Tabel 4. Matriks nilai untuk setiap kriteria alternatif keputusan NK
Kriteria Alternatif Keputusan
Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria N
Nilai Rangking
Alternatif keputusan I Nkn
Nk12 Nk1n
Alternatif keputusan II
Alternatif keputusan
m Nkm1
Bobot Bobot 1
Bobot 2 Bobot n
Keterangan : N
k
m
1
= Nilai kriteria ke n untuk alternative keputusan ke m Bobot i
= Bobot untuk kriteria ke I m
= Pilihan Keputusan ke-m n
= Kriteria ke-n
3.4.2. Analisis Perilaku Peternak dan Karakteristik Peternak
Analisis perilaku peternak bertujuan untuk mengetahui karakteristik personal umur, tingkat pendidikan, lama beternak, sumber modal, tingkat penghasilan, etnis;
penduduk lokal dan transmigran dan perilaku berusaha peternak sapi potong yang mendapatkan bantuan pemerintah proyek SADP, Banpres, IDT, Dinas Koperasi,
Sosial dan Transimigrasi dan petani ternak yang tidak mendapatkan bantuan pemerintah. Disamping itu juga untuk mengetahui perilaku peternak berdasarkan skala
usaha.
3.4.3. Analisis Keberlanjutan
Keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong akan dianalisis melalui pendekatan multidimensional scaling
MDS dengan analisis Rapfish. MDS adalah teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui keberlanjutan pembangunan wilayah secara multidisipliner.
Dimensi dalam MDS menyangkut berbagai aspek. Setiap dimensi memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan keberlanjutan pembangunan kawasan.
Berdasarkan indikator tersebut dilakukan analisis status masing-masing dimensi pengelolaan lingkungan apakah mendukung atau tidak terhadap keberlanjutan
∑
=
=
n 1
i i
bobot
N
k
m
1
m Nilai
sumberdaya dalam suatu wilayah tertentu untuk jenis kegiatan yang spesifik. Dasar dari penentuan status ini menjadi barometer dalam penentuan kebijakan yang harus
dilakukan guna terjaminnya keberlanjutan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong.
Penggunaan teknik MDS mempunyai berbagai keunggulan diantaranya adalah sederhana, mudah dinilai, cepat serta biaya yang diperlukan relatif murah Pitcher
1999. Selain itu, teknik ini dapat menjelaskan hubungan dari berbagai aspek keberlanjutan, dan juga mendefenisikan pembangunan kawasan yang fleksibel.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan software pendukung MDS. Dalam penelitian ini analisis MDS dilakukan dengan menggunakan
software pendukung MDS yang dimodifikasi dari software Rapfish rapid assesment techniques for fisheries yang dikembangkan oleh Fisheries Center University of British
Columbia, Kanada. Dalam analisis MDS setiap data yang diperoleh diberi skor yang menunjukkan
status sumberdaya tersebut. Ordinasi MDS dibentuk oleh aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di
setiap aspek yang disajikan dalam skala 0 sampai 100. Manfaat dari teknik MDS ini adalah dapat menggabungkan berbagai aspek untuk dievaluasi komponen
keberlanjutannya dan dampaknya terhadap kegiatan pengelolaan lingkungan. Prosedur MDS ditampilkan pada Gambar 8.
Terdapat lima dimensi yang digunakan dalam menilai pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong sebagai indikator keberlanjutan.
Setiap dimensi tersebut dilengkapi dengan atribut yang digunakan untuk menilai kondisi di masa lalu dan saat ini. Atribut yang tersebar dalam lima dimensi kondisi
disajikan pada Tabel ,5, 6, 7, 8 dan 9.
Gambar 8. Proses aplikasi MDS
Penentuan skor setiap atribut dilakukan dengan berbagai teknik yaitu: untuk atribut yang datanya tersedia dalam bentuk numerik, maka menggunakan data
dokumentasi. Atribut yang datanya berupa persepsi atau pandangan maka dilakukan wawancara terhadap responden yang mengetahui dengan tepat kondisi atribut
tersebut. Output dari hasil analisis ini adalah berupa status keberlanjutan pengembangan
agropolitan berbasis peternakan sapi potong untuk ke-lima dimensi dalam bentuk skor dengan skala 0 – 100. Kategori keberlanjutan adalah: skor 50 berarti tidak
berkelanjutan; skor 50 – 75 berarti belum berkelanjutan; dan skor 75 berarti berkelanjutan. Kategori ini sesuai dengan standar Mersyah 2005, CSD 2001, dan
Kavanagh 2001. Hasil lain yang diperoleh adalah penentuan faktor pengungkit leverage factors
untuk pengelolaan kawasan yang merupakan faktor-faktor strategis yang harus diperhatikan dalam pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong di
masa mendatang. Kegunaan faktor pengungkit adalah untuk mengetahui faktor sensitif atau intervensi yang dapat dilakukan dengan cara mencari faktor sensitif untuk
pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Tabel 5. Dimensi ekologi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong
No Atribut dimensi ekologi
1 Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik
2 Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak
3 Sistem pemeliharaan
4 Lahan tingkat kesuburan tanah
5 Tingkat pemanfaatan lahan
6 Daya dukung pakan ternak
7 Jenis pakan ternak
8 Ketersediaan RPH dan IPAL RPH
9. Pemotongan ternak betina produktif
10 Kebersihan kandang
11 Kuantitas limbah
peternakan 12 Kejadian
kekeringan 13 Kejadian
banjir 14 Agroklimat
15 Jarak lokasi dengan pemukiman
16 Rencana Tata Ruang Wilayah
17 Kondisi prasarana jalan usahatani
Tabel 6. Dimensi teknologi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong
No Atribut dimensi teknologi
1 Teknologi pengolahan hasil produk peternakan
2 Teknologi pakan
3 Teknologi pengolahan limbah peternakan
4 Ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hewan poskeswan
5 Ketersediaan tempat pelayanan inseminasi buatan IB
6 Penggunaan vitamin dan probiotik untuk pertumbuhan ternak
7 Ketersediaan teknologi informasi dan transportasi
8. Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis
9. Standar mutu produk peternakan
Tabel 7. Dimensi ekonomi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong
No Atribut dimensi ekonomi
1 Pendapatan dari usaha non tani
2 Trend harga ternak dan hasil ternak
3 Kontribusi terhadap PDRB dan PAD
4 Kontribusi terhadap total pendapatan keluarga
5 Besarnya pasar
6 Rata-rata penghasilan peternak antar skala usaha
7 Rata-rata pendapatan peternak terhadap UMR
8 Transfer keuntungan
9 Kelayakan finansial
10 Ketersediaan industri pakan ternak 11 Ketersediaan agroindustri peternakan
12 Perubahan nilai APBD subsektor peternakan 13 Keuntungan profit dalam usaha agribisnis peternakan
Tabel 8. Dimensi sosial keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong
No Atribut Dimensi sosial
1 Peran masyarakat dalam usaha agribisnis sapi potong
2 Jumlah rumah tangga peternak
3 Pertumbuhan rumah tangga peternak
4 Rasio tenaga kerja
5 Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak
6 Curahan waktu kerja dalam usaha peternakan
7 Frekuensi konflik
8 Partisipasi keluarga dalam usaha
9 Frekuensi penyuluhan dan pelatihan
10 Pengetahuan terhadap lingkungan 11 Pertumbuhan
penduduk 12 Kesehatan
masyarakat peternak
13 Alternatif usaha selain peternakan Tabel 9. Dimensi kelembagaan keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong
No Atribut dimensi kelembagaan
1 Kemitraan kelompok tani
2 Kemitraan dengan pemerintah
3 Kemitraan dengan lembaga adat
4 Koperasi peternakan
5 Ketersediaan lembaga penyuluhan pertanian
6 Sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah
7 Partisipasi pengusaha dalam usaha peternakan
8 Kerjasama antar negara dalam pengembangan peternakan
9 Ketersediaan lembaga keuangan bankkredit
Evaluasi pengaruh galat error acak pada proses pendugaan nilai ordinasi pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong dilakukan dengan
menggunakan analisis Monte Carlo. Menurut Kanvanagh 2001 dan Fauzi dan Anna 2002 analisis Monte Carlo juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut ini.
1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemanaman
terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut; 2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh
peneliti yang berbeda;
3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang iterasi; 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang missing data;
3.4.4. Analisis Prospektif
Analisis prospektif merupakan suatu upaya untuk mengeksplorasi kemungkinan di masa yang akan datang. Hasil analisis ini akan mendapatkan informasi mengenai
faktor kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam pengembangan sistem budidaya sapi potong berkelanjutan di Kabupaten Jayapura sesuai dengan kebutuhan
dari para pelaku stakeholders yang terlibat dalam sistem ini. Faktor kunci tersebut akan digunakan untuk mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi
pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong berkelanjutan. Penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut sangat penting, dan sepenuhnya merupakan
pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli mengenai agribisnis sapi potong. Pendapat tersebut diperoleh melalui bantuan kuesioner dan wawancara
langsung di wilayah studi. Bourgeois dan Yesus 2004 menjelaskan tahapan analisis prospektif yaitu: 1
Mengidentifikasi faktor kunci penentu untuk masa depan dari sistem yang di kaji. Pada tahap ini dilakukan identifikasi semua faktor penting dengan menggunakan kriteria
faktor variabel, menganalisis pengaruh dan kebergantungan seluruh faktor dengan melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan
pengaruh dan kebergantungan dari masing-masing faktor ke dalam empat kuadran utama; 2 Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan 3
Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan
keadaan state pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan, dan menggambarkan skenario dengan memasangkan perubahan yang
akan terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya terhadap sistem. Penentuan faktor kunci keberlanjutan pengembangan agropolitan berbasis
agribisnis peternakan sapi potong dilakukan dengan analisis prospektif. Pada tahap ini dilakukan seluruh faktor penting dengan menggunakan kriteria faktor pengungkit
berdasarkan hasil analisis MDS. Data yang digunakan dalam analisis prospektif adalah pendapat pakar dan stakeholder yang terlibat dalam pengembangan
agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, wawancara serta melalui diskusi. Pengaruh langsung antar faktor
dalam sistem, pada tahap pertama dapat dilihat dengan menggunakan matriks pada Tabel 10.
Tabel 10. Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam sistem pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong
Dari Terhadap
A B
C D
E F
G H
I A
B C
D E
F G
H I
Sumber: Godet et al. 1999. Keterangan: A - I = Faktor penting dalam sistem Analisis prospektif dilaksanakan dengan metode kuesioner dan FGD melalui
tahapan: menjelaskan tujuan studi, identifikasi faktor-faktor, dan analisis pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Analisis pengaruh dan ketergantungan seluruh faktor
melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor pada empat kuadran utama.
Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor di dalam sistem disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem Pengaruh langsung antar faktor dalam sistem yang dilakukan pada tahap
pertama analisis prospektif menggunakan matriks. Pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor diisi dengan teknik sebagai berikut:
1. Apakah faktor tidak mempunyai pengaruh terhadap faktor lain? Jika jawabannya ya, maka diberi skor 0.
2. Jika jawabannya tidak, maka dilanjutkan ke pertanyaan berikut: Apakah pengaruhnya sangat kuat? Jika jawabannya ya diberi skor 3.
Kuadran I Faktor penentu
INPUT Kuadran II
Faktor penghubung STAKES
Pengar u
h
Kuadran IV Faktor bebas
UNUSED Kuadran III
Faktor terikat OUTPUT
Ketergantungan
3. Jika jawabannya tidak, maka dilanjutkan dengan pertanyaan apakah pengaruhnya kecil? jika jawabannya ya diberi skor 1, jika jawabannya tidak, diberi skor 2.
Hasil analisis tersebut selanjutnya dikonfirmasi kepada semua stakeholder terkait. Hal ini dilakukan guna memperkuat hasil analisis. Selain itu, hasil kajian ini
diharapkan dapat diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura sehingga hasil analisis ini dilakukan secara partisipatif.
3.4.5. Analytical Hierarchy Process
Penentuan kebijakan pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong dilakukan dengan analisis multikriteria secara partisipatif. Alat analisis yang
digunakan adalah AHP. Penggunaan AHP dimaksudkan untuk penelusuran permasalahan secara bertahap dan membantu pengambilan keputusan dalam memilih
strategi terbaik dengan cara: 1 mengamati secara sistematis dan meneliti ulang tujuan dan alternatif kebijakan atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini
kebijakan yang baik; 2 membandingkan secara kuantitatif dari segi manfaat dan resiko dari tiap alternatif; 3 memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan; dan 4
membuat skenario kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan, dengan cara menentukan prioritas kebijakan.
Penetapan prioritas kebijakan dalam AHP dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi masyarakat, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang tidak
terukur intangible ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. Tahap terpenting dari AHP adalah penilaian perbandingan berpasangan, yang pada dasarnya
merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar komponen dalam suatu tingkat hirarki Saaty, 1993.
Dalam melakukan perhitungan matriks, akan sangat rumit sehingga diperlukan paket komputer khusus mengenai AHP. Pengolahan data berbasis komputer
menggunakan perangkat lunak expert choice 2000. Expert choice merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas metodologi
pengambilan keputusan yakni AHP. Langkah-langkah dalam analisis data dengan AHP adalah:
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah 2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan fokus, dilanjutkan dengan tujuan,
kriteria dan alternatif kebijakan pada tingkatan level paling bawah. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh
relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari stakeholder dengan menilai
tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Dalam
rangka mengkuantifikasi data kualitatif pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi 1 – 9 berdasarkan skala Saaty seperti pada Tabel 11.
Tabel 11. Skala perbandingan berpasangan
Skala Definisi 1
Kedua elemen sama pentingnya equally importance terhadap tujuan
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen lainnya
moderately importance 5
Elemen satu lebih penting dari pada elemen lainnya strongly importance
7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting dari pada elemen lainnya
very strongly importance 9
Satu elemen mutlak penting dari pada elemen lainnya extremely importance
2, 4, 6 dan 8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan intermediate value
Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka jika dibandingkan dengan
aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i
Sumber: Saaty 1993 4. Melakukan perbandingan berpasangan. Kegiatan ini dilakukan oleh stakeholder
yang berkompeten berdasarkan hasil identifikasi stakeholder. 5. Menguji konsistensinya. Indeks konsistensi menyatakan penyimpangan konsistensi
dan menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penilaian perbandingan berpasangan. Nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk mengetahui
konsistensi jawaban dari responden karena akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil.
Pembahasan strategi implementasi kebijakan dilalukan dengan melibatkan pakar dan stakeholder dalam bentuk FGD. FGD dilakukan untuk menemukan alternatif
penyelesaian secara partisipatif. Diskusi difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dari sudut pandang dan
pengalaman peserta, persepsi, pengetahuan, dan sikap tentang pengelolaan lingkungan kawasan.
Wakil stakeholder ditentukan secara sengaja purposive sampling. Dasar pertimbangan dalam menentukan atau memilih pakar untuk dijadikan responden
adalah: 1 mempunyai pengalaman yang memadai sesuai dengan bidangnya, 2 mempunyai reputasi, jabatan dan telah menunjukkan kredibilitas sebagai stakeholder
yang konsisten atau pakar pada bidang yang diteliti, dan 3 kesediaan untuk menjadi responden.
IV. PROFIL KAWASAN PENELITIAN
4.1. Letak Kawasan dan Aksesibilitas
Kawasan pengembangan agropolitan mencakup 4 kelurahan dan 53 kampung. Sebaran jumlah kelurahan dan kampung serta luasannya disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Jumlah kelurahan dan kampung serta luas keempat distrik kawasan pengembangan agropolitan Kabupaten Jayapura.
No Distrik
Jumlah Kelurahan
Jumlah Kampung Luas Ha
1 Nimboran 1
20 24.647
2 Nimbokrang 1
9 15.057
3 Kemtuk 1
10 20.175
4 Kemtuk Gresi
1 14
25.179
Jumlah 4 53 85.058
Kawasan pengembangan ini memiliki aksesibillitas yang cukup tinggi karena dapat dijangkau dengan sarana transportasi baik dari ibukota kabupaten Sentani
maupun ibukota provinsi Jayapura. Jarak tempuh dari ibukota kabupaten pada berbagai jalur transportasi alternatif disajikan pada Tabel 13.
Waktu tempuh dari ibu kota kabupaten Sentani ke ibu kota distrik terjauh Nimbokrang lebih kurang 1,5 jam pada kecepatan normal. Jarak tempuh dari
ibukota provinsi Jayapura ke ibukota kabupaten adalah 45 km, sehingga waktu tempuh dari ibukota provinsi ke ibukota distrik terjauh sekitar 2,5 jam pada kecepatan
normal pada jalur transportasi tengah. Tabel 13. Jarak tempuh antar ibukota distrik dalam kawasan pengembangan
agropolitan dan dengan ibukota kabupaten km DariKe
DistrikKab Sentani
Kabupaten Sabron
Samon Kemtuk
Genyem Nimboran
Sawoy Kemtuk
Gresi Nimbokrang
Nimbokrang Sentani
Kabupaten - 31,7
55,7 55,2 60,6
Sabron Kemtuk
31,7 - 26,3 25,8 26,2
Genyem Nimboran
55,7 26,3 - 12,4 10,8 Sawoy
Kemtuk Gresi 55,2 25,8 12,4 -
20,6 Nimbokrang
Nimbokrang 60,6 26,2 10,8 20,6
-
4.2. Keadaaan Biofisik dan Lingkungan.
4.2.1. Klimatologi
Letak geografis Jayapura yang berada di daerah katulistiwa menyebabkan daerah ini beriklim tropis. Perletakan Jayapura di antara Benua Asia dan Australia
menyebabkan iklimnya dipengaruhi oleh angin muson tenggara yang bertiup secara bergantian 6 bulan sekali. Berdasarkan data tahun 2006 yang bersumber dari Badan
Meteorologi dan Geofisika Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah V tahun 2007, suhu udara minimum dari stasiun Klimatologi Genyem adalah 20
o
C dan maksimum 35
o
C. keterangan lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.
Gambar 11. Suhu udara maksimum mutlak tahun 2004 – 2006 dalam
o
C Stasiun Klimatologi Genyem.
Gambar 12. Suhu udara minimum mutlak tahun 2004 – 2006 dalam
o
C Stasiun Klimatologi Genyem.
4.2.2. Fisiografi
Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa topografi pada keempat distrik tersebut bervariasi dari datar hingga berbukit, tanpa bergunung yang mempunyai kemiringan
≥ 26. Daerah datar 57,21 pada umumnya terdapat di distrik Nimboran, distrik
Nimbokrang didominir oleh daerah berbukit 55, 47 dan datar 41,62, distrik Kemtuk oleh daerah berbukit 50,66, sedangkan didaerah Kemtuk Gresi didominir
oleh daerah bergelombang 66,12 dan berombak 33,22. Berdasarkan persentasenya terhadap luas total keempat distrik, maka topografi datar lebih banyak
terdapat di daerah Distrik Nimboran, daerah berombak dan bergelombang di Distrik Kemtuk Gresi dan daerah berbukit di Distrik Kemtuk. Sebaran fisiografi lahan dalam
kawasan pengembangan agropolitan menurut distrik disajikan Tabel 14 dan Gambar 13.
Tabel 14. Sebaran luas lahan menurut fisiografi lahan setiap distrik dalam kawasan agropolitan
No Distrik
Topografi Kemiringan
Luas Ha
terhadap sub-total
terhadap total
1 Nimboran
Datar 0 – 2
14.003 57,21
16,46 Berombak
3 – 8 4.057
16,57 4,77
Bergelombang 9 – 15
5.500 22,47
6,47 Berbukit
16 – 25
918 3,75
1,08 Bergunung
26 -
- -
Sub Total
24.478 100 28,78
2 Nimbokrang
Datar 0 – 2
6.267 41,62
7,37 Berombak
3 – 8 438
2,91 0,51
Bergelombang 9 – 15
- -
- Berbukit
16 – 25 8.352
55,47 9,82
Bergunung 26
- -
-
Sub Total
15.057 100 17,70
3 Kemtuk
Datar 0 – 2
- -
- Berombak
3 - 8 5.186
25,71 6,09
Bergelombang 9 – 15
4.768 23,63
5,61 Berbukit
16 – 25 10.221
50,66 12,02
Bergunung 26
- -
-
Sub Total
20.175 100 23,72
4 Kemtuk Gresi
Datar 0 – 2
- -
- Berombak
3 – 8 8.420
33,22 9,90
Bergelombang 9 – 15
16.759 66,12
19,70 Berbukit
16 – 25 169
0,66 0,20
Bergunung 26
-
Sub. Total
25.348 100 29,80
Total 85.058
100
4.2.3. Geomorfologi
Daerah Agropolitan Kabupaten Jayapura, yakni distrik Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk dan Kemtuk Gresi berada terdiri atas 2 dataran, yaitu “Dataran Grime” dan
“Dataran Sekori”. Kedua dataran ini menyatu sebagai suatu dataran luas yang membujur ke arah Barat Daya Danau Sentani. Dataran ini memanjang dari timur ke
arah barat dengan lebar bentangan yang hampir sama. Di ujung sebelah barat, dataran ini membentuk daerah rawa hingga ke arah pantai.
Wentholt 1939 membagi Dataran Grime ke dalam 6 teras utama. Teras pertama dimulai dari dataran terendah dan termuda. Daerah teras ini melandai ke arah
barat laut dan kemudian ke arah utara. Luas teras pertama diperkirakan 19.800 ha. Di sebelah tenggara teras terendah ini berakhir dan berlanjut dengan teras ke-2 yang
berada kurang lebih 10 m lebih tinggi. Luas teras ke-2 ini diperkirakan sekitar 3.400 ha. Juga di sini bentanglahannya tampak seluruhnya datar. Teras ke-3 dan ke-4
menempati sisa dataran di sebelah barat Kampung Janim Besar. Luas teras ke-3 dan ke-4 masing-masing 1.000 ha dan 4.700 ha. Teras-teras ini berumur tua dan berada
lebih tinggi serta tampak datar. Kedua teras ini melandai ke arah utara hingga ke arah barat laut. Berbatasan dengan teras ke-4, di sebelah timur Sungai Grime terletak teras
ke-5. Teras ke-5 ini mencakup dari arah timur hingga arah garis utara-selatan melalui Kampung Sabron Baru. Luas teras ini sekitar 2.000 ha, melandai ke aras utara, dan
bergelombang lemah. Teras ke-6, merupakan daerah tertinggi dan tertua yang mengakhiri teras ke-4 dan ke-5 di sebelah selatan. Luas teras ini sekitar 1.900 ha. Di
batas utara dari teras ke-5, terdapat Dataran Sekori yang besar dengan luasan sekitar 2.000 ha. Di dataran Sekoli ini juga terbentuk teras, namun tidak jelas
perkembangannya. Menurut Schroo 1963, Dataran Grime dan Dataran Sekori merupakan lembah
sedimentasi peninggalan zaman tersier yang terisi atas sedimen laut marin dan kemudian oleh bahan fluviatil. Wentholt 1939, menyatakan bahwa dataran ini
terbentuk pada zaman kwarter. Lebih lanjut Schroo 1961, menyatakan bahwa adanya ketinggian elevasi yang berselang-seling di seluruh daerah tersebut
menyebabkan sungai-sungai memotong sedimen ini. Selama periode ini dataran banjir terbentuk pada berbagai tingkat dan sisa-sisanya masih ditemukan sekarang dalam
bentuk teras-teras yang luas sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Zwierzichi 1921 dalam Schroo 1963, menunjukkan bahwa tanah di Dataran
Grime dan Dataran Sekoli berasal dari hancuran batuan fluviatil sedimen kwarterner, terumbu koral terangkat pleistosin, dan sedimen marin neogen. Menurut Wentholt
1939, seluruh lahan yang berada di sebelah barat Yanim Besar Braso dibentuk oleh
Sungai Grime dan cabang-cabang sungainya, kecuali daerah yang paling barat oleh Sungai Sarmoai. Kedua sungai tersebut membawa bahan-bahan yang sama.
Sumbangan cabang-cabang sungai yang berasal dari pinggiran pegunungan utara relatif kecil, namun setempat-setempat saja. Lahan yang berada di sebelah timur
Yanim Besar seluruhnya terbentuk dari material yang berasal dari pinggiran utara daerah pegunungan selatan. Pembentukan dataran sekori tidak berhubungan dengan
pembentukan Dataran Grime, karena keduanya terletak pada sub DAS yang berbeda.
4.2.4. Klasifikasi Tanah
Jenis tanah di Wilayah Agropolitan Kabupaten Jayapura didasarkan atas deskripsi dan klasifikasi yang dilakukan oleh Wentholt 1939. Tanah diklasifikasikan
berdasarkan tiga ciri pembeda utama, yaitu tekstur, warna dan kedalaman tanah. Berdasarkan ketiga ciri tanah tersebut, diperoleh sepuluh satuan peta tanah SPT
dengan rincian sebagai berikut. SPT 1: Tanah lempung berliat, kelabu hingga kelabu coklat, dalam
SPT 2: Tanah lempung berdebu, kelabu hingga kelabu coklat, dalam SPT 3: Tanah , lempung berliat, coklat kelabu hingga kelabu coklat, dalam
SPT 4: Tanah lempung, kelabu coklat hingga kelabu kuning, dalam SPT 5: Tanah lempung berdebu hingga debu berlempung, kuning kecoklatan, dalam
SPT 6: Tanah, lempung, kelabu, dalam SPT 7: Tanah lempung berdebu hingga lempung berpasir, kelabu kuning, dalam
SPT 8: Tanah lateritik berlempung, coklat kekuningan hingga coklat kemerahan, agak dalam
SPT 9: Tanah mergel berlempung, hitam kelabu, agak dalam SPT 10: Tanah liat berlempung hingga berliat, coklat kemerahan tua, dalam
Apabila ciri kesepuluh jenis tanah ini dipadankan dengan klasifikasi USDA Soil Taxonomy, maka SPT 1-7 termasuk order inceptisol, sedangkan SPT 8-10 setara
dengan order alfisol. Schroo 1961 mengkaji kembali nilai tekstur tanah yang dilaporkan Wentholt
1939 dengan menggunakan data dari Razoux Schultz 1958. Ia mendapatkan bahwa kelas tekstur yang dilaporkan Wentholt 1939 lebih ringan daripada Razoux
Schultz 1958. Menurutnya tanah SPT 4, 5 dan 6 berturut-turut bertekstur liat berdebu,
lempung liat berdebu dan liat berdebu. Hasil penelitian tim peneliti di lapangan juga mendukung hal ini.
Sebaran kesepuluh jenis tanah tersebut tercantum pada Peta 5.3. Jenis tanah pada SPT 1 dan SPT 2 menduduki teras pertama terendah, tanah SPT 3 pada teras
kedua, tanah SPT 4 pada teras ketiga, tanah SPT 5 pada teras keempat, tanah SPT 6 pada teras kelima, dan tanah SPT 8 pada teras keenam. Tanah SPT 9 dijumpai
setempat-setempat di tepi selatan dari teras ketiga hingga teras kelima dan pada teras keenam, serta berada pula pada daerah tinggi di tepi selatan dari Dataran Sekori.
Jenis tanah pada SPT 1 sampai dengan SPT 4 pada umumnya memiliki kemiripan dalam sifat fisiknya. Dalam keadaan basah struktur tanahnya jelek, volume pori tanah
kecil dan kemampuan kapileritasnya besar. Selain itu, tanah pada SPT 1 dan 2 hampir tidak dapat dirembesi air, sedangkan jenis tanah lainnya SPT 3 dan 4 agak lebih baik,
yaitu mempunyai daya perembesan air agak rendah. Sebagai akibatnya, kemampuan menahan udara pada jenis-jenis tanah ini tergolong rendah. Melalui upaya
pengeringan jenis-jenis tanah ini dapat diperbaiki sifat fisiknya, yaitu struktur tanah, volume pori dan kemampuan kapileritas meningkat menjadi “sedang”.
Walaupun sifat fisik tanah SPT 1 sampai dengan SPT 4 tidak menguntungkan, namun sifat kimia tanahnya tergolong cukup baik. Kadar unsur hara fosfor P, kalium
K, dan magnesium Mg tergolong sedang hingga tinggi, sedangkan kadar kalsium Ca pada umumnya tinggi.
Khususnya tanah pada SPT 5 yang dijumpai di sepanjang sungai-sungai sebagai ”punggung aliran”, mempunyai sifat fisik dan kimia yang tergolong baik. Jenis
tanah ini lebih kering dan kandungan unsur hara P, K, Ca dan Mg tergolong cukup, sehingga sesuai untuk tujuan pertanian, khususnya tanaman kakao.
Tanah dari SPT 6 dan 7 yang berada di sebelah timur Kampung Yanim Besar Braso memiliki sifat fisik yang lebih menguntungkan. Struktur tanahnya baik, volume
tanah dan kemampuan kapileritasnya juga dinilai cukup. Selain itu, lapisan tanah bawahnya mempunyai sifat perembesan yang baik sehingga menyebabkan kapasitas
menahan air dan udara memadai. Selain sifat fisiknya yang baik, sifat kimianya juga tergolong baik, yakni kandungan unsur hara P, K, Ca dan Mg relatif cukup.
Tanah SPT 8 dan 9 mempunyai sifat fisik dan kimia yang tidak menguntungkan. Pada umumnya dangkal hingga agak dalam, serta mengandung banyak kerikil dan
batu. Tanahnya telah mengalami pencucian hebat sehingga miskin akan unsur hara, terutama K dan P. Tanah SPT 8 dan SPT 9 masih dapat digunakan untuk tujuan
pertanian apabila diberikan masukan perbaikan, seperti pemupukan. Selain itu,
penanaman disarankan hanya dilakukan pada daerah-daerah yang kemiringan lahannya 15 atau pada daerah-daerah bergelombangberbukit dengan menerapkan
prinsip konservasi tanah yang ketat atau pencegahan terhadap erosi. Tanah SPT 10 disarankan penggunaannya untuk ladang penggembalaan dengan
masukan.perbaikan. Tanah SPT 10 mempunyai sifat fisik yang agak baik, yakni lebih kering, dan
tergolong dalam. Namun, sifat kimianya tidak menguntungkan. Tanah ini dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian setelah sifat kimianya diperbaiki.
Penelitian kemudian yang dilakukan Razoux Schultz 1958, menyimpulkan bahwa tanah SPT 6 sesuai bagi tanaman kakao berbasis perkebunan besar. Tanah
SPT 5 dapat digunakan untuk tujuan perkebunan kakao jika drainase permukaan dan drainase dalam diperbaiki. Sebaliknya tanah SPT 8 yang mempunyai sifat fisik yang
jelek tergolong tidak sesuai untuk perkebunan besar, namun dapat digunakan untuk perkebunan rakyat.
