Pengembangan Wilayah TINJAUAN PUSTAKA

untuk mengeksploitasi sumberdaya yang terdapat di desa. Masyarakat desa sendiri tidak berdaya karena secara politik dan ekonomi para pelaku eksploitasi sumberdaya tersebut memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat. Kedua, kawasan perdesaan sendiri umumnya dihuni oleh masyarakat yang kualitas SDM-nya kurang berkembang. Kondisi ini mengakibatkan ide-ide dan pemikiran modern dari kaum elit kota sulit untuk didesiminasikan. Oleh karena itu sebagian besar aktivitas pada akhirnya lebih bersifat enclave dengan mendatangkan banyak SDM dari luar yang dianggap lebih mempunyai keterampilan dan kemampuan. Menurut Basri 1999, bahwa rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat perdesaan dipengaruhi oleh: 1 Kondisi sosial ekonomi rumah tangga masyarakat yang mempengaruhi kapasitas individu, keluarga, dan kelompok masyarakat dalam melakukan interaksi sosial dan proses produksi; 2 Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar lapangan usaha dan pendapatan rumah tangga atau masyarakat; 3 Potensi daya dukung regional geographical setting seperti kondisi geografis, sumberdaya alam serta infrastruktur yang mempengaruhi pola kegiatan produksi dan distribusi; 4 Kelembagaan sosial ekonomi masyarakat yang mendukung interaksi sosial dan jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global. Berdasarkan pernyataan tersebut maka masalah utama dalam pembangunan wilayah perdesaan adalah kebijakan yang kurang berpihak terhadap masyarakat perdesaan dan rendahnya kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola sumber-sumber daya alam guna pembangunan masyarakat perdesaan. Miyoshi 1997 mengemukakan pendapat Friedman dan Douglas, bahwa strategi pembangunan perdesaan yang cocok adalah supaya memperhatikan hal-hal sebagai berikut yaitu: 1 sektor pertanian harus dipandang sebagai leading sektor; 2 kesenjangan pendapatan dan kondisi kehidupan antara kota dan desa harus dikurangi; 3 small scale production untuk pemasaran lokal harus dilindungi melawan kompetisi dari pengusaha besar. Pembangunan rural small enterprise sangat penting untuk mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan atau kota kecil yang berperan sebagai pusat pemasaran desa-desa di sekitarnya. Akibat dari kegagalan pembangunan yang disebabkan oleh terjadinya urban bias di atas, pembangunan di wilayah perdesaan mengalami kekurangan investasi modal, dampaknya telah menimbulkan kehilangan kesempatan kerja bagi masyarakat perdesaan. Dalam kondisi seperti ini posisi tawar masyarakat perdesaan menjadi semakin lemah sehingga pengambilan keputusan pembangunan menjadi tersentralisasi di kota-kota tanpa menghiraukan kondisi perdesaan. Pembangunan di perdesaan semakin terpuruk sedangkan pertumbuhan ekonomi kota-kota relatif semakin besar yang diikuti dengan eksploitasi sumberdaya di wilayah perdesaan. Keadaan ini mendorong terjadinya kerusakan-kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang pada gilirannya berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat luas, baik di wilayah perdesaan maupun di kawasan perkotaan sendiri. Kondisi di atas terjadi antara lain karena investasi-investasi di wilayah perdesaan baik secara fisik material capital: man-made and natural, sumberdaya manusia human capital dan sumberdaya sosial social capital dan kebijaksanaan pengembangan teknologi tidak diiakukan secara tepat dan memadai, bahkan di masa yang lalu terkesan banyak diabaikan. Makin meluasnya masalah-masalah sejenis di sebagian besar negara- negara berkembang, mengakibatkan para pakar pembangunan mulai berpikir untuk mencari solusi bagi pembangunan daerah perdesaan. Pembangunan yang berimbang secara: spasial menjadi penting karena dalam skala makro hal ini menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Berkenaan dengan hal tersebut, Rustiadi 2003, mengatakan bahwa pengembangan wilayah harus mengandung prinsip-prinsip: 1 mengedepankan peran serta masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan dari pada sebagai pelaksana. 2 Menekankan aspek proses dibandingkan pendekatan-pendekatan yang menghasilkan produk-produk perencanaan berupa master plan dan sejenisnya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang, bahwa proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang yang merupakan suatu sistem yang terkait satu sama lainnya. Rencana Tata Ruang sebagai acuan dalam pembangunan daerah pada era otonomi ini perlu dilaksanakan dengan pendekatan pengembangan wilayah bukan lagi pendekatan sektor sebagaimana dilakukan pada masa lalu. Menurut Hull 1998, perencanaan tata ruang merupakan suatu mekanisme integratif untuk mengkoordinasikan berbagai strategis pembangunan. Pendekatan pengembangan wilayah harus dilakukan dengan penetapan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang disusun berdasarkan karakteristik, potensi, kebutuhan daerah, kepentingan stakeholders, daya dukung daerah serta mempertimbangkan perkembangan dinamika pasar dan dampak arus globalisasi. Menurut Rondinelli 1985, ada tiga konsep dalam pengembangan wilayah yaitu: 1 kutub-kutub pertumbuhan growth pole; 2 integrasi fungsi functional integration, dan 3 pendekatan pendesentralisasian wilayah decentralized territorial approaches. Selanjutnya Chen dan Salih 1978, mengemukakan bahwa mengadopsi pendekatan kutub-kutub pertumbuhan growth pole approach oleh negara- negara ketiga merefleksikan dua bentuk pemikiran yang bijaksana yaitu: pertama, industrialisasi dengan teknologi modern dapat didesentralisasikan manfaatkannya pada daerah perdesaan, kedua, keterpaduan pada tingkat nasional melalui strategi kutub-kutub pertumbuhan dapat memecahkan masalah pembangunan regional. Pendekatan pembangunan agropolitan merupakan bagian dari pada pengembangan wilayah skala kawasan merupakan senergitas pembangunan antara kota-desa urban rural development. Dalam rangka mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri dan keterkaitan dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan, maka pendekatan agropolitan dapat menjadi salah satu pendekatan pembangunan perdesaan. Agropolitan yang dilakukan di wilayah penelitian merupakan aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang, sehingga kegiatan ini menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat 1996.

