan mereka yang mencari suaka merupakan salah satu noktah penting ajaran akidah Islam.

Hak suaka merupakan hak Arab yang genuine, di mana

banyak orang telah meminta untuk menghidupkannya

kembali, bahkan dalam khazanah sya’ir Arab.359 Dalam hal

ini, Pasal 12 Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia

dalam Islam (the Cairo Declaration on Human Rights in

Islam), yang disahkan dalam Konferensi Menteri Luar Negeri

dari Negara-Negara OKI ke-19 di Kairo tahun 1411 H/1990 M, menyatakan:

“ Setiap orang berhak, menurut Syariat Islam, untuk bebas bergerak dan memilih tempat tinggal, baik di dalam maupun

berakar kuat dalam tradisi Islam dan Arab. Lihat Ahmad Abû al-Wafâ’, Islam and the West: Co-Existence or

Clash?,h. 194.

359

Sebagai contoh, ketika Hind bint Nu’mân meminta suaka kepada Safiyyah bint Tsa’lab al-Syaibâniyyah maka Safiyyah memberikannya suaka, dan dia mendatangi kaumnya mengumumkan perihal suaka itu terkait tindakan Raja Kisra Persia dan bala tentaranya, dengan mengatakan:

Wahai Bani Syaibân, hidupkan suaka (jiwâr) Yang telah dimatikan oleh semua suku bangsa Arab

Apa alasannya? Pakaianku dilipat oleh seorang perempuan merdeka Ditanam dalam kumpulan mutiara dan berlian

Menghadapi para Kaisar, aku beri suaka kepada seorang perempuan merdeka Dengan bantuan kaum tua dan kaum muda kaum saya

Syaiban adalah suku saya, apakah ada suku lain yang seperti mereka Pada saat perlawanan dan berkecamuknya pasukan berkuda Suatu kaum yang melindungi orang yang dikejar musuh Dan hidupku terpelihara dari perubahan masa

Kemudian Bani Syaibân memberikan suaka dan melawan serangan pasukan tentara asing (Persia) hingga pasukan itu takluk. Safiyah berkata:

Katakan kepada Kisra, kami memberikan suaka kepada seorang perempuan pencari suaka Maka ia menempati tempat kemuliaan, wahai Kisra

Kami adalah orang-orang yang apabila tinggal di tempat berbahaya Kami tidak pernah menyesal

Kami lindungi pencari suaka itu dari semua bahaya Kami berikan kepadanya karunia yang menyenangkan,

Lihat Muhammad ‘Anâni, Mukhtâr min Asy’âr Mar’ah ‘Arabiyyah fî Jâhiliyyah wa


(4)

279

di luar negaranya. Setiap orang juga berhak-apabila disiksa/dianiaya, mencari suaka ke negara lain dan negara yang dimintai suaka olehnya wajib memberikan perlindungan kepadanya hingga dia benar-benar terlindungi, sejauh penyebab yang membuat dirinya mencari suaka itu bukan

merupakan suatu tindak kejahatan menurut Syariat Islam.”360

4. Sebuah fatwa penting dikemukakan oleh Ibn Nâbulsi

al-Hanafi. Pada bagian akhir ini, patut kiranya kami mengutip pandangan progresif Ibn al-Nâbulsi al-Hanafi mengenai hak untuk bebas bergerak, memilih tempat tinggal, dan memperoleh suaka. Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Hak Setiap Orang untuk Memilih Tempat Tinggal di suatu

Negara” (Takhyîr al-‘Ibâd fi Suknâ al-Bilâd), Ibn al-Nâbulsi

al-Hanafi berkata:

“Memaksa seseorang untuk tinggal menetap di suatu tempat

360

‘Abd al-Qâdir ‘Audah berpandangan bahwa pengusiran seorang Muslim dari wilayah Muslim bisa menjadikan dirinya beresiko untuk jatuh pada godaan dan mendorongnya pada kebinasaan dan menghalanginya untuk melakukan ibadah agamanya di ranah publik. Dia menambahkan, tidak ada negara Islam yang berhak menolak akses ke wilayahnya bagi warga negara-negara Islam lain, karena setiap negara memiliki langkah-langkah keamanan dan ketentuan syariah yang dapat memenuhi setiap kebutuhan. Jika semua ini tersedia dan berlaku di negara itu, maka aturan syariah tidak akan terganggu. Dalam kasus ini, negara tidak boleh menyimpang dari hak ini dengan dalih perlunya mendukung tindakan yang akan mengganggu aturan penting syariah. Pendapat ini sejalan dengan maksud dan tujuan syariah untuk menyatukan tanah Muslim dan

mengubahnya menjadi wilayah yang aman dan damai bagi setiap Muslim dan dzimmy. Di sisi lain, pandangan

yang bertentangan dengan semangat di atas, hal mana mengusung ketimpangan serta bias nasionalisme dan

rasisme, jelas tidak sejalan dengan Islam. ‘Abd al-Qâdir ‘Audah, al-Tasyrî’ 'al-Jinâ'i al-Islâmiy, op cit, h.

304-305.

Mencermati pesan dari khalifah al-Mansûr berkenaan dengan beberapa orang Muslim yang berlindung di Turki dan kemudian mereka dihukum berat dan dibunuh oleh mereka, Syeikh bin Saudah berpandangan, tidak diragukan lagi bahwa para pelaku yang membunuh dan menghukum berat beberapa Muslim yang mencari

perlindungan karena Allah dan bersekutu dengan kelompok mujahidin (pejuang untuk tujuan yang suci) tidak

dapat dianggap sebagai saudara dalam agama. Tindakan mereka menunjukkan keimanan yang tipis dan kurangnya kesetiakawanan. Dengan demikian mereka harus dihukum dengan terbuka dan dipermalukan di

depan publik dan kemudian dibunuh. Ini akan menjadi hukuman yang setimpal(Qaishâsh) untuk tindakan

mereka yang keji. Allah mengetahui yang terbaik dari niat dan tujuan mereka, jika ia membunuh para mujahidin

dengan maksud untuk mendukung musuh-musuh Allah atau karena cinta dan semangat untuk mendukung agama mereka, maka mereka akan dikeluarkan dari agama Islam dan akan diperlakukan sebagai kafir. 'Abd

al-Hâdiy al-Tâziy, al-Târîkh al-Diblûmâsiy li al-Maghrib min Aqdam al-'Ushûr ila al-Yawm, (t.tp: Mathâbi'


(5)

280

dan mewajibkannya dengan jalan pemaksaan merupakan suatu tindakan zalim dan melanggar hukum. Tindakan semacam ini harus dijauhkan dari diri setiap Muslim. Diwajibkan pula setiap Muslim, terutama penguasa Muslim dan orang yang kompeten, untuk mencegah, melawan, dan memberantas pelaku tindakan semacam ini dengan berbagai cara seoptimal mungkin, seperti dengan cara menasehati dan memperingatkan secara keras dengan lisan, dan bentuk pencegahan dan pemberantasan kemunkaran lainnya.” Dia menambahkan:

“ Oleh karena itu, terdapat atsar (ungkapan bijak ulama) yang menyatakan bahwa cinta tanah air itu merupakan bagian dari keimanan. Jadi, seseorang tidak boleh meninggalkan negaranya atau melepaskan ikatan kewarganegaraan dengan negaranya kecuali dengan dasar alasan kesulitan/kesusahan berat yang menimpa dirinya, seperti kelaliman penguasa, tindakan fitnah, tindakan penganiayaan, dan alasan lain yang memungkinkan dirinya meninggalkan negaranya, keluarganya dan tempat tinggalnya. Mengenai hal ini, Allah SWT berkalam dalam al-Qur’an:

Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian


(6)

281

Jadi, Allah menjadikan tindakan meninggalkan negara seperti tindakan membunuh diri dan Allah mempersamakan dua tindakan itu dari segi kesukaran/kesusahan yang ditimpakan kepada manusia.” Dia menambahkan pula:

“Tindakan sekelompok penduduk Muslim meninggalkan daerah, tempat tinggal dan harta kekayaan mereka lantaran kezaliman dan kesewang-wenangan pihak lain, yang di luar kesanggupan mereka menghadapinya, sehingga mereka tidak bisa menjalankan aktivitas ibadah dan keyakinan akan perkara halal dan perkara haram maka tindakan sekelompok penduduk Muslim itu merupakan tindakan mulia yang diberi ganjaran pahala. Hal ini didasarkan kepada kalam Allah SWT:

Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku

luas, maka sembahlah Aku saja. (Q.S. al-‘Ankabût/29:56).”

Ketika memahami kandungan makna ayat ini, al-Nasafi berkata:

Apabila orang Muslim merasa tidak mudah beribadah di

negerinya atau ia tidak dapat menjalankan ajaran agamanya maka dia harus bermigrasi ke negeri lain yang lebih

menjamin kehidupan beragamanya.” 361

361

Institute Francais de Damas, Bulletin d Etudes Orientales, Tome XXXIX-XL, Annes 1987-1988, h.