Penelitian yang dilakukan Wentholt 1939 dan Razoux Schultz 1958 sebagaimana diuraikan di atas, sedangkan penelitian Schroo 1963 menyimpulkan
bahwa di sebelah selatan Dataran Sekori pada daerah yang tinggi dan di zone transisi ke arah barat Dataran Grime dijumpai jenis tanah dominan yang disebut “Seri tanah
Sekori, kelabu sangat tua, liat berdebu, dalam”. Jenis tanah dengan luasan 3.500 ha ini mempunyai tingkat kesuburan tanah cukup baik serta drainase permukaan yang baik
pula, dianggap sesuai untuk tujuan pertanian. Selain tanah di Dataran Sekori, juga di Dataran Grime dijumpai 2 seri tanah
yang dibedakan secara mendalam menurut deskripsi dan cirinya, yaitu tanah SPT 5 yang terletak di daerah yang agak tinggi punggung aliran dan SPT 6 yang letaknya di
bagian terendah dari dataran tersebut. Tanahnya subur, namun pada lapisan atas bereaksi agak alkalin. Tanah lapisan bawahnya mengandung kapur bebas.dan sangat
kahat akan unsur kalium K. Tanah ini tidak sesuai untuk penggunaan saat sekarang present use, namun dianggap sangat menjanjikan jika drainasenya diperbaiki dan
dilindungi terhadap aliran air permukaan yang berasal dari perbukitan di sekitarnya.
4.2.5. Kesuburan Tanah
Pembahasan kesuburan tanah didasarkan pada laporan pemetaan dan kesuburan tanah yang dilakukan oleh Wentholt 1939, Schroo 1961 dan Schroo
1963. Laporan tersebut memperlihatkan bahwa hampir semua SPT memiliki sifat kimia yang relatif sama kecuali SPT 8, SPT 9 dan SPT 10. Sebaliknya, terdapat
perbedaan yang menyolok pada sifat fisika tanah terutama keadaan drainase permukaan dan drainase internal yang jelek serta kadar liat yang tinggi dan adanya
lapisan liat yang kompak di dalam penampang tanah. Drainase permukaannya jelek karena peresapan atau perembesan air kedalam tanah berlangsung lambat. Drainase
internal dikatakan jelek karena air tanahnya dangkal sehingga tanahnya basah dan jenuh air. Keadaan ini berbeda dengan daerah-daerah yang letaknya lebih tinggi atau
daerah-daerah lereng dan bergelombang.Tekstur tanah dan beberapa sifat kimia tanah penting, yaitu reaksi tanah, kadar kation-kation tersedia, kadar fosfat dan kalium
tersedia, kadar fosfat dan kalium total, serta kandungan karbon organik tanah adalah sebagai berikut :
Tekstur Tanah
Pada umumnya tanah bertekstur berat, yaitu berkisar dari lempung liat berdebu hingga liat berdebu. Kadar liat yang tinggi dapat menyebabkan akar tanaman sulit
berkembang. Selain itu, berdampak pula terhadap rendahnya kapasitas infiltrasi perembesan tanah sehingga menyebabkan penggenangan air di permukaan tanah
terutama di musim penghujanan. Hal ini sudah barang tentu akan mengganggu pertumbuhan tanaman.
Untuk tujuan penanaman kakao, maka drainase permukaan maupun drainase internal sangat perlu diperhatikan, jika ingin memperoleh pertumbuhan dan produksi
kakao yang baik. Dalam rangka menanggulangi drainase yang jelek, perlu dibuatkan selokan-selokan drainase berukuran kecil hingga sedang serta cukup dalam agar
kelebihan air dapat dikeluarkan, sehingga tanahnya selalu dalam keadaan kering lembab dan tidak jenuh air. Selain itu, agar pertumbuhan akar tanaman kakao tidak
terhalang oleh lapisan liat yang kompak, maka perlu digali lubang tanaman yang cukup besar dan dalam.
Reaksi Tanah
Pada umumnya tanah bereaksi alkali hingga sangat alkali dengan kisaran pH rata-rata 7,0 – 7,8. Semakin dalam tanahnya semakin tinggi reaksi tanah, bahkan
tidak jarang mencapai pH=8,0 atau lebih. Tingginya pH tanah ini disebabkan karena
tingginya kadar kalsium tanah kapur yang terbawa bersama bahan endapan sungai yang berasal dari pegunungan dan perbukitan kapur di sekitarnya. Reaksi Tanah
demikian menyebabkan sebagian besar unsur-unsur hara makro N, P, K dan mikro Fe, Zn, Mn, B, Cu berada dalam keadaan tidak tersedia bagi tanaman. Apabila
reaksi tanah mencapai pH=8,0 atau lebih akan menyebabkan tanaman sulit menyerap fosfat dan unsur-unsur mikro.
Pada saat penelitian dijumpai pertanaman kacang tanah milik masyarakat di kampung Pobaim yang menunjukkan gejala kekuningan pada daun-daun muda. Gejala
kekuningan ini diduga kuat karena kahat akan beberapa unsur mikro. Gejala klorosis ini diistilahkan sebagai “klorosis terimbaskan kapur” lime induced-chlorosis, suatu
gejala kekahatan hara yang biasanya muncul di tanah-tanah berkapur.
Kation-Kation Tersedia
Kation tersedia yang diukur adalah kalsium Ca, magnesium Mg dan kalium K. Kadar Ca dan Mg tersedia pada umumnya sedang hingga sangat tinggi. Hal ini
mengisyaratkan bahwa kebutuhan tanaman akan Ca dan Mg cukup memadai sehingga tidak perlu diberi pupuk dengan kedua unsur tersebut. Pada kadar Ca yang
sangat tinggi seperti dijumpai di beberapa tempat justru mengganggu pertumbuhan tanaman. Sebaliknya K tersedia tergolong rendah hingga sangat rendah sehingga
pemupukan K sangat diperlukan agar mendapatkan produksi tanaman yang baik. Dalam hal tanaman tahunan seperti kakao, maka pemupukan kalium setidaknya
dilakukan setiap tahun. Hasil analisis mineral tanah juga mencerminkan rendahnya kadar K tanah. Mineral tanah penyumbang kalium dari jenis kalium-veldspat yang telah
hancur menunjukkan status kalium tanah yang jelek.
Fosfor Tanah
Kadar fosfat tersedia tergolong agak tinggi hingga sangat tinggi. Hampir semua contoh tanah menunjukkan adanya mineral primer apatit penyumbang fosfat yang
tergolong sporadis 1 hingga beberapa persen saja. Pengalaman-pengalaman sebelumnya membuktikan bahwa walaupun jumlahnya sangat sedikit atau sporadis
1, nilai fosfat tersedia biasanya tinggi. Dengan demikian unsur hara fosfor dianggap cukup bagi kebutuhan tanaman, sehingga pemupukan P tidak diperlukan
selama beberapa waktu tanam.
Fosfat dan Kalium Total
Kadar fosfat dan kalium total mencerminkan cadangan hara tersebut dalam tanah. Pada umumnya kadar fosfat total berkisar dari sedang hingga tinggi sehingga
tidak mengkhawatirkan. Tampaknya kandungan fosfat total dan fosfat tersedia berkorelasi positif sehingga memperkuat dugaan bahwa kadar fosfat cukup bagi
kebutuhan tanaman. Kadar kalium total berkisar dari agak rendah hingga sedang. Ini berarti bahwa
cadangan kalium tanah tidak memadai bagi suatu usaha pertanian, sehingga diperlukan pemupukan untuk mempertahankan kadar kalium tanah.
Bahan Organik Tanah
Kadar karbon C organik tanah mencerminkan kadar bahan organik tanah. Bahan organik sangat penting karena berpengaruh terhadap perbaikan sifat fisika dan
kimia tanah. Bahan organik membantu granulasi dan penstabilan agregat tanah sehingga memperbaiki retensi air tanah, meningkatkan laju infiltrasi dan kapasitas
memegang air. Selain itu, bahan organik meningkatkan kapasitas tukar kation KTK, yang berarti pula meningkatkan kemampuan menjerap kation unsur hara makro dan
mikro sebagai sumber hara. Tidak kalah pentingnnya adalah dengan adanya bahan organik akan sangat berdaya terhadap biologi tanah.
Pada umumnya kadar C organik tanah tergolong rendah. Hal ini mengisyaratkan bahwa peningkatan dan perlindungan bahan organik tanah sangat
penting dilakukan. Penanggulangan kekurangan bahan organik dapat dilakukan dengan pemberian pupuk kandang, kompos, dan menanam penutup tanah seperti
Pueraria javanica atau Calopogonium mucunoides terutama pada pertanaman kakao.
4.2.6. Hidrologi
Sumber air di wilayah Kabupaten Jayapura dapat dijumpai dengan adanya sungai, danau, air, hujan, dan mata air.
a. Sungai Wilayah penelitian dilalui oleh sungai dan anak sungai yang bermuara ke Danau
Sentani dan Samudra Pasifik. Sungai-sungai yang berpengaruh dominan terhadap pasokan air Danau Sentani adalah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan
Cycloop di utara danau, yaitu Sungai Haway, Hobai, Younolo, Klandeli, dan Dofroko. Di bagian barat adalah Sungai Dombule dan Boroway, dibagian selatan
adalah Sungai Tenak Sawe dan Ayape sedangkan sungai yang langsung bermuara ke Samudra Pasifik ialah Sungai Sapari, Susupne, Amu, dan Doreri.
Sungai-sungai tersebut merupakan salah satu sumber kehidupan serta sebagai sarana perhubungan, mata pencaharian masyarakat, potensi pariwisata, dan
potensi energi listrik.
b. Danau Danau terbesar di Papua adalah Danau Sentani yang berada di distrik Sentani,
Sentani Timur, Waibu, dan Ebungfauw Kabupaten Jayapura. Outflow Danau Sentani melalui Sungai Jaifuri yang berada disebelah selatan danau, aliran bawah
tanah, serta melalui rekahan-rekahan batu kapur yang banyak terdapat di sebelah timur Danau Sentani menuju Sungai Tami yang selanjutnya bermuara ke Teluk
Seko di Lautan Pasifik. Air danau juga dimanfaatkan sebagai sumber air bersih oleh masyarakat yang bermukim di tepi danau.
c. Air Hujan
Kondisi iklim di Jayapura tergolong dalam iklim basah dengan curah hujan yang cukup tinggi. Jumlah curah hujan dari Stasiun Klimatologi Genyem adalah
2880mmthn, dengan jumlah hari hujan dalam tahun 2006 adalah 219 hari. Curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan Februari, untuk lebih jelas dapat dilihat pada
Gambar 16 dan Gambar 17.
Gambar 16. Curah hujan mm tahun 2004 – 2006 Stasiun Klimatologi Genyem
Gambar 17. Data hari hujan tahun 2004 – 2006 Stasiun Klimatologi Genyem
Jumlah curah hujan di Kabupaten Jayapura menurut Stasiun Meteorologi Klas III Sentani adalah 2426 mmtahun, dengan jumlah hari hujan 191 hari, seperti
terlihat pada Gambar 17. dan 18. Wilayah Ibukota Kabupaten Jayapura yang mengandalkan air hujan sebagai sumber air bersih adalah Distrik Kemtuk
Kampung Sama, Mamei, Nambon, Mamda, Mamdayawan, dan Kwansu.
Gambar 18. Curah hujan mm tahun 2004 – 2006 Stasiun Meteorologi Klas III Sentani
Gambar 19. Data hari hujan tahun 2004 – 2006 Stasiun Meteorologi Klas III Sentani
d. Mata Air
Mata air banyak dijumpai di sepanjang lereng perbukitan yang umumnya keluar dari akar-akar pohon. Mata air juga digunakan sebagai sumber air minum bagi
masyarakat Kabupaten Jayapura, yaitu Desa Maribu, Dosay, Kampung Harapan, Kamp Wolker, Tablanusu, dan Yongsu.
Berdasarkan peta Daerah Aliran Sungai DAS yang kemudian dikonversi dalam bentuk Tabel 14 daerah Agropolitan terdiri atas 3 tiga buah Daerah Aliran Sungai
DAS, yaitu: Sub DAS Grime, Sermo dan Sentani. DAS Grime terdapat pada keempat distrik tersebut dengan total luas 58.917 ha 69,27 dan merupakan DAS terluas di
daerah tersebut, diikuti Sub DAS Sentani dengan luas 14.733 ha 17,32 yang terdapat hanya di distrik Kemtuk, sedangkan sub DAS terkecil adalah Sub DAS Sermo
dengan luas 11.408 ha 13,41 yang menyebar pada distrik-distrik Nimboran, Nimbokrang dan Kemtuk Gresi.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan 2002, luas sub DAS Grime secara keseluruhan mencapai 132.205 ha, Sub-DAS Sermo 200.633 ha dan sub DAS Sentani
110.529 ha. Bila dibandingkan antara luas masing-masing sub DAS tersebut pada kawasan agropolitan dengan luas keseluruhan masing-masing Sub DAS, maka
persentasenya pada kawasan agropolitan untuk Sub DAS Grime 44,56, Sub DAS Sermoai 5,69 dan Sub DAS Sentani 13,33. Adanya persentase seperti itu, maka
pembukaan hutan yang berkaitan dengan Sub DAS Grime di kawasan agropolitan akan sangat mempengaruhi sistem hidrologi DAS Grime. Sungai-sungai utama
tersebut pada umumnya membentuk tepi sungai yang terjal dan dalam. Keadaan penutupan tanah pada pinggiran sungai pada umumnya baik dengan
jenis tumbuh-tumbuhannya seperti rumput-rumputan seperti alang-alang Imperata cylindrica, Solanum torvum, Cyperus rotundus, Andropogon aciculatus, Desmodium
gangeticum. Paspalum conjugatum, Sida acuta, Cyperus kyllinga, Themeda arguens, jenis-jenis semak seperti Morinda citrifolia, Piper aduncum, Piper sp, Ficus grandis,
jenis pohon hutan lainnya seperti, Pterocarpus indicus, Schyzostachyum brachycladum dan sagu Metroxylon sagu.
Sungai Grime berada di sebelah barat Danau Sentani mengalir ke arah barat dan bermuara di Teluk Walkenaer Laut Pasifik. Percabangan sungai dari Sungai
Grime ini mengalir dari arah selatan dan berhulu di daerah Pegunungan Nimboran. Tabel 15. Sebaran luas Sub DAS dalam kawasan agropolitan
No. Distrik
Sub DAS Luas ha
1. Nimbokrang Grime
15 028
Sermo 29
Sub Total 15 057
2. Nimboran Grime
13 801
Sermo 10 677
Sub Total 24 478
3. Kemtuk Sentani
5 442
Grime 14 733
Sub Total 20 175
4. Kemtuk Gresi
Grime 24.646
Sermo 702
Sub Total 25 348
Total 85.058
Tabel 16. Debit air sungai-sungai besar di dalam kawasan pengembangan agropolitan No.
Distrik Nama Sungai
Debit m
3
dt 1 Nimbokrang
Aso 1,32
2. Nimboran Nembu
3,83 3. Nimboran
Swab 1,22
4. Nimboran Kedun
2,80 5. Nimboran
Obu 2,10
6. Nimboran Grime
387,70 Sumber : Fakulatas Kehutanan Universitas Negeri Manokwari
Di samping badan air alami tersebut, di dalam kawasan agropolitan telah dibangun saluran irigasi sebanyak dua buah. Saluran Iriagasi pertama berlokasi di
Nimbokrang memanfaatkan sumber air Sungai Aso. Saluran irigasi ini sudah tidak berfungsi lagi. Saluran Irigasi kedua berlokasi di Distrik Nimboran, dengan sumber air
Sungai Nembu Saluran ini melintasi tiga sungai, yaitu Sungai Swab, Sungai Kedun dan Sungai Oku. Talang saluran primer yang melintasi Sungai Kedun dan Oku sudah tidak
berfungsi. Debit air pada saluran primer sebesar 5,14 m
3
detik yang mengairi sawah masyarakat pada pemukiman lokal, sedangkan saluran primer yang menuju ke sawah
masyarakat transmigran sudah tidak berfungsi lagi.
4.2.7. Penutupan Lahan
Berdasarkan tipe penutupan lahan sesuai Gambar Peta 24. dan Tabel 16 lahan di kawasan agropolitan terdiri dari 10 sepuluh tipe penutupan yang meliputi hutan
dataran tinggi, hutan dataran rendah, hutan rawa, hutan rawa sekunder, hutan tidak produkstif, tanah terbuka, pertanian lahan kering dan semak, pertanian lahan kering,
transmigrasi dan badan air. Semua tipe penutupan terdapat di distrik Nimboran dan Nimbokrang, kecuali tanah terbuka tidak dijumpai di Distrik Nimbokrang. Tipe-tipe
penutupan yang tidak terdapat di distrik Kemtuk, tidak dijumpai pula di Kemtuk Gresi, kecuali hutan rawa yang hanya terdapat di Kemtuk.
Hutan dataran tinggi mencapai luas terbesar di Distrik Nimbokrang, Kemtuk dan Kemtuk Gresi dibandingkan dengan tipe penutupan lain di distrik masing-masing.
Namun demikian, bila dibandingkan dengan luas total keempat distrik tersebut, maka luasan terbesar terdapat di Distrik Kemtuk Gresi 14,69, diikuti Distrik Kemtuk
14,57, Nimbokrang 8,96 dan luasan terkecil di Distrik Nimboran 1,83. Hutan dataran tinggi umumnya merupakan hutan primer, sehingga sangat baik dipertahankan
sebagai areal hutan tetap mengingat keberadaannya pada daerah berbukit di kawasan agropolitan. Oleh karena itu maka fungsi hidrologis dapat dipertahankan. Jenis-jenis
pohon hutan yang tumbuh di daerah ini yaitu: Endospermum mollucanum, Campnospermae brevipetiolata, Pterocarpus indicus, Nauclea orientalis, Artocarpus
communis, Pometia pinnata, Metroxylon sagu dan lain-lain.
Hutan dataran rendah dengan luas tertinggi terdapat di Distrik Nimboran, baik untuk distrik tersebut 41,08 maupun bila luasan tersebut dibandingkan dengan
luas total keempat distrik 11,82. Hutan ini merupakan hutan primer yang pada umumnya terdapat pada daerah datar hingga berombak sehingga kemungkinan untuk
dikonversi akan sangat besar. Keberadaan hutan tersebut sangat mudah dijangkau, sehingga memungkinkan ekstraksi hasil hutan terutama kayu dari hutan tersebut.
Peluang yang sama dapat terjadi pula di distrik-distrik lain. Hal ini ditunjang pula oleh aksesibiltas yang tinggi oleh keadaan jalan yang baik, terutama di Distrik Nimboran,
Nimbokrang dan Kemtuk Gresi. Hutan dataran rendah di kawasan agropolitan ditumbuhi oleh jenis-jenis Intsia
palembanica, Pometia coriaceae, Ficus benyamina, Pimeliodendron amboinicum, Homonoia javensis, Artocarpus elastica, Artocarpus communis, Polyalthia glauca,
Alstonia scholaris, Palaquium amboinensis Celtis latifolia, Dracontomelum edule, Horsfieldia sylvestris, Callophyllum sp, Buchanania macrophylla dan lain-lain.
Hutan rawa di kawasan agropolitan hanya terdapat di Distrik Nimboran 16,61 dari luas distrik, Nimbokrang 2,85 dari luas distrik dan Distrik Kemtuk 0,01 dari
luas distrik. Dibandingkan dengan luas total keempat distrik, maka luasan terbesar terdapat di Nimboran 4,84. Tipe vegetasi yang dijumpai merupakan vegetasi
hutan rawa dengan jenis-jenisnya adalah Pandanus sp, Derris elliptica, Amomum sp, Scindapsus sp, Nauclea orientalis, Macaranga aleuritoidus, Endospermum
mollucanum, Elaeocarpus sphaerensis Sesuai dengan keadaan fisiografi, maka hutan rawa sekunder hanya terdapat di
Distrik Nimboran 1,21 dari luas distrik dan Nimbokrang 2,11 dari luas distrik. Bila dibandingkan dengan luas total keempat distrik, maka luas terbesar terdapat di
Distrik Nimbokrang 0,37. Jenis-jenis yang dijumpai di daerah ini adalah Canarium sp, Elaeocarpus sphaerensis, Celtis latifolia, Cerbera floribunda, Buchanania
macrophylla, Pometia sp, Syzygium sp dan lain-lain. Keberadaan tipe penutupan ini di kedua distrik tersebut sangat mendukung program agropolitan melalui penanaman
komoditas yang sesuai dengan keadaan genangan. Pada penutupan lahan tanah terbuka, didominasi oleh padang rumput diselingi
kelompok semak dan pohon. Di daerah punggung bukit dijumpai Cyperus rotundus, Themeda arguens, Imperata cylindrica, Paspalum conjugatum, Crotalaria sp. Pada
daerah lereng selain jenis-jenis yang disebutkan di atas, dijumpai pula Colopogonium mucunoides, Cassia tora, Starchytarpheta jamaicensis, Widelia Montana, Hyptis
capitata, Andropogon aciculatus, Desmodium gangeticum dan lain-lain. Jenis-jenis perdu yang dijumpai adalah Piper aduncum, Psidium guajava, Premna corymbosa,
Tabel 17. Sebaran luas lahan menurut tipe penutupan lahan tiap distrik dalam kawasan agropolitan
No Distrik
Tata Guna Hutan
Luas Ha
Luas Sub
Total Luas
Total 1
Nimboran Hutan
Dataran Tinggi 1.559
6,37 1,83
Hutan Dataran Rendah
10.055 41,08
11,82 Hutan
Rawa 4.114
16,81 4,84
Hutan Rawa Sekunder
295 1,21
0,35 Hutan
Tidak Produktif 2.138
8,73 2,51
Tanah Terbuka
50 0,20
0,06 Pertanian
Lahan Kering + semak
5.314 21,71
6,25 Pertanian
Lahan Kering 126
0,51 0,15
Transmigrasi 820
3,35 0,96
Badan air
7 0,03
0,01
Sub Total
24.478 100
28,78
2 Nimbokrang
Hutan Dataran Tinggi
7.622 50,62
8,96 Hutan
Dataran Rendah 3.045
20,22 3,58
Hutan Rawa
429 2,85
0,50 Hutan
Rawa Sekuner 317
2,11 0,37
Lahan Tidak Produktif
363 2,41
0,43 Tanah
Terbuka ‐
‐ ‐
Pertanian Lahan Kering +
Semak 582
3,87 0,68
Pertanian Lahan Kering
885 5,88
1,04 Tansmigrasi
1.775 11,79
2,09 Badan
air 39
0,26 0,04
Sub Total
15.057 100
17,70
3 Kemtuk
Hutan Dataran Tinggi
12.394 61,43
14,57 Hutan
Dataran Rendah 1.655
8,20 1,95
Hutan Rawa
3 0,01
0,003 Hutan
Rawa Sekunder ‐
‐ ‐
Lahan keringTidak Produktif
1.812 8,98
2,13 Tanah
Terbuka 1.944
9,64 2,29
Pertanian Lahan Kering +
Semak 2.317
11,48 2,72
Transmigrasi 12
0,06 0,014
Badan Air
‐
Sub Total
20.175 100
23,72
4 Kemtuk
Gresi Hutan
dataran tinggi 12.496
49,30 14,69
Hutan Dataran Rendah
8.385 33,08
9,86 Hutan
Rawa ‐
‐ ‐
Hutan Rawa Sekunder
‐ ‐
‐ Lahan
Kering Tidak Produktif 216
0,85 0,25
Tanah Terbuka
177 0,70
0,21 Pertanian
Lahan Kritis + Semak
3.534 13,94
4,15 Transmigrasi
202 0,80
0,24 Badan
Air ‐
‐ ‐
Sub Total
25.348 100
29,80
Alphitonia celtidifolia dan lain-lain. Jenis-jenis rumput yang terdapat disini bisa digunakan sebagai bahan pakan ternak, sedangkan perdu merupakan tempat berteduh
untuk sapi yang dipelihara. Memperhatikan kondisi tempat tersebut, tipe penutupan ini dapat ditingkatkan kondisinya menjadi tempat penggembalaan ternak yang ideal. Pada
tipe penutupan pertanian lahan kering dan semak dijumpai semak, padang alang- alang, kelapa, pisang, sagu dan palawija, sedangkan pada tipe penutupan pertanian
lahan kering dijumpai hutan sekunder dan areal perladangan.
4.2.8. Sebaran Luas Lahan Menurut Fungsinya
Berdasarkan fungsi hutan, maka hutan dapat dikelompokkan menjadi hutan lindung HL, hutan produksi tetap HP, hutan produksi terbatas HPT, Hutan
produksi yang dapat dikonversi HPK dan Areal peruntukan lain APL. Sesuai penyebaran hutan yang terlihat pada Gambar Peta 25 dan Tabel 17, keberadaan dari
hutan dengan fungsinya-pun terdapat di kawasan agropolitan. Hutan Lindung terdapat di setiap distrik, terluas di Distrik Nimboran sebanyak 48,68 dari luas Distrik
Nimboran, dan terkecil di Distrik Kemtuk Gresi 0,71 dari luas distrik. Keberadaan hutan lindung disetiap distrik mempunyai fungsi sebagai pengatur tata air dan
pencegahan erosi. Kecil ataupun besarnya hutan lindung di setiap distrik mempunyai peranan yang sangat besar terhadap perlindungankonservasi tanah di daerah
tersebut. Luasan dan keberadaan lahan yang telah ditetapkan hendaknya perlu dipertahankan, terutama dalam mendukung sistem tata air dan konservasi tanah di
kawasan agropolitan. Pemanfaatan hutan untuk kegiatan agropolitan hanya dimungkinkan
menggunakan Hutan Konversi ataupun areal penggunaan lain. Di Distrik Nimboran, mengingat luas hutan lindung yang cukup besar, luasan yang ada dari hutan konversi
dapat digunakan sebagai kawasan budidaya agropolitan, kecuali selebar 10 m kiri kanan sungai kecil dan 20 m kiri kanan sungai besar ataupun sumber air lainnya perlu
dipertahankan keberadaan hutan. Distrik Nimbokrang, hutan lindungnya sangat kecil 30,43, sementara hutan
konversinya sangat besar 67,86, maka pembukaan hutan konversi sebagai kawasan budidaya Agropolitan, hanya dibatasi pada kondisi datar dengan
memperhatikan keutuhan hutan 10 m – 20 m di kiri kanan sungai ataupun sumber air lainnya. Hutan APL sesuai fungsinya dapat digunakan untuk kegiatan agropolitan.
Daerah Kemtuk, yang topografinya didominasi oleh areal berombak, bergelombang, dan berbukit tanpa daerah datar, sedangkan hutan lindungnya hanya
24,75 dari luas distrik, maka disarankan pembukaan hutan konversi untuk keperluan
agropolitan terbatas pada daerah dengan kelerengan di bawah 8 serta memperhatikan 10 – 20 m di kiri dan kanan sungai ataupun sumber air.
Distrik Kemtuk Gresi dengan topografi pada umumnya bergelombang dan hutan lindung hanya 0,71, maka hutan yang boleh dibuka hanya hutan konversi dengan
kelerengan di bawah 8 dan APL dengan tetap mempertahankan keberadaan hutan 10 m – 20 m dikiri kanan sungai maupun sumber air lainnya. Secara umum, bahwa
konversi hutan yang dilakukan secara bertahap sehingga gangguan terhadap lingkungan dapat dikurangi seminimal mungkin.
Tabel 18. Sebaran luas lahan menurut fungsi hutan di setiap distrik dalam kawasan agropolitan
No Distrik
Tata Guna Hutan Luas Ha
Persenta tase
terhadap sub total
Persentase terhadap
total 1
Nimboran Hutan Lindung HL
11 917 48,68
14, 01 Hutan Produksi HP
Hutan Produksi
Terbatas HPT Hutan Konversi HK
5 570 22,76
6,55 Areal Peruntukan Lain
APL 6 991
28,56 8,21
Sub Total 24 478
28,78
2 Nimbokrang
Hutan Lindung HL 4 583
30,43 5,39
Hutan Produksi HP Hutan
Produksi Terbatas HPT
Hutan Konversi HK 10 218
67,86 12,01
Areal Peruntukan Lain APL
256 1,70
0,30
Sub Total 15 057
17,70
3 Kemtuk
Hutan Lindung HL 4 994
24,75 5,87
Hutan Produksi HP Hutan
Produksi Terbatas HPT
5 448 27,00
6,40 Hutan Konversi HK
7 730 38,31
9,09 Areal Peruntukan Lain
APL 2 003
9,93 2,35
Sub Total 20 175
23,72
4 Kemtuk Gresi Hutan Lindung HL
181 0,71
0,21 Hutan Produksi HP
Hutan Produksi
Terbatas HPT 15 335
60,49 18,03
Hutan Konversi HK 5 333
21,04 6,27
Areal Peruntukan Lain APL
4 499 17,74
5,29
Sub Total 25 348
29,80 Total
Jumlah 85.058
100
4.3. Keadaan Penduduk
4.3.1. Kepadatan Penduduk
Jumlah penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura yang meliputi Distrik Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk, dan Distrik Nimbokrang sebanyak 20.384 jiwa
atau 5.142 keluarga. Luas seluruh kawasan agropolitan berdasarkan profil kawasan agropolitan yang dilaporkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura tahun 2002
seluas 1.503,64 km2 atau 150.364 ha. Masing-masing, Distrik Nimboran 778,48 km2, Nimbokrang 242,16 km2. Kemtuk 194,70 km2, dan Distrik Kemtuk Gresi 288,30 km2.
Akan tetapi berdasarkan hasil perhitungan tim peneliti pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura selama melakukan penelitian lapangan, luas kawasan
agropolitan ini ternyata lebih kecil yakni 850,58 km2 atau 85.058 ha. Masing-masing adalah sebagai berikut, Distrik Nimboran 246,47 km2 atau 24.647 ha, Distrik
Nimbokrang 150,57 km2 atau 15.057 ha, Distrik Kemtuk 201,75 km2 atau 20.175 ha, dan Distrik Kemtuk Gresi 251,79 km2 atau 25.179 ha. Selengkapnya hasil analisis
kepadatan penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura disajikan seperti pada Tabel 19.
Tabel 19. Kepadatan penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003
No. Distrik Jumlah Penduduk
Luas Km
2
Kepadatan Penduduk KK Jiwa
JiwaKm
2
KKKm
2
1. Nimboran 1.536 6.965
246, 47
28,259 6,232
2. Nimbokrang 1.549 5.365
150, 57
35,631 10,287
3. Kemtuk 755 3.423
201, 75
16,966 3,742
4. Kemtuk Gresi
902 4.631
251, 79 18,392
3,582 Kawasan Agro
4.742 20.384
850, 58 23, 965
4,30
Sumber : BPS Kabupaten Jayapura, 2003
Tingkat kepadatan penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tergolong rendah yakni rata-rata 23,965 jiwakm2 atau rata-rata 4,30 KKkm2. Secara
terpisah berdasarkan distrik, kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Distrik Nimbokrang, dan terendah terdapat di Distrik Kemtuk.
