Kebutuhan stakeholder dalam pengembangan kawasan agropolitan

merupakan suatu koreksi terhadap kinerja pemerintah. Memperhatikan kondisi dan situasi yang akan datang dalam pelaksanaan pembangunan yang akan berdampak secara langsung terhadap tanah-tanah hak ulayat, maka perlu ada pengaturan secara ketat tentang keberadaan hak ulayat tersebut dalam suatu mekanisme peraturan perundang-undangan pada tingkat lebih bawah yaitu berupa peraturan daerah. Jika dilihat dari rentang waktu perjalanan pemberlakuan Undang-Undang Pokok Agraria UUPA 1970 di Irian JayaPapua atas proses pengadaan tanah dan Keputusan Menteri Negara Agraria No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa daerah adalah daerah otonomi yang berwenang melaksanakan urusan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada dilakukan olek masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat; pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat dan instansi yang mengelola sumberdaya alam, maka pemerintah masih mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap akses-akses tanah sebagai pusat kekuasaan perlu melibatkan masyarakat adat dalam setiap proses pembangunan apabila hal itu menyangkut tanah-tanah hak ulayat terutama dalam hal penyusunan rencana tata ruang wilayah dan mengikutsertakan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam rangka melaksanakan pengembangan kawasan agropolitan yang berbasis agribisnis peternakan kiranya hal ini dapat diatur sesuai dengan kewenangan yang ada, sehingga dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah ulayat dan adanya jaminan berusaha yang aman dari pemerintah bagi pengusaha atau investor yang berminat menanamkan modalnya di bidang agribisnis peternakan sapi potong terutama untuk tempat berusaha. Dengan terpelihara dan terjaminnya hak-hak individu maupun kelompok dalam masyarakat, maka apa yang menjadi esensi dari tujuan hukum sebagai suatu keseimbangan akan hak dan kewajiban tersebut dapat terpenuhi, yaitu keadilan sehingga realisasi dari kebijakan pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani dalam pengembangan komoditi unggulan peternakan ini akan mendorong percepatan pembangunan kawasan serta dapat menjadi faktor pendorong pelaksanaan lima alternatif kebijakan lain. Prioritas kebijakan kedua adalah perbaikan peningkatan kualitas sumberdaya manusia khususnya petani dan pelaku usahatani melalui pelatihan dan pendidikan bobot 0,224. Kebijakan kemitraan usaha dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia ini diharapkan diimplementasikan secara terpadu untuk mendukung keberlanjutan dan percepatan pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kemitraan usahatani dapat dicapai dengan dukungan sarana dan prasarana yang sesuai kebutuhan kawasan yang mendukung kegiatan agribisnis dan agroindustri peternakan. Prioritas kebijakan ketiga adalah penerapan teknologi budidaya peternakan yang dapat meningkatkan populasi ternak sapi potong seperti teknologi inseminasi buatan 0,150. Prioritas kebijakan keempat pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana kawasan guna menunjang ketersediaan sarana produksi pertanian dan pemasaran hasil pertanian bobot 0,138. Prioritas kebijakan kelima adalah peningkatan jumlah populasi ternak sapi yang diusahakan bobot 0,115. Kebijakan ini pada dasarnya mendukung implementasi kebijakan kemitraan usahatani. Prioritas keenam adalah peningkatan invstasi baik dari pemerintah, swasata maupun masyarakat peternak bobot 0,106. Kebijakan ini diharapkan dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi wilayah untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Hasil analisis AHP tersebut telah disepakati oleh semua stakeholder dan menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong di Kabupaten Jayapura. Pada FGD disepakati bahwa hasil tersebut sesuai dengan keinginan semua stakeholder. Dengan demikian, implementasi kebijakan ini diharapkan dapat terlaksana dengan baik. 5.8. Strategi Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Sapi Potong Strategi implementasi kebijakan dibahas melalui focus group discussion FGD yang melibatkan stakeholder terkait. Pada FGD ini dibahas mengenai faktor yang perlu diperhatikan peluang dan tantangan serta langkah strategis yang dilakukan untuk keberhasilan pengembangan komoditi unggulan di Kabupaten Jayapura. Strategi implementasi kebijakan pengembangan kawasan tetap memperhatikan faktor-faktor pengungkit yang mendukung percepatan pencapaian sasaran kebijakan tersebut, kondisi dan potensi kawasan, faktor peluang dan kendala pelaksanan pembangunan kawasan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, secara prinsip kemitraan usaha tetap diarahkan dapat berlangsung atas dasar norma-norma ekonomi yang berlaku dalam keterkaitan usaha yang saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemudian di tindaklanjuti melalui SK Mentan No. 94-KptsOT.210101997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, dikatakan bahwa tujuan kemitraan usaha pertanian antara lain untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya petani mitra, peningkatan skala usaha serta dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri. Terdapat empat faktor pertimbangan dalam pengembangan kemitraan