jenis penyakit yang biasanya menyerang ternak sapi merupakan penyakit yang ringan dan tidak menular, sehingga pengobatannya dapat diatasi dengan
menggunakan cara tradisional maupun cara modern. Berikut ini adalah rincian jenis penyakit dan proses pengobatannya secara tradisional dan modern,
disajikan padaTabel 36. Tabel 36. Jenis Penyakit dan Cara Pengobatan Pada Berbagai Jenis Ternak di
Kabupaten Jayapura
Jenis Penyakit Ciri-ciri
Pengobatan Tradisional
Modern
Caplak, Kutuk, Kudis, Scabies
Cacingan, Radang usus Lumpuh, rematik
Kurap Perut kembung
Feses bercampur darah Luka
Mandi pakai detergen, disemprot dengan racun
serangga, di gosok dengan oli.
Daun jambu muda dan air pinang
Tidak diobati, digosok minyak tanah atau bensin
Dioles dengan oli, bensin, tembakau dan
serbuk baterai. Dilari-larikan
- Dioles dengan oli, bensin
atau campuran bensin dengan tembakau
Gusanex Teramicyn, Sulfastrol,
obat cacing, suntik. Disuntik
- Antibiotika
Antibiotika Antibiotika
5.2.10. Sistem tataniaga
Sistem tataniaga sangat penting dalam proses pemasaran hasil produksi, beberapa faktor penting dalam mendukung sistem tataniaga adalah saluran
pemasaran, transportasi, informasi pasar dan fungsi-fungsi tataniaga yang efisien Salah satu fungsi yang harus diperlukan dalam sistem tataniaga, yakni
pengangkutan Mosher, 1966. Peternak yang memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi pasar
akan memberikan peluang bagi pedagang untuk mempermainkan harga ternak. Cara negosiasi yang dilakukan pedagang secara spekulasi berdasarkan
pertimbangan; biaya transportasi berupa biaya sewa mobil, biaya tenaga buruh dan biaya retribusi. Gambaran tentang saluran pemasaran di Kabupaten
Jayapura disajikan pada Gambar 27.
Gambar 27. Saluran Pemasaran Ternak Sapi di Kabupaten Jayapura Pada Gambar 41, memperlihatkan bahwa saluran pemasaran ternak sapi
potong yang berlangsung di Kabupaten Jayapura terbagi atas empat saluran, yakni:
1 Saluran Pemasaran I: peternak menjual ternaknya kepada pedagang pengumpul dan atau pengecer selanjutnya ke pejagal atau pemotong
kemudian ke konsumen. 2 Saluran Pemasaran II: peternak menjual ternaknya kepada pedagang,
kemudian dari pedagang kepada pejagal atau pemotong, pejagal atau pemotong kepada pengecer, pengecer kepada konsumen.
3 Saluran Pemasaran III: peternak menjual ternaknya kepada pengecer, kemudian dari pengecer langsung kepada konsumen tanpa melaui pejagal
atau pemotong. 4 Saluran Pemasaran V: peternak menjual ternaknya langsung ke konsumen
dalam bentuk ternak hidup. Umumnya proses pemasaran berlangsung pada saluran pemasaran I dan
II, di mana pedagang atau pengecer yang membeli ternak adalah mereka yang berasal dari Kota Jayapura. Alasannya karena peternak menghindari terhadap
biaya pemasaran biaya tunai yang cukup tinggi, misalnya: 1 biaya transportasi, 2 biaya retribusi, 3 rentang kendali yang panjang pedagang
harus ke lokasi peternak dengan menempuh perjalanan jauh, dan 4 pedagang langsung mendatangi peternak di lokasi peternak, sehingga pedagang membeli
ternak dengan harga rendah, mengakibatkan pendapatan peternak rendah. Ternak yang dijual kepada pedagang dalam jumlah yang kecil, sehingga posisi
Peternak
Pedagang Pengumpul
Peternak, Pejagal atau Pemotong
Pengecer
Konsumen
tawarpun rendah. Di sini tergambar bahwa posisi pedagang sebagai price maker dan posisi peternak hanya sebagai price taker, artinya posisi peternak dalam
proses negosiasi harga menjadi lemah. Saluran Pemasaran II, peternak langsung menjual ternaknya di Kabupaten
Jayapura, hal ini dilakukan oleh para peternak yang berada pada wilayah penelitian, karena tingkat aksesbilitas lebih tinggi, jarak tempuh lebih pendek,
sehingga biaya transportasi lebih rendah di bandingkan harus menjual ternak sapi potongnya ke Kotamadya Jayapura.