4.3.2. Ratio Seks
Ratio seks penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura diperhitungkan sebesar 1,08. Artinya pada setiap populasi wanita sebesar 1.000 jiwa senantiasa
bersama-sama 1.080 jiwa laki-laki. Suatu ratio seks yang tidak terlalu timpang ditinjau dari aspek kegiatan sosial-budaya, tetapi cukup penting ditinjau dari aspek proses
regenerasi penduduk. Ratio seks ini ternyata lebih rendah di Distrik Nimboran dan
Distrik Kemtuk, tetapi menjadi tertinggi di Distrik Nimbokrang. Di Distrik Nimboran dan Distrik Kemtuk terlihat bahwa pada seiap populasi wanita sebesar 1.000 jiwa
senantiasa bersama-sama kaum laki-laki sebanyak 1.050 jiwa. Namun di Distrik Nimbokrang pada setiap populasi waita sebesar 1.000 jiwa senantiasa bersama-sama
kaum lelaki sebanyak 1.110 jiwa. Suatu ratio yang penting ditinjau dari aspek kegiatan sosial-ekonomi, dan menjadi sumber dampak bagi bagian kecil populasi kaum laki-laki
mendapatkan isteri di luar kawasan agropolitan, dan dalam jangka panjang dapat memperbesar ragam etnis di kawasan agropolitan ini. Sebaran jumlah penduduk
kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura berdasarkan jenis kelamin per distrik di kawasan agropolitan disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Sebaran jumlah penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura berdasarkan jenis kelamin tahun 2003
No Distrik Jumlah Laki-Laki
Jumlah Perempuan Total
Jumlah Jiwa
Ratio Seks
Jiwa Jiwa 1. Nimboran
3.571 51
3.394 49
6.965 1,05 2. Nimbokrang
2.829 53
2.536 47
5.364 1.11 3. Kemtuk
1.754 51
1.669 49
3.443 1,05 4. Kemtuk
Gresi 2.429
54 2.202
46 4.531 1,10
J u m l a h 10.583
52 9.801
48 20.384
1,08
Sumber : BPS Kabupaten Jayapura, 2003
4.3.3. Ketergantungan Penduduk
Tingkat ketergantungan penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura sebesar 0,73. Artinya setiap 100 orang penduduk berusia produktif menanggung 73
orang penduduk yang tidak produktif untuk melakukan kegiatan yang memerlukan tenaga fisik. Tingkat ketergantungan yang baik, yakni setiap penduduk berusia
produktif menanggung sebanyak-banyaknya 1 orang penduduk yang tidak produktif. Selanjutnya sebaran jumlah penduduk berdasarkan golongan umur produktif dan
golongan umur tidak produktif disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Sebaran jumlah penduduk berdasarkan golongan umur di kawasan
agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003. No. Distrik
Jumlah Penduduk Berdasarkan Golongan Umur Tahun
Ketergantungan Penduduk
15 15-55 55 1. Nimbokrang
2.076 3.031
257 0,77
2. Kemtuk Gresi
1.707 2.612
212 0,73
3. Nimboran 2.389
4.216 360
0,65 4. Kemtuk
1.480 1.871
92 0,84
J u m l a h 7.652
11.730 921
0,73
Sumber : BPS Kabupaten Jayapura, 2003
Secara terpisah berdasarkan distrik ternyata Distrik Kemtuk memiliki ketergantungan tertinggi, dan Distrik Nimboran memiliki tingkat ketergantungan
terendah. Walaupun penduduk Distrik Kemtuk memiliki tingkat ketergantungan tertinggi, tetapi masih tergolong baik yakni setiap penduduk berusia produktif
menanggung penduduk tidak produktif yang sangat terbatas yakni sebanyak- banyaknya 1 jiwa. Rendahnya tingkat ketergantungan penduduk diidentifikasi
disebabkan oleh 2 faktor utama. Pertama, terbatasnya jumlah penduduk yang mencapai usia lanjut yakni baru mencapai 4,52 persen dari total jumlah penduduk
kawasan agropolitan. Kedua, jumlah penduduk golongan usia kurang dari 15 tahun juga belum menjadi bagian populasi terbesar sebagaimana layaknya sebuah piramida
tegak.
4.3.4. Keluarga Penduduk
Aspek utama yang dianalisis dalam faktor keluarga penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura adalah besar keluarga dan tenaga kerja.
Selengkapnya hasil analisis keluarga penduduk kawasan agropolitan ini disajikan pada Tabel 22. Ukuran keluarga penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura, rata-
rata 4,30 jiwakeluarga. Secara terpisah berdasarkan distrik, ukuran keluarga penduduk terbesar terdapat di Distrik Kemtuk Gresi yakni rata-rata 5,13 jiwakeluarga,
dan terendah di Distrik Nimbokrang yakni rata-rata 3, 46 jiwakeluarga. Tabel 22. Hasil analisis keluarga penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura
tahun 2003.
No. Distrik Jumlah Penduduk
Keluarga Penduduk Jiwa
Tenaga Kerja
Produktif Jiwa
Keluarga KK
Ukuran Besar
JiwaKel. Tenaga
Kerja Produktif
JiwaKel. 1. Nimboran
6.965 4.116 1.536
4,53 2,68
2. Nimbokrang 5.365 3.031
1.459 3,46
2,08 3. Kemtuk
3.423 1.871 755
4,53 2,48
4. Kemtuk Gresi 4.631 2.612
902 5,13
2,89 Kawasan
Agro. 20.384
11.730 4.742
4,30 2,47
Jumlah tenaga kerja produktif di kawasan agropolitan ini rata-rata 2,47 tenaga kerjakeluarga. Secara terpisah berdasarkan distrik, ternyata keluarga yang memiliki
jumlah tenaga kerja produktif terbanyak terdapat di Distrik Kemtuk Gresi, dan tersedikit terdapat di Distrik Nimbokrang.
4.3.5. Mata Pencaharian Penduduk
Mata pencaharian penduduk kawasan agropolitan dibedakan menjadi 5 kelompok besar yakni bertani, berdagang, pegawai negeri sipil PNS dan tentara
nasional Indonesia TNI serta pensiunan, jasa, dan wirausaha. Kelompok mata pencaharian bertani mencakup pertanian dalam arti luas yakni pertanian tanaman
pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Selengkapnya hasil analisis sebarang penduduk berdasarkan kelompok mata
pencaharian disajikan pada Tabel 23, yang memberi gambaran bahwa hampir seluruh penduduk kawasan agopolitan Kabupaten Jayapura bermatapencaharian sebagai
petani. Sebagian kecil dari populasi penduduk lainnya bekerja pada sektor perdagangan dan jasa serta wirausaha.
Tabel 23. Sebaran Penduduk Kawasan Agropolitan Kabupaten Jayapura Tahun 2003 Menurut Mata Pencaharian
No. Mata Pencaharian
Distrik Nimbokrang
Distrik Kemtuk Gresi
Distrik Nimboran
Distrik Kemtuk
Kawasan Agropolitan
KK KK
KK KK
KK 1. Petani
Luas 1 277 82,46 744 82,48
1 235 80,40 638 84,50
3 894
82,12 2. Pedagang
49 3,15 6 0,67 86 5,60 24 3,18 165 3,50
3. PNS, TNI,
POLRI, Pensiunan
180 11,62
123 13,74
192 12,50
65 8,61
560 11,81
4. Jasa 19 1,21 12 1,33 11 0,72 12 1,59 54 1,13
5. Wirausaha 24 1,56 17 1,88 12 0,78 16 2,12 69 1,44
Jumlah 1 549
100 902
100 1 536
100 755
100 4 742
100
4.4. Keadaan Ekonomi
Penduduk wilayah studi secara ekstensif mengusahakan banyak jenis tanaman dan ternak sapi. Rata-rata setiap kepala keluarga di wilayah studi mengusahakan
tujuh jenis tanaman yang berbeda dengan kisaran terendah empat jenis tanaman dan kisaran tertinggi sembilan jenis tanaman. Perbedaan jumlah jenis tanaman yang
diusahakan oleh setiap kepala keluarga di wilayah studi disebabkan oleh perbedaan pengetahuan dan ketrampilan bercocoktanam serta perbedaan etnis penduduk yang
berdomisili di masing-masing distrik. Distrik Nimboran dan Distrik Nimbokrang selain didiami oleh penduduk asli Papua juga berdiam penduduk asal luar Papua yang
didominasi oleh etnis jawa menyusul kemudian Etnis Sulawesi.
4.4.1. Pendapatan Rumah Tangga
Rumah tangga di wilayah studi dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar berdasarkan sumber utama pendapatan, yakni 1 rumah tangga penduduk asal Papua
dan 2 rumah tangga penduduk asal luar Papua. Rumah tangga asal Papua menganggap kakao dan sapi sebagai sumber utama penghasil cash bagi keluarga, di
samping ubi-ubian, sagu, kelapa, pisang, sayuran, kacang tanah dan jagung. Khusus untuk Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi, selain kakao dan sapi, hasil hutan berupa
kayu olahan merupakan salah satu sumber penghasil cash terpenting. Rumah tangga asal luar Papua menganggap padi dan ternak sapi merupakan komoditas terpenting
penunjang keberlanjutan keluarga, selain palawija, usaha dagang seperti kios dan jajanan dan usaha industri rumah tangga seperti industri gula merah dari kelapa,
industri tahu dan industri tempe. Perbedaan orientasi ekonomi ini lebih didorong oleh perbedaan kemampuan memanfaatkan peluang usaha dan menciptakan kerja serta
motivasi dan kerja keras. Pendapatan kotor rumah tangga asal luar Papua lebih besar dibandingkan
rumah tangga asal Papua. Hal ini dapat dimengerti mengingat walaupun jumlah jenis tanaman yang diusahakan rumah tangga Papua memiliki kombinasi lebih banyak
dibandingkan rumah tangga asal luar Papua, rata-rata rumah tangga Papua mengusahakan tujuh jenis tanaman dengan kisaran minimum empat jenis tanaman
dan maksimum sembilan jenis tanaman sedangkan rumah tangga asal luar Papua mengusahakan tiga jenis tanaman jenis komoditi yang diusahakan rumah tangga asal
luar Papua umumnya memiliki nilai pasar yang jauh lebih tinggi dibanding komoditi yang diusahakan rumah tangga Papua. Selain faktor harga, produksi per satuan lahan
rumah tangga asal luar Papua juga lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas lahan rumah tangga asal Papua.
Tabel 24. Pendapatan kotor rumah tangga di wilayah studi berdasarkan macam jenis tanaman yang diusahakan
No. Jumlah Jenis
Tanaman Pendapatan Kotor
Rata-Rata Minimum Maksimum
A. Rumah Tangga Asal Luar Papua
3 Jenis Tanaman 14,427,000.--
12,840,000.-- 25,350,000
B. Rumah Tangga Asal Papua
4 Jenis Tanaman 1,020,000.--
952,500.-- 1,020,000
5 Jenis Tanaman 3,466,250.--
2,952,500.-- 3,980,000
6 Jenis Tanaman 3,596,666.--
1,077,000.-- 9,946,500
7 Jenis Tanaman 3,661,730.--
1,427,000.-- 7,147,500
8 Jenis Tanaman 3,820,333.--
1,333,000.-- 8,150,000
9 Jenis Tanaman 8,535,000.--
8,535,000.-- 9,028,000
Beberapa faktor penyebab rendahnya produktivitas lahan rumah tangga asal Papua dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Rumah tangga asal Papua tampaknya belum memperhatikan produktivitas usahataninya. Hal ini nampak dari beragamnya jenis tanaman yang diusahakan,
tanpa masukan input dan sedikit sekali dilakukan tindakan agronomis. Keamanan pangan merupakan hal yang mencolok dari tipe pengusahaan rumah tangga asal
Papua.
a.
Letak kebun yang terpencar sebagai akibat pola pemilikan lahan mengikuti clan mengakibatkan pengelolaan kebun menjadi sangat sulit. Penggunaan tenaga
kerja menjadi tidak efektif dan biaya pengelolaan kebun menjadi sangat tinggi.
b.
Masih minimnya pengetahuan rumah tangga asal Papua mengenai teknik bercocok tanam yang benar. Hal ini dapat dipahami mengingat umumnya
rumah tangga asal Papua belum menerapkan sistem pertanian menetap. Faktor lain yang mempengaruhi minimnya pengetahuan bercocoktanam adalah
petugas penyuluh lapang belum berperan secara aktif. Kehadiran PPL belum mampu memberikan masukan yang berarti bagi petani karena minimnya kontak
di lapangan. Selain kurang aktifnya PPL, peluang yang ada di wilayah studi untuk meningkatkan produktivitas lahan belum dimanfaatkan oleh sebagian
besar rumah tangga asal Papua sebagai contoh misalnya pemanfaatan kotoran sapi sebagai pupuk.
4.4.2. Jenis Tanaman
Hasil penelitian di lapang menunjukan bahwa rumah tangga asal luar Papua umumnya mengusahakan tanaman padi, palawija dan tanaman buah-buahan. Padi
sebagai makanan pokok merupakan komoditas yang bernilai pasar tinggi dan sangat diminati oleh penduduk asal luar Papua. Namun, pada saat penelitian lapang
berlangsung keberlanjutan pengusahaan padi di wilayah studi terutama Distrik Nimboran dan Distrik Nimbokrang menjadi isu utama. Pengusahaan padi di wilayah
studi sebenarnya sudah memanfaatkan irigasi yang tersedia. Namun, pemblokiran dan pengalihan aliran air oleh clan pemilik tanah ulayat di wilayah studi mengakibatkan
keresahan dan keenganan rumah tangga asal luar Papua untuk mengusahakan padi. Rumah tangga asal Papua umumnya memilih tanaman kakao sebagai
komoditas unggulan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak dapat diproduksikan sendiri seperti minyak goreng, minyak tanah, garam, vetsin dan beras.
Selain kakao, tanaman sagu juga diusahakan oleh rumah tangga asal Papua. Walaupun jumlah tanaman sagu yang diusahakan setempat-setempat dan dalam
jumlah yang tidak luas, sagu sebagai makanan pokok memiliki nilai tersendiri bagi
rumah tangga asal Papua. Sagu merupakan sumber cadangan makanan yang memberikan rasa aman bagi penduduk lokal untuk jangka panjang. Sagu juga
merupakan warisan orangtua kepada generasi berikutnya. Hal ini menandaskan bahwa keberadaan tanaman sagu di wilayah studi tidak dapat digantikan dengan
tanaman lain. Tanaman lain yang juga diusahakan penduduk adalah ubi-ubian. Beberapa jenis
ubi-ubian yang diusahakan rumah tangga asal Papua adalah keladi, bete, ubi dan singkong. Umumnya ubi-ubian diusahakan untuk keperluan konsumsi keluarga.
Namun jika diperlukan maka ubi-ubian dapat pula dijual untuk mendapatkan cash. Sayuran yang umumnya diusahakan penduduk lokal adalah kangkung, gedi, bayam
dan sayur lilin. Kangkung yang diusahakan adalah kangkung cabut. Kangkung ini umumnya diusahakan untuk dipasarkan. Gedi dan sayur lilin merupakan sayuran
pelengkap hidangan dari sagu oleh karenanya pengusahaan sayuran-sayuran ini umumnya untuk kepentingan konsumsi keluarga. Jenis tanaman lain yang diusahakan
rumah tangga asal Papua adalah pisang. Pisang merupakan tanaman unggulan penghasil cash setelah tanaman kakao dan sagu. Jenis pisang yang umumnya
diusahakan penduduk adalah pisang barangan yang telah memiliki pasar tersendiri. Selain monokultur, penduduk lokal umumnya menggunakan tanaman pisang sebagai
tanaman naungan kakao.
4.4.3. Pemasaran
Pemasaran produk hasil usatani penduduk di wilayah studi umumnya dilakukan secara individu. Pengelompokan dilakukan hanya untuk mengatasi biaya transportasi.
Umumnya sebanyak 5 – 6 orang penduduk berkelompok menggunakan satu kendaraan ke pasar kabupaten. Terdapat 4 mata rantai tata niaga produk usahatani
penduduk di wilayah studi. Secara rinci mata rantai tata niaga produk usahatani penduduk wilayah studi digambarkan sebagai berikut:
Penduduk wilayah studi umumnya telah memanfaatkan fasilitas pasar yang ada di pusat-pusat kota Kabupaten Jayapura. Ketersediaan sarana dan prasarana
transportasi yang memadai telah memungkinkan sebagian besar penduduk wilayah studi dapat menjual secara langsung hasil usahataninya ke konsumen akhir di Pasar
Hamadi, Pasar Sentani, Pasar Abepura, dan Pasar Genyem. Namun demikian untuk beberapa daerah di wilayah studi terutama daerah yang terletak di antara Genyem-
Kemtuk Gresi dan Jayapura seperti Kampung Mamda, Kampung Bonggrang, Kampung Meikari, dan Kampung Sabron Samon kelangkaan sarana transportasi
mengakibatkan hasil kebun penduduk tidak dapat mencapai pasar dalam waktu yang tepat.
Gambar 23. Tata niaga pemasaran produk usahatani penduduk di wilayah penelitian
Umumnya angkutan pedesaan telah penuh dengan muatan pada terminal awal. Hal ini mengakibatkan penduduk di antara terminal awal Genyem-Kemtuk Gresi dan
Jayapura tidak dapat menggunakan angkutan pedesaan pada waktu yang diinginkan. Kenyataan ini mengakibatkan penduduk tidak dapat melakukan aktivitas
perdagangannya dengan baik. Waktu untuk berdagang menjadi sangat sempit sehingga barang dagangan umumnya dijual secara borongan dengan nilai yang
rendah jika tidak dilakukan maka dagangan akan menjadi rusak dan tak bernilai. Permasalahan lain yang dihadapi penduduk di wilayah studi adalah jarak ke pasar
kabupaten yang jauh. Penduduk umumnya menjual hasil usahanya ke pasar kabupaten secara individu dan mengingat jarak yang jauh maka umumnya penduduk
wilayah studi yang akan berjualan ke pasar kabupaten sudah mulai melakukan perjalanan dari wilayah studi ke pasar kabupaten Pasar Hamadi, Pasar Sentani dan
Pasar Abepura pada jam satu atau dua subuh. Dengan demikian mereka akan punya cukup waktu untuk berjualan yaitu mulai dari jam 5 pagi hingga 5 sore. Kenyataan ini
mengakibatkan beberapa permasalahan, yaitu 1 perhatian orangtua terutama ibu terhadap anak menjadi berkurang karena harus melakukan aktivitas dagang di pasar
kabupaten seharian penuh, 2 barang dagangan dari wilayah studi umumnya seragam sehingga harga jual dapat ditekan oleh pedagang pengumpul tingkat
kabupaten, dan 3 umumnya barang dagangan dilelang menjelang sore hari. Hal ini kurang menguntungkan penduduk wilayah studi yang berjualan ke pasar kabupaten
karena tidak dapat memperoleh hasil yang maksimal. Petani
Pedagang Pengumpul Tingkat
Kabupaten Konsumen
Akhir
Petani Pedagang
Pengumpul Tingkat
Kampung Pedagang
Pengumpul Tingkat
Kabupaten Penampung
Kabupaten Petani
Konsumen Akhir
Petani Pedagang
Pengumpul Tingkat Kampung
Penampung Kabupaten
Permasalahan lain yang dihadapi oleh penduduk wilayah studi terutama dari Distrik Kemtuk adalah tidak lancarnya transportasi karena terputusnya jembatan-
jembatan di Wilayah Kemtuk. Pada saat penelitian lapang berlangsung terdapat dua jembatan yang menghubungkan Kampung Sabron Samon dan Sabeyab terputus.
Demikian pula jembatan yang menghubungkan Kampung Sawoi dan Kampung Sabeyab, juga jembatan yang menghubungkan Puai dan Distrik Kemtuk. Hal ini
mengakibatkan penduduk wilayah studi yang hendak berjualan harus mengeluarkan biaya transportasi ekstra untuk mengangkut barang dagangan ke titik yang dapat
dijangkau oleh transportasi umum. Khusus untuk komoditi pisang dan biji kakao, penduduk telah memanfaatkan
jasa pedagang pengumpul tingkat desa. Jasa pedagang pengumpul tingkat desa untuk komoditas pisang belum banyak menarik perhatian penduduk di wilayah studi
mengingat harga beli pedagang pengumpul yang rendah. Penduduk wilayah studi baru tertarik untuk menjual pisang muda ke pedagang pengumpul tingkat desa.
Pisang yang sudah masak umumnya dijual langsung oleh petani ke konsumen akhir. Lain halnya dengan komoditas kakao, sebagian besar penduduk wilayah studi menjual
hasilnya ke pedagang pengumpul tingkat desa dalam bentuk biji basah dengan harga Rp 2.000 per kg. Di wilayah studi baru terdapat dua orang pedagang pengumpul
tingkat desa yang menjual biji kakao kering langsung ke pengumpul biji kakao kering di kabupaten dengan harga Rp 15.000 per kg. Pedagang pengumpul tingkat desa
lainnya menjual biji kakao kering ke pedagang pengumpul tingkat kabupaten yang langsung membeli di wilayah studi dengan harga bervariasi dari Rp 7.000 sampai
Rp 8.000 per kg. Masih sedikitnya pedagang pengumpul tingkat desa yang menjual biji kakao kering ke pengumpul kabupaten umumnya karena terbatasnya modal yang
dimiliki.
4.5. Keadaan Sosial Budaya
4.5.1. Struktur sosial
Masyarakat yang berdomisili di wilayah penelitian berasal dari satu rumpun besar Masyarakat Mamberamo Tami Mamta yang terdiri dari 4 empat rumpun
kelompok masyarakat yaitu 1 Rumpun Baiwase, 2 Rumpun Banibaiwase, 3 Rumpun Irapbaiwase, dan 4 Rumpun Bayuwase. Rumpun-rumpun masyarakat ini
tersebar dalam suatu wilayah yang pada masa pemerintahan Belanda dikenal sebagai wilayah under Afdeling Nimboran. Wilayah ini tersebar pada wilayah Kecamatan
Unurumguay, Kecamatan Kaureh, Kecamatan Demta, Kecamatan NimboranKemtuk, dan Kecamatan Sentani Barat. Salah satu kelompok masyarakat yang mendiami
wilayah Under Afdeling Nimboran adalah masyarakat NimboranKemtuk Gresi yang biasanya dikenal sebagai orang Genyem yang berdiam di 4 empat distrik wilayah
penelitian. Masyarakat NimboranKemtuk Gresi terdiri dari beberapa kelompok margafam
yang terikat dalam satu hubungan kekerabatan, dimana setiap margafam merupakan kumpulan keluarga-keluarga dengan penamaan margafam yang sama. Margafam itu
di wilayah penelitian seperti margafam Tegai, Tarko, maupun Demongkrang. Kedudukan margafam di dalam sistem masyarakat adalah sederajat dimana
aksesibilitas setiap kelompok margafam dalam belbagai proses pembangunan memiliki peluang yang sama.
Struktur sosial masyarakat NimboranKemtuk Gresi bersifat terbuka, artinya bahwa kedudukan margafam adalah sederajat tanpa membedakan tinggi rendahnya
kelompok tertentu. Disamping itu sistem perkawinan bersifat perkawinan campuran yaitu perkawinan dapat terjadi antar anggota-anggota dari satu margafam dengan
marga lainnya. Adanya struktur sosial terbuka dan sistem perkawinan campur yang dianut menciptakan terbentuknya margafam-margafam yang cukup banyak tersebar
di wilayah penelitian. Satu kelompok margafam biasanya akan mencari suatu wilayah tertentu untuk
dihuni secara bersama-sama dimana margafam yang pertama kali datang di wilayah tersebut dianggap sebagai kelompok masyarakat asli dan dikukuhkan sebagai pemilik
lahantanah yang syah, dan kepemilikan lahan yang dikuasai didasarkan atas kepemilikan komunal masing-masing keluarga dari margafam tersebut. Pengaturan
pengelolaan dan pembagian tanah setiap keluarga akan dilakukan dengan membagi luasan lahan milik keluarga secara merata kepada semua anggota keluarga laki-laki
baik yang belum menikah maupun sudah menikah. Dengan demikian setiap anak laki- laki akan memiliki bagian hak atas tanah masing-masing.
Kepemilikan lahantanah adat menjadi hak milik laki-laki sedangkan perempuan tidak memiliki hak tersebut, namun hanya sebatas hak pakai. Adapun alasan hak
pakai untuk perempuan dikarenakan apabila perempuan menikah maka ia akan meninggalkan margafamnya dan akan mengikuti margafam laki-laki, demikian pula
anak-anak hasil perkawinan akan mengikuti garis keturunan laki-laki patrilinial. Dengan demikian untuk menjaga agar luasan lahan yang dimiliki suatu margafam
tidak dialihkan kepada orang lain diluar margafam maka hak perempuan hanya sebatas hak pakai. Hak pakai perempuan atas tanah dapat berubah menjadi hak milik
apabila semua keturunan dari suatu margafam berjenis kelamin perempuan dan apabila perempuan tersebut telah menikah dengan laki-laki margafam lain, maka anak
cucu hasil perkawinan tersebut yang berjenis kelamin laki-laki dapat memiliki hak milik atas tanah yang berada di keluarga perempuan pihak istri.
Adanya perkembangan pembangunan di mana banyak memerlukan penggunaan-penggunaan lahan maka pengalihan hak tanah dapat diwujudkan dalam 2
dua bentuk, yaitu pengalihan tanah dengan cara membeli atau menganti rugi kepada pemilik lahan, dan cara kontrak lahan dalam kurun waktu tertentu. Pengalihan hak
lahan dalam bentuk pembelihan tanah biasanya diperuntukkan untuk pemanfaatan lahan untuk kepentingan umum masyarakat seperti pembangunan-pembangunan
sarana prasarana antara lain gereja, dan jalan raya. Pengalihan hak lahan untuk kepentingan suatu kelompok atau individu lebih banyak bersifat kontrakan tanah dalam
suatu kurun waktu tertentu dan akan dikembalikan kepada pemiliknya setelah dikontrak.
Pengalihan lahan dengan cara membeli pada saat ini banyak mendatangkan masalah dengan adanya pemalangan tanah pada areal sarana prasarana umum.
Adanya pemalangan ini dikarenakan belum tuntasnya ganti rugi tanah-tanah adat kepada pemilik-pemilik yang sah, dimana kepemilikan tanah adat ini biasanya tidak
disertai dengan sertifikat tanah yang sah yang dapat menunjukkan kepemilikan tanah tersebut. Tidak adanya sertifikat tanah ini, menimbulkan permasalahan dalam
menetapkan siapa yang berhak atas tanah-tanah yang telah dibangun sarana prasarana umum tersebut, sehingga beberapa anggota masyarakat secara individual
mengaku mengklaim kepemilikan tanah tersebut.
4.5.2. Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan hubungan kontak antara individu dengan individu lainnya maupun individu dengan suatu kelompok. Masyarakat di wilayah penelitian
melakukan interaksi sosial dengan sasaran di dalam sistem masyarakat, dan dengan sasaran di luar sistem masyarakat tersebut.
Wujud interaksi sosial yang nampak di wilayah penelitian dapat dikelompokkan dalam tiga bidang interaksi sosial. Pertama, interaksi budaya, menyangkut persoalan
mas kawin. Kedua, interaksi sosial, menyangkut kegiatan gotong royong dalam pembukaan dan pemanenan hasil. Ketiga, interaksi ekonomi, menyangkut kegiatan
transaksi antara petani dengan para pedagang. Interaksi budaya yang terjadi dinampakkan dengan adanya kerjasama antara
keluarga-keluarga dalam satu margafam untuk menanggung bersama besar dan jumlah mas kawin yang ditetapkan keluarga pihak perempuan kepada keluarga pihak
laki-laki. Di dalam pertemuan tersebut, keluarga-keluarga yang tergabung dalam satu margafam dan anak laki-lakinya akan menikah bersama-sama akan mendiskusikan
tentang pembagian tanggungan untuk anggota-anggota keluarga pihak laki-laki yang dapat membantu meringankan tanggungan mas kawin yang akan dibayarkan pihak
laki-laki kepada perempuaan. Kondisi ini memperlihatkan adanya pembagian tanggungan antar anggota-anggota dalam keluarga pihak laki-laki maka terlihat
kesatuan hubungan kekerabatan dalam suatu margafam. Interaksi sosial diwujudkan dalam kegiatan gotong royong pembukaan lahan
dan pemanenan hasil. Masyarakat di wilayah penelitian biasanya melakukan kegiatan usahatani pada kawasan lahan yang cukup luas yaitu berkisar antara 0,25 ha – 2 ha, di
satu sisi ketersediaan tenaga kerja relatif kecil yaitu 2 dua orang dan di sisi lain luasan lahan yang cukup luas. Adanya luasan lahan yang cukup luas dan
ketersediaan tenaga kerja yang kecil mengakibatkan pencurahan kerja pada tahapan pembukaan lahan dan pemanenan hasil mengalami masalah tenaga kerja. Melalui
kegiatan gotong royong bersama-sama dengan anggota-anggota dalam suatu margafam ataupun tetangga maka kesulitan tenaga kerja dapat terpecahkan.
Pembayar atau penggantian biaya yang dikeluarkan untuk tenaga-tenaga kerja ini diberikan dalam bentuk makan bersama yang disediakan oleh pemilik lahan tersebut.
Kegiatan gotong royong ataupun interaksi sosial juga terjadi apabila anggota- anggota masyarakat sepakat untuk bergabung dalam suatu kelompok tani, dimana
interaksi sosial nampak terjadi pada saat pembukaan dan pemanenan hasil. Kegiatan gotong royong ini biasanya melibatkan tenaga kerja yang berkisar antara 20 – 40
orang untuk melakukan pembukaan lahan dan selanjutnya lahan akan dipetak- petakkan untuk masing-masing anggota untuk pengelolaannya hingga tahap
pemanenan. Pada tahap pemanenan ini, juga nampak adanya kegiatan gotong royong untuk saling membantu meringankan beban kerja.
Interaksi ekonomi diwujudkan dalam bentuk transaksi dagang antara petani dengan pedagang lokal maupun pedagang non lokal. Transaksi dagang ini banyak
ditemui pada cabang usahatani kakao dimana petani menjual biji kakao basah dengan harga 2.500 – 3.000kg kepada pedagang lokal, dan selanjutnya pedagang lokal akan
menjual kembali dalam bentuk kering dengan kisaran harga Rp 7.500 – 8.000,- Adanya transaksi dagang yang demikian menggambarkan suatu hubungan kerjasama
antara keduanya. Disamping itu menunjukkan adanya suatu hubungan usaha yang saling menguntungkan. Selain interaksi ekonomi dalam usaha kakao, interaksi
ekonomi yang cukup tinggi adalah interaksi antara petani dengan para pengojek yang beroperasi di wilayah penelitian. Adapun kegiatan pengojek biasanya dimanfaatkan
petani untuk mengunjungi saudara, ke pasar, ke kantor-kantor pemerintahan desa.
