Subsistem agribisnis hulu Subsistem agribisnis budidaya Subsistem Agribisnis Hilir

pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, industri pengolahan kulit dan lain-lain. Pengembangan teknologi proses dan produk pada subsistem hilir diarahkan untuk peningkatan efisiensi, pengembangan diversifikasi teknologi prosesing untuk menghasilkan diversifikasi produk, meminimumkan waste dan pollutan, dan pengembangan teknologi produk. Sapi potong menghasilkan produk utama yaitu daging dan jeroan. Produk samping yaitu kulit, tulang, tanduk, darah, lemak, lidah, dan otak serta limbah yakni isi rumen dan kotoran. Hampir semua bagian sapi potong dapat dijadikan sebagai produk bermanfaat yang bisa dimakan dan tidak bias dimakan, seperti disajikan dalam pohon industri pada Gambar 6. Menurut llham et al. 2002, keragaan saluran tataniaga ternak dan daging sapi menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen akhir adalah konsumen daging segar. Pola umum saluran tataniaga daging dapat dilihat pada Gambar 5. Konsumen membeli daging dengan harga eceran jika membeli dari pengecer, atau harga produsen jika membeli dari pejagaldistributor. Kelompok konsumen daging segar terdiri dari; konsumen rumah tangga, rumah makanrestoran, hotel, tukang baso, dan lain-lain. Gambar 5. Pola umum saluran tataniaga ternak dan daging Pedagang Peternak PenjagalPemotong Pengecer Konsumen 38 Gambar 6. Pohon industri sapi potong judoamidjojo, 1980; Palupi, 1986; Purnomo, 1997; WWW.ristek.go.id , 200; Dewan Iptek dan Industri Sumbar, 2001; Astawan, 2004; Uska, 2004; Wahyono dan Marzuki, 2004; Murtidjo, 2005; www.Halalguide.info [09-01-2009]

2.5.4. Subsistem agribisnis lembaga penunjang

Subsistem agribisnis lembaga penunjang supporting institution merupakan subsistem yang sangat berperan terhadap ketiga subsistem agribisnis lainnya. Subsistem ini akan memberikan dukungan secara kelembagaan dalam pengembangan sistem agribisnis secara keseluruhan. Ada beberapa lembaga yang berperan di dalam sub sistem lembaga penunjang untuk pengembangan sistem agribisnis berbasis lingkungan seperti perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan dan penelitian, dan lain-lain. Pelayanan kesehatan hewan perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan karena hal tersebut berkaitan dengan tingkat produktivitas ternak. Kesehatan ternak menjadi faktor penentu tingkat produktifitas ternak, karena kondisi kesehatan ternak terkait dengan pertambahan berat badan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai usia dewasa kelamin. Ternak yang tidak sehat akan terganggu pertumbuhannya sehingga produktifitasnya menjadi rendah. Aplikasi teknologi kesehatan hewan berupa pelayanan kesehatan hewan seperti pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, pemberian vitaminprobiotik, pemberian obat cacing, pemeriksaan kesehatan reproduksi dan lain sebagainya memerlukan pos kesehatan hewan poskeswan yang difasilitasi oleh pemerintah dan didukung oleh tenaga teknis di bidang kesehatan hewan Dokter Hewan dan paramedis kesehatan hewan. Koperasi merupakan salah satu lembaga yang juga perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingat petani ternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan aplikasi teknologi Yusdja et al. 2002. Koperasi dapat menjadi media bagi petani ternak untuk secara bersama-sama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar petani ternak dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik. Saat ini, koperasi yang bergerak di kalangan peternak sapi potong memang belum berkembang sebaik koperasi yang bergerak di kalangan peternak sapi perah, misalnya Gabungan Koperasi Susu Indonesia GKSI. Khusus aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapatkan prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Hal ini dikarenakan, pihak perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong beresiko tinggi high risk dan rendah dalam hal pendapatan low return Karim 2002. Namun menurut Thohari 2003 ada beberapa sumber pembiayaan yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan agribisnis sapi potong antara lain adalah: kredit taskin, modal ventura, pemanfaatan laba BUMN, pegadaian, kredit BNI, kredit komersial perbankan kupedes dari BRI, swamitra dari Bukopin, kredit usaha kecil dari: BNI, Bank Danamon, Bll, Bank Mandiri, kredit BCA, kredit pengusaha kecil dan mikro KPKM dari Bank Niaga, kredit modal kerja dari Bank Agro Niaga, dan pemanfaatan lembaga keuangan mikro LKM di pedesaan. Dalam rangka pengembangan sistem agribisnis maka prasarana jalan merupakan faktor yang menentukan tingkat aksesibilitas dalam suatu kawasan. Aksesibilitas kawasan akan mempengaruhi kinerja sosial dan ekonomi masyarakat. Di sisi lain, tingginya sumbangan terhadap perekonomian wilayah dari suatu daerah akan mendorong pemerintah untuk membangun infrastruktur jalan menuju kawasan agribisnis. Prasarana jalan merupakan prasarana vital untuk mengembangkan perekonomian di wilayah. Terbangunnya jalan kabupaten antar kecamatan dan antar desa akan memudahkan pengangkutan hasil pertanian dan peternakan berupa barang produksi dan konsumsi. Prasarana jalan merupakan kebutuhan prioritas dalam pengembangan agribisnis di wilayah perdesaan.