2.3. Agropolitan

Pendekatan pembangunan perdesaan ditujukan untuk mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu sendiri, dimana ketergantungan dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumber daya alam memang merupakan mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat perdesaan. Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian. Proses interaksi ke dua wilayah selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah perdesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivitas yang selalu menurun dan tertinggal, di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan-permasalahan sosial konflik, kriminal, dan penyakit dan lingkungan pencemaran dan buruknya sanitasi lingkungan permukiman. Hubungan yang saling memperlemah ini secara agregat akan berdampak kepada penurunan produktivitas wilayah secara keseluruhan. Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah trickle down effect, tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah perdesaan di sekitarnya backwash effect. Urban bias terjadi akibat kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan growth poles yang semula meramalkan bakal terjadinya penetesan tricle down effect dari kutub-pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, ternyata net-effect-nya malah menimbulkan pengurasan besar masive backwash effect. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa dalam bidang ekonomi telah terjadi transfer neto sumberdaya dari wilayah pedesaan ke kawasan perkotaan secara besar- besaran. Dalam konteks wiiayah yang lebih luas, maka disparitas wilayah bisa pula diiihat dari ketimpangan wilayah dalam satu wilayah kabupaten, provinsi, regional, bahkan nasional. Ketimpangan wilayah dalam satu wilayah administratif akan mendorong terjadinya pemekaran wilayah administratif. Hal ini telah dan sedang terjadi proses pemekaran wilayah adminstratif dengan munculnya kabupaten-kabupaten baru dan provinsi-provinsi baru. Secara nasional, sempat muncul ancaman disintegrasi akibat ketimpangan pembangunan wilayah. Percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia KTI adalah salah satu jawaban pemerintah untuk mengatasi kesenjangan yang mencolok pembangunan nasional dibanding Kawasan Barat Indonesia KBI. Dari berbagai alternatif model pembangunan, konsep agropolitan dipandang sebagai konsep yang menjanjikan teratasinya permasalah ketidakseimbangan perdesaan-perkotaan selama ini. Secara singkat, agropolitan adalah : 1. Suatu model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi, mengandaikan pembangunan infrastruktur setara kota di wiiayah pedesaan, sehingga mendorong terbentuknya kota-kota di wilayah perdesaan. Dari berbagai alternatif model pembangunan, pendekatan agropolitan dipandang sebagai konsep yang dapat mengatasi permasalahan ketidakseimbangan perdesaan - perkotaan selama ini. Kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintahan desakelurahan, kecamatan, kabupaten tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan economic of scope. 2. Bisa menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti yang selama ini terjadi yaitu migrasi desa-kota urbanisasi yang tak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran masif sumberdaya alam, pemiskinan desa dll. 3. Menekankan transformasi desa-desa dengan memperkenalkan unsur-unsur urbanisme ke dalam lingkungan pedesaan yang spesifik. 4. Mendorong peningkatan produktivitas perdesaan secara ekonomi, sosial, dan kelembagaan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Pendekatan agropolitan bisa mendorong penduduk perdesaan tetap tinggal di pedesaan melalui investasi di wilayah perdesaan. Melalui agropolitan diharapkan dapat tercapai tujuan akhir pembangunan yaitu tercipta daerah yang mandiri dan otonom, dan karenanya dapat mengurangi kekuasaan korporasi transnasional atas wilayah lokal. Kepentingan lokal seperti ini akan dapat menjadi pengontrol kekuasaan pusat ataupun korporasi yang bersifat sub- ordinatif. Pengembangan agropolitan diperlukan untuk lebih mengembangkan potensi perdesaan sehingga lebih mandiri, hal tersebut ditujukan untuk: ƒ Mereduksi pengurasan kekayaan desa sentra produksi ke kota besar.