4.5.3. Pola Kepemimpinan
Di dalam suatu masyarakat dibutuhkan adanya seorang pemimpin yang dapat mengatur dan mengelola anggota-anggota masyarakatnya. Masyarakat di wilayah
penelitian mengenal beberapa pola kepemimpinan yaitu 1 kepemimpinan in formal yaitu adat, 2 kepemimpinan formal yaitu pemerintahan, dan 3 kepemimpinan
kombinasi antara in formal dan formal. Secara adat istiadat, masyarakat di wilayah penelitian memiliki pemimpin-
pemimpin adat yang mengatur dan mengurus masyarakat. Pemimpim tersebut terbagi atas 1 IramDequina dengan fungsi sebagai melindungi lapisan masyarakat, 2
Trang dengan fungsi sebagai menjaga dan membagi hak ulayat kepada anggota masyarakat, 3 Tegai dengan fungsi sebagai panglima perang atau keamanan, 4
Strom dengan fungsi sebagai pengatur kegiatan gotong royong atau kerja bakti kampung, dan 5 Bemey dengan fungsi sebagai bendaharawan masyarakat.
Adanya pembagian kepemimpinan atas lima status dan peran ini tidak menunjukkan bahwa status dan peran yang satu lebih tinggi dari status dan peran
lainnya. Peran kelima pemimpin tersebut untuk dapat mengatur dan mengorganisir kegiatan-kegiatan dalam masyarakat. Walaupun demikian, peran IramDequina
merupakan status yang penting yaitu melindungi seluruh lapisan masyarakat, disamping juga melindungi sumber daya alam. Sebutan IramDequina pada kelompok-
kelompok masyarakat lainnya dikenal sebagai Ondoafi. Dalam perkembangan pembangunan dan hingga saat ini status dan peran
kelima pemimpin adat ini semakin luntur dalam hal fungsi dan tugasnya. Keadaan ini dikarenakan adanya modernisasi kelembagaan ataupun akibat akulturasi budaya
dengan kelompok masyarakat lainnya di luar sistem masyarakat Nimborankemtuk Gresi. Pada kondisi sekarang, hanyalah peran dan fungsi IramDequina yang masih
berfungsi namun hanya sekedar pengakuan status sebagai pemimpin dalam suatu kelompok masyarakat. Pengambilan keputusan dalam pembangunan masyarakat lebih
banyak dipegang oleh aparat-aparat desa sebagai pemimpin pemerintahan. Khusus untuk masalah-masalah yang menyangkut adat seperti tanah biasanya keterlibatan
IramDequina masih dibutuhkan dimana bersama-sama dengan kepala kampung dalam mengambil keputusan.
Pola kepemimpinan formal melibatkan pemimpin-pemimpin pemerintahan antara lain kepala kampung, ketua RT dan ketua RW. Kampung beserta aparat inilah
yang mengatur kegiatan-kegiatan administrasi, maupun pembangunan di kampung, seperti pengaturan kelompok tani, pengaturan administrasi desa dan pembenahan
keamanan. Pemimpin-pemimpin formal lebih banyak berperan dibandingkan pemimpin in formal.
Pola kepemimpinan yang ketiga merupakan gabungan antara pola formal dan in formal yang dikenal sebagai Dewan Adat. Dewan Adat di wilayah penelitian terbagi
dalam dua kelompok yaitu Dewan Adat untuk masyarakat NimboranNimbokrang dan Dewan adat untuk masyarakat KemtukKemtuk Gresi. Fungsi dewan adat sebagai
lembaga adat yang menampung semua aspirasi-aspirasi Iramdequina yang membawahi aspirasi kelompok-kelompok kecil masyarakatnya dalam kegiatan
pembangunan. Artinya bahwa fungsi dan tugas dewan adat lebih ditekankan kepada hubungan antara permasalahan-permasalahan adat dan permasalahan pemerintahan.
Salah satu permasalahan yang ditangani dewan adat menyangkut pemalangan tanah- tanah adat yang menjadi lokasi fasilitas-fasilitas pemerintahan maupun sarana
prasarana umum. Contohnya irigasi, demikian pula dengan permasalahan politik menyangkut dukungan masyarakat adat terhadap kepemimpinan formal seseorang.
4.5.4. Pola Penguasaan dan Pengusahaan Tanah
Di dalam hukum negara dikenal adanya pengertian tanah negara, tanah hak milik, dan tanah ulayat. Tanah negara adalah tanah yang pengaturan sepenuhnya
dikuasai negara. Tanah milik adalah tanah yang secara hukum negara menjadi milik pribadi seseorang. Tanah ulayat adalah tanah yang kepemilikannya diatur menurut
ketentuan adat setempat. Sistem kepemilikan tanah di Papua selain mengikuti peraturan pemerintah juga
mengikuti Hukum Adat. Menurut Hukum Adat, tanah dan isinya dikuasai, dimiliki, dan
diatur oleh adat setempat. Kawasan agropolitan “Grime-Sekori” merupakan hak
ulayat dari rumpun besar Masyarakat Mamberamo Tami Mamta. Oleh karena itu untuk penggunaan tanah di kawasan diatur oleh “ondoafi” dan atau kelompok
masyarakat yang lebih kecil yaitu klan. Lahan usaha pada masyarakat asli Papua adalah bersifat individu. Namun
sebelum beralih menjadi milik individu, status tanah yang dimiliki oleh petani asli Papua merupakan milik komunal artinya dikuasai oleh margafam. Selanjutnya tanah-tanah
tersebut akan diwariskan kepada setiap anak laki-laki dari setiap margafam , sehingga status tanah menjadi milik individu. Tanah-tanah yang dimiliki oleh setiap kepala
keluarga, akan diwariskan lagi kepada anak laki-laki mereka dan selanjutnya tanah tersebut akan berubah status menjadi milik anak mereka, begitu seterusnya hingga
sekarang. Masyarakat di wilayah penelitian mengusahakan usahatani dalam sebidang lahan yang berkisar antara 2 – 5 hektar. Kepemilikan tanah atas lahan yang
diusahakan merupakan kepemilikan yang bersifat individu, yakni setiap orang dari anggota keluarga memiliki sebidang tanah yang akan diusahakan.
Berdasarkan adat istiadat, hak atas tanah yang akan diusahakan untuk berbagai kegiatan usahatani bersifat komunal. Artinya bahwa sebidang tanah dikuasai
oleh kelompok margafam masing-masing yang bermukim dalam suatu wilayah. Selanjutnya dari kepemilikan komunal tersebut akan diwariskanditurunkan kepada
seluruh anggota keluarga yang berjenis kelamin laki-laki sebagai hak milik secara individu. Dengan demikian sistem kepemilikan tanah di wilayah penelitian adalah
bersifat individu. Setiap laki-laki secara adat diwajibkan untuk mengusahakan lahan miliknya
untuk dapat menghasilkan makanan yang diperuntukkan bagi keluarganya. Laki-laki dipandang sebagai generasi penerus keluarga yang dapat mempertahankan atau
meneruskan margafam. Oleh karenanya hak milik tanah menjadi hak laki-laki sebagai penerus margafam yang mana tanah akan diusahakan akan menjadi hak milik secara
turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya dari suatu garis keturunan laki-laki tersebut. Sedangkan perempuan dipandang sebagai istri yang bertugas untuk
melayani suami, oleh karenanya hak milik tanah tidak diberikan kepada perempuan tetapi perempuan hanya diberi hak pakai dan hak mendapatkan manfaat atas hasil-
hasil yang di dapatkan dari pengusahaan tanah. Hal ini berhubungan dengan sistem perkawinan yang dianut dimana apabila seorang perempuan menikah maka ia akan
mengikuti suaminya patrilokal dan keturunan yang diperoleh merupakan garis keturunan margafam suaminya patrilinial.
Pengalihan hak milik atas tanah pada masa dahulu telah terjadi, seperti diindikasikan oleh adanya beberapa luasan tanah yang dibeli oleh pendatang seperti
suku-suku Sulawesi, untuk bangunan-bangunan rumah. Pada masa kini pengalihan hak milik tanah berupa kegiatan pembelian tanah sangat jarang dilakukan. Keadaan ini
diduga karena luasan tanah yang dimiliki setiap individu semakin menurun sesuai adanya pertambahan jumlah jiwa di dalam setiap keluarga yang berhak menerima hak
milik atas tanah. Disamping itu adanya pengalihan hak milik tanah untuk pembangunan sarana prasarana umum. Dilain sisi diduga pula, bahwa masyarakat telah memahami
bahwa wilayah tempat tingganya sebagai suatu wilayah strategis untuk pembangunan sehingga tanah sebagai wilayah permukiman dan areal usahataninya akan
memberikan kemudahan berusaha di kemudian hari. Pengalihan hak milik atas tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan
dilaksanakan melalui tiga bentuk yaitu 1 pengalihan hak milik tanah khusus untuk pembangunan-pembangunan sarana prasarana umum, 2 pengalihan hak pakai
sementara sebagai hak kontrak, dan 3 pengalihan hak pakai tanpa adanya hak kontrak.
Pengalihan hak milik tanah dari pemilik kepada orang lain pemerintah dalam suatu transaksi jual beli dapat dilakukan selama tanah yang akan dijual diperuntukkan
untuk gedung sekolah, gereja, jalan raya, gedung-gedung pemerintahan. Pada kondisi ini harus dilakukan transaksi jual beli antara pemilik tanah dengan pihak pembeli
pemerintah sesuai dengan luasan tanah. Berdasarkan penelitian diperoleh informasi bahwa senantiasa terjadi pemalangan tanah pada tanah-tanah lokasi sarana
prasarana umum seperti kantor-kantor pemerintahan maupun saluran irigasi. Hal ini dikarenakan pemilik tanah tidak memiliki surat tanda sertifikat yang jelas tentang
kepemilikan tanah, sehingga banyak ditemui adanya pengakuan dari beberapa orang yang mengkukuhkan dirinya sebagai pemilik tanah.
Pengalihan hak pakai atas tanah dalam bentuk kontrak maupun tidak kontrak dapat terjadi dimana pengontrak tanah hanya menggunakan tanah dalam kurun waktu
tertentu dan selanjutnya tanah akan diserahkan kembali kepada pemiliknya. Pengontrakkan tanah biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok usaha yang ingin
berusaha di wilayah penelitian. Namun berdasarkan hasil wawancara tipe pengalihan tanah seperti ini sangat sedikit.
4.6. Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi dan Budaya
Sarana dan prasarana dibedakan menjadi sarana dan prasarana umum atau infrastruktur, sarana dan prasarana kesejahteraan sosial, sarana dan prasarana
ekonomi.
4.6.1. Sarana dan Prasarana UmumInfrastruktur 1. Transportasi
Transportasi darat merupakan satu-satunya sarana transportasi yang dapat menghubungkan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura dengan Sentani sebagai
Ibu Kota Kabupaten Jayapura maupun Kotamadya Jayapura. Sentani merupakan lokasi pelabuhan udara yang menghubungkan Kabupaten Jayapura dengan dunia luar,
disamping sebagai Ibu Kota Kabupaten Jayapura. Kotamadya Jayapura merupakan lokasi pelabuhan laut yang selama ini berfungsi sebagai pelabuhan ekspor-impor
berbagai output dan input pembangunan Kotamadya dan Kabupaten Jayapura. Prasarana dan sarana transportasi darat yakni jalan dan jembatan di Wilayah
Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Distrik Kemtuk Gresi yang telah ditetapkan sebagai kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura telah dibangun
secara bertahap sejak pertengahan abad 20 hingga sekarang. Pembangunan jalan dan jembatan selama periode tersebut telah menempatkan kampung-kampung di
kawasan agropolitan menjadi lintasan jaringan jalan darat. Panjang jalan poros yang
menghubungkan pusat Kota Sentani dengan pusat-pusat kota distrik di kawasan agropolitan berbeda-beda. Masing-masing dengan Distrik Kemtuk 31,7 km, dengan
Distrik Kemtuk Gresi 55,2 km, dengan Distrik Nimboran 55,7 km dan dengan Distrik Kemtuk Gresi 60,6 km.
Konstruksi bangunan jalan poros ini adalah batu dan pasir berlapis aspal di permukaannya. Kondisi jalan ini sekarang, sebagian berada dalam keadaan baik yakni
mulai dari Sentani melintasi Distrik Kemtuk hingga sebagian dari Kemtuk Gresi, dan sebagian kecil dari jalan yang melintasi Distrik Nimbokrang. Sebagian lainnya berada
dalam kondisi yang rusak, mulai dari rusak ringan sampai dengan setempat-setempat rusak berat. Bagian jalan yang berada dalam kondisi baik terletak pada bagian tanah
kering dengan drainase baik di Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi serta Distrik Nimbokrang. Sebaliknya, bagian jaringan jalan yang berada dalam kondisi rusak
terletak pada bagian tanah basah dengan drainase buruk di Distrik Nimboran dan sebagian dari Distrik Nimbokrang.
Jalan lain yakni jalan lorong yang menghubungkan jalan poros dengan pusat- pusat pemukiman kampung. Konstruksi jalan ini sebagian besar adalah jalan
pengerasan yang menggunakan batu kerikil dan pasir. Bagian kecil dari jaringan jalan ini masih merupakan tanah yang diberi batas dan dilengkapi parit drainase. Sekarang
ini telah dirintis pula 2 bagian jalan poros alternatif ke luar kawasan agropolitan. Alternatif pertama, dari kawasan padang alang-alang “Bonggrang” memasuki Kota
Sentani melalui Doyo Lama. Alternatif kedua, masih dalam tahap tanpa pengerasan dari Pusat Kota Distrik Kemtuk memasuki Kotamadya Jayapura melalui Kampung Puai
dan Yoka. Konstruksi kedua bagian jalan poros alternatif masih berupa jalan tanah yang
dilengkapi parit drainase secukupnya. Bagian jalan poros alternatif pertama pada umumnya terletak di atas tanah kering dengan drainase yang baik. Sebaliknya bagian
jalan poros alternatif kedua umumnya terletak di atas tanah basah disamping melintasi lembah-lembah kecil dan sungai-sungai kecil yang memerlukan jembatan.
2. Pos dan Telekomunikasi
Di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura telah terdapat Kantor Pos dan Giro di Genyem, Distrik Nimboran. Statusnya adalah sebagai Kantor Pos dan Giro
Pembantu Kantor Cabang Kabupaten Jayapura. Kantor Pos dan Giro ini merupakan sarana vital yang melayani arus pengiriman dan penerimaan surat dan paket.
Prasarana dan sarana telekomunikasi juga telah terdapat di kawasan agropolitan yakni Kantor Daerah Telekomunikasi Cabang Nimboran di Genyem. Selengkapnya sebaran
prasana dan sarana telekomunikasi di kawasan agropolitan disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Sebaran prasarana dan sarana telekomunikasi di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura.
No. Distrik Jumlah Stasiun
Pemancar TVRI Unit
Jumlah Sambungan Telepon
Unit Jumlah Wartel
Telepon Satelit Unit
1. Nimboran 1
25 2
2. Nimbokrang -
9 2
3. Kemtuk -
- -
4. Kemtuk Gresi
- 3
1 J u m l a h
1 37
5
Sumber : BPS Kabupaten Jayapura
Prasarana dan sarana telekomunikasi yang ada sekarang telah memberi harapan keterbukaan kawasan agropolitas dengan dunia luar. Namun prasarana dan
sarana telekomunikasi yang telah ada masih tergolong langka dan belum merata antar kampung. Sambungan telepon otomat, jumlahnya terbatas yakni 37 unit dan masih
terkonsentrasi di Distrik Nimboran dan Nimbokrang saja. Wartel juga masih terbatas jumlahnya dan bahkan belum terdapat di Distrik Kemtuk.
3. Listrik
Sumber listrik untuk melayani kebutuhan masyarakat umum di kawasan agropolitan diperoleh dari tenaga diesel milik Perusahaan Listrik Negara PLN di
Genyem Distrik Nimboran. Konsumen produksi listrik ini tersebar di kawasan agropolitan yang mencakup Distrik Nimboran, Distrik Nimbokrang, Distrik Kemtuk, dan
Distrik Kemtuk Gresi. Selengkapnya prasarana dan sarana listrik di kawasan agropolitan disajikan pada Tabel 26. Panjang jaringan ini telah mengalami peningkatan
sebesar 40, 20 persen dibandingkan panjang jaringan pada tahun 2000. Tabel 26. Keadaan prasarana dan sarana listrik di kawasan agropolitan Kabupaten
Jayapura. No. Uraian
Jumlah Satuan
1. Banyaknya KVA
1.1. Langganan 1 529
1.2. Terpasang 1 180 870
2. Produksi Listrik KWH
2.1. Dibangkitkan 2 983 258
2.2. Terjual 1 244 210
3. Jumlah Gardu
21 4.
Panjang Jaringan Km 4.1. Tegangan menengah
34,21 4.2. Tegangan rendah
20,23
4. Air Bersih
Air bersih untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga penduduk kawasan agropolitan pada umumnya diperoleh dari sumur. Hal ini dimungkinkan kondisi tanah
dan iklim yang memungkinkan pembuatan sumur air bersih dengan debit yang memadai sepanjang tahun.
Selain itu ada pula penduduk yang memperoleh air bersih dengan cara memanfaatkan air sumber mata air. Rumahtangga penduduk yang memanfaatkan
air sumber ini terbatas pada beberapa kampung yang berhasil diidentifikasi selama studi lapangan yakni Kampung Merem di Distrik Kemtuk Gresi, Kampung Sermai Atas
di Distrik Nimboran, dan Kampung Berap di Distrik Nimbokrang. Ketiga kampung ini terletak pada bagian kawasan agropolitan yang letaknya lebih tinggi di atas permukaan
air laut dibandingkan kampung-kampung lainnya. Kondisi fisik air sumber tampak jernih, dan debitnya cukup besar serta
cenderung stabil sepanjang tahun berdasarkan pengalaman penduduk setempat. Hal itu terbukti dari pemanfaatan air sumber ini untuk budidaya ikan kolam disamping
sebagai sumber air barsih bagi penduduk setempat.
4.6.2. Prasarana dan Sarana Kesejahteraan Sosial 1. Kesehatan
Prasarana dan sarana kesehatan yang telah terdapat di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura adalah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Sebarannya
berdasarkan distrik disajikan pada Tabel 27. Tabel 27.
Sebaran jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura.
No. Distrik Jumlah
PUSKESMAS Unit Jumlah
PUSKESMAS PEMBANTU Unit
Jumlah Unit
1. Nimboran 1
6 7
2. Nimbokrang 1
3 4
3. Kemtuk 1
1 2
4. Kemtuk Gresi
1 4
5 J u m l a h
4 14
18 Di lihat dari lokasi bangunan, ternyata prasarana dan sarana kesehatan ini tidak
tersebar merata pada setiap distrik. Pemusatan prasarana dan sarana di Distrik Nimboran dan Distrik Kemtuk Gresi tampaknya berkaitan erat dengan statusnya
sebagai distrik induk pemekaran. Berdasarkan statusnya sebagai distrik induk pemekaran, kedua distrik ini telah menjadi target lokasi pembangunan fisik selama
periode sebelumnya dengan fokus lokasi di pusat kota distrik dan kampung-kampung yang terdekat dengan pusat kota distrik. Artinya pembangunan prasarana dan sarana
kesehatan di kampung-kampung yang letaknya jauh dari pusat distrik cenderung terabaikan selama periode sebelumnya. Kampung-kampung ini yang sekarang
dihimpun membentuk distrik tersendiri sebagai distrik hasil pemekaran dengan prasarana dan sarana kesehatan yang langka.
2. Pendidikan
Pendidikan formal yang telah diselenggarakan di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura telah mencakup semua jenjang pendidikan, kecuali jenjang
pendidikan tinggi. Jumlah Sekolah Dasar yang tertinggi merupakan salah satu ujud upaya nyata pemerintah untuk memperkecil populasi penduduk usia sekolah dasar
yang buta huruf. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP juga cukup banyak, konsisten dengan program pemerintah dibidang pendidikan formal yakni program
pendidikan dasar 9 tahun yang diperkenalkan sejak awal Pelita VI. Selengkapnya sebaran jumlah prasarana dan sarana pendidikan berdasarkan jenjang pendidikan di
kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Sebaran jumlah prasarana dan sarana pendidikan di kawasan agropolitan
Kabupaten Jayapura. No. Distrik
Jumlah PrasaranaSarana Pendidikan TK SD SLTP SMU SMK
1. Nimboran 1
10 4
1 -
2. Nimbokrang 1
9 1
1 1
3. Kemtuk 1
5 1
- -
4. Kemtuk Gresi
1 7
1 -
- J u m l a h
4 31
7 2
1
3. Prasarana dan Sarana Ibadah
Prasarana dan sarana ibadah yang diamati difokuskan pada bangunan gedung- gedung tempat ibadah menurut agama dan kepercayaan penduduk setempat.
Prasarana dan sarana ibadah tersebar sesuai agama yang dianut penduduk pada setiap distrik. Data ini juga memberi gambaran tentang heterogenitas penduduk
ditinjau dari aspek agama di kawasan agropolitan. Selengkapnya sebaran jumlah prasarana dan sarana ibadah di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura disajikan
pada Tabel 29.
Tabel 29. Sebaran jumlah prasarana dan sarana ibadah berdasarkan distrik di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura.
No. Distrik Mesjid
Unit Musollah
Unit Gereja Unit
PuraWihara Unit
Protestan Katolik 1. Nimboran
2 3
20 -
1 2. Nimbokrang
3 17
18 3
- 3. Kemtuk
- -
16 -
- 4. Kemtuk
Gresi 6
5 17
- -
J u m l a h 11
25 71
3 1
4.6.3. Sarana dan Prasarana Ekonomi 1. Pasar
Setiap distrik di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura telah memiliki bangunan gedung pasar. Fungsi pasar ini sebagaimana layaknya adalah sebagai
prasarana fisik yang memungkinkan bertemunya produsen langsung dengan konsumen akhir produksi pertanian, atau bertemunya produsen dengan konsumen
akhir melalui pedagang perantara. Pemanfaatan pasar di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura ternyata masih belum intensif sebagaimana yang diharapkan.
Walaupun demikian jika dibandingkan antar distrik ternyata pemanfaatan pasar di Distrik Nimboran yang dikenal dengan nama Pasar Genyem lebih intensif
dibandingkan tiga distrik lainnya. Sebaran jumlah pasar di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30. Sebaran jumlah pasar di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura
tahun 2003. No. Distrik
Jumlah Unit
1. Nimboran 2
2. Nimbokrang 1
3. Kemtuk 1
4. Kemtuk Gresi
1 J u m l a h
5
2. Koperasi Unit Desa dan Kios Sarana Produksi
KUD di kawasan agropolitan sebelumnya telah tumbuh dan berkembang di kalangan warga tani tanaman pangan terutama padi dan palawija. Fungsi utama KUD
sebagaimana umumnya adalah sebagai sarana bagi warga tani utuk mendapatkan kredit usahatani KUT, pemasok SAPROTAN ke kampung, penampung hasil produksi
pertanian, dan pemasok 9 bahan pokok kebutuhan rumahtangga petani setempat. Aktivitas KUD menjalankan fungsinya sekarang tampak lesu, dan bahkan terdapat
KUD yang dilaporkan oleh anggotanya telah mengalami kemacetan. Faktor yang menjadi penyebab macetnya KUD ini sebenarnya belum diketahui secara pasti, tetapi
menurut pengurus KUD yang berhasil ditemui adalah karena telah terhentinya KUT yang disalurkan oleh pemerintah, dan rendahnya partisipasi anggota.
Kios SAPROTAN seperti halnya KUD telah terdapat di setiap distrik, walaupun jumlahnya masih terbatas. Namun ditinjau dari aktivitasnya sebagai salah satu unit
usaha ekonomi, tampak lebih intensif dibandingkan KUD. Artinya, kios SAPROTAN menunjukkan kecenderungan lebih maju pada saat sekarang. Sebaran jumlah koperasi
unit desa KUD dan kios sarana produksi pertanian SAPROTAN berdasarkan distrik di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura disajikan pada Gambar 24.
Gambar 24. Sebaran jumlah KUD dan kios SAPROTAN berdasarkan distrik di
kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sektor pertanian yang terdiri dari sub sektor tanaman pangan, sub sektor hortikultura, perkebunan, sub sektor peternakan dan perikanan merupakan
sektor yang dominan dibandingkan dengan sektor lain, dan mampu menjadi penyangga dalam meningkatkan struktur perekonomian di Kabupaten Jayapura,
sehingga perannya sangat penting untuk dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Peran sektor pertanian ini harus mampu menunjang
PAD, terjadinya penyerapan tenaga kerja dan dapat memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui komoditas lokal yang ada, dan diharapkan dapat
berdampak pada supply dan atau demand dengan tujuan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga petani-peternak dan nelayan. Namun tampaknya tidak
semudah yang kita lihat sesuai dengan kondisi lapangan, tetapi harus ada pola perubahan paradigma pembangunan pada berbagai tataran. Salah satu
contohnya bahwa keberhasilan ketahanan pangan nasional dapat dicapai tidak melalui pendekatan terpusat secara nasional melalui Departemen Pertanian
semata, tetapi perlu diubah pola pikir bahwa ketahanan pangan tercapai jika dilakukan di tingkat keluarga, komunitas, dan daerah-daerah.
Wilayah studi terdiri atas empat distrik, yaitu Distrik Kemtuk Gresi, Kemtuk, Nimbokrang, dan Nimboran. Setiap distrik mempunyai potensi untuk
pengembangan beberapa komoditas peternakan, sehingga dapat menjadi basis bagi pengembangan komoditas peternakan tersebut. Untuk mengetahui
komoditas peternakan unggulan apa yang tepat diusahakan dan dikembangkan di Kabupaten Jayapura dilakukan analisa berdasarkan pada pendapat
stakeholder dan pakar dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial MPE.
5.1. Penentuan Komoditas Unggulan Peternakan di Kabupaten Jayapura
Dari hasil perhitungan MPE diketahui komoditas unggulan agribisnis peternakan Kabupaten Jayapura yang menjadi peringkat pertama adalah sapi
potong dengan skor nilai 11,36; kedua ternak babi dengan skor nilai 11,24; ketiga ternak ayam buras dengan skor nilai 11,20; ayam ras pedaging dengan
skor nilai 11,17; kelima ayam ras petelur dengan skor nilai 11,13 dan keenam adalah kambing dan itik yang memiliki skor nilai sama yaitu 11,10. Peringkat di
atas menunjukkan komoditas unggulan yang mempunyai prospek terbesar untuk dikembangkan dan potensial menghasilkan pendapatan bagi masyarakat
peternak di Kabupaten Jayapura. Tabel 31. Hasil perhitungan penentuan komoditas unggulan agribisnis
peternakan Kabupaten Jayapura dengan metode perbandingan eksponensial MPE.
Komoditi Nilai Kriteria Faktor-Faktor Strategis
Skor dan Peringkat
a b c d e
f g
h i
j
1 4 3 3 4 3 4 3 3 4 4
11,36 I
2
3 3 3 3 3 4 3 3 3 4 11,24
II 3
3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 11,10
VI 4
3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 11,20
III 5
3 3 3 3 3 4 3 2 3 3 11,17
IV 6
3 3 3 3 2 4 3 2 3 3 11,13
V 7
3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 11,10
VI Bobot
Kriteria
0.12 0.09 0.10 0.11 0.09 0.09 0.10 0.08 0.12 0.11
Keterangan : 1 = Sapi potong
2 = Babi 3 = Kambing
4 = Ayam Buras 5 = Ayam Ras Pedaging
6 = Ayam Ras Petelur 7 = Itik
Pemeliharaan ternak sapi sebagai ternak dengan peringkat tertinggi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem usaha tani. Selama
ini, ternak sapi merupakan sumber pendapatan bagi petani sekaligus sebagai tabungan yang dapat digunakan jika diperlukan. Dalam rangka mewujudkan
swasembada daging di Kabupaten Jayapura, usaha peternakan sapi potong lebih dominan dilakukan dan mendapat perhatian khusus dari pemerintah
daerah.
Komoditas kedua adalah ternak babi. Ternak babi merupakan salah satu ternak yang menguntungkan dikarenakan 1 induk babi melahirkan anak yang
banyak, yakni berkisar antara 7 – 14 ekor pada setiap kelahiran, 2 pertumbuhannya sangat cepat, 3 merupakan ternak yang paling efisien dalam
pengolahan makanan menjadi daging. Pemeliharaan ternak babi sudah merupakan tradisi masyarakat papua pada umumnya dengan cara pemeliharaan
yang masih tradisional dan menggunakan babi lokal. Untuk mendapatkan bibit yang unggul babi ras masih sulit karena harus didatangkan dari luar daerah
seperti dari daerah Batam dan Manado. Komoditas unggulan ketiga adalah ternak ayarn buras. Usaha ayam
buras yang dilakukan masih bersifat sambilan untuk menambah penghasilan keluarga. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapatkan bibit ayam buras dalam
jumlah yang besar dan pemeliharaan yang masih dilakukan secara ekstensif. Meskipun demikian ternak ayam buras tetap mempunyai peluang yang besar
untuk diusahakan mengingat permintaan pasar yang tinggi karena sebagian masyarakat menganggap daging dan telur ayam buras lebih enak. Di samping itu
Pemeliharaan ayam buras tidak membutuhkan manajemen dan keterampilan khusus serta modal yang besar.
Komoditas keempat adalah ayam ras pedaging. Pemeliharaan ayam ras pedaging di Kabupaten Jayapura dimaksudkan untuk dapat memenuhi
kebutuhan konsumsi daging asal ternak. Hal ini disebabkan karena pemeliharaan ayam ras pedaging relatif singkat dan juga dapat dilakukan dengan populasi
yang kecil serta perputaran modal lebih cepat. Komoditas kelima adalah ternak ayam ras petelur. Pemeliharaan ayam
ras petelur lebih membutuhkan manajemen dan ketrampilan khusus. Disamping itu, pemeliharaan ayam petelur membutuhkan modal yang lebih besar dan waktu
yang lebih lama untuk mendapatkan hasil. Meskipun masih kurang populer, ayam ras petelur mempunyai peluang yang besar untuk diusahakan mengingat
tingginya permintaan pasar. Komoditas keenam adalah ternak kambing dan itik karena kedua komoditi
ini mendapat skor nilai yang sama. Ada beberapa alasan yang membuat kambing dan itik masih sedikit dibudidayakan, yaitu sulitnya mendapatkan bibit
unggul dan ditinjau dari segi pemasaran daging ternak itik belum banyak disukai oleh konsumen, di lain pihak ternak kambing pemasaran masih bersifat
musiman.
Kriteria faktor-faktor yang berpengaruh dan bobot penilaian dalam pengembangan peternakan
Berdasarkan hasil kajian pustaka dalam pengembangan komoditas agribisnis peternakan serta pendapat dari responden, teridentifikasi 10 kriteria
faktor-faktor strategis yang berpengaruh. Kriteria tersebut yaitu : a potensi pasar, b SDM peternak, c kondisi sosial budaya, d jumlahpopulasi ternak,
e ketersediaan modal, f sarana dan prasarana transportasi pendukung, g ketersediaan sarana produksi, h penggunaan teknologi, i kebijakan
pemerintah, j ketersediaan lahan. Untuk mengetahui tingkat kepentingan kriteria faktor-faktor strategis yang
berpengaruh tersebut, dilakukan pembobotan dengan menggunakan metode paired comparison. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32. Nilai rata-rata tujuh responden perhitungan bobot kriteria agribisnis komoditas unggulan peternakan Kabupaten Jayapura.
Kriteria Bobot kriteria 7 tujuh responden
Jumlah Bobot
kriteria akhir
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 A
0,111 0,100 0,144 0,089
0,122 0,133
0,133 0,832 0,119
B 0,078 0,022 0,133
0,100 0,144
0,067 0,078
0,622 0,089 C
0,111 0,089 0,089 0,122
0,089 0,100
0,089 0,689 0,098
D 0,167 0,056 0,133
0,089 0,111
0,111 0,100
0,767 0,110 E
0,100 0,111 0,033 0,089
0,056 0,111
0,111 0,611 0,087
F 0,100 0,011 0,133
0,078 0,133
0,089 0,056
0,600 0,086 G
0,056 0,167 0,089 0,078
0,089 0,111
0,100 0,690 0,099
H 0,044 0,167 0,056
0,144 0,056
0,033 0,078
0,578 0,083 I
0,189 0,122 0,078 0,111
0,078 0,111
0,156 0,845 0,121
J 0,044 0,156 0,111
0,100 0,122
0,133 0,100
0,766 0,109 Jumlah 1,000 1,000 1,000
1,000 1,000
1,000 1,000
7,000 1,00
Keterangan : a. = Potensi Pasar
b. = SDM Peternak c. = Kondisi Sosial Budaya
d. = JumlahPopulasi
Ternak e. =
Ketersediaan Modal
f. = Sarana dan Prasarana Transportasi Pendukung
g. = Ketersediaan
Sarana Produksi
h. = Penggunaan
Teknologi i. =
Kebijakan Pemerintah
j. = Ketersediaan
Lahan
Dari Tabel 32 diketahui bahwa dari 10 kriteria faktor-faktor strategis, terdapat faktor-faktor strategis yang sangat berpengaruh dalam pengembangan
peternakan di Kabupaten Jayapura yaitu kebijakan pemerintah, potensi pasar, jumlahpopulasi ternak, ketersediaan lahan dan ketersediaan sarana produksi.
Kebijakan pemerintah adalah faktor yang paling penting dengan nilai bobot 0,121. Pengembangan Agribisnis komoditas unggulan peternakan
membutuhkan kebijakan khusus pemerintah, karena hampir semua faktor dalam sistem pengembangan usaha mikro hanya dapat berfungsi dengan baik apabila
pemerintah pemerintah provinsi, pemerintah kabupatenkota, Pemerintah Provinsi Papua, dan pemerintah pusat memainkan peran yang selayaknya. Oleh
karena itu penting bagi Pemerintah Kabupaten Jayapura untuk melakukan studi yang mendalam untuk menetapkan arah, tujuan, strategi dari kebijakan
pengembangan usaha mikro di Kabupaten Jayapura. Kebijakan itu harus tercermin dalam anggaran yang memadai dan dilaksanakan oleh mereka yang
berintegritas tinggi, profesional, dan memahami dengan baik kebutuhan pasar serta perilaku sosial-ekonomi para pelaku ekonomi mikro dalam berproduksi.
Sebagai bagian dari kebijakan tersebut, pemerintah perlu melakukan intervensi-intervensi tertentu. Intervensi diartikan sebagai suatu tindakan
terprogram dan terukur yang dilaksanakan secara sengaja oleh pemerintah kabupaten atas dasar studi yang mendalam untuk mempercepat keterlibatan dan
kemandirian para pelaku usaha peternakan dalam kegiatan ekonomi sehingga manfaat-manfaat ekonomi dan sosial akan mereka peroleh secara lebih cepat
dan berkesinambungan. Intervensi pemerintah banyak ragamnya, misalnya berbentuk pembangunan infrastruktur, penyediaan pinjaman modal dengan
bunga rendah, pembuatan peraturan yang melindungi dan memberdayakan pelaku usaha mikro, penyediaan tenaga pendamping penyuluh atau fasilitator,
pemberian subsidi angkutan, penyediaan sarana produksi yang diluar
kemampuan pelaku usaha agribisnis peternakan untuk mengusahakan sendiri misalnya bibit, penyediaan pasar dan informasi pasar, dan sebagainya.
Walaupun intervensi mendesak utuk dilakukan di Kabupaten Jayapura, ada satu prinsip penting yang harus dipegang erat oleh pemerintah kabupaten
yaitu; intervensi tidak boleh menciptakan ketergantungan rakyatpelaku usaha secara tidak sehat terhadap bantuan pemerintah. Penerapan prinsip kemandirian
seperti ini jelas tidak mudah, karena ada kecenderungan pada kelompok- kelompok masyarakat tertentu bahwa pemerintah berkewajiban untuk memenuhi
berbagai kebutuhan masyarakat, walaupun masyarakat sebenarnya bisa melakukannya sendiri. Intervensi-intervensi yang dilakukan oleh pemerintah
adalah perbaikan yang memberdayakan dan bukan perbaikan yang mematikan kreativitas, daya saing, dan kemandirian masyarakat.
Faktor strategis kedua yang mempengaruhi pengembangan komoditas peternakan di Kabupayen Jayapura adalah potensi pasar dengan nilai bobot
0,119. Kriteria diatas berlaku untuk semua komoditas alternatif. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya pasar sebagai wadah transaksi antara
penjual dan pembeli akan menjamin tersalurnya hasil produksi peternakan dengan harga jual yang layak, sehingga peternak akan termotivasi untuk lebih
giat mengelola usaha ternaknya. Faktor strategis ketiga yang mempengaruhi pengembangan komoditas
peternakan di Kabupaten Jayapura adalah jumlah populasi ternak dengan nilai bobot 0,110. Untuk mewujudkan swasembada daging di Kabupaten Jayapura
maka populasi ternak harus mendapat perhatian yang utama juga. Dalam pengembangan peternakan jumlah ternak yang dipelihara sangat menentukan
keuntungan yang dapat diterima peternak. Jika pemeliharaan di bawah kapasitas ekonomis maka belum dapat memberikan tambahan penghasilan peternak
secara nyata. Kriteria keempat yang menentukan komoditas unggulan adalah
ketersediaan lahan dengan nilai bobot 0,109. Dalam pengembangan ternak di suatu daerah, perlu diukur potensi sumberdaya yang tersedia. Sumberdaya
tersebut salah satunya adalah ketersedian lahan. Daya dukung lahan terhadap ternak merupakan kemampuan lahan untuk menampung sejumlah populasi
ternak secara optimal, yang sifatnya sangat spesifik antar agroekosistem. Potensi lahan juga untuk menghasilkan pakan terutama berupa hijauan yang
dapat mencukupi bagi kebutuhan sejumlah populasi ternak baik dalam bentuk segar maupun kering tanpa melalui pengolahan dan tambahan khusus.
5.2. Analisa Potensi Pengembangan Ternak Sapi Potong dan Karakteristik Peternak di Kabupaten Jayapura
Analisa potensi pengembangan ternak sapi potong dan karakteristik peternak di Kabupaten Jayapura dilihat dari beberapa aspek, yakni: 1 tujuan
pemeliharaan, 2 sistem pemeliharaan, 3 pengelolaan reproduksi, 4 penyakit dan penanganannya, 5 pertumbuhan alami natural increase, 6 sistem
tataniaga, 7 aspek ekonomi, 8 aspek sumberdaya alam, dan 9 infrastruktur dan kelembagaan, berbagai aspek ini sangat menentukan untuk pengembangan
suatu usaha peternakan, sebagaimana diungkapkan oleh Hardjosubroto dan Astuti 1994 bahwa ada tujuh pedoman usaha sapta usaha peternakan yang
harus dilakukan oleh peternak untuk memperoleh hasil yang baik yakni; I pemilihan bibit yang baik, 2 pencegahan dan pemberantasan penyakit, 3
penggunaan kandang yang memenuhi syarat, 4 pemberian pakan tambahan, 5 pengelolaan reproduksi, 6 penanganan pasca panen dan pemasaran, dan
7 manajemen usaha yang baik.
5.2.1. Tujuan pemeliharaan ternak
Tujuan utama peternak di Kabupaten Jayapura dalam memelihara ternak adalah untuk menambah tingkat pendapatan keluarga, pendapatan yang
diperoleh dapat digunakan sebagai tabungan bagi kebutuhan keluarga peternak. Tabungan ini kemudian dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan keluarga yang
mendesak, berupa; kebutuhan pendidikan anak, kebutuhan membangun rumah, dan kebutuhan anggota keluarga yang menikah. Menurut Tawaf dkk, 1994,
pada umumnya pemeliharaan ternak di Indonesia adalah sebagai usaha sambilan dan tabungan, yakni pada saat petani-peternak membutuhkan uang
kontan, ternak yang dimilikinya dapat dijual. Hasil penelitian Tim Peneliti Program Studi Peternakan FAPERTA Uncen
tahun 2003 menunjukkan bahwa tujuan utama pemeliharaan ternak sebesar 81,09 persen adalah sebagai tabungan dan pendapatan, dan sebagai sampingan
adalah 18,91 persen.
5.2.2. Sistem pemeliharaan ternak
Sistem pemeliharaan ternak sapi di Kabupaten Jayapura umumnya adalah pastural sistem dengan tipe manajemen ekstensif adalah sebesar 76,36
persen dan sistem intensif, semi intensif sebesar 23,64 persen Gambar 25 .
Ekstensif, 76.36 Sem i Intensif
Intensif, 23.64
Ekstensif Semi Intensif Intensif
Gambar 25. Sistem pemeliharaan ternak sapi potong di Kabupaten Jayapura
Sistem pemiliharaan yang dilakukan peternak menggambarkan pola pengelolaan usaha peternakan sapi potong yang cukup bervarpiasi dengan
sistem ekstensif, intensif dan semi intensif. Hal ini turut mempengaruhi dalam pengembangan usaha yang dikelola peternak, karena peternak dengan sistem
pemeliharaan ekstensif masih tergantung pada kondisi dan potensi sumberdaya alam sehingga dapat berdampak pada produksi dan mutu ternak. Sistem
pemeliharaan secara ekstensif 76,36, yakni ternak sapi digembalakan sepanjang hari pagi sampai sore hari pada padang penggembalaan alam, baik
pada Iahan milik sendiri maupun pada lahan-lahan umum. Teknik yang dilakukan dalam sistem pemeliharaan ini adalah menggunakan pola ikat secara berpindah-
pindah, dan dilepaskan. Sapi dilepaskan sejak pagi sampai sore hari. Pada waktu sore hari sapi dimasukkan ke hutan atau lahan perkebunan untuk
beristirahat di alam terbuka, hal ini mempersulit dalam pengontrolan, sehingga ternak mudah terserang penyakit, dan berbagai hal negatif lainnya bisa terjadi.
Peternak yang memiliki kandang hanya sebagian kecil, yakni 23,64 dengan manajemen pemeliharaan secara intesif dan atau semi intensif. Secara
intensif, ternak sapi berada di dalam kandang sepanjang hari. pemberian makan berupa hijauan rumput dan leguminosa dan konsentrat diberikan oleh peternak.
Secara semi intensif ternak digembalakan atau dilepaskan pada pagi sampai siang hari di padang penggembalaan atau padang rumput maupun di lahan
perkebunan untuk merumput, kemudian pada sore hari dimasukkan ke kadang Pada saat ternak digembalakan, semua proses makan berlangsung di padang
penggembalaan dan dikontrol oleh peternak.
5.2.3. Kompetensi teknis berdasarkan sistem pemeliharaan secara intensif dan semi intensif
Kompetensi teknis berdasarkan sistem pemeliharaan intensif, semi intensif dan ekstensif meliputi: 1 teknis pemberian pakan dan minum, 2
efisiensi waktu kerja dan tenaga kerja 3 perawatan ternak, 4 penanganan kesehatan ternak, 5 pengontrolan dan pengawasan ternak, 5 kemudahan
dalam proses pemasaran, 6 proses penampungan kotoran ternak dan penggunaannya sebagai pupuk, 8 ancaman dari gangguan luarkeamanan
ternak. Kompetensi teknis yang dijelaskan di bawah ini hanya terkait dengan sistem pemeliharaan, yakni berdasarkan sistem pemeliharaan intensif, semi
intensif dan sistem ekstensif bagi peternak yang menggunakan dan tidak menggunakan kandang dalam sistem pengelolaan ternaknya. Untuk mengetahui
lebih jelas sistem pemeliharaan dalam kaitannya dengan kompetensi teknis, maka rinciannya disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33. Kompetensi Teknis Berdasarkan Sistem Pemeliharaan
Faktor-Faktor Sistem Pemeliharaan
Kompetensi Berdasarkan Sistem Pemeliharaan
Intensif dan Semi Intensif
Ekstensif Skor Kategori Skor
Kategori
Teknis pemberian pakan dan minum Perawatan ternak
Penanganan kesehatan ternak Pengontrolan dan Pengawasan ternak
Efisiensi waktu kerja dan tenaga kerja Kemudahan dalam proses pemasaran
Proses penampungan kotoran pupuk Ancaman dari gangguan luar keamanan
ternak 4,8
4 3,2
4 4,8
4,2 4,8
3,8 Tinggi
Tinggi Sedang
Tinggi Tinggi
Tinggi Tinggi
Tinggi 4,6
1,8 2
1,8 3
3,4 2
2,4 Tinggi
Rendah Rendah
Rendah Sedang
Rendah Rendah
Rendah
Rata-rata 4,2 Tinggi 2,6
Sedang
Keterangan : 1-2,33 = Rendah, 2,34 – 3,67 = Sedang, 3,67 = Tinggi
Kompetensi teknis dengan komponen teknis pemberian pakan dan minum memperlihatkan nilai rataan skor 4,8 dengan kategori tinggi, hal ini
mengindikasikan bahwa peternak mampu mengatur waktu dengan baik dalam
proses pemberian makan bagi ternak. Secara intensif ternak diberikan makan berupa hijauan dua kali sehari, yakni pada pagi dan sore hari. Sistem
pemeliharaan secara semi intensif pemberian makan di dalam kandang dilakukan satu kali sehari, yakni pada waktu sore hari, sedangkan pada waktu
pagi hari ternak digembalakan untuk merumput dan digiring oleh peternak, sesudah itu dimasukkan ke kandang. Umumnya air minum disediakan oleh
peternak sepanjang waktu. Pakan yang diberikan bagi ternak sapi berupa hijauan makanan ternak
HMT terdiri dari rumput, leguminosa dan makanan penguat konsentrat. Jenis rumput dan leguminosa yang diberikan bagi ternak disesuaikan ketersediaan
rumput dan leguminosa yang tumbuh di wilayah tersebut. Umumnya peternak memberikan makanan penguat atau konsentrat hanya 1 -2 kali seminggu,
konsentrat yang diberikan terdiri dari dedak, bungkil kelapa, ampas tahu ditambah dengan garam secukupnya dan pemberian jamu. Jenis rumput
unggulan rumput gajah ditanam oleh peternak sekitar perkandangan maupun pada lerengpinggiran lahan perkebunan hortikultura karena peternak
mengetahui rumput tersebut lebih berkualitas dari jenis rumput lainnya. Perawatan ternak diperoleh nilai rataan skor 4 berada pada kategori
tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa perawatan ternak baik. Perawatan ternak seperti memandikan ternak dilakukan setelah ternak selesai makan yakni pada
waktu pagi hari. Penanganan kesehatan memperoleh nilai rataan skor 3,2 berada pada kategori sedang, hal ini mengindikasikan bahwa penanganan
kesehatan ternak cukup. Namun, penanganan kesehatan berupa vaksinansi, pengobatan semuanya dilakukan di dalam kandang, hal ini menunjukkan bahwa
ternak yang sakit secara mudah dapat ditangani oleh peternak. Pengontrolan dan pengawasan ternak mendapatkan nilai rataan skor 4
dengan kategori tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pengontrolan dan pengawasan ternak dapat dilakukan dengan baik oleh peternak. Pengontrolan
dan pengwasan ini sangat memudahkan peternak, sebab seluruh aktifitas dikendalikan oleh peternak. Peternak dengan mudah dapat mengetahui ternak
yang sakit, sehingga mempermudah dalam melakukan pengendalian kesehatan ternak.
Efisiensi waktu kerja dan tenaga kerja diperoleh nilai rataan skor 4,8 berada pada kategori tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa peternak sangat
efisien dalam penghematan waktu bagi tenaga kerja. Rata-rata curahan waktu
kerja kurang lebih 6 jam sehari yang dihabiskan oleh peternak dalam mengelola ternaknya, sehingga peternak dapat mengatur waktu untuk mengelola usaha
lainnya. Intensitas kerjanya lebih diarahkan untuk pengambilan hijauan, pemberian makan dan minum, perawatan, pembersihan kandang, pengontrolan
ternak, dan penampungan kotoran ternak sebagai pupuk. Hal ini terlihat bahwa intensitas kerjanya lebih tinggi dan membutuhkan keterampilan dalam
pengelolaan, namun peternak mampu untuk memanfaatkan waktu seefisien dalam mengelola ternaknya.
Kemudahan dalam proses pemasaran mendapatkan nilai rataan skor 4,6 berada pada kategori tinggi, hal, ini mengindikasikan bahwa proses kemudahan
untuk pemasaran produski lebih mudah, bila ternak berada di kandang. Pedagang yang datang ke lokasi peternak dengan mudah, cepat dapat
melakukan negosiasi. Ternak dapat dijangkau secara cepat dan tidak sulit untuk diangkut ke pasar. Proses penampungan kotoran dan penggunaarmya sebagai
pupuk dan dengan nilai rataan skor 4,8 berada pada kategori tinggi. Kotoran ternak yang digunakan sebagai pupuk ditampung pada bak penampung kotoran
dan mudah dijangkau serta digunakan ataupun dijual. Acaman dari gangguan luarkeamanan ternak dengan nilai rataan skor
3,8 berada pada kategori tinggi. Sesuai dengan fungsi kandang untuk melindungi ternak dari terik matahari, angin, hujan, terhindar dari gangguan luar
f
mempermudah dalam proses pengelolaan, maka dengan sistem intensif dan semi intensif lebih menjamin terhindarnya ternak terhadap ancaman dari
gangguan luar serta keamanan ternak. Penggunaan kandang sangat bermanfaat dalam melakukan pengontrolan dan pengendalian penyakit, pencegahan ternak
yang kesehatannya terganggu lebih mudah dilakukan oleh peternak.
5.2.4. Kompetensi teknis berdasarkan sistem pemeliharaan secara ekstensif
Dari seluruh komponen pada sistem ekstensif berada pada kategori rendah, kecuali kompetensi teknis pemberian pakan dan minum berada pada
kategori tinggi, efesiensi waktu kerja dan tenaga kerja tergolong sedang, dan kemudahan dalarn proses pemasaran tergolong sedang masing-masing dengan
skor 4,6, 3 dan 3,4. Teknis pemberian pakan dan minum memperoleh nilai rataan skor 4,6 tergolong kategori tinggi. Teknis pemberian pakan dan minum
bagi ternak membutuhkan waktu sangat panjang dari pagi sampai sore hari,
teknis yang dilakukan dalam sistem pemeliharaan ekstensif dibagi dalam dua pola, yakni:
1 Pola ikat secara berpindah-pindah tempat 2 Pola lepas
Pola pertama, teknisnya adalah ternak diigiring oleh peternak ke lahan perkebunan yang terdapat potensi hijauan makanan ternak HMT atau pada
padang penggembalaan kemudian ternak diikat untuk merumput, selang 1-2 jam ternak dipindahkan merumput pada areal lain, namun masih tetap pada lokasi
padang penggembalaan yang sama. Kegiatan ini dilakukan secara rotasi untuk melihat areal mana yang banyak tumbuh hijauan, ada kalanya ternak diikat dari
pagi sampai siang hari, kemudian dipindahkan lagi sampai sore hari. Teknis seperti ini cukup membutuhkan waktu yang lama, artinya peternak harus
menunggu berjam-jam untuk memindahkan ternak agar dapat merumput pada areal yang kaya potensi rumput atau leguminosa. Kemudian untuk minum
biasanya peternak menggiring ternaknya ke sungai atau pada sumber-sumber air yang berdekatan dengan lokasi penggembalaan. Setelah sore hari ternak
digembalakan untuk beristirahat di hutan atau di biarkan saja beristirahat pada malam hari di lokasi pekarangan rumah.
Curahan waktu kerja yang dibutuhkan oleh peternak kurang lebih 8 jam, namun waktu luang cukup besar dan terbuang begitu saja karena mencurahkan
perhatian sepenuhnya bagi ternak dengan teknis seperti ini, sehingga kurang efisien. Peternak harus menunggu selama berjam-jam hanya untuk
memindahkan ternak sambil mengontrolnya pada saat ternak merumput. Tetapi ada pula peternak yang hanya mengikat ternaknya secara berpindah-pindah 1-2
kali dan antara selang waktu ikat dapat digunakan untuk mengelola usaha lain, misalnya; mengelola kebun atau mengerjakan kegiatan usaha lainnya. Dengan
cara seperti ini peternak tidak dapat mengontrol ternaknya pada waktu makan, karena konsentrasi kerjanya terbagi-bagi untuk mengerjakan beberapa pekerjaan
sekaligus dalam sehari. Pola kedua ini ada terbagi dalam dua mekanisme, yakni: 1 ternak
digembalakan oleh peternak, dan 2 ternak dilepas begitu saja untuk merumput sendiri. Mekanisme pertama, teknisnya adalah ternak digembalakan oleh
peternak untuk merumput sambil diawasi oleh peternak. Mekanisme ini cukup membutuhkan waktu kerja lama dan peternak hanya berkonsentrasi untuk
penggembalaan saja, seiring dengan waktu ternak beristirahat merumput pada
siang hari peternak juga beristirahat, kemudian dilanjutkan sampai sore hari. Mekanisme kedua, setelah ternak digembalakan pada lahan perkebunan atau
areal padang rumput, kemudian ternak dilepaskan sendiri untuk merumput selama seharian, yakni dari pagi sampai sore hari tanpa kontrol atau
pengawasan dari peternak. Pada pola pertama dan kedua pemberian makanan penguat atau konsentrat jarang diberikan bagi ternak sapi, bahkan tidak
diberikan. Peternak hanya mengandalkan hijauan makanan ternak HMT berupa rumput dan leguminosa dalam pemberian makan.
Efisiensi waktu kerja dan tenaga kerja memperlihatkan nilai rataan skor 3 berada pada kategori sedang. Waktu pemberian makan dengan pola ikat secara
berpindah-pindah membutuhkan curahan waktu kerja yang lama, yakni berkisar antara 7-8 jam dan cukup menyita waktu kerja, karena peternak harus
memindahkan ternak ke beberapa areal padang penggembalaan, misalnya pada lahan perkebunan kelapa, lapangan rumput umum atau dipinggir jalan. Selang
waktu yang dibutuhkan kurang lebih 1-2 jam untuk memindahkan ternak sapi. Sedangkan pola lepas peternak membiarkan ternaknya merumput sendiri
seharian di lokasi padang rumput, pada waktu sore hari ternak dimasukan ke hutan untuk istirahat. Dengan pola ini, kurang membutuhkan waktu kerja dan
tenaga kerja sedikit, namun ternak tidak dikontrol oleh peternak dan bisa saja terjadi hal-hal yang negatif, misalnya ternak dapat merusak kebun orang.
Perawatan ternak memperlihatkan nilai rataan skor 1,8 berada pada kategori rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa perawatan bagi ternak kurang
memadai, karena ternak dibiarkan pada padang penggembalaan seharian. Kemudian pada waktu sore hari ternak sudah berada di hutan untuk beristirahat
pada malam hari. Penanganan kesehatan ternak memperlihatkan nilai rataan skor 2 berada pada kategori rendah. Ini berarti penanganan kesehatan ternak
kurang dilakukan oleh peternak, bila terdapat ternak yang sakit barulah dilakukan pengobatan sedangkan kegiatan vaksinasi jarang dilakukan oleh peternak,
pengontrolan terhadap ternak yang sakit tidak dilakukan. Pengontrolan dan pengawasan ternak memperlihatkan nilai rataan skor
1,8 berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pengontrolan dan pengawasan ternak kurang dilakukan oleh peternak, Hal ini sangat berakibat
buruk bagi pengembangan usaha, kurangnya pengontrolan dan pengawasan memudahkan terjadi hal-hal yang negatif. Perlunya pengontrolan bagi ternak
yang sakit, sehingga pengendalian atau pencegahan penyakit mudah dilakukan.
Karena lemahnya pengontrolan dapat menimbulkan beberapa hal, yakni: I sering ternak memakan dan merusak tanaman perkebunan milik orang lain, 2
kualitas hijauan rumput rendah, dan 3 mudah terserang penyakit. Kemudahan dalam proses pemasaran memperlihatkan nilai rataan skor
3,4 berada pada kategori sedang. Bila ternak akan dipasarkan prosesnya agak sulit karena ternaknya berada pada lokasi atau padang penggembalaan yang
jauh dari jalan umum, sehingga pedagang yang datang harus ke lokasi dan cukup menyita waktu dengan jarak tempuh yang jauh, angkutan sulit untuk
menembus lokasi penggembalaan, membutuhkan beberapa kali negosiasi karena ternaknya harus dibawa ke rumah peternak baru dilakukan proses
negosiasi. Proses penampungan kotoran ternak dan penggunaannya sebagai pupuk
memperlihatkan nilai rataan skor 2 berada pada kategori rendah. Artinya lokasi penggembalan cukup luas dan ternak berpindah-pindah lokasi, sehingga
mempersulit dalam pengumpulan kotoran ternak sebagai pupuk, peternak juga tidak membuat bak penampungan kotoran. Menurut peternak bahwa hanya
sewaktu-waktu bila diperlukan sebagai pupuk bagi tanaman barulah dikumpulkan.
Acaman dari gangguan luarkeamanan ternak dengan nilai rataan skor 2,4 berada pada kategori rendah. Dengan tidak menggunakan kandang, maka
ternak dengan mudah mengalami ancaman dari gangguan luar serta keamanan ternak kurang terjamin. Peluang untuk terjadinya hal-hal yang negatif sangat
besar karena perawatan ternak rendah, pengontrolan dan pengawasan ternak rendah, penanganan kesehatan rendah. Kandang bagi ternak sapi merupakan
sarana yang diperlukan. Kandang berfungsi tidak hanya sekedar sebagai tempat berteduh atau berlindung dari hujan dan panas, melainkan bagi ternak sapi
sebagai tempat istirahat yang nyaman.
5.2.5. Sumber air
Kebutuhan air bagi ternak sapi potong adalah suatu kebutuhan utama yang sangat penting diperhatikan oleh peternak sapi potong. Berdasarkan
pengamatan sumber-sumber air yang dapat digunakan atau difungsikan sebagai kebutuhan ternak sapi potong, yakni air sungai, air sumur, dan air hujan.
Kebutuhan air bagi ternak sapi potong diperoleh dari sumber-sumber air seperti air sumur 57,23, air hujan 28,56, dan air sungai 14,21. Kebutuhan air
yang sering disediakan oleh peternak dengan jalan menggiring ternak pada sumber-sumber air terdekat dapat dilihat pada Gambar 26.
Sumber Air Peternak
Air Sum ur, 57.23 Air Hujan, 28.56
Air Sungai, 14.21
Air Sumur Air Hujan
Air Sungai
Gambar 26. Sumber air peternak di Kabupaten Jayapura Di samping air bagi kebutuhan ternak sapi, peternak juga kadang-kadang
memberikan makanan tambanan berupa kulit pisang, kulit singkong selain hijauan makanan ternak HMT termasuk limbah pertanian seperti: limbah
jagung, kacang tanah, kacang kedelai dan umbi-umbian. Konsentrat yang kadang-kadang diberikan bagi ternak sapi berupa: dedak, bungkil serta ampas
tahu. Beberapa Desa tertentu seperti Desa Nimbokrang dan Desa Kemtuk
kadangkala ada terjadi sedikit kesulitan dalam perolehan pakan hijauan bagi sapi pada saat musim hujan kerena padang penggembalaan tergenang air hujan;
disamping itu, sudah terjadi pergeseran lahan untuk tanaman perkebunan dan pembangunan fisik. Kalau di Desa Kemtuk kesulitan dalam penggembalaan saat
musim penghujan karena kebanyakan padang penggembalaan tergenang air hujan. Namun hal ini sangat mudah diatasi karena peternak dapat mengambil
hijauan pada daerah pinggiran jalan, pada sela-sela lahan atau pada tepi-tepi lahan, disamping itu dapat diambil hijauan makanan ternak HMT pada Desa
tetangga. Sistem pemeliharaan ekstensif pada sapi menyebabkan peternak sulit melakukan pengontrolan terhadap ternak terutama dalam hal perkawinan dan
pengontrolan penyakit. Dari hasil survai Tim Peneliti Jurusan Peternakan FAPERTA Uncen 2005 menunjukkan bahwa adanya ternak sapi yang sakit
tanpa ada usaha pengobatan oleh peternak. Di samping itu dampak negatif lain dari sistem ini adalah sering kali ternak sapi merusak kebun petani yang lain,
sehingga ada anggapan sebagian masyarakat bahwa ternak sapi di beberapa desa pada Kabupaten Jayapura dianggap sebagai hama. Menurut Santoso
2007, sistem pemeliharaan secara ekstensif perlu dipertimbangkan dari beberapa segi, yakni: 1 penggunaannya berdasarkan daya tampung, dan 2
tata laksana padang penggembalaan. Bila dibandingkan dengan sistem pemeliharaan ekstensif yang dilakukan
peternak di Kabupaten Jayapura, maka unsur-unsur ini belum dilakukan sepenuhnya. Dari segi ketersediaan padang penggembalaan dapat dipenuhi
karena ketersediaan sumber pakan hijauan yang melimpah, tetapi tata laksana padang penggembalaan belum dipahami oleh peternak, sehingga
pelaksanaannya sederhana. Namun terlihat bahwa peternak juga menggunakan lahan peggembalaan secara bergantian maupun dilakukan berpindah-pindah.
Artinya peternak melakukan rotasi dalam proses penggembalan di padang rumput, sedangkan pembagian tingkatan tidak dibedakan oleh peternak ke
dalam beberapa cara, misalnya; padang rumput permanen, padang rumput jangka pendek, padang rumput rotasi jangka panjang, dan padang rumput
sementara. Untuk padang rumput rotasi jangka panjang, perlu dilakukan beberapa
hal, yakni: 1 lahan perlu penggarapan dan pengolahan kembali pada waktu- waktu tertentu, 2 lahan perlu diisi dengan tanaman dalam satu atau dua tahun
saja. Kemudian dilakukan kembali sebagai padang penggembalaan, hal ini belum dilakukan peternak. Seperti yang dikemukakan oleh Santoso 2007
bahwa tata laksana padang penggembalaan dibagi menjadi dua variabel, yakni: 1 tata laksana padang rumput atau hijauan, dan 2 tata laksana
penggembalaan ternak. Beberapa alasan yang dikemukakan peternak sesuai hasil wawancara
maupun pengamatan langsung di lapangan bahwa ada beberapa faktor penyebab, sehingga peternak menggunakan sistem pemeliharaan ekstensif
berada pada persentase terbesar dibandingkan dengan sistem pemeliharaan secara intensif dan semi intensif adalah:
1 Peternak sebagian besar tidak memiliki kandang 2 Ketersediaan hijauan makanan ternak HMT melimpah
3 Sudah merupakan kebiasan
4 Dianggap lebih mudah 5 Pengetahuan terhadap sistem pemeliharaan masih terbatas
Solusi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1
Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan seharusnya memperketat persyaratan apabila ada bantuan bibit ternak untuk peternak atau kelompok
peternak yang akan menerima bantuan harus terlebih dulu menyiapkan kandang karena dengan memiliki kandang besar manfaat yang diperoleh
dalam pengembangan usahanya. 2 Penyuluh perlu berperan aktif untuk memberikan penyuluhan tentang
manfaat kandang melalui sistem pemeliharaan secara intensif dan semi intensif maupun sistem ekstensif.
3 Untuk meningkatkan kompetensi teknis peternak melalui sistem pemeliharaan yang baik, maka peran penyuluh sebagai mediator dan
motivator perlu digalakan demi meningkatkan pengetahuan dan wawasan peternak, perlu proses pembelajaran bagi peternak.
4 Dalam proses pembelajaran perlu penyesuaian materi dan motode yang berhubungan dengan sistem pemeliharaan secara intensif, semi intensif
dan ekstensif. Dari berbagai uraian di atas terlihat bahwa sistem pemeliharaan secara
intensif dan semi intensif sangat menguntungkan dari segi teknis, berdasarkan Tabel 35 memperlihatkan bahwa tingkat kompetensi teknis peternak melalui
sistem pemeliharaan intensif dan semi intensif lebih tinggi dibandingkan sistem pemeliharaan secara ekstensif.
5.2.6. Perkandangan
Kandang merupakan tempat untuk melindungi ternak sapi dari berbagai gangguan yang dapat merugikan, seperti gangguan cuaca, sebagai tempat
beristirahat dengan nyaman, aman dari pencurian, tempat pengumpulan kotoran, memudahkan pengawasan terhadap ternaknya Tabel 34. Menurut Santoso
2007, kandang diperlukan untuk melindungi ternak sapi dari keadaan lingkungan yang merugikan sehingga dengan adanya kandang ternak sapi
memperoleh kenyamanan. Alasan yang sama dikemukakan oleh peternak yang memiliki kandang,
bahwa dengan adanya kandang, mempermudah dalam proses pengawasan dan pemeliharaan ternak sapi, terutama pemberian makan dan minum, serta
pengawasan terhadap kesehatan ternak, memudahkan dalam perkawinan, ternak tidak mudah berkeliaran dan dapat terhindar dari pencurian, tidak
memasuki lahan milik orang lain sehingga dapat merusak tanaman perkebunan, pengumpulan kotorannya dapat dilakukan dengan mudah, serta memudahkan
dalam proses penjualan. Alasan di atas diperkuat dengan pendapat Abidin dan Soeprapto 2006
yang menyatakan bahwa kandang memiliki banyak fungsi, yakni: 1 melindungi ternak sapi dari gangguan cuaca, 2 tempat beristirahat dengan nyaman, 3
tempat pengumpulan kotoran, 4 melindungi sapi dari ganguan luar, dan 5 memudahkan pelaksanaan pemeliharaan , terutama pemberian makan, minum
dan pengawasan kesehatan. Tabel 34. Pemilikan dan kondisi Kandang Peternak Sapi Potong per Distrik di
Kabupaten Jayapura
Pemilikan dan Kondisi
Kandang
Kemtuk Gresi
Kemtuk Nimboran Nimbokrang Total
1 Pemilikan Kandangan
n=25 n=30
n=30 n=25
n=110
Tidak memiliki 17 68 26 86,7 25 83,33 16 64 84 76,36
Memiliki 8 32 4 13,3 5 16,67 9 36 26
23,64
Total 25 100
30 100
30 100
25 100
110 100
2 Kondisi Kandang
n=8 n=4 n=5 n=9
n=26
Permanen 1
12,5 1 25 1 20 1 11,11
4 15,39
Semi Permanen 2 25 1 25 1 20 1
11,11 5
19,23 Tidak
Permanen 5
62,5 2 50 3 60 7 77,78
17 65,38
Total 8 100
4 100
5 100
9 100
26 100
Peternak di Distrik Kemtuk Gresi yang tidak memiliki kandang sebesar 68 dan yang memiliki kandang dalam proses pengelolaan usaha ternak sapi
potong adalah sebesar 32, berikutnya peternak di Distrik Kemtuk yang tidak memiliki kandang sebesar 86,7 dan yang memiliki kandang dalam proses
pengelolaan usaha ternak sapi potong adalah sebesar13,3, peternak di Distrik Nimboran yang tidak memiliki kandang sebesar 83,33 dan yang memiliki
kandang dalam proses pengelolaan usaha ternak sapi potong adalah sebesar16,67,dan sebesar 64 di Distrik Nimbokrang peternak yang tidak
menggunakan kandang dalam proses pengelolaan usahanya dan sebesar 36 yang memiliki kandang dalam proses pengelolaan usaha ternak sapi potongnya.
Dilihat dam kondisi bangunan kandang yang ada dibagi menjadi tipe permanen, semi permanen dan tidak permanen. Tipe permanen atapnya dari
seng, lantainya semen, tipe semi permanen atap rumbia dan lantai semen, sedangkan tidak permanen atap rumbia dan lantainya tanah. Untuk Distrik
Kemtuk Gresi sebesar 12,5 adalah tipe permanen, sebesar 25 tipe semi permanen, dan tidak permanen sebesar 62,5. Distrik Kemtuk sebesar 25 tipe
permanen, sebesar 25 persen tipe semi permanen, dan sebesar 50 tidak peremanen, Distrik Nimboran sebesar 20 persen tipe permanen, sebesar 20
persen tipe semi permanen, dan sebesar 60 persen tidak permanen, sedangkan untuk Distrik Nimbokrang, yang permanen dan semi permanen masing-masing
sebesar 11,11 dan yang tidak permanen adalah 77,78. Berdasarkan Tabel 34 dapat diprediksikan bahwa minat peternak untuk
menggunakan kandang dalam proses pengelolaan usahanya walaupun rendah, tetapi sudah tercipta upaya dari dalam diri peternak betapa pentingnya dan
bermanfaatnya kandang untuk mengelola ternaknya. Bila hal ini terus dikembangkan, ternak sapi tidak mudah mengalami gangguan atau ancaman
dari luar yang dapat merugikan peternak.
5.2.7. Pakan ternak sapi potong
Makanan ternak sapi potong dari sudut nutrisi merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan dan
reproduksi ternak. Makanan sangat esensial bagi ternak sapi. Makanan yang baik menjadikan ternak sanggup menjalankan fungsi proses dalam tubuh secara
normal. Dalam batas normal, makanan bagi ternak sapi potong berguna untuk menjaga keseimbangan jaringan tubuh dan membuat energi sehingga mampu
melakukan peran dalam proses metabolisme. Pemberian makanan secara ekonomis dan teknis memenuhi persyaratan dapat digunakan sebagai kebutuhan
hidup pokok, kebutuhan untuk pertumbuhan dan kebutuhan untuk reproduksi. Sumber pakan ternak sapi potong yakni: 1 hijauan makanan ternak
HMT berupa rumput dan leguminosa, 2 pakan penguat atau konsentrat, dan 3 limbah pertanian.
Jenis hijauan
Jenis hijauan yang dapat diberikan bagi ternak sapi potong dalam bentuk hijauan segar, hijauan kering hay, hijauan olahan atau hasil fermentasi yang
disebut silase. Jenis-jenis hijauan makanan ternak dapat berupa rumput dan leguminose yang terdapat di areal padang penggembalaan dan di sekitar areal
padang penggembalaan biasanya dikonsumsi oleh ternak sapi potong. Di
Kabupaten Jayapura hijauan makanan ternak tersebar pada berbagai areal, yakni areal padang penggembalaan, lahan perkebunan dan lahan tanaman
pertanian pangan di pinggiran jalan sepanjang jalan umum. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diperoleh jenis hijauan yang
ada di Kabupaten Jayapura terdiri dari jenis rumput antara lain rumput lapangan Natural grass, rumput nizi Brachiaria ruziziensis, rumput gajah Pennisetum
purpureum, rumput teki Killinga monochepala, rumput setaria Setaria ancepts, rumput pangola Digitaria decumbens, rumput pahit Ceseonopus
compressus, rumput merayap atau sukest glinting Cynodon dactylon, putri malu Mimosa pudica, rumput buffel Cenchrus ciliaris, rumput beranda
Ccynodon dectylori, rumput sudan Sudan grass, rumput beludru Brachiaria holotricha, rumput rhodes Chris gayana, alang-alang Imperata cylindrica,
rumput kuda nama lokal, siratro Macroptiliun atropurpeum, calopo Calopogonium mucunoides, centro Centrosema pubencens,
lamtoropetai cina Leucaena glauca, daun gamal Gliricidia maculate. Rumput gajah Pennisetum purpureum telah ditanam sebagai bibit
hijauan makanan ternak oleh pemerintah Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura dan pihak swasta, yakni di Distrik Kemtuk dan Distrik Nimbokrang
telah ditanam pada areal khusus sebagai bibit hijauan makanan ternak yang cukup berkualitas kandungan nilai gizinya. Bahkan rumput gajah
Pennisetum purpureum juga ditemui hampir di sepanjang jalan umumutama tumbuh secara liar memasuki Distri Kemtuk dan Nimbokrang. Sedangkan
tanaman gamal sudah dijadikan sebagai tanaman pagar atau pelindung yang dapat dikonsumsikan oleh ternak sapi. Jenis tanaman ini ditanam hampir
sepanjang jalan pada desa-desa di Distrik Kemtuk, Distrik Kemtuk Gresi, Distrik Kemtuk dan Distrik Nimbokrang.
Di Kabupaten Jayapura, hijauan makanan ternak bagi ternak sapi potong diperoleh atau diberikan oleh peternak dengan cara menggembalakan ternaknya
di areal perkebunan kelapa, perkebunan kelapa sawit, padang rumput dan di pinggir-pinggir jalan. Bagi peternak yang memiliki kandang, hijauan makanan
ternak dipotong atau diambil pada areal padang rumput atau di lahan perkebunan maupun di pinggir jalan kemudian di gunakan kendaraan roda dua
sepeda dan sepeda motor dan mobil khusus untuk membawa hijauan makanan ternak.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, hijauan yang paling banyak dikonsumsi ternak adalah rumput-rumput yang tumbuh di areal padang rumput
dan areal pohon kelapa dan kelapa sawit. Hal ini disebabkan hijauan-hijauan tersebut memiliki palatabilitas yang tinggi dan ketersediaannya tersedia
sepanjang waktu. Hal ini sesuai dengan pendapat Reksohadiprodjo, 1985 bahwa vegetasi rumput dan pepohonan tidak hanya dilihat sebagai sumber
makanan ternak saja tetapi juga bermanfaat sebagai tanaman penutup tanah yang dapat mencegah terjadinya erosi tanah agar unsur-unsur hara yang ada
dipermukaan tanah tidak terkikis.
Makanan penguat atau konsentrat
Jenis makanan penguat atau konsentrat yang diberikan bagi ternak sapi terdiri dari dedak padi, bungkil kelapa, ampas tahu, sebagian besar peternak
yang menggunakan kandang sering memberikan pakan penguat atau konsentral bagi ternaknya.
Limbah pertanian
Salah satu produk sampingan dari tanaman perkebunan dan tanaman pertanian adalah limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan bagi ternak sapi
sebagai salah satu alternatif bahan makanan ternak pada musim panas yang berkepanjangan atau musim paceklik. Limbah pertanian juga dapat dikombinasi
secara bersamaan dengan hijauan makanan ternak. Beberapa jenis jerami yang biasa diberikan untuk makanan ternak sapi
antara lain adalah jerami padi Oriza saliva L, jagung Zea mays, kacang tanah Arachis hipogeae, kacang kedelai Glycincn max dan ketela pohon Manihot
uillisima. Potensi limbah pertanian tanaman pangan di Kabupaten Jayapura tersedia dengan melimpah saat musim panen. Misalnya potensi limbah di Distrik
Nimbokrang dan Distrik Nimboran dengan hasil limbah produk jerami padi sebesar 1. 342 tontahun, limbah ketela rambat 62,73 tontahun, jerami jagung
51,8 tontahun dan ketela pohon 332,15 tontahun dan jerami kacang tanah 52,6 tontahun, jerami kacang kedelai 8,74 tontahun. Limbah ini merupakan potensi
yang dimiliki petani peternak di Kabupaten Jayapura untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan ternak selingan ataupun tambahan. Kenyataannya
limbah-limbah pertanian yang dihasilkan jarang bahkan hampir tidak diberikan untuk ternak peliharaannya, karena ketersediaan rumput di areal padang rumput,
seperti rumput lapangan, rumput yang tumbuh secara alami di pinggir-pinggir jalan dan lahan-lahan kosong masih memenuhi kebutuhan makan ternak sapi.
5.2.8. Pengelolaan reproduksi
Pengelolaan reproduksi dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal yang meliputi; sumber bibit, sistem perkawinan, sumber pejantan dan rasio
kelahiran. Sumber bibit yang berkualitas dapat meningkatkan keturunan ternak berikutnya, sumber bibit yang diperoleh dengan cara membeli oleh peternak
secara ekonomis harus menjadi pertimbangan peternak agar dapat memilih bibit- bibit berkualitas dari keturunan tetua yang unggul atau baik, sehingga
menguntungkan peternak di waktu mendatang. Sebelum membeli bibit ternak peternak harus rnemiliki kemampuan dan pengetahuan tentang syarat-syarat
bibit yang baik, artinya peternak perlu melakukan seleksi awal saat membeli bibit. Sumber bibit yang diperoleh peternak dilakukan dengan jalan membeli, warisan
atau berupa bantuan. Sistem perkawinan umumnya berlangsung secara alami, pejantan yang
hendak digunakan sebagai bibit haruslah pejantan unggul atau baik, sehingga keturunan yang diperoleh baik. Kalau pejantan yang digunakan untuk bibit sudah
menghasilkan lebih dari empat keturunan perlu menjadi pertimbangan, karena berpengaruh pada generasi berikutnya. Teknis terhadap sistem perkawinan perlu
dikuasai oleh peternak. Biasanya pejantan yang digunakan bersumber dari milik peternak, milik tetangga atau milik kelompok, bila pejantan sudah tidak lagi
memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bibit, maka perlu upaya dalam perolehan pejantan yang unggul. Namun perlu menjadi pertimbangan bahwa
penjantan yang digunakan sebagai bibit adalah pejantan yang sudah diseleksi. Rincian sumber bibit, sistem perkawinan, sumber pejantan dan rasio kelahiran
disajikanpadaTabel 35.
Tabel 35. Reproduksi Ternak Sapi Potong per Distrik di Kabupaten Jayapura
Uraian Kemtuk
Gresi Kemtuk Nimboran
Nimbokrang Total
1. Sumber Bibit
a. Beli b. Bantuan
c. Warisan
n=25
6 14
5 24
56 20
n=30
13 8
9 43,33
26,67 30
n=30
4 19
7 13,33
63,34 23,33
n=25
8 11
6 32
44 24
n=110
31 52
27 28,18
47,27 24,55
2. Sistem Perkawian
a. Alami b. IB
22 3
88 12
26 4
86,67 13,33
23 7
76,67 23,33
18 7
72 28
89 21
80,91 19,09
3. Sumber Pejantan
a. Milik Sendiri
b. Tetangga c. Kelompok
19 4
2 76
16 8
24 3
3 80
10 19
18 6
6 60
20 20
20 3
2 80
12 8
81 16
13 73,64
14,54 11,82
4. Rasio kelahiran
a. Jantan b. Betina
12 13
48 52
13 17
43,33 56,67
12 18
40 60
11 14
44 56
48 62
43,64 56,36
Sumber bibit dari ke empat 4 distrik yang terbesar adalah berasal dari bantuan pemerintan maupun pihak swasta yaitu sebesar 47,27, 28,18
perolehan bibit dengan cara melakukan pembelian dan 24,55 merupakan warisan dari keluarga. Sistem perkawinan yang dlgunakan pada keempat Distrik
80,91 berlangsung secara alami dan 19,09 melalui Inseminasi Buatan. Sistem perkawinan ini dilakukan dengan sumber pejantan milik sendiri proporsi
terbesar adalah Distrik Kemtuk dan Nimbokrang 80, berikutnya Distrik Kemtuk Gresi 76, Distrik Nimboran 60. Rasio kelahiran pada seluruh
Distrik persentase terbesar adalah betina, 56,36 dan jantan sebesar 43,64.
5.2.9. Penyakit dan penanganannya
Pengontrolan, pencegahan dan penanganan penyakit adalah merupakan salah satu kunci keberhasilan dari usaha peternakan sehingga kesehatan ternak
yang dipelihara tetap terjaga. Pencegahan dan penanganan penyakit memerlukan pertimbangan dari berbagai aspek seperti jenis penyakitnya ringan,
menular atau tidak menular maupun dari aspek ekonomisnya. Berbagai jenis penyakit yang sering dijumpai oleh peternak, penangannya
melalui pengobatan secara tradisional oleh peternak di samping ditangani oleh penyuluh pertanian lapangan PPL atau petugas kesehatan hewan. Beberapa
jenis penyakit yang biasanya menyerang ternak sapi merupakan penyakit yang ringan dan tidak menular, sehingga pengobatannya dapat diatasi dengan
menggunakan cara tradisional maupun cara modern. Berikut ini adalah rincian jenis penyakit dan proses pengobatannya secara tradisional dan modern,
disajikan padaTabel 36. Tabel 36. Jenis Penyakit dan Cara Pengobatan Pada Berbagai Jenis Ternak di
Kabupaten Jayapura
Jenis Penyakit Ciri-ciri
Pengobatan Tradisional
Modern
Caplak, Kutuk, Kudis, Scabies
Cacingan, Radang usus Lumpuh, rematik
Kurap Perut kembung
Feses bercampur darah Luka
Mandi pakai detergen, disemprot dengan racun
serangga, di gosok dengan oli.
Daun jambu muda dan air pinang
Tidak diobati, digosok minyak tanah atau bensin
Dioles dengan oli, bensin, tembakau dan
serbuk baterai. Dilari-larikan
- Dioles dengan oli, bensin
atau campuran bensin dengan tembakau
Gusanex Teramicyn, Sulfastrol,
obat cacing, suntik. Disuntik
- Antibiotika
Antibiotika Antibiotika
5.2.10. Sistem tataniaga
Sistem tataniaga sangat penting dalam proses pemasaran hasil produksi, beberapa faktor penting dalam mendukung sistem tataniaga adalah saluran
pemasaran, transportasi, informasi pasar dan fungsi-fungsi tataniaga yang efisien Salah satu fungsi yang harus diperlukan dalam sistem tataniaga, yakni
pengangkutan Mosher, 1966. Peternak yang memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi pasar
akan memberikan peluang bagi pedagang untuk mempermainkan harga ternak. Cara negosiasi yang dilakukan pedagang secara spekulasi berdasarkan
pertimbangan; biaya transportasi berupa biaya sewa mobil, biaya tenaga buruh dan biaya retribusi. Gambaran tentang saluran pemasaran di Kabupaten
Jayapura disajikan pada Gambar 27.
Gambar 27. Saluran Pemasaran Ternak Sapi di Kabupaten Jayapura Pada Gambar 41, memperlihatkan bahwa saluran pemasaran ternak sapi
potong yang berlangsung di Kabupaten Jayapura terbagi atas empat saluran, yakni:
1 Saluran Pemasaran I: peternak menjual ternaknya kepada pedagang pengumpul dan atau pengecer selanjutnya ke pejagal atau pemotong
kemudian ke konsumen. 2 Saluran Pemasaran II: peternak menjual ternaknya kepada pedagang,
kemudian dari pedagang kepada pejagal atau pemotong, pejagal atau pemotong kepada pengecer, pengecer kepada konsumen.
3 Saluran Pemasaran III: peternak menjual ternaknya kepada pengecer, kemudian dari pengecer langsung kepada konsumen tanpa melaui pejagal
atau pemotong. 4 Saluran Pemasaran V: peternak menjual ternaknya langsung ke konsumen
dalam bentuk ternak hidup. Umumnya proses pemasaran berlangsung pada saluran pemasaran I dan
II, di mana pedagang atau pengecer yang membeli ternak adalah mereka yang berasal dari Kota Jayapura. Alasannya karena peternak menghindari terhadap
biaya pemasaran biaya tunai yang cukup tinggi, misalnya: 1 biaya transportasi, 2 biaya retribusi, 3 rentang kendali yang panjang pedagang
harus ke lokasi peternak dengan menempuh perjalanan jauh, dan 4 pedagang langsung mendatangi peternak di lokasi peternak, sehingga pedagang membeli
ternak dengan harga rendah, mengakibatkan pendapatan peternak rendah. Ternak yang dijual kepada pedagang dalam jumlah yang kecil, sehingga posisi
Peternak
Pedagang Pengumpul
Peternak, Pejagal atau Pemotong
Pengecer
Konsumen
tawarpun rendah. Di sini tergambar bahwa posisi pedagang sebagai price maker dan posisi peternak hanya sebagai price taker, artinya posisi peternak dalam
proses negosiasi harga menjadi lemah. Saluran Pemasaran II, peternak langsung menjual ternaknya di Kabupaten
Jayapura, hal ini dilakukan oleh para peternak yang berada pada wilayah penelitian, karena tingkat aksesbilitas lebih tinggi, jarak tempuh lebih pendek,
sehingga biaya transportasi lebih rendah di bandingkan harus menjual ternak sapi potongnya ke Kotamadya Jayapura.
Saluran pemasaran III, peternak menjual ternaknya lewat pengecer berlangsung di Kabupaten Jayapura, beberapa perbedaan yang mengakibatkan
saluran pemasaran III lebih rendah dibandingkan saluran pemasaran I dan II, adalah:
1 Demand atau permintaan rendah. 2 Fasilitas penunjang seperti Rumah Pemotongan Hewan RPH belum dimiliki
secara permanen. 3 Pasar ternak belum memadai.
4 Jumlah pengecer sedikit. Berdasarkan uraian tersebut, beberapa solusi yang dapat ditawarkan,
adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya azas keadilan di antara pelaku pasar lembaga pasar, hal ini
dapat dilakukan dengan cara: a. Peternak harus mengetahui informasi pasar
b. Mendekatkan pasar ke peternak, sehingga lebih efisien dengan jalan meningkatkan demand atau permintaan, hal ini dapat dilakukan dengan
cara: Peningkatan sektor-sektor informal.
Peningkatan daya beli masyarakat. Adanya variasi pola konsumsi masyarakat, misalnya; kebiasan
mengkonsumsi ikan lebih tinggi secara bervariasi dapat disesuaikan dengan mengkonsumsi daging yang tinggi nilai gizi protein
hewaninya. 2 Peningkatan kelembagaan peternak. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
penguatan terhadap para peternak dalam melakukan proses pemasaran hasil produksinya. Lembaga peternak ini dapat berfungsi untuk mencari dan
menginformasikan harga pasar bagi para peternak, menetapkan titik
pemasaran sebagai sentral pemasokan hasil produksi, mengkoordinir proses pemasaran hasil produksi, dan sebagai aliansi, maksudnya bahwa
melalui aliansi ini dapat meningkatkan posisi tawar dari peternak, misalnya; peternak menentukan harga standar berdasarkan umur, jenis kelamin dan
bobot badan, sehingga pedagang tidak dengan mudah memainkan harga. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu upaya pemerintah dalam mengambil
kebijakan, yakni: I menyiapkan fasilitas berupa pasar hewan untuk mempermudah penyaluran hasil produksi peternak, 2 adanya transportasi
angkutan darat khusus disiapkan pemerintah dengan biaya transportasi yang dapat dijangkau oleh peternak, 3 penetapan standar harga ternak, dan 4
peningkatan peran kelembagaan peternak.
5.2.11. Aspek ekonomi
Pendapatan peternak secara umum dalam setahun rata-rata berkisar antara Rp 6.500.000,- per tahun atau sebesar Rp 541.666,66 per bulan, hal ini
disebabkan pemasaran hasil produksi sangatlah bervariasi jumlahnya, artinya jumlah ternak sapi yang dipasarkan oleh setiap peternak sangat berbeda-beda.
Penerimaan peternak berasal dan nilai ternak dan nilai penjualan produksi dalam satu tahun. Nilai ternak didapat dari nilai ternak saat ini dikurangi dengan nilai
ternak awal usaha bibit. Besarnya penerimaan juga mengikuti nilai ternak yang dikonsumi selama satu tahun.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata penerimaan sebesar Rp. 6.979.350.29. Penerimaan terbesar diperoleh dari nilai ternak. Perhitungan
pendapatan berdasarkan selisih antara gross farm income pendapatan kotor dengan farm expense biaya. Rata-rata pendapatan per desa sampel sebesar
Rp. 6.549.348.86 per tahun atau Rp 545.779.07 per bulan. Pendapatan terbesar diperoleh dari peternakan sapi dengan rata-rata penjualan sapi anak 1,29 ekor.
dara 0,43 ekor dan dewasa 4 ekor per tahun dengan rata-rata harga penjualan sapi jantan dewasa Rp. 8.609.242.43 per ekor, sapi betina dewasa dengan rata-
rata harga penjualan Rp. 6.085.714.29 per ekor.
5.2.12. Tipologi usaha
Saragih 2003, mengatakan bahwa tipologi usaha dari bidang peternakan rakyat ke industri peternakan dibagi menjadi empat tipe usaha, yakni:
a Usaha sambilan pendapatan kurang dari 30 b Cabang usaha pendapatan berkisar 30 - 70
c Usaha pokok pendapatan berkisar 70 - 100 d Industri peternakan pendapatan 100 dari usaha peternakan
Pendapat ini sama dengan Rahardi dan Hartono 2003 yang mengatakan bahwa usaha peternakan dapat dikelola secara sambilan. Artinya,
bagi masyarakat yang memiliki pekerjaan lain, tujuan usaha adalah membantu pendapatan rumah tangga. Tingkat pendapatan yang dapat diperoleh dari usaha
ternak sambilan ini di bawah 30 persen dari total pendapatan. Usaha peternakan dapat dijadikan sebagai salah satu cabang usaha lain. Tujuan usaha ternak
sebagai cabang usaha tidak hanya sekedar membantu pendapatan, tetapi sudah berperan sebagai salah satu sumber pendapatan. Tingkat pendapatan yang bisa
diperoleh dari usaha ternak sebagai cabang usaha sekitar 30-70 persen. Usaha ternak yang dijadikan sebagai usaha pokok, usaha ternak ini sudah menjadi
sumber pendapatan, Tingkat Pendapatan yang bisa diperoleh dari usaha ternak sebagai usaha pokok berkisar antara 70-100 persen, sedangkan untuk industri
peternakan pendapatan yang diperoleh 100 persen. Tipologi usaha dapat digolongkan berdasarkan pendapatan peternak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi usaha peternakan terhadap pendapatan petani-peternak di Kabupaten Jayapura adalah sebesar 28,3 persen.
Dengan demikian dapat diindikasikan bahwa tipologi usaha peternakan di Kabupaten Jayapura saat ini merupakan usaha sambilan.
5.2.13. Aspek sumberdaya alam kondisi agroklimat
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi performans ternak adalah faktor lingkungan dimana ternak itu diusahakan. Faktor lingkungan terdiri dari
lingkungan fisik seperti: temperatur, kelembaban, curah hujan dan topografi ketinggian tempat, lingkungan biotik seperti tanaman, hewan dan
mikroorganisme serta lingkungan kimiawi Sihombing dkk., 2000. Kabupaten Jayapura merupakan bagian dari zone tropis lembab.
Umumnya iklim cenderung panas, basah lembab dengan curah hujan bervariasi antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya. Curah hujan di
Kabupaten Jayapura pada umumnya antara 2.000-3.000 MmTahun. Kondisi klimat tersebut sangat mendukung peningkatan produktivitas ternak sapi, karena
sesuai dengan zona kenyamanannya. Sapi Bali yang terdapat di Kabupaten Jayapura mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan panas
maupun cukup toleran terhadap pengaruh lingkungan yang dingin, sehingga temperatur lingkungan tersebut tidak menjadi kendala untuk pengembangannya.
Abidin dan Soeprato 2006 mengemukakan bahwa kondisi agroklimat dan kondisi lingkungan yang ideal sangat dibutuhkan oleh ternak sapi dalam
memacu pertumbuhan dan perkembangannya berdasarkan potensi genetis. Sekaligus penentuan lokasi dapat terpenuhi melalui beberapa syarat tertentu,
seperti; suhu lingkungan, arah angin, curah hujan, arah sinar matahari, kelembaban, topografi, disamping aspek lainnya.
Unsur-unsur iklim seperti; temperatur, curah hujan, intensitas penyinaran dan lamanya siang hari sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan kualitas
pakan hijauan Reksohadiprodjo, 1985. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hijauan pakan banyak mengandung air pada saat curah hujan dan kelembaban
udara tinggi dapat mempengaruhi bahan kering pakan secara keseluruhan.