2.6. Pembangunan Peternakan Di Era Otonomi Daerah

Program pembangunan peternakan sebagai bagian dari program pembangunan sektor pertanian mengarah langsung kepada pemberdayaan petani ternak, koperasi, dan swasta. Mekanisme pelaksanaannya dilakukan melalui pelimpahan wewenang dekosentrasi dan penyerahan wewenang desentralisasi kepada daerah kabupatenkota sebagai pencerminan dari kebijakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Undang- undang No 32 Tahun 2004, Undang-undang No. 25 Tahun 1999 serta PP No. 25 Tahun 2000, merupakan landasan yuridis formal dalam penataan peran dan tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi, dan kabupatenkota dalam pembangunan peternakan. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 dan 25 Tahun 1999 kemudian dituangkan ke dalam PP No. 25 Tahun 2000 dijelaskan batas kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya bidang peternakan. Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan 2002 secara rinci pemetaan kewenangan di bidang peternakan berdasarkan tugas dan fungsi pengembangan peternakan dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan peta kewenangan sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka penyebaran dan pengembangan ternak menjadi kewenangan pemerintah daerah. Oleh karena itu maka penyebaran ternak gaduhan yang bersumber dari dana APBN yang semula merupakan aset pemerintah pusat, dengan telah diberlakukannya PP No. 25 Tahun 2000, secara otomatis aset tersebut menjadi milik pemerintah daerah. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 417 Tahun 2001 tentang pedoman umum penyebaran dan pengembangan ternak pemerintah telah didasarkan pada semangat otonomi daerah yang tercermin dari tujuan program tersebut, yaitu untuk membentuk kawasan peternakan, menciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah, optimalisasi sumberdaya alam untuk meningkatkan pendapatan peternak, dan meningkatkan populasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat peternak.

2.6.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong.

Peranan sub-sektor peternakan pada perekonomian Indonesia menurut Bachtiar 1991 dipengaruhi oleh indikator yang digunakan. Suatu wilayah mempunyai potensi pengembangan komoditi pertanian peternakan pada kawasan strategis dan sentra produksi antara lain karena adanya sejumlah populasi ternak yang dikaitkan dengan kepadatan ternak, luas area untuk pengembangan ternak, sarana dan prasarana pendukung, tingkat produktivitas atau efisiensi usaha dan adanya peluang pasar. Penentuan wilayah potensi kurang tepat bila dikaitkan dengan batas administrasi, seperti penetapan potensi wilayah peternakan didasarkan pada prinsip tata ruang daerah. Populasi ternak dijadikan indikator untuk melihat pengaruh jumlah populasi ternak terhadap variabel-variabel jumlah penduduk, produk domestik regional bruto PDRB per kapita, luas padang rumput, luas tegalanladang dan luas sawah dari berbagai data populasi ternak di seluruh Indonesia.