antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya bidang peternakan. Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan 2002 secara rinci
pemetaan kewenangan di bidang peternakan berdasarkan tugas dan fungsi pengembangan peternakan dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan peta kewenangan sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka penyebaran dan pengembangan ternak menjadi kewenangan
pemerintah daerah. Oleh karena itu maka penyebaran ternak gaduhan yang bersumber dari dana APBN yang semula merupakan aset pemerintah pusat,
dengan telah diberlakukannya PP No. 25 Tahun 2000, secara otomatis aset tersebut menjadi milik pemerintah daerah.
Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 417 Tahun 2001 tentang pedoman umum penyebaran dan pengembangan ternak pemerintah telah
didasarkan pada semangat otonomi daerah yang tercermin dari tujuan program tersebut, yaitu untuk membentuk kawasan peternakan, menciptakan
keseimbangan pembangunan antar wilayah, optimalisasi sumberdaya alam untuk meningkatkan pendapatan peternak, dan meningkatkan populasi dalam rangka
pemberdayaan masyarakat peternak.
2.6.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong.
Peranan sub-sektor peternakan pada perekonomian Indonesia menurut Bachtiar 1991 dipengaruhi oleh indikator yang digunakan. Suatu wilayah
mempunyai potensi pengembangan komoditi pertanian peternakan pada kawasan strategis dan sentra produksi antara lain karena adanya sejumlah
populasi ternak yang dikaitkan dengan kepadatan ternak, luas area untuk pengembangan ternak, sarana dan prasarana pendukung, tingkat produktivitas
atau efisiensi usaha dan adanya peluang pasar. Penentuan wilayah potensi kurang tepat bila dikaitkan dengan batas administrasi, seperti penetapan potensi
wilayah peternakan didasarkan pada prinsip tata ruang daerah. Populasi ternak dijadikan indikator untuk melihat pengaruh jumlah populasi ternak terhadap
variabel-variabel jumlah penduduk, produk domestik regional bruto PDRB per kapita, luas padang rumput, luas tegalanladang dan luas sawah dari berbagai
data populasi ternak di seluruh Indonesia.
Tabel 1. Batas kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumberdaya peternakan.
Tingkat Pusat Tingkat Provinsi
Tingkat KabupatenKota
Penetapan kebijakan tata ruang peternakan
Pembinaan pengembangan
kelembagaan peternakan
Perumusan model pengembangan
kelembagaan ekonomi peternakan seperti
koperasi, kelembagaan pemasaran dan
pengembangan usaha.
Analisis dan pelayanan informasi pasar
Promosi ekspor komoditas ternak unggulan daerah.
Analisis dan pelayanan
informasi peluang investasi. Analisis
pola pengembangan usaha
peternakan di kawasan agroekologi.
Penetapan tata ruang untuk peternakan di wilayah
provinsi.
Pemantauan dan pengawasan penerapan
standar-standar teknis eksplorasi, eksploitasi,
konservasi, rehabilitasi dan pengelolaan sumberdaya
alam hayati serta tata ruang untuk peternakan di wilayah
provinsi. Identifikasi potensi, pemetaan tata
ruang dan pemanfaatan lahan untuk penyebaran dan
pengembangan peternakan. Bimbingan dan pengawasan
penyebaran pengembangan serta redistribusi ternak.
Bimbingan dan pengawasan
ternak oleh swasta.
Penyebaran pengembangan serta redistribusi ternak
pemerintah. Pelaksanaan promosi komoditas
peternakan. Pembinaan dan pengembangan
kemitraan petani ternak dan pengusaha.
Bimbingan kelembagaan usaha peternakan, manajemen usaha,
analisis usaha, dan pemasaran hasil peternakan.
Bimbingan eskplorasi,
eksploitasi, konservasi, rehabilitasi, dan pengelolaan
sumberdaya alam hayati peternakan.
Bimbingan teknis pengembangan lahan, konservasi tanah dan air
dan rehabilitasi lahan kritis di kawasan peternakan.
Sumber : Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2002
Populasi ternak sapi ternyata hanya dipengaruhi oleh variabel luas sawah dan erat perkembangannya dengan usaha tani padi sawah. Penduduk dan
PDRB mempunyai hubungan kuat hanya terhadap jumlah ternak dan usaha ternak yang bersifat tradisional. Jumlah dan usaha ternak tidak akan berkembang
tanpa penduduk walaupun areal tersedia. Dalam hal ini Bachtiar 1991 menyatakan sebagai berikut.