5.2.14. Infrastruktur
Pengembangan peternakan di suatu wilayah perlu didukung oleh infrastruktur, seperti pos kesehatan hewan Poskeswan, pasar ternak, rumah
pemotongan hewan RPH dan sarana transportasi guna menunjang sistem tataniaga. Poskeswan yang semula ada di Kabupaten Jayapura sudah kurang
berfungsi, disebabkan oleh terbatas tenaga medis dan peralatan. rumah pemotongan hewan RPH belum dimiliki pemotongan ternak sapi dilakukan di
RPH Yoka Kotamadya Jayapura Sarana transportasi berupa jalan utama kendaraan telah ada, namun
membutuhkan biaya tinggi pada desa-desa terpencil yang jauh dari pusat Kota KabupatenDistrik, sarana transportasi darat masih bayak yang rusak, sehingga
hasil-hasil produksi yang dipasarkan menjadi rendah harga jualnya, maupun membutuhkan biaya pemasaran tinggi. Daryanto 2007, mengungkapkan bahwa
infrastruktur di suatu wilayah termasuk wilayah pedesaan bila tidak memadai, maka akan berpengaruh terhadap kelancaran arus distribusi input dan ouput,
sehingga sangatlah wajar kalau dijumpai harga jual komoditas yang murah bagi peternak karena belum berkembangnya infrastruktur.
5.2.15. Kelembagaan
Peran kelembagaan dalam menunjang usaha peternakan di Kabupaten Jayapura belum berlangsung dengan baik. Kelembagaan dimaksud adalah
semua pemangku kepentingan stakeholder yang mempunyai tanggung jawab terhadap perkembangan usaha peternakan, yakni pemerintah dinas terkait,
perguruan tinggi dan lembaga penelitian, LSM, lembaga keuangan dan peternak yang bersangkutan. Dinas Pertanian dan Peternakan sebagai instansi teknik
belum berfungsi secara maksimal dalam hal penyuluhan, pengadaan infratruktur dan sapronak, serta pelayanan kesehatan ternak.
Kurangnya tenaga penyuluh peternakan dan belum profesional menjadi kendala tersendiri dalam proses pendampingan bagi peternak. Keterbatasan
dalam mengambil insiatif dalam pembentukan kelompok-kelompok ternak mandiri secara permanen. Terbatasnya lembaga ekonomi penunjang seperti
koperasi di tingkat distrik dan desa, bahkan pada umumnya di desa koperasi belum tersedia. Di sisi lain, akses terhadap fasilitas perkreditan dari bank
ataupun lembaga keuangan lainya belum dimanfaatkan oleh peternak dalam memajukan usahanya. Pengembangan peternakan pada masa yang akan
datang di Kabupaten Jayapura sangat diharapkan adanya kerjasama dari pihak seperti pemerintah dinas, bank, perguruan tinggi maupun swasta investor,
LSM. Pendapat yang dikemukakan oleh Daryanto 2007, indikator penting
dalam revitalisasi pembangunan peternakan rakyat harus terkait erat dengan kebijakan pembangunan pedesaan, aspek kelembagaan begitu sangat penting,
misalnya lembaga keuangan yang harus menjadi salah satu syarat. Lembaga penelitian, merupakan salah satu indikator penting dalam keberhasilan
pembangunan peternakan dan pedesaan, ini berarti hasil-hasil penelitian harus diaplikasikan di lapang. Sehingga, penyuluh peternakan harus mampu
memainkan perannya dalam mengawal hasil-hasil penelitian agar dapat diterapkannya, guna menjawab berbagai kebutuhan peternak. North Daryanto,
2007, mengemukakan bahwa kelembagaan yang dimaksudkan adalah seperangkat aturan formal hukum, sistem politik, organisasi, pasar, dan lain-lain
serta informal norma, tradisi, sistem nilai yang mengatur hubungan antara individu dan kelompok masyarakat.
Seluruh elemen terkait ini menjadi penting untuk dapat diolah seefektif dan seefisien mungkin dalam mengembangkan pembangunan peternakan
secara menyeluruh. Gambaran di atas memberikan isyarat lebih lanjut dalam melihat kelembagaan sebagai prasyarat penting dalam pembangunan
peternakan di Kabupaten Jayapura. Para pemangku kepentingan stakeholder harus lebih memainkan perannya khusus dalam pengembangan usaha
peternakan.
5.2.16. Karakteristik peternak sapi potong
Karakteristik peternak sapi potong yang diamati dalam penelitian ini adalah tanggungan keluarga dalam satu keluarga dan pengalaman peternak
dalam mengusahakan ternak sapi potong. Tanggungan keluarga terdiri dari seluruh anggota keluarga yang ada dalam satu rumah tangga dan menjadi
tanggung jawab dari keluarga tersebut, baik dari aspek sandang, pangan dan papan termasuk pula seluruh pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Jumlah
anggota keluarga yang besar turut mempengaruhi tanggungan keluarga, sehingga ada kemungkinan berdampak pada tingkat kesejahteraan keluarga,
jumlah anggota keluarga yang besar dapat pula difungsikan sebagai tenaga kerja keluarga dalam pengelolaan asaha ternak sapi potong. Tenaga kerja yang ada
adalah tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga, oleh karena itu penting hal itu diketahui agar dapat diprediksi dalam menunjang pengelolaan usaha
ternak sapi potong yang dikembangkan oleh setiap keluarga peternak sapi potong.
Pengalaman usaha beternak sapi potong menjadi salah satu ukuran untuk adanya tambahan pengetahuan dan keterampilan dari peternak,
seseorang peternak baru memulai akan usahanya pasti akan berbeda proses pengelolaannya dengan seseorang yang sudah berpengalaman dalam
pengelolaan usaha ternak sapi potong. Sehingga semakin lama seseorang melakukan usahanya, maka semakin bertambah pengalaman yang diikuti
dengan bertambah pula pengetahuan dan keterampilan bagi dirinya. Tanggungan keluarga seluruh Distrik tidak memperlihatkan persentase
yang bervariasi. Tanggungan keluarga dari sampel dengan proporsi terbesar berada pada kisaran 4-6 orang pada Distrik Kemtuk Gresi sebesar 56 persen,
berikutnya Distrik Nimboran sebesar 53,33 persen, Distrik Kemtuk sebesar 46,67 persen, dan Distrik Nimbokrang sebesar 32 persen, ini berarti tingkat
pengeluaran dari satu keluarga perlu untuk diatur sedemikian rupa sehingga kebutuhan keluarga dapat terpenuhi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
termasuk di dalamnya pendidikan dan kesehatan. Itu bukan berarti tanggungan keluarga dengan kisaran 1-3 orang dalam satu keluarga sudah memenuhi
kebutuhan sehari-hari, tapi ini perlu menjadi perhatian dari seluruh anggota keluarga untuk secara bersama-sama berupaya keras dalam memenuhi
kebutuhan keluarganya.
Tabel 37. Distribusi karakteristik per distrik di Kabupaten Jayapura
Karakteristik Distrik Kemtuk
Gresi Distrik
Kemtuk Distrik
Nimboran Distrik
Nimbokrang Total
1.
Tanggungan Keluarga
orang
Jumlah Jumlah Jumlah
Jumlah
n=25 n=30
n=30 n=25
n=110
1 – 3 4 – 6
7 – 10 9
14 2
36 56
8 15
14 1
50 46,67
3,33 16
11 3
36,67 53,33
10 8
17 -
68 32
- 48
56 6
43,64 50,91
5,45 Total 25
100 30
100 30
100 25
100 110
100 2.
Umur Tahun
20 – 35 36 – 55
56 – 70 9
12 4
36 48
16 12
14 4
40 46,67
13,33 10
15 5
33,33 50
16,67 12
10 3
48 40
12 43
51 16
39,10 46,36
14,54 Total 25
100 30
100 30
100 25
100 110
100
Jumlah anggota keluarga yang besar dalam satu keluarga akan turut mempengaruhi tanggungan keluarga atau biaya hidupnya akan tinggi. Bila dalam
satu keluarga ada sejumlah anggota keluarga yang dapat difungsikan sebagai tenaga kerja untuk mengelola usaha peternakan sapi potong akan lebih
memudahkan dalam menghemat biaya pengeluaran tenaga kerja, sesuai dengan data yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Peternakan bahwa umumnya
tenaga kerja dalam mengelola usaha ternak sapi potong di Kabupaten Jayapura berasal dari dalam keluarga itu sendiri.
Umur peternak dengan proposisi terbesar berada pada kisaran umur 36- 55 tahun, Distrik Nimboran menempati persentase terbesar, yakni sebesar 50
persen, berikutnya Distrik Kemtuk Gresi dan Distrik Kemtuk 48 dan 46,67 dan Distrik Nimbokrang sebesar 40 persen, berikutnya umur 20-35 tahun Distrik
Nimbokrang menempati persentase terbesar, yakni sebesar 48 persen, berikutnya Distrik Kemtuk dan Distrik Kemtuk Gresi 40 dan 36, dan yang
terendah adalah Distrik Nimboran sebesar 33,33 persen. Umur sampel 56-70 tahun di Distrik Nimboran dan Distrik Kemtuk Gresi besar persentasenya 16,67
dan 16 persen, Distrik Kemtuk dan Distrik Nimbokrang sebesar 13,33 dan 12 persen. Melihat kisaran umur sampel pada seluruh Distrik menunjukkan bahwa
kisaran umur tersebut masih produktif dalam pengelolaan usaha peternakan sapi potong. Usia yang masih produktif ini dapat menggambarkan sebagai suatu
potensi yang handal untuk diberdayakan dalam pengelolaan sapi potong.
Populasi ternak sapi
Populasi ternak sapi potong yang ada di Kabupaten Jayapura berdasarkan data Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura tahun 2010 sebanyak
4.183 ekor. Populasi ternak sapi potong ini perlu dikembangkan melalui proses pemberdayaan peternak, guna menunjang produksi ternak. Peluang seperti itu
penting untuk proses pembinaan yang intensif bagi peternak melalui pendidikan non formal agar lebih membuka wawasan berpikir dan menambah pengetahuan
serta meningkatkan keterampilan peternak. Jumlah populasi ternak sapi di lokasi penelitian berdasarkan jenis
kelamin, lebih banyak ternak sapi betina daripada ternak sapi Jantan, artinya sangat memberikan peluang untuk proses perkembangan produksi di masa yang
akan datang. Tabel 38. Populasi ternak sapi pada lokasi penelitian di Kabupaten Jayapura
Jenis Kelamin
Populasi Ternak Sapi Tahun 2008
Tahun 2009 Tahun 2010
Ekor Ekor Ekor Jantan
Betina 249
1783 12,25
87,75 278
2058 11,90
89,10 291
2276 11,34
88,66 Total 2032 100,00
2336 100,00 2567 100,00
Dari Tabel 38 terlihat bahwa jumlah ternak sapi potong setiap tahun cukup berkembang, di mana terjadi kenaikan di tahun 2009 sebesar 13,01
persen, sedangkan tahun 2010 terjadi kenaikan populasi ternak sapi potong sebesar 9 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa di Kabupaten Jayapura
populasi ternak sapi potong dapat digolongkan cukup berkembang namun ada kecenderungan terjadi penurunan persentase populasi, dan ini sangat
berdampak pada peningkatan produksi di masa yang akan datang.
5.2.17. Penggunaan teknologi oleh sampel
Salah satu faktor yang turut menunjang pengembangan dan peningkatan usaha peternakan sapi potong adalah penggunaan teknologi bahkan dapat
menjadi salah satu syarat pokok dalam pengembangan usaha, yang bertujuan untuk peningkatan produksi usaha. Penggunaan teknologi ini dapat berupa cara
untuk memperoleh bibit unggul, sistem penggemukan, pengedalian dan penanganan penyakit, penggunaan alat-alat dalam sistem pemeliharaan,
pemberian pakan dan pengelolaan ternak sapi potong, bahkan dapat berupa
pemanfaatan berbagai hasil ikutan ternak yang diolah dengan menggunakan teknologi, misalnya kulit dan kotoran ternak sapi potong; kulit dapat diolah
sebagai bahan aneka industri dan kotoran dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman pertanian serta pembuatan biogas dan sebagainya.
Menurut Mosher 1966 bahwa dalam penggunaan teknologi haruslah memberikan harapan bagi peternak untuk terciptanya peningkatan produksi
usahanya, sehingga perlu untuk diketahui sumber-sumber teknologi baru untuk pengembangan dan peningkatan usaha peternakan sapi potong. Pengertian baru
dapat diartikan baru bagi peternak tertentu, Metode atau cara dan bahan yang mungkin telah umum dikenal atau belurn dikenal sama sekali di kalangan
peternak, mungkin saja metode atau bahan baru itu hanya modifikasi dari yang telah ada atau penemuan yang benar-benar baru. Semua peternak pasti akan
mempunyai cara atau teknik kerja yang berbeda pada masing-masing daerah tergantung kondisi setempat.
Sebagai gambaran bahwa sejauhmana penggunaan dan penerapan teknologi pada empat Distrik, yakni Distrik Kemtuk, Distrik Kemtuk, Distrik
Kemtuk Gresi dan Distrik Nimbokrang Kabupaten Jayapura dapat dilihat pada Tabel 39.
Tabel 39. Penggunaan Teknologi oleh Sampel dalam Pengembangan Ternak Sapi di Kabupaten Jayapura.
Penggunaa n
Teknologi Distrik
Total Kemtuk
Gresi Kemtuk Nimboran
Nimbokran g
n=2 5
n=3 n=3
n=2 5
n=11
Menggunaka n
Teknologi
6 24 8 26,6 7
9 30 11 44 34 30,9 1
Tidak Menggunaka
n Teknologi
19 76
22 73,3
3 21
70 14
56 76
69,0 9
Total 25 10
30 100 30 10 25 100 110 100
Pada Tabel 39 memperlihatkan bahwa peternak yang menggunakan teknologi dalam pengembangan ternak sapi potong dan menempati proporsi
terbesar berada di Distrik Nimbokrang dengan persentasi sebesar 44 persen, berikut Distrik Nimboran sebesar 30 persen, Distrik Kemtuk sebesar 26,67
persen dan Distrik Kemtuk Gresi sebesar 24 persen. Ini menunjukkan bahwa
tingkat penggunaan teknologi oleh peternak sapi potong pada tiap Distrik di Kabupaten Jayapura rendah, dan mengindikasikan bahwa peternak dalam
mengelola usahanya sebagian besar masih bersifat tradisional. Teknologi yang diterapkan oleh beberapa peternak, seperti di Distrik
Nimbokrang adalah melakukan kawin suntik antara sapi sumental dan sapi bali. Penggunaan teknologi Inseminasi Buatan IB pernah dilakukan bersama antara
peternak dengan petugas peternakan, namun pelaksanaannya sudah tidak lagi dilakukan sekarang, hal ini disebabkan keterbatasan fasilitas, peralatan dan
keterbatasan tenaga teknis. Tidak ada fasilitas penunjang seperti laboratorim kesehatan hewan merupakan salab satu penyebab utama, terbatasnya peralatan
yang digunakan dalam proses pelaksanaan IB, dan masih terbatasnya tenaga teknis.
Pelaksanaan pengebirian atau kastrasi juga dilakukan oleh peternak, tujuannya adalah agar daging yang dihasilkan ternak jantan berkualitas baik,
ternak menjadi tenang dan jinak sehingga mudah ditangani, dan diharapkan pertumbuhannya lebih cepat. Perlakuan biasanya dilakukan oleh peternak dan
didampingi petugas. Di Distrik Nimbokrang dan Kemtuk beberapa peternak yang menggunakan kandang, disiapkan juga kandang jepit, yakni alat bantu untuk
memudahkan proses perkawinan. Pembuatan silase juga dilakukan oleh peternak, namun perlakuannya sederhana termasuk penggunaan peralatan dan
bahan pembuat silase.
5.3. Status Keberlanjutan Pengembangan Kawasan agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan di Kabupaten Jayapura
Penilaian keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura dilakukan dengan menggunakan metode multi dimensional
scaling MDS. Metode ini disebut Rapid Apprasial Pengembangan Agropolitan Berbasis Sapi Potong di Kabupaten Jayapura Rap-BANGSAPO yang
merupakan modifikasi dari Rapfish yang selama ini digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap. Hasil analisis keberlanjutan dinyatakan
dalam Indeks Keberlanjutan ikb-BANGSAPO, dimana indeks keberlanjutan ini mencerminkan status keberlanjutan pada wilayah yang sedang diteliti
berdasarkan kondisi eksisting. Nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi keberlanjutan, ditentukan dengan cara memberikan nilai skoring setiap atribut
pada masing-masing dimensi, yang merupakan hasil dari pendapat pakar. Nilai
skoring indeks keberlanjutan pada setiap dimensi berkisar antara 0 – 100 dengan kriteria tidak berkelanjutan buruk jika nilai indeks terletak antara 0 –
24,99 , kurang berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 25 – 49,99 , cukup berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 50 – 74,99 dan
berkelanjutan baik jika nilai indeks terletak antara 75 – 100 . Pada penelitian pengembangan kawasan agropolitas berbasis sapi
potong di Kabupaten Jayapura dilakukan analisis lima dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi,
dan kelembagaan. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rap- BANGSAPO diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar
48,5 dengan status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 53,2 dengan status cukup berkelanjutan, dimensi infrastruktur dan teknologi sebesar
40,5 dengan status kurang berkelanjutan, dimensi kelembagaan sebesar 49,3 dengan status kurang berkelanjutan, dan dimensi sosial sebesar 67 dengan
status cukup berkelanjutan. Dimensi yang memiliki indeks keberlanjutan tergolong kurang
berkelanjutan adalah dimensi ekologi, teknologi, dan kelembagaan karena memiliki skor indeks keberlanjutan 50. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-
faktor dari ketiga dimensi tersebut belum mendapat perhatian yang optimal dalam kegiatan pengembangan ternak selama ini. Dengan demikian, di masa
mendatang dimensi ini perlu mendapat perhatian. Dimensi ekonomi, dan sosial dan budaya tergolong cukup berkelanjutan.
Ek ologi
Ke le m ba ga a n
60.0 40.0
Te k n ologi Ek on om i
Sosia l
20.0 100.0
80.0
6 7 .0 4 8 .5
5 3 .2
4 9 .3 4 0 .5
Gambar 28. Status keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura berbasis agribisnis peternakan sapi
potong Parameter statistik digunakan untuk menentukan kelayakan terhadap
hasil kajian yang dilakukan di Kabupaten Jayapura adalah nilai stress dan koefisien determinasi r
2
. Kedua parameter ini untuk setiap dimensi berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut, sehingga dapat
mencerminkan dimensi yang dikaji mendekati kondisi sebenarnya. Nilai stress dan r
2
hasil MDS tertera pada Tabel 40. Tabel 40. Hasil analisis Rap-BANGSAPO untuk nilai stress dan koefisien
determinasi r
2
.
Nilai Statistik Ekologi
Ekonomi Sosial
Teknologi Kelembagaan
Stress 0.12 0.13
0.15 0.13
0.13 r
2
0.95 0.94
0.93 0.95
0.95 Jumlah iterasi
2 3
3 2
2
Berdasarkan Tabel 40 setiap dimensi memiliki nilai stress yang lebih kecil dari 0,25. Nilai stress pada analisis dengan metode MDS sudah cukup
memadai jika diperoleh nilai kurang dari 25 Kavanagh, 2001. Semakin kecil nilai stress yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang
dilakukan. Nilai koefisien determinasi r2 semakin baik jika nilainya semakin besar mendekati 1. Kedua parameter menunjukkan bahwa seluruh atribut yang
digunakan pada analisis keberlanjutan di Kabupaten Jayapura sudah cukup baik dalam menerangkan kelima dimensi status keberlanjutan yang dianalisis.
Pengujian tingkat kepercayaan nilai indeks masing-masing dimensi digunakan analisis Monte Carlo. Analisis Monte Carlo sangat membantu dalam
analisis keberlanjutan kegiatan, untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut, yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau
pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh stakedholder yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS,
kesalahan memasukan data, dan nilai stress yang terlalu tinggi. Hasil analisis Monte Carlo yang dilakukan dengan beberapa kali
pengulangan ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks masing-masing dimensi. Berdasarkan Tabel 41, dapat dilihat bahwa nilai
status indeks keberlanjutan Kabupaten Jayapura pada selang kepercayaan 95
memberikan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis MDS. Perbedaan hasil analisis yang relatif kecil menunjukkan bahwa
analisis menggunakan metode MDS untuk menentukan keberlanjutan wilayah di Kabupaten Jayapura yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.
Tabel 41. Hasil Analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan dengan Analisis Rap-BANGSAPO
Status Indeks Hasil MDS Hasil Monte Carlo
Perbedaan
Dimensi Ekologi
48,5 48,7
0,2 Dimensi
Ekonomi 53,2
53,8 0,6
Dimensi Sosial
67 65,6
1,4 Dimensi
Teknologi 40,5
41,2 0,7
Dimensi Kelembagaan
49,3 48,5
0,8 Kecilnya perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis
metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan hal-hal sebagai berikut: 1 kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil; 2 variasi
pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil; 3 proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang stabil; 4 kesalahan pemasukan data dan data
yang hilang dapat dihindari.
5.3.1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi
Pembangunan dimensi ekologi di Kabupaten Jayapura perlu dilakukan dengan memperhatikan atribut yang menjadi faktor pengungkit guna efisiensi
dan efektivitas pengembangan ternak pada kawasan. Terdapat 17 tujuh belas atribut yang menentukan keberlanjutan ekologi di Kabupaten Jayapura terdiri
atas 1 Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk, 2 Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak, 3 Sistem pemeliharaan ternak, 4 Lahan
tingkat kesuburan tanah, 5 Tingkat pemanfaatan lahan, 6 Daya dukung pakan ternak, 7 Jenis pakan ternak, 8 ketersediaan rumah potong hewan
RPH dan IPAL RPH, 9 pemotongan betina produktif, 10 kebersihan kandang, 11 kuantitas limbah peternakan, 12 kejadian kekeringan, 13
kejadian banjir, 14 agroklimat, 15 jarak lokasi usaha dengan pemukiman, 16 rencana tata ruang wilayahRTRW, 17 kondisi prasarana jalan usaha tani.
Berdasarkan nilai RMS root mean square dengan nilai di atas nilai tengah 2,0, ada 4 empat atribut ekologi yang merupakan faktor pengungkit adalah :
Sistem pemeliharaan ternak.
Sistem pemeliharaan ternak sapi yang dilakukan oleh peternak sapi di Kabupaten Jayapura umumnya adalah pastural sistem dengan tipe manajemen
ekstensif adalah sebesar 73,16 persen, semi intensif sebesar 22,69 persen dan intensif sebesar 4,15 persen. Sistem pemiliharaan yang dilakukan peternak
menggambarkan pola pengelolaan usaha peternakan sapi potong yang cukup bervariasi, hal ini turut mempengaruhi dalam pengembangan usaha yang
dikolola peternak, karena peternak dengan sistem pemeliharaan .ekstensif masih tergantung pada kondisi dan potensi sumberdaya alam sehingga dapat
berdampak pada produksi dan mutu ternak. Peternak yang memiliki kandang hanya sebagian kecil, yakni 26,84 dengan manajemen pemeliharaan secara
intesif dan atau semi intensif. Secara intensif, ternak sapi berada di dalam kandang sepanjang hari. pemberian makan berupa hijauan rumput dan
leguminosa dan konsentrat diberikan oleh peternak. Secara semi intensif ternak digembalakan atau dilepaskan pada pagi sampai siang hari di padang
penggembalaan atau padang rumput maupun di lahan perkebunan untuk merumput, kemudian pada sore hari dimasukkan ke kadang. Pada saat ternak
digembalakan, semua proses makan berlangsung di padang penggembalaan dan dikontrol oleh peternak. Sistem pemeliharaan secara ekstensif sebesar
73,16, ternak sapi digembalakan sepanjang hari pagi sampai sore hari pada padang penggembalaan alam, baik pada Iahan milik sendiri maupun pada lahan-
lahan umum. Teknik yang dilakukan dalam sistem pemeliharaan ini adalah menggunakan pola ikat secara berpindah-pindah, dan dilepaskan. Sapi
dilepaskan sejak pagi sampai sore hari. Pada waktu sore hari sapi dimasukkan ke hutan atau lahan perkebunan untuk beristirahat di alam terbuka, hal ini
mengakibatkan rendahnya produktivitas ternak, dapat mengganggu tanaman pertanian dan perkebunan, kotoran ternak tidak dapat diolah menjadi pupuk
organik, ternak mudah terserang penyakit, mempersulit dalam pengontrolan dan dapat menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat.
Tingkat pemanfaatan lahan.
Tingkat pemanfaatan lahan oleh peternak belum dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan ternak sapi dan juga pengelolaan terhadap lahan
belum dilakukan secara maksimal, artinya masih terdapat lahan yang terlantar
begitu saja atau belum dikelola oleh peternak, misalnya; lahan yang masih kosong tersebut perlu ditanamai dengan jenis tanaman leguminosa untuk
menjamin tingkat kesuburan tanah dan menjaga terjadinya erosi sehingga unsur hara tetap dapat dipertahankan, sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai makanan
ternak, kemudian diselingi dengan jenis rumput unggul atau rumput yang berkualitas sebagai pakan ternak. Rata-rata lahan kosong belum digarap yang
dimiliki peternak adalah sebesar 0,8 ha. Lahan seluas ini harusnya dapat dilihat sebagai peluang berusaha, peternak perlu untuk mengelolanya, misalnya untuk
membangun kandang, gudang penyimpanan makanan ternak, bak penampung kotoran ternak sebagai pupuk dan dimanfaatkan untuk penanaman hijauan
makanan ternak HMT. Bila hal ini dilakukan, maka keberlangsungan pengembangan ternak semakin berkembang dan keberlanjutan ekologinya akan
tetap terus terpelihara.
Gambar 29. Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak.
Ketersediaan rumah potong hewan RPH dan IPAL RPH.
Berdasarkan SK Meteri Pertanian nomer 555KptsTN.24091986 seperti yang dikemukakan dalam Manual Kesmavet 1993. Rumah Pemotongan Hewan
merupakan unitsarana pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging sehat mempunyai fungsi sebagai: 1 tempat dilaksanakannya pemotongan hewan
secara benar, 2 tempat dilaksanakannya pemeriksaan hewan sebelum dipotong antemortem dan pemeriksaan daging post mortem untuk mencegah
penularan penyakit hewan ke manusia, 3 tempat untuk mendeteksi dan memonitor penyakit hewan yang ditemukan pada pemeriksaan ante mortem dan
post mortem guna pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan menular di daerah asal hewan, dan 4 melaksanakan seleksi dan pengendalian
pemotongan hewan besar betina bertanduk yang masih produktif, namun pada kenyataannya di Kabupaten Jayapura masih terjadi pemotongan ternak di luar
RPH dan terjadi pemotongan betina produktif sehingga daging yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak terjamin mutu dan kesehatannya serta menurunkan
populasi ternak betina. Sejak mulai di operasikannya RPH, masih banyak ditemukan para pemilik pemotong hewan yang melakukan kegiatannya secara
tersebar di luar lokasi RPH yang telah disediakan oleh pemerintah dan membuang limbah hasil kegiatan darah, air bekas cucian dan kotoran lainnya
ke badan air terdekat kali atau danau tanpa terlebih dahulu dilakukan pengolahan sebagaimana mestinya. Sehingga lingkungan di sekitar lokasi
pemotongan liar rentan terhadap pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan dengan adanya limbah tersebut.
Agroklimat.
Agroklimat merupakan faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi performans ternak dimana ternak itu diusahakan. Faktor lingkungan terdiri dari
lingkungan fisik seperti: temperatur, kelembaban, curah hujan dan topografi ketinggian tempat, lingkungan biotik seperii: tanaman, hewan dan
mikroorganisme serta lingkungan kimiawi Sihombing dkk., 2000. Kabupaten Jayapura merupakan bagian dari zone tropis lembab. Umumnya iklim cenderung
panas, basah lembab dengan curah hujan bervariasi antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya. Curah hujan di Kabupaten Jayapura pada
umumnya antara 2.000-3.000 MmTahun. Gambar 31 berikut ini menunjukkan rata-rata curah hujan dan hari hujan di Tahun 2006 yang diperoleh dari Stasiun
Sentani, Genyem dan Kaureh yang bersumber dari Laporan BPTPH Provinsi Papua tahun 2006
Gambar 30. Data curah hujan dan hari hujan tahun 2006 Dari Gambar 30 di atas terlihat ada 8 bulan basah di atas 100 Mm dan 4
bulan lembab 60-100 mm dan tidak ada satupun bulan kering. Dengan demikian menurut Morh iklim tersebut dikategorikan iklim sangat basah type A,
sebab semua bulan basah rata-rata di atas 60 mm dengan total 1.874 mm selama Tahun 2006. Kondisi klimat tersebut sangat mendukung peningkatan
produktivitas ternak sapi, karena sesuai dengan zona kenyamanannya. Sapi Bali yang terdapat di Kabupaten Jayapura mempunyai daya adaptasi yang baik
terhadap lingkungan panas maupun cukup toleran terhadap pengaruh lingkungan yang dingin, sehingga temperatur lingkungan tersebut tidak menjadi
kendala untuk pengembangannya. Soeprato dan Abidir, 2006 mengemukakan bahwa kondisi agroklimat dan kondisi lingkungan yang ideal sangat dibutuhkan
oleh ternak sapi dalam memacu pertumbuhan dan perkembangannya berdasarkan potensi genetis. Sekaligus penentuan lokasi dapat terpenuhi melalui
beberapa syarat tertentu, seperti; suhu lingkungan, arah angin, curah hujan, arah sinar matahari, kelembaban, topografi, disamping aspek lainnya. Unsur-unsur
iklim seperti; temperatur, curah hujan, intensitas penyinaran dan lamanya siang hari sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan kualitas pakan hijauan
Reksohadiprodjo, 1985. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hijauan pakan banyak mengandung air pada saat curah hujan dan kelembaban udara tinggi
dapat mempengaruhi bahan kering pakan secara keseluruhan.
5.3.2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi
Dimensi ekonomi memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong cukup berkelanjutan karena masih lebih kecil dari nilai 75,0. Dengan demikian
pembangunan dimensi ekonomi di Kabupaten Jayapura dalam pengembangan sapi potong harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan
faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha. Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlajutan dimensi
ekonomi terdiri dari tiga belas atribut, yaitu 1 trend harga ternak dan hasil ternak, 2 kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto PDRB dan
Pendapatan Asli Daerah PAD, 3 pendapatan dari usaha non tani 4 konstribusi terhadap total pendapatan keluarga, 5 rata-rata penghasilan
peternak antar skala usaha, 6 rata-rata pendapatan peternak terhadap Upah Minimum Regional UMR, 7 transfer keuntungan, 8 besarnya pangsa pasar,
9 kelayakan finansial, 10 keuntunganprofit, 11 ketersediaan industri pakan ternak, 12 ketersediaan agroindustri peternakan, 13 Dukungan anggaran
APBD subsektor peternakan. Berdasarkan nilai RMS 2, lima diantaranya merupakan faktor pengungkit. Adapun atribut ekonomi yang merupakan faktor
pengungkit adalah :
Konstribusi terhadap total pendapatan keluarga.