usaha di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura yakni landasan hukum kemitraan, kapasitas sumberdaya manusia khususnya petani dan pengusaha, sistem kemitraan usahatani, dan komoditi peternakan yang menjadi objek kemitraan usaha. Landasan pengembangan kemitraan di bidang pertanian dalam Undang-Undang No.12 tahun 1992 tentang kemitraan badan usaha telah ditetapkan: badan usaha diarahkan untuk kerjasama secara terpadu dengan masyarakat petani dalam melalukan usaha budidaya sapi potong, pemerintah dapat menugaskan badan usaha untuk pengembangan kerjasama dengan petani. Mitra usaha bagi petani di Kabupaten Jayapura saat ini masih sebatas pemerintah. Sebagian besar petani masih berusaha sendiri atau bermitra dengan pemerintah, belum dengan pengusaha. Karakteristik perekonomian kecamatan Kabupaten Jayapura berbasis pada kegiatan pertanian. Hal ini terlihat dari hampir 90 keluarga di setiap desa berusaha di bidang pertanian terutama tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Hasil survai lapangan menunjukkan bahwa pola perekonomian masyarakat Kabupaten Jayapura baru beralih dari subsisten ke komersial. Kendala utama dalam pengembangan perekonomian di wilayah ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan pengetahuan tentang teknologi budidaya masih belum maju. Selain itu kendala kapasitas sumberdaya manusia yang relatif terbatas untuk pengembangan komoditi peternakan dan juga terbatasnya modal usaha serta sarana prasana agribisnis yang kurang memadai. Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan untuk mewujudkan kebijakan pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan agribisnis komoditi peternakan unggulan adalah: 1. Mengembangkan kualitas sumberdaya manusia di kawasan agropolitan dalam penguatan kemitraan usaha. Sebagian besar usaha peternakan tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha peternakan baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya disebabkan karena masih lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar. Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik. Disamping itu mentalitas dari masyarakat yang bergerak dalam agribisnis peternakan masih rendah. Semangat yang dimaksud disini, antara lain kesediaan terus berinovasi, ulet tanpa menyerah, mau berkorban serta semangat ingin mengambil risiko. Suasana pedesaan yang menjadi latar belakang dari usaha peternakan seringkali memiliki andil juga dalam membentuk kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja peternak di daerah berjalan dengan santai dan kurang aktif sehingga seringkali menjadi penyebab hilangnya kesempatan- kesempatan yang ada. Berdasarkan hal tersebut, maka kualitas sumberdaya manusia di kawasan Kabupaten Jayapura perlu diperhatikan. Ketersediaan sumberdaya manusia ini baik secara kualitas maupun secara kuantitas sangat mempengaruhi keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong. Pengembangan kualitas pelaku usaha sapi potong di masa mendatang dilakukan dengan menempuh strategi dan pendekatan sistem rekruitmen terpadu terutama calon penerima ternak gaduhan. Tujuannya yaitu untuk mendorong perubahan secara bertahap kapasitas peternak melalui pertukaran pengetahuan antara peternak yang sudah lama memelihara sapi potong dengan peternak baru. Mekanisme ini akan mendorong peternak secara terus menerus meningkatkan keterampilan usaha sapi potong di kawasan agropolitan, berusaha menemukan inovasi- inovasi baru dalam aspek manajemen, teknologi, kemampuan mengakses modal, yang pada akhirnya menjadikan peternak yang dapat melaksanakan kegiatan usaha ternaknya pada kawasan agropolitan secara profesional dan berdaya saing. Pelaku usahatani perlu pengetahuan yang baik tentang manajemen usaha ternak, sehingga kegiatan yang dilakukan dapat berkelanjutan. Dengan demikian diperlukan pelatihan budidaya dan manajemen usaha ternak untuk komoditi peternakan unggulan. Pada prosesnya perlu menyediakan tenaga pendamping untuk penerapan teknologi dan manajemen usaha ternaknya. Pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana diatur Undang-undang No. 32 Tahun 2004 yang merupakan revisi dalam Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menghadapi berbagai tantangan bagi Pemerintah KotaKabupaten. Tantangan tersebut antara lain adalah bagaimana daerah dapat mengelola sumber daya manusia, sebagai salah satu sumber kekuatan keberhasilan otonomi daerah. Karena, kualitas sumber daya manusia yang tinggi memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap keberhasilan pembangunan daerah maupun nasional. Melihat pentingnya peranan sumber daya manusia tersebut, menurut Tjiptoherijanto 1996, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1 kondisi dan kemampuan penduduk, yang di satu sisi sebagai pelaku atau sumber daya bagi faktor produksi, di sisi lain sebagai sasaran atau konsumen bagi produk yang dihasilkan; 2 melihat besarnya jumlah penduduk Indonesia, sangat diharapkan penduduk menjadi potensi kekuatan ekonomi yang besar pula; 3 peluang usaha yang sangat luas muncul karena perdagangan bebas serta makin terbukanya perdagangan antarnegara. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia tersebut, antara lain dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat