kesempatan kerja dan pendapatan. Secara visual atribut sosial budaya yang menjadi faktor pengungkit dapat di lihat pada Gambar 34.
Leverage of Attributes
1.623 2.165
0.818 1.713
1.369 1.649
1.857 1.202
1.385 1.208
0.901 1.134
0.832
0.5 1
1.5 2
2.5 Pertumbuhan rumah tangga
peternak Peran masyarakat dalam usaha
agribisnis peternakan Jumlah rumah tangga peternak
Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak
Frekuensi konflik Curahan waktu kerja dalam
usaha peternakan Frekuensi penyuluhan dan
pelatihan partisipasi keluarga dalam
usaha Pengetahuan terhadap
lingkungan Pertumbuhan penduduk
Kesehatan masyarakat peternak Alternatif usaha selain
peternakan Rasio tenaga kerja
A ttr
ib u
te
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100
Gambar 34. Atribut sosial budaya yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak.
5.3.4. Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi
Dimensi teknologi memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong kurang berkelanjutan karena masih lebih kecil dari 50,0. Dengan demikian
pembangunan dimensi teknologi untuk pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten jayapura perlu dilakukan dengan memperhatikan atribut yang
merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan pembangunan. Terdapat sembilan atribut teknologi yang menentukan
keberlanjutan program yaitu; 1 standar mutu produk peternakan, 2 ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis, 3 ketersediaan teknologi
informasi dan transportasi, 4 ketersediaan tempat pelayanan Inseminasi Buatan IB, 5 teknologi pakan, 6 ketersediaan tempat atau pos pelayanan kesehatan
hewan, 7 teknologi pengolahan limbah peternakan, 8 teknologi pengolahan hasil produk peternakan, 9 penggunaan vitamin dan probiotik untuk
pertumbuhan ternak. Tiga diantaranya merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS 2,0. Atribut teknologi yang merupakan faktor
pengungkit adalah 1 ketersediaan tempat pelayanan inseminasi buatan IB, 2
ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hewan dan 3 ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis. Secara visual disajikan pada Gambar 35.
Leverage of Attributes
0.77 2.56
1.71 1.80
2.69 1.77
1.71 2.40
0.47
0.5 1
1.5 2
2.5 3
Teknologi pengolahan hasil produk peternakan Ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hew an
Teknologi pengolahan limbah peternakan Teknologi pakan
Ketersediaan tempat pelayanan IB Penggunaan vitamin dan probiotik untuk pertumbuhan
ternak Ketersedian teknologi inf ormasi dan transportasi
Ketersedian sarana dan prasarana agribisni Standar mutu produk peternakan
At tr
ib u
te
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100
Gambar 35. Atribut teknologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan ternak
Ketersediaan tempat pelayanan inseminasi buatan IB
Secara nasional populasi dan produktivitas ternak potong dan ternak perah selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun.
Tingkat pertumbuhan sapi potong selam 3 tiga tahun terakhir hanya mencapai 1,08 per tahun. Sementara dilain pihak, dengan pertumbuhan penduduk yang
meningkat rata-rata 1,5 per tahun dan pertumbuhan ekonomi meningkat dari 1,5 sampai 5,0 pada tahun 2005, maka diperkirakan permintaan terhadap
daging sapi akan terus meningkat. Bila tidak dilakukan upaya untuk meningkatkan populasi dan produksi, maka ternak potong lokal akan terkuras
karena tingginya angka pemotongan, sehingga harus dilakukan impor sapi sebesar rata-rata 300 ribu ekortahun, dimana tahun 2009 dapat mencapai 500
ribu ekor Dirjenak, 2010. Pelaksanaan Inseminasi Buatan IB merupakan salah satu upaya penerapan teknologi tepat guna yang merupakan pilihan utama untuk
peningkatan populasi dan mutu genetik ternak. Melalui kegiatan IB, penyebaran bibit unggul ternak sapi dapat dilakukan dengan murah, mudah dan cepat, serta
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan para peternak. Pelaksanaan IB di Kabupaten Jayapura telah dilaksanakan dari tahun 1990 namun sampai
sekarang belum menunjukkan keberhasilan yang baik hal ini terlihat dari besarnya Service per Conception SC rata-rata yang diperoleh baru mencapai
3,4 dan dan Conception Rate CR 40 Dinas Peternakan Provinsi Papua, 2010. Hal ini jauh dari target keberhasilan untuk wilayah tahapan swadaya
untuk SC 2 dan CR 80 Dirjenak, 2010. Pelaksanaan IB di Kabupaten Jayapura selama ini masih bergantung straw dari Dinas Perkebunan dan
Peternakan Provinsi Papua, dan hanya ada 2 dua unit pos IB itupun dengan memanfaatkan rumah petugas yang ada di distrik.
Ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hewan
Pemberlakuan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999, disertai dengan penyerahan aset dan pegawai pusat kepada
pemerintah daerah. Salah satu aset pemerintah pusat yang diserahkan tanggung jawabnya ke pemerintah daerah adalah Pos Kesehatan Hewan Poskeswan.
Dengan pelaksanaan otonomi, subsidi yang diberikan pemerintah pusat kepada Poskeswan dihapuskan, sedangkan Pemerintah Daerah Pemda Kabupaten
Jayapura hanya memiliki Pendapatan Asli Daerah PAD sebesar Rp. 3.788.978.208 Tahun Anggaran 2003 dan pada Tahun Anggaran 2002 mendapat
Dana Alokasi Umum DAU sebesar Rp. 344.854.260.445, sementara untuk belanja rutin pegawai memerlukan dana sebesar Rp. 340.986.894.951. Dengan
kondisi keuangan Pemda Kabupaten Jayapura yang demikian, mengakibatkan Pemda menghadapi kendala untuk memberikan subsidi berupa dana
operasional, obat-obatan dan bahan kimia yang dibutuhkan oleh Poskeswan. Seperti yang kita ketahui, sektor penanganan penyakit membutuhkan perhatian
yang serius, karena tidak hanya menyangkut masalah ternaknya saja tetapi juga manusianya, Beberapa penyakit hewan dapat menular ke manusia. Penyakit
hewan yang menular ke manusia bersifat zoonosis, penyakit tersebut diantaranya : A1, Anthrax, Brucellosis dan Tuberculosis. Pencegahan penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan vaksinasi, pemberian penyuluhan tentang tanda-tanda klinis penyakit tersebut, sistem pelaporannya penanganan
sementara hewan sakit dan perilaku hidup bersih dan sehat serta biosecurity untuk mencegah penyebaran dan penularan lebih luas. Kesadaran masyarakat
dan pihak-pihak terkait sangat diperlukan dalam penanganan dan pemberantasan penyakit hewan penanganan yang cepat dan tepat dapat
membantu mengurangi resiko dan kerugian akibat penyakit hewan. Pemberian pengetahuan melalui penyuluhan sangat diperlukan secara terus menerus dan
berkelanjutan agar dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang kondisi ternak dan kebutuhan masing-masing petani peternak dalam upaya
peningkatan derajat kesehatan hewan. Pos Kesehatan Hewan Poskeswan sebagai unit terdepan yang langsung berhubungan dengan masyarakat petani
peternak melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan hewan dan penyuluhan, memiliki peran strategis terhadap upaya peningkatan populasi dan produktivitas
ternak. Dari berbagai pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pelayanan yang dilakukan oleh Poskeswan hasilnya kurang optimal karena
keterbatasan sarana prasarana, personil serta wilayah kerja yang cukup luas
Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis
Menurut Ernalia et al, 2004, dan Deptan 2004a, suatu wilayah dapat menjadi suatu kawasan agropolitan bila pengembangan kawasan tersebut tidak
saja menyangkut kegiatan budidaya pertanian on farm tetapi juga kegiatan off farm-nya, yaitu mulai pengadaan sarana dan prasarana pertanian seperti
benihbibit, pupuk, obat-obatan, alat dan mesin pertanian, kegiatan pengolahan hasil pertanian sampai dengan kegiatan pemasaran hasil pertanian seperti
bakulan, warung, jual beli hasil pertanian, pasar lelang, terminalsub terminal agribisnis, dll dan juga kegiatan penunjangnya seperti pasar hasil, agrowisata.
Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis yaitu : 1 pasar, baik
pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, gudang tempat
penyimpanan dan prosessing hasil pertanian sebelum dipasarkan, 2 Lembaga Keuangan perbankan dan non perbankan sebagai sumber modal untuk
kegiatan agribisnis, 3 memiliki kelembagaan petani kelompok, koperasi, asosiasi yang harus berfungsi pula sebagai Sentra Pembelajaran dan
Pengembangan Agribisnis SPPA, 4 Balai Penyuluhan Pertanian BPP yang berfungsi sebagai Klinik Konsultasi Agribisnis KKA yakni sebagai sumber
informasi agribisnis, tempat percontohan usaha agribisnis, dan pusat pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agriibisnis yang lebih
efisien dan menguntungkan. Dalam pengembangan kawasan ogropolitan ini BPP
perlu diarahkan menjaadi Balai Penyuluhan Pembangunan Terpadu dimana BPP ini merupakan basis penyuluhan bagi para penyuluh dan petugas yang terkait
dengan pembangunan kawasan agropolitan dan penyuluh swakarsa seperti kontrakanpetani maju, tokoh, masyarakat, dll, 5 percobaanpengkajian teknologi
agribisnis, untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan, 6 jaringan jalan yang memadai dan aksessibilitas dengan
daerah lainnya serta sarana irigasi, yang kesemuanya untuk mendukung usaha pertanian agribisnis yang lebih efisien. Memilki sarana dan prasarana umum
yang memadai, seperti transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, dan lain-lain. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan socialmasyarakat
yang memadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan, swalayan dan lain-lain. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian
sumberdaya alam, kelestarian sosial budaya maupun keharmonisan hubungan kota terjamin. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sarana dan prasarana
agribisnis ini masih jauh dari harapan atau dengan kata lain kurang memadai. Untuk itu, di masa yang akan datang perlu ada perhatian yang serius bagi semua
stakeholder sehingga pengembangan pertanian dan peternakan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani ternak di
pedesaan.
5.3.5. Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan
Dimensi kelembagaan memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong kurang berkelanjutan karena 50. Dengan demikian pembangunan dimensi
kelembagaan untuk pengembangan peternakan di Kabupaten Jayapura perlu memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit yang bertujuan untuk
mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan kelembagaan baik dari pemerintah maupun dari masyarakat petani ternak. Terdapat sembilan atribut
kelembagaan yang menentukan keberlanjutan yaitu: 1 ketersediaan Badan Penyuluh Pertanian BPP, 2 ketersediaan lembaga keuangan bankkredit, 3
kerjasama antar negara dalam pengembangan peternakan, 4 koperasi peternak, 5 kemitraan dengan lembaga adat, 6 sinkronisasi kebijakan pusat
dan daerah, 7 partisipasi pengusaha swasta dalam usaha peternakan, 8 kemitraan dengan pemerintah, 9 kemitraan dengan kelompok tani. Empat
diantaranya merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS 1,5. Atribut kelembagaan yang merupakan faktor pengungkit adalah 1 ketersediaan