Faktor Kunci Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Berbasis Agribisnis Sapi Potong
Nilai indeks konsistensi adalah 0,05 overall inconsistency, yang berarti nilai pembobotan perbandingan berpasangan pada setiap matriks adalah
konsisten. Hal ini juga berarti masing-masing responden telah memberikan jawaban yang konsisten.
Hasil AHP tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani dalam pengembangan komoditi unggulan
peternakan merupakan alternatif kebijakan yang memiliki bobot tertinggi 0,267 dan menjadi prioritas utama dalam pembangunan kawasan Kabupaten Jayapura.
Pertimbangan utama stakeholder memprioritaskan kebijakan ini, diharapkan terjalin kerjasama yang baik antara pemerintah, pengusaha atau investor dan
masyarakat adat yang mempunyai tanah ulayat. Hal ini dipandang penting dikarenakan dewasa ini tanah menjadi isu yang sangat aktual di Kabupaten
Jayapura karena dapat memberikan dampak langsung atau tidak langsung dari proses pembangunan yang menggunakan tanah seperti halnya pengembangan
kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan atau juga pengembangan kawasan lainnya dan perkembangan jumlah penduduk yang semakin meningkat
tidak disertai dengan peningkatan jumlah luas tanah. Isu ini akan menjadi lebih hebat lagi ketika tanah sebagai barang publik
berubah menjadi barang privat yang dikuasai oleh sekelompok kecil individu dengan menggeser sejumlah besar kelompok individu lainnya yang tak
mendapat kesempatan untuk tinggal dan menetap untuk mengelolah tanah. Jumlah penduduk jika dibandingkan dengan luas tanah dalam wilayah
Kabupaten Jayapura ini masih sangat cukup untuk menampung pertambahan penduduk beberapa tahun yang akan datang, tetapi penguasaan sebagaian
besar tanah yang luas masih pada komunitas masyarakat asli. Penguasaan tanah ini mulai beralih kepada swasta besar terutama untuk penguasaan hutan
yang akan digantikan dengan tanaman perkebunan, daerah industri dan lain-lain usaha swasta yang memperkecil luas tanah sebagai barang publik dan ada
sebagian kecil dari tanah yang dikuasi swasta digunakan untuk kepentingan umum kepentingan publik seperti pembangunan perumahan tempat tinggal,
gedung sekolah, taman hiburan dan perkebunan rakyat. Barang-barang ini digunakan oleh setiap individu atau kelompok yang membutuhkannya dengan
memberikan kontribusi pembayaran sebagai harga atas pelayanan publik yang diberikan oleh swasta dan ada bagian perhitungan presentase yang diberikan
kepada pemerintah sebagai bagian dari retribusi dan pajak menurut ketentuan yang dibuat dan diberlakukan oleh pemerintah.
Kepadatan penduduk di dalam wilayah kota distrik-distrik terkemuka Sentani, Nimboran, Depapre, dan Demta, menonjolkan konflik kepentingan
antara penguasaan tanah sebagai barang publik dan sebagai barang privat. Tanah-tanah yang seharusnya merupakan barang publik yang dikuasai secara
nyata oleh pemerintah ternyata dijual oleh anggota komunitas masyarakat setempat kepada individu yang berdiam di pusat-pusat kota distrik. Konsekuensi
dari pengalihan hak penguasaan itu adalah tanah publik di pusat kota distrik telah disekat-sekat menjadi tanah privat dan setiap petugas pemerintah yang
baru masuk untuk bertugas di distrik harus menyewa tempat tinggal yang dibangun oleh usaha privat Ayamiseba dan Giay, 2010.
Kabupaten Jayapura walaupun memiliki wilayah yang cukup luas namun cakupan wilayah ini tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah. Pemerintah
hanya mengatur ketertiban peruntukkannya mewakili negara atau daerah. Tanah-tanah dikuasai oleh ”komunitas masyarakat adat” yang menggunakannya
dengan pengaturan secara tradisi. Penggunaan tanah oleh pemerintah, swasta, dan kelompok atau perorangan dari luar komunitas masyarakat adat dilakukan
dengan pengalihan hak-hak tertentu secara adat dan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam wilayah Negara Republik Indonesia
atau pada lingkup daerah Kabupaten Jayapura di Provinsi Papua. Sebagai akibat dari berbagai kegiatan pembangunan yang difasilitasi oleh pemerintah termasuk
pemerintah Kabupaten Jayapura sejak tahun 1969, maka sebagian bangunan infrastruktur yang kelihatan secara fisik jalan , jembatan, gedung-gedung dan
sejumlah instalasi telah didirikan di atas tanah-tanah yang dibebaskan dari pengusaan kelompok masyarakat asli dan dikuasai oleh pemerintah, ada pula
yang tidak dibebaskan hak penguasaannya, masih dikuasai komunitas setempat. Setiap tahun pemerintah mengeluarkan biaya untuk meningkatkan kapasitas dan
jumlah fasilitas publik di atas tanah-tanah yang dikuasai komunitas masyarakat adat dan tanah-tanah yang dibebaskan penguasaannya dari komunitas ini.
Beberapa kasus pertanahan yang semakin marak terjadi, seperti pemalangan bandar udara, beberapa kantor pemerintah, pelabuhan laut, pusat
perbelanjaan, areal HPH, lokasi pemukiman transmigrasi dan sebagainya yang terjadi di Kabupaten Jayapura sejak dicanangkannya reformasi hingga saat ini
merupakan suatu koreksi terhadap kinerja pemerintah. Memperhatikan kondisi dan situasi yang akan datang dalam pelaksanaan pembangunan yang akan
berdampak secara langsung terhadap tanah-tanah hak ulayat, maka perlu ada pengaturan secara ketat tentang keberadaan hak ulayat tersebut dalam suatu
mekanisme peraturan perundang-undangan pada tingkat lebih bawah yaitu berupa peraturan daerah. Jika dilihat dari rentang waktu perjalanan
pemberlakuan Undang-Undang Pokok Agraria UUPA 1970 di Irian JayaPapua atas proses pengadaan tanah dan Keputusan Menteri Negara Agraria No. 5
Tahun 1999 menyebutkan bahwa daerah adalah daerah otonomi yang berwenang melaksanakan urusan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat sepanjang kenyataannya
masih ada dilakukan olek masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat; pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa penelitian
dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum
adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat dan instansi yang mengelola sumberdaya alam, maka
pemerintah masih mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap akses-akses tanah sebagai pusat kekuasaan perlu melibatkan masyarakat adat dalam setiap
proses pembangunan apabila hal itu menyangkut tanah-tanah hak ulayat terutama dalam hal penyusunan rencana tata ruang wilayah dan
mengikutsertakan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam rangka melaksanakan
pengembangan kawasan agropolitan yang berbasis agribisnis peternakan kiranya hal ini dapat diatur sesuai dengan kewenangan yang ada, sehingga
dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah ulayat dan adanya jaminan berusaha yang aman dari
pemerintah bagi pengusaha atau investor yang berminat menanamkan modalnya di bidang agribisnis peternakan sapi potong terutama untuk tempat berusaha.
Dengan terpelihara dan terjaminnya hak-hak individu maupun kelompok dalam masyarakat, maka apa yang menjadi esensi dari tujuan hukum sebagai suatu
keseimbangan akan hak dan kewajiban tersebut dapat terpenuhi, yaitu keadilan sehingga realisasi dari kebijakan pengembangan dan penguatan kemitraan
usahatani dalam pengembangan komoditi unggulan peternakan ini akan