Saluran pemasaran III, peternak menjual ternaknya lewat pengecer berlangsung di Kabupaten Jayapura, beberapa perbedaan yang mengakibatkan
saluran pemasaran III lebih rendah dibandingkan saluran pemasaran I dan II, adalah:
1 Demand atau permintaan rendah. 2 Fasilitas penunjang seperti Rumah Pemotongan Hewan RPH belum dimiliki
secara permanen. 3 Pasar ternak belum memadai.
4 Jumlah pengecer sedikit. Berdasarkan uraian tersebut, beberapa solusi yang dapat ditawarkan,
adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya azas keadilan di antara pelaku pasar lembaga pasar, hal ini
dapat dilakukan dengan cara: a. Peternak harus mengetahui informasi pasar
b. Mendekatkan pasar ke peternak, sehingga lebih efisien dengan jalan meningkatkan demand atau permintaan, hal ini dapat dilakukan dengan
cara: Peningkatan sektor-sektor informal.
Peningkatan daya beli masyarakat. Adanya variasi pola konsumsi masyarakat, misalnya; kebiasan
mengkonsumsi ikan lebih tinggi secara bervariasi dapat disesuaikan dengan mengkonsumsi daging yang tinggi nilai gizi protein
hewaninya. 2 Peningkatan kelembagaan peternak. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
penguatan terhadap para peternak dalam melakukan proses pemasaran hasil produksinya. Lembaga peternak ini dapat berfungsi untuk mencari dan
menginformasikan harga pasar bagi para peternak, menetapkan titik
pemasaran sebagai sentral pemasokan hasil produksi, mengkoordinir proses pemasaran hasil produksi, dan sebagai aliansi, maksudnya bahwa
melalui aliansi ini dapat meningkatkan posisi tawar dari peternak, misalnya; peternak menentukan harga standar berdasarkan umur, jenis kelamin dan
bobot badan, sehingga pedagang tidak dengan mudah memainkan harga. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu upaya pemerintah dalam mengambil
kebijakan, yakni: I menyiapkan fasilitas berupa pasar hewan untuk mempermudah penyaluran hasil produksi peternak, 2 adanya transportasi
angkutan darat khusus disiapkan pemerintah dengan biaya transportasi yang dapat dijangkau oleh peternak, 3 penetapan standar harga ternak, dan 4
peningkatan peran kelembagaan peternak.
5.2.11. Aspek ekonomi
Pendapatan peternak secara umum dalam setahun rata-rata berkisar antara Rp 6.500.000,- per tahun atau sebesar Rp 541.666,66 per bulan, hal ini
disebabkan pemasaran hasil produksi sangatlah bervariasi jumlahnya, artinya jumlah ternak sapi yang dipasarkan oleh setiap peternak sangat berbeda-beda.
Penerimaan peternak berasal dan nilai ternak dan nilai penjualan produksi dalam satu tahun. Nilai ternak didapat dari nilai ternak saat ini dikurangi dengan nilai
ternak awal usaha bibit. Besarnya penerimaan juga mengikuti nilai ternak yang dikonsumi selama satu tahun.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata penerimaan sebesar Rp. 6.979.350.29. Penerimaan terbesar diperoleh dari nilai ternak. Perhitungan
pendapatan berdasarkan selisih antara gross farm income pendapatan kotor dengan farm expense biaya. Rata-rata pendapatan per desa sampel sebesar
Rp. 6.549.348.86 per tahun atau Rp 545.779.07 per bulan. Pendapatan terbesar diperoleh dari peternakan sapi dengan rata-rata penjualan sapi anak 1,29 ekor.
dara 0,43 ekor dan dewasa 4 ekor per tahun dengan rata-rata harga penjualan sapi jantan dewasa Rp. 8.609.242.43 per ekor, sapi betina dewasa dengan rata-
rata harga penjualan Rp. 6.085.714.29 per ekor.
5.2.12. Tipologi usaha
Saragih 2003, mengatakan bahwa tipologi usaha dari bidang peternakan rakyat ke industri peternakan dibagi menjadi empat tipe usaha, yakni:
a Usaha sambilan pendapatan kurang dari 30 b Cabang usaha pendapatan berkisar 30 - 70