Karakteristik peternak sapi potong
Ketersediaan rumah potong hewan RPH dan IPAL RPH.
Berdasarkan SK Meteri Pertanian nomer 555KptsTN.24091986 seperti yang dikemukakan dalam Manual Kesmavet 1993. Rumah Pemotongan Hewan
merupakan unitsarana pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging sehat mempunyai fungsi sebagai: 1 tempat dilaksanakannya pemotongan hewan
secara benar, 2 tempat dilaksanakannya pemeriksaan hewan sebelum dipotong antemortem dan pemeriksaan daging post mortem untuk mencegah
penularan penyakit hewan ke manusia, 3 tempat untuk mendeteksi dan memonitor penyakit hewan yang ditemukan pada pemeriksaan ante mortem dan
post mortem guna pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan menular di daerah asal hewan, dan 4 melaksanakan seleksi dan pengendalian
pemotongan hewan besar betina bertanduk yang masih produktif, namun pada kenyataannya di Kabupaten Jayapura masih terjadi pemotongan ternak di luar
RPH dan terjadi pemotongan betina produktif sehingga daging yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak terjamin mutu dan kesehatannya serta menurunkan
populasi ternak betina. Sejak mulai di operasikannya RPH, masih banyak ditemukan para pemilik pemotong hewan yang melakukan kegiatannya secara
tersebar di luar lokasi RPH yang telah disediakan oleh pemerintah dan membuang limbah hasil kegiatan darah, air bekas cucian dan kotoran lainnya
ke badan air terdekat kali atau danau tanpa terlebih dahulu dilakukan pengolahan sebagaimana mestinya. Sehingga lingkungan di sekitar lokasi
pemotongan liar rentan terhadap pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan dengan adanya limbah tersebut.
Agroklimat.
Agroklimat merupakan faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi performans ternak dimana ternak itu diusahakan. Faktor lingkungan terdiri dari
lingkungan fisik seperti: temperatur, kelembaban, curah hujan dan topografi ketinggian tempat, lingkungan biotik seperii: tanaman, hewan dan
mikroorganisme serta lingkungan kimiawi Sihombing dkk., 2000. Kabupaten Jayapura merupakan bagian dari zone tropis lembab. Umumnya iklim cenderung
panas, basah lembab dengan curah hujan bervariasi antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya. Curah hujan di Kabupaten Jayapura pada
umumnya antara 2.000-3.000 MmTahun. Gambar 31 berikut ini menunjukkan rata-rata curah hujan dan hari hujan di Tahun 2006 yang diperoleh dari Stasiun
Sentani, Genyem dan Kaureh yang bersumber dari Laporan BPTPH Provinsi Papua tahun 2006
Gambar 30. Data curah hujan dan hari hujan tahun 2006 Dari Gambar 30 di atas terlihat ada 8 bulan basah di atas 100 Mm dan 4
bulan lembab 60-100 mm dan tidak ada satupun bulan kering. Dengan demikian menurut Morh iklim tersebut dikategorikan iklim sangat basah type A,
sebab semua bulan basah rata-rata di atas 60 mm dengan total 1.874 mm selama Tahun 2006. Kondisi klimat tersebut sangat mendukung peningkatan
produktivitas ternak sapi, karena sesuai dengan zona kenyamanannya. Sapi Bali yang terdapat di Kabupaten Jayapura mempunyai daya adaptasi yang baik
terhadap lingkungan panas maupun cukup toleran terhadap pengaruh lingkungan yang dingin, sehingga temperatur lingkungan tersebut tidak menjadi
kendala untuk pengembangannya. Soeprato dan Abidir, 2006 mengemukakan bahwa kondisi agroklimat dan kondisi lingkungan yang ideal sangat dibutuhkan
oleh ternak sapi dalam memacu pertumbuhan dan perkembangannya berdasarkan potensi genetis. Sekaligus penentuan lokasi dapat terpenuhi melalui
beberapa syarat tertentu, seperti; suhu lingkungan, arah angin, curah hujan, arah sinar matahari, kelembaban, topografi, disamping aspek lainnya. Unsur-unsur
iklim seperti; temperatur, curah hujan, intensitas penyinaran dan lamanya siang hari sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan kualitas pakan hijauan
Reksohadiprodjo, 1985. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hijauan pakan banyak mengandung air pada saat curah hujan dan kelembaban udara tinggi
dapat mempengaruhi bahan kering pakan secara keseluruhan.