Konstribusi terhadap total pendapatan keluarga dari usaha ternak relatif masih rendah, sehingga perlu adanya dorongan untuk lebih mengembangkan
usaha ternaknya agar dapat menjadi salah satu cabang usaha tani dan bukan merupakan usaha sambilan. Pendapat ini sama dengan Rahardi dan Hartono
2003 yang mengatakan bahwa usaha peternakan dapat dikelola secara sambilan. Artinya, bagi masyarakat yang memiliki pekerjaan lain, tujuan usaha
adalah membantu pendapatan rumah tangga. Tingkat pendapatan yang dapat diperoleh dari usaha ternak sambilan ini di bawah 30 persen dari total
pendapatan. Usaha peternakan dapat dijadikan sebagai salah satu cabang usaha lain. Tujuan usaha ternak sebagai cabang usaha tidak hanya sekedar
membantu pendapatan, tetapi sudah berperan sebagai salah satu sumber pendapatan. Tingkat pendapatan yang bisa diperoleh dari usaha ternak sebagai
cabang usaha sekitar 30-70 persen. Usaha ternak yang dijadikan sebagai usaha pokok, usaha ternak ini sudah menjadi sumber pendapatan, Tingkat Pendapatan
yang bisa diperoleh dari usaha ternak sebagai usaha pokok berkisar antara 70-
100 persen, sedangkan untuk industri peternakan pendapatan yang diperoleh 100 persen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi usaha peternakan
terhadap pendapatan petani-peternak di Kabupaten Jayapura adalah sebesar 28,3 persen. Dengan demikian dapat diindikasikan bahwa tipe usaha peternakan
di Kabupaten Jayapura saat ini merupakan usaha sambilan, sehingga salah satu upaya yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan skala usaha dimana
dapat memberikan efisiensi secara ekonomis dan mampu memberikan pendapatan yang lebih besar bagi keluarga.
Besarnya pangsa pasar.
Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pendapatan yang terus meningkat, kebutuhan terhadap protein hewani juga akan meningkat, namun
permintaan daging sapi terus meningkat tidak diimbangi dengan peningkatan kemampuan lokal daerah sehingga banyak pengusaha yang mendatangkan
daging sapi dari luar papua. Konsumsi daging masyarakat Kabupaten Jayapura per kapita per tahun menunjukan peningkatan, jika pada tahun 2006 sebesar
1.982,12 ton maka pada tahun 2007 menjadi 2.501,88 ton BPS Prov. Papua, 2006. Hal ini memberikan indikasi bahwa permintaan terhadap produk
peternakan berupa daging semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat Kabupaten Jayapura.
Kontribusi terhadap PDRB dan PAD.
Laju pertumbuhan ekonomi dan distribusi PDRB Kabupaten Jayapura per sektor dari sisi lapangan usaha sektoral tahun 2005 bila dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, yaitu kenaikan pertumbuhan ekonomi pada sektor pertambangan dan penggalian,
sektor industri pengolahan, dan sektor jasa-jasa. Sebaliknya sektor pertanian, sektor listrik dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan
restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perbankan mengalami perlambatan. Pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Jayapura berkisar antara 6,5 – 7,8 per tahun dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2005 sebesar 7,84 dan terendah pada tahun 2002
sebesar 6,51. Berdasarkan distribusinya, sektor pertanian Kabupaten Jayapura memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB, yaitu antara 39,90 - 45 dari
keseluruhan kontributor perekonomian. Angka ini disusul sektor pengangkutan dan komunikasi dalam urutan kedua sebesar 10,21 - 14,14, sektor jasa
diurutan ketiga sebesar 13 - 14, dan urutan keempat adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10 - 12.
Tabel 42. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Jayapura Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 – 2005
No SEKTOR
2001 2002
2003 2004
2005
1. Pertanian 14,22 7,86 3,66 2,79 3,36
2. Pertambangan Penggalian
4 7,67
7,89 9,21
10,86 3. Industri
Pengolahan 2,07 1,01 0,80 4,04 4,64
4. Listrik dan Air Bersih
3,13 3,60
6,07 8,95
9,21 5. Bangunan
5,27 6,20 6,52 10,11 13,67 6.
Perdagangan, Hotel Restoran 6,24
2,85 15,33
14,37 10,99
7. Pengangkutan dan
Komunikasi 7,76 6,08 18,12 22,21 19,62
8. Keuangan, Persewaan Jasa
Perusahaan 50,29
6,45 4,03
10,84 4,66
9. Jasa-Jasa 8,63 10,02 8,15 6,91 7,37
Sumber : BPS Kabupaten Jayapura Tahun 2006
Pemerintah daerah Kabupaten Jayapura telah membuat program- program pengembangan peternakan. Namun dalam pelaksanaannya belum
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan ekonomi petani peternak sapi potong. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena belum
dikajinya seluruh potensi daerah untuk membuat program atau kebijakan. Selain itu dalam pengalokasian anggaran untuk suatu program, pemerintah daerah
cenderung memperhitungkan seberapa besar kemampuan program tersebut menghasilkan Pendapatan Asli Daerah PAD, tanpa melihat pengaruh terhadap
perkembangan kesejahteraan masyarakat, sehingga dari tahun ke tahun anggaran untuk pengembangan peternakan yang disediakan oleh pemerintah
daerah masih sangat jauh dari harapan. Tabel 43. Distribusi PDRB Di Kabupaten Jayapura Tahun 2001 – 2005
No SEKTOR
2001 2002
2003 2004
2005
1. Pertanian
44.40
44,97 41,63 41,63 39,90 2. Pertambangan
Penggalian
2.00
2,03 2,04 2,07 2,13 3. Industri
Pengolahan
11,45
10,86 10,24 9,90 9,60
4. Listrik dan Air Bersih
0,27
0,27
0,26 0,27
0,27
5. Bangunan
6,35
6,33 6,31 6,45 6,80 6.
Perdagangan, Hotel Restoran
10,43
10,07 10,87 11,55 11,88 7.
Pengangkutan dan Komunikasi
10,21
10,17 11,24 12,75 14,14 8.
Keuangan, Persewaan Jasa Perusahaan
1,78
1,78 1,73
1,78 1,73
9. Jasa-Jasa
13.10
13,53 13,69 13,60 13,54
Perubahan APBD subsektor peternakan.
Perencanaan pembangunan peternakan masih memerlukan pembenahan pada tingkat fleksibilitas maupun responsibilitas terhadap lingkungan strategis,
baik secara internal maupun eksternal. Hal ini harus dipahami oleh aparat perencana, agar produk perencanaan dapat okomodatif terhadap kebutuhan
daerah dan aspirasi masyarakat. Untuk mewujudkan perencanaan dimaksud, dalam implementasinya diperlukan pendanaan, sumberdaya manusia dan
saranaperalatan yang memadai, serta diperlukan perangkat sistem yang efektif untuk pengendalian dan penilaian kinerja. Peran anggaran pemerintah
sebenarnya hanya sebagai stimulus investasi. Disamping itu, anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan peternakan di daerah juga merupakan
instrumen pengendalian, memberikan informasi rinci atas pelaksanaan operasional program maupun kegiatan. Namun demikian, bukti-bukti empiris
menunjukkan bahwa peran subsektor peternakan terhadap ekonomi nasional maupun daerah sangat penting, tetapi bila ditelaah lebih lanjut ternyata para
pelaku usaha peternakan tidak dapat menikmati pertumbuhan ekonomi secara proporsional sesuai kontribusinya.
Dalam rangka pembangunan ekonomi wilayah, peran subsektor peternakan memilki kaitan kuat di hulu maupun hilir. Namun demikian, peran
strategis tersebut belum banyak difahami dan belum mampu mendorong partisipasi masyarakat dan swasta, serta dihadapkan pada berbagai kendala.
Untuk itu, tidak hanya pendekatan teknis seperti yang telah diterapkan selama ini, tetapi juga pendekatan sosial budaya yang mampu merangsang perubahan
sikap dan pola kerja, melalui pemilihan kegiatan yang benar-benar dapat memicu pembangunan peternakan. Permasalahan yang sangat klasik adalah kebutuhan
anggaran selalu meningkat sejalan dengan pemenuhan target pencapaian populasi dan produksi nasional maupun daerah tidak diikuti oleh naiknya
anggaran yang diperlukan. Dengan demikian, untuk masa yang datang
diperlukan koordinasi dalam implementasi pembangunan peternakan baik di pusat maupun di daerah sehingga anggaran pemerintah yang terbatas dapat
dimanfaatkan secara tepat sasaran untuk menggerakan partisipasi masyarakat dan swasta. Secara visual disajikan pada Gambar 31.
Leverage of Attributes
0.14 0.19
0.27 0.34
0.17 0.18
0.14 0.28
0.14 0.11
0.19 0.20
0.26
0.05 0.1
0.15 0.2
0.25 0.3
0.35 0.4
Trend harga ternak dan hasil ternak
Pendapatan dari usaha non tani Kontribusi terhadap PDRB dan
PAD Konstribusi terhadap total
pendapatan keluarga Rata-rata penghasilan peternak
antar skala usaha Rata-rata pendapatan peternak
terhadap UMR Transfer keuntungan
Besarnya pasar Kelayakan finansial
Ketersediaan industri pakan ternak
Keuntungan profit Ketersediaan agroindustri
peternakan Perubahan nilai APBD subsektor
peternakan
A ttr
ib u
te
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100
Gambar 31. Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak
5.3.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya
Dimensi sosial budaya memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong cukup berkelanjutan karena masih lebih kecil dari nilai 75,0. Dengan demikian
pembangunan dimensi sosial budaya di Kabupaten Jayapura dalam pengembangan sapi potong harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang
merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha.
Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlajutan dimensi ekonomi terdiri dari tiga belas atribut, yaitu 1 pertumbuhan rumah
tangga peternak, 2 peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan, 3 jumlah rumah tangga peternak, 4 tingkat pendidikan rata-rata masyarakat
peternak, 5 frekuensi konflik, 6 partisipasi keluarga dalam usaha peternakan, 7 frekuensi penyuluhan dan pelatihan, 8 Curahan waktu kerja untuk usaha
peternakan, 9 pengetahuan terhadap lingkungan, 10 pertumbuhan penduduk, 11 kesehatan masyarakat peternak, 12 alternatif usaha selain peternakan,
13 rasio tenaga kerja. Berdasarkan nilai RMS 1,5, empat diantaranya merupakan faktor pengungkit. Adapun atribut sosial budaya yang merupakan
faktor pengungkit adalah:
Peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan.
Elemen terpenting dalam mengimplementasikan pembangunan agribisnis peternakan adalah elemen dari peran masyarakat petani peternak yang
menempati posisi sangat strategis yaitu berperan sebagai pelaku utama dan subyek pembangunan prime mover to development serta berperan aktif dalam
seluruh aspek kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi termasuk kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan agribisnis
peternakan. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa selama ini peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan relatif masih
rendah sehingga perlu ditingkatkan agar pertumbuhan dan perkembangan agribisnis peternakan di daerah ini lebih maju lagi. Rendahnya peran masyarakat
dalam usaha agribisnis peternakan mengakibatkan ketersediaan produk agribisnis peternakan jumlahnya sangat sedikit pula.
Frekuensi penyuluhan dan pelatihan.
Kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang dilakukan oleh instansi teknis bidang peternakan akan memberikan pengaruh kepada perubahan perilaku
peternak agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan
sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran
dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk memberdayakan petani peternak farmer development peran penyuluhan memiliki posisi yang sangat
strategis. Pemberdayaan peternak dapat berarti meningkatkan kemampuan atau kemandirian peternak dengan menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan peternak untuk dapat berkembang. Disamping itu peningkatan kemampuan peternak dalam membangun kelembagaan peternak kelompok
tani dan melakukan perlindungan melalui keberpihakan kepada yang lemah dengan mencegah persaingan yang tidak seimbang, menciptakan kemitraan
yang saling menguntungkan dan melakukan hubungan atau kerjasama dengan menjalin kemitraan usaha dengan lembaga-lembaga terkait serta sebagai media
dalam proses transfer atau adopsi teknologi peternakan.
Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak.
Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak di lokasi penelitian secara formal adalah sekolah dasar SD sedangkan pendidikan secara non
formal kursus atau pelatihan masih banyak yang tidak pernah mengikuti kursus atau pelatihan. Pendidikan formal diukur berdasarkan tingkatan atau jenjang
formal dan merupakan standar nasional pada tingkatan pendidikan di Indonesia secara formal. Pendidikan non formal diukur berdasarkan frekuensi
dalam mengikuti kursus dan atau pelatihan yang berhubungan dengan usahanya dalam kurun waktu satu tahun terakhir, terhitung setahun sampai dengan
penelitian ini berlangsung. Pendidikan formal merupakan jenjang pendidikan yang pernah dilalui oleh peternak secara formal, proporsi terbesar tingkat
pendidikan formal pada seluruh Distrik adalah tingkalan SD. Proporsi terbesar pendidikan tingkat SD berada pada Distrik Kemtuk Gresi sebesar 56,67 persen
berikutnya Distrik Kemtuk sebesar 48 persen, Distrik Nimboran sebesar 46,67 persen dan Distrik Nimbokrang sebesara 44 persen. Proporsi berikutnya adalah
tingkatan SMP dengan persentase pada masing-masing yaitu Distrik Kemtuk Gresi sebesar 36,67 persen, Distrik Nimboran sebesar 33,33 persen, Distrik
Kemtuk sebesar 32 persen dan Distrik Nimbokrang sebesar 28 persen. Untuk tingkatan SMA, terdapat 3 distrik yang memiliki persentase 16 persen yaitu
Distrik Nimboran, Nimbokrang dan Kemtuk sedangkan Distrik Kemtuk gresi hanya 6,66 persen yang mengecap tingkat pendidikan SMA.
Akumulasi dari angka atau persentase di atas mengindikasikan bahwa tingkat pengetahuan peternak tergolong rendah, sehingga peternak perlu untuk
meningkatkan pengetahuannya melalui pendidikan non formal yang berhubungan dengan usaha yang dilakukannya, agar dapat memberikan
informasi baru dan menambah pengetahuan serta wawasan peternak guna dapat mengembangkan usaha peternakan sapi potong dengan lebih baik.
Tabel 44. Tingkat Pendidikan Formal Peternak pada 4 Distrik di Kabupaten Jayapura
Pendidikan Formal
Distrik Nimbokrang
Distrik Nimboran
Distrik Kemtuk
Gresi Distrik
Kemtuk Total
n=25 n=30
n=30 n=25
n=110 SD
SMP SMA
Diploma Sarjana
11 7
4 2
1 44
28 16
8 4
14 10
5 1
46,67 33,33
16,67 3,33
17 11
2 56,67
36,67 6,66
12 8
4 1
48 32
16 4
54 36
15 4
1 49,09
32,73 13,64
3,64 0,9
Total 25
100 30
100 30
100 25
100 110
100
Rata-Rata Tingkat Pendidikan Peternak
Sarjana, 0.9 Diplom a, 3.64
SM A, 13.64
SD, 49.09 SMP, 32.73
SD SMP
SMA Diploma
Sarjana
Gambar 32. Rata-rata tingkat pendidikan formal peternak pada 4 distrik di Kabupaten Jayapura
Pendidikan non formal peternak diukur dengan frekuensi pelatihankursus, terlihat bahwa peternak yang tidak pernah mengikuti
pelatihankursus menempati proporsi terbesar, masing-masing; Distrik Kemtuk Gresi 76,67 persen, Distrik Kemtuk sebesar 70 persen, Distrik Nimboran sebesar
48 persen dan Distrik Nimbokrang sebesar 40 persen. Namun sebagian peternak mengikuti pelatihankursus dengan frekuensi pelatihankursus sebanyak 1-3 kali,
masing-masing; Distrik Nimboran sebesar 28 persen, Distrik Nimbokrang sebesar 24 persen, Distrik Kemtuk Gresi 20 persen dan Distrik Kemtuk 16,67
persen. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh peternak sapi potong di Kabupaten Jayapura dikategorikan rendah.
Peternak yang mengikuti pelatihankursus sebanyak 4-6 kali, masing-masing; Distrik Nimbokrang sebesar 24 persen, Distrik Nimboran sebesar 26 persen,
Distrik Kemtuk 10 persen dan Distrik Kemtuk Gresi 3,33 persen. Peternak yang mengikuti pelatihankursus lebih dari 6 kali, hanya terdapat pada Distrik
Nimbikrang, Nimboran dan Kemtuk masing-masing; 12, 8 dan 3,33. Akumulasi dari angka dan persentase di atas sangat memprihatinkan
dalam dunia usaha atau bisnis bila tidak ditopang dengan pendidikan non formal yang secukupnya. Dari data yang ada peternak yang pernah mengikuti kursus
atau pelatihan sebesar 40 persen dan peternak yang tidak mengikutinya di Kabupaten Jayapura sebesar 60 persen. Pendidikan non formal yang diikuti
peternak dilakukan oleh berbagai instansi terkait, yakni Dinas Pertanian dan Peternakan Kabuputen Jayapura, Dinas Sosial Kabupaten Jayapura dan Dinas
Koperasi, dan lain-lain. Selain itu ada peternak yang mengikuti pelatihan dan atau kursus di Kota Jayapura, penyelenggaraannya adalah Dinas Pertanian,
Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua, Dinas Koperasi Provinsi Papua dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 45.
Tabel 45. Tingkat Pendidikan Non Formal Peternak pada 4 Distrik di Kabupaten Jayapura
Pendidikan Non
Formal Distrik
Nimboran Distrik
Kemtuk Distrik
Kemtuk Gresi
Distrik Nimbokrang
Total n=110
Tidak pernah mengikuti
12 = 48
21= 70
23= 76,67
10 = 40
66 60
Pernah mengikuti 1 ‐3 kali
7 = 28
5 = 16,67
6 = 20
6 = 24
24 21,82
Pernah mengikuti 4 ‐6 kali
4 = 16
3 = 10
1 = 3,33
6 = 24
14 12,73
Pernah mengikuti 6 kali
2 = 8
1 = 3,33
3 = 12
6 5,45
Total 25
= 100 30
= 100 30
= 100 25
= 100 110
100
T ingkat Pendidikan Non Formal Peternak Jayapura
60 21.82
12.73 5.45
Tidak Pernah Kursus Kursua 1 - 3 Kali
Kursua 4 - 6 Kali 6 Kali
Gambar 33. Rata-rata Tingkat Pendidikan Non Formal Peternak pada 4 Distrik di Kabupaten Jayapura
Pertumbuhan rumah tangga peternak RTP.
Pertumbuhan RTP yang tinggi akan memberikan kontribusis yang tinggi pula dalam hala penyerapan tenaga kerja. Selama ini RTP di Kabupaten
Jayapura relatif masih rendah namun secara nasional terjadi peningkatan. Menurut hasil Sensus Pertanian BPS, 2004a, terjadi peningkatan RTP dari 4,50
juta pada tahun 1983 menjadi 5,62 juta pada tahun 1993 dan menjadi 5,63 juta pada tahun 2003. peningkatan sebesar 1,1 juta RTP selama 10 tahun pertama
menunjukkan bahwa subsektor peternakan memiliki peranan yang signifikan dan cenderung meningkat dalam menciptakan lapangan kerja dan sebagai
pendapatan keluarga, namum peningkatan tersebut makin menurun pada sepuluh tahun kedua karena memang ada beberapa provinsi yang mengalami
penurunan RTP seperti Provinsi Papua. Keadaan ini supaya dirubah dan diperbaiki di masa yang akan datang supaya dapat ditingkatkan dalam upaya
pengembangan agribisnis peternakan. Berdasarkan jumlah RTP masing-masing komoditas, Sensus Pertanian 1993 menunjukkan bahwa usaha sapi potong
melibatkan paling banyak RTP yaitu 2,95 juta. Kemudian diikuti RTP babi 0,60 juta, RTP ayam buras 0,48 juta dan RTP kambing 0,39 juta. Sensus Pertanian
2003 hanya tiga jenis ternak yang didata. Dari 5,63 juta ternak, RTP sapi potong 2,57 juta 42,5, kambing 0,60 juta 10,6, ayam buras 0,85 juta 15,1, dan
ternak lainnya 1,61 juta 28,6 BPS, 2005a. Indikator ini menunjukkan pentingnya peran usaha peternakan sapi untuk menciptakan pemerataan
kesempatan kerja dan pendapatan. Secara visual atribut sosial budaya yang menjadi faktor pengungkit dapat di lihat pada Gambar 34.
Leverage of Attributes
1.623 2.165
0.818 1.713
1.369 1.649
1.857 1.202
1.385 1.208
0.901 1.134
0.832
0.5 1
1.5 2
2.5 Pertumbuhan rumah tangga
peternak Peran masyarakat dalam usaha
agribisnis peternakan Jumlah rumah tangga peternak
Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak
Frekuensi konflik Curahan waktu kerja dalam
usaha peternakan Frekuensi penyuluhan dan
pelatihan partisipasi keluarga dalam
usaha Pengetahuan terhadap
lingkungan Pertumbuhan penduduk
Kesehatan masyarakat peternak Alternatif usaha selain
peternakan Rasio tenaga kerja
A ttr
ib u
te
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100
Gambar 34. Atribut sosial budaya yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak.
5.3.4. Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi
Dimensi teknologi memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong kurang berkelanjutan karena masih lebih kecil dari 50,0. Dengan demikian
pembangunan dimensi teknologi untuk pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten jayapura perlu dilakukan dengan memperhatikan atribut yang
merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan pembangunan. Terdapat sembilan atribut teknologi yang menentukan
keberlanjutan program yaitu; 1 standar mutu produk peternakan, 2 ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis, 3 ketersediaan teknologi
informasi dan transportasi, 4 ketersediaan tempat pelayanan Inseminasi Buatan IB, 5 teknologi pakan, 6 ketersediaan tempat atau pos pelayanan kesehatan
hewan, 7 teknologi pengolahan limbah peternakan, 8 teknologi pengolahan hasil produk peternakan, 9 penggunaan vitamin dan probiotik untuk
pertumbuhan ternak. Tiga diantaranya merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS 2,0. Atribut teknologi yang merupakan faktor
pengungkit adalah 1 ketersediaan tempat pelayanan inseminasi buatan IB, 2
ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hewan dan 3 ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis. Secara visual disajikan pada Gambar 35.
Leverage of Attributes
0.77 2.56
1.71 1.80
2.69 1.77
1.71 2.40
0.47
0.5 1
1.5 2
2.5 3
Teknologi pengolahan hasil produk peternakan Ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hew an
Teknologi pengolahan limbah peternakan Teknologi pakan
Ketersediaan tempat pelayanan IB Penggunaan vitamin dan probiotik untuk pertumbuhan
ternak Ketersedian teknologi inf ormasi dan transportasi
Ketersedian sarana dan prasarana agribisni Standar mutu produk peternakan
At tr
ib u
te
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100
Gambar 35. Atribut teknologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan ternak
Ketersediaan tempat pelayanan inseminasi buatan IB
Secara nasional populasi dan produktivitas ternak potong dan ternak perah selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun.
Tingkat pertumbuhan sapi potong selam 3 tiga tahun terakhir hanya mencapai 1,08 per tahun. Sementara dilain pihak, dengan pertumbuhan penduduk yang
meningkat rata-rata 1,5 per tahun dan pertumbuhan ekonomi meningkat dari 1,5 sampai 5,0 pada tahun 2005, maka diperkirakan permintaan terhadap
daging sapi akan terus meningkat. Bila tidak dilakukan upaya untuk meningkatkan populasi dan produksi, maka ternak potong lokal akan terkuras
karena tingginya angka pemotongan, sehingga harus dilakukan impor sapi sebesar rata-rata 300 ribu ekortahun, dimana tahun 2009 dapat mencapai 500
ribu ekor Dirjenak, 2010. Pelaksanaan Inseminasi Buatan IB merupakan salah satu upaya penerapan teknologi tepat guna yang merupakan pilihan utama untuk
peningkatan populasi dan mutu genetik ternak. Melalui kegiatan IB, penyebaran bibit unggul ternak sapi dapat dilakukan dengan murah, mudah dan cepat, serta
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan para peternak. Pelaksanaan IB di Kabupaten Jayapura telah dilaksanakan dari tahun 1990 namun sampai
sekarang belum menunjukkan keberhasilan yang baik hal ini terlihat dari besarnya Service per Conception SC rata-rata yang diperoleh baru mencapai
3,4 dan dan Conception Rate CR 40 Dinas Peternakan Provinsi Papua, 2010. Hal ini jauh dari target keberhasilan untuk wilayah tahapan swadaya
untuk SC 2 dan CR 80 Dirjenak, 2010. Pelaksanaan IB di Kabupaten Jayapura selama ini masih bergantung straw dari Dinas Perkebunan dan
Peternakan Provinsi Papua, dan hanya ada 2 dua unit pos IB itupun dengan memanfaatkan rumah petugas yang ada di distrik.
Ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hewan
Pemberlakuan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999, disertai dengan penyerahan aset dan pegawai pusat kepada
pemerintah daerah. Salah satu aset pemerintah pusat yang diserahkan tanggung jawabnya ke pemerintah daerah adalah Pos Kesehatan Hewan Poskeswan.
Dengan pelaksanaan otonomi, subsidi yang diberikan pemerintah pusat kepada Poskeswan dihapuskan, sedangkan Pemerintah Daerah Pemda Kabupaten
Jayapura hanya memiliki Pendapatan Asli Daerah PAD sebesar Rp. 3.788.978.208 Tahun Anggaran 2003 dan pada Tahun Anggaran 2002 mendapat
Dana Alokasi Umum DAU sebesar Rp. 344.854.260.445, sementara untuk belanja rutin pegawai memerlukan dana sebesar Rp. 340.986.894.951. Dengan
kondisi keuangan Pemda Kabupaten Jayapura yang demikian, mengakibatkan Pemda menghadapi kendala untuk memberikan subsidi berupa dana
operasional, obat-obatan dan bahan kimia yang dibutuhkan oleh Poskeswan. Seperti yang kita ketahui, sektor penanganan penyakit membutuhkan perhatian
yang serius, karena tidak hanya menyangkut masalah ternaknya saja tetapi juga manusianya, Beberapa penyakit hewan dapat menular ke manusia. Penyakit
hewan yang menular ke manusia bersifat zoonosis, penyakit tersebut diantaranya : A1, Anthrax, Brucellosis dan Tuberculosis. Pencegahan penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan vaksinasi, pemberian penyuluhan tentang tanda-tanda klinis penyakit tersebut, sistem pelaporannya penanganan
sementara hewan sakit dan perilaku hidup bersih dan sehat serta biosecurity untuk mencegah penyebaran dan penularan lebih luas. Kesadaran masyarakat
dan pihak-pihak terkait sangat diperlukan dalam penanganan dan pemberantasan penyakit hewan penanganan yang cepat dan tepat dapat
membantu mengurangi resiko dan kerugian akibat penyakit hewan. Pemberian pengetahuan melalui penyuluhan sangat diperlukan secara terus menerus dan
berkelanjutan agar dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang kondisi ternak dan kebutuhan masing-masing petani peternak dalam upaya
peningkatan derajat kesehatan hewan. Pos Kesehatan Hewan Poskeswan sebagai unit terdepan yang langsung berhubungan dengan masyarakat petani
peternak melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan hewan dan penyuluhan, memiliki peran strategis terhadap upaya peningkatan populasi dan produktivitas
ternak. Dari berbagai pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pelayanan yang dilakukan oleh Poskeswan hasilnya kurang optimal karena
keterbatasan sarana prasarana, personil serta wilayah kerja yang cukup luas
Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis
Menurut Ernalia et al, 2004, dan Deptan 2004a, suatu wilayah dapat menjadi suatu kawasan agropolitan bila pengembangan kawasan tersebut tidak
saja menyangkut kegiatan budidaya pertanian on farm tetapi juga kegiatan off farm-nya, yaitu mulai pengadaan sarana dan prasarana pertanian seperti
benihbibit, pupuk, obat-obatan, alat dan mesin pertanian, kegiatan pengolahan hasil pertanian sampai dengan kegiatan pemasaran hasil pertanian seperti
bakulan, warung, jual beli hasil pertanian, pasar lelang, terminalsub terminal agribisnis, dll dan juga kegiatan penunjangnya seperti pasar hasil, agrowisata.
Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis yaitu : 1 pasar, baik
pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, gudang tempat
penyimpanan dan prosessing hasil pertanian sebelum dipasarkan, 2 Lembaga Keuangan perbankan dan non perbankan sebagai sumber modal untuk
kegiatan agribisnis, 3 memiliki kelembagaan petani kelompok, koperasi, asosiasi yang harus berfungsi pula sebagai Sentra Pembelajaran dan
Pengembangan Agribisnis SPPA, 4 Balai Penyuluhan Pertanian BPP yang berfungsi sebagai Klinik Konsultasi Agribisnis KKA yakni sebagai sumber
informasi agribisnis, tempat percontohan usaha agribisnis, dan pusat pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agriibisnis yang lebih
efisien dan menguntungkan. Dalam pengembangan kawasan ogropolitan ini BPP
perlu diarahkan menjaadi Balai Penyuluhan Pembangunan Terpadu dimana BPP ini merupakan basis penyuluhan bagi para penyuluh dan petugas yang terkait
dengan pembangunan kawasan agropolitan dan penyuluh swakarsa seperti kontrakanpetani maju, tokoh, masyarakat, dll, 5 percobaanpengkajian teknologi
agribisnis, untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan, 6 jaringan jalan yang memadai dan aksessibilitas dengan
daerah lainnya serta sarana irigasi, yang kesemuanya untuk mendukung usaha pertanian agribisnis yang lebih efisien. Memilki sarana dan prasarana umum
yang memadai, seperti transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, dan lain-lain. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan socialmasyarakat
yang memadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan, swalayan dan lain-lain. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian
sumberdaya alam, kelestarian sosial budaya maupun keharmonisan hubungan kota terjamin. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sarana dan prasarana
agribisnis ini masih jauh dari harapan atau dengan kata lain kurang memadai. Untuk itu, di masa yang akan datang perlu ada perhatian yang serius bagi semua
stakeholder sehingga pengembangan pertanian dan peternakan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani ternak di
pedesaan.
5.3.5. Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan
Dimensi kelembagaan memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong kurang berkelanjutan karena 50. Dengan demikian pembangunan dimensi
kelembagaan untuk pengembangan peternakan di Kabupaten Jayapura perlu memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit yang bertujuan untuk
mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan kelembagaan baik dari pemerintah maupun dari masyarakat petani ternak. Terdapat sembilan atribut
kelembagaan yang menentukan keberlanjutan yaitu: 1 ketersediaan Badan Penyuluh Pertanian BPP, 2 ketersediaan lembaga keuangan bankkredit, 3
kerjasama antar negara dalam pengembangan peternakan, 4 koperasi peternak, 5 kemitraan dengan lembaga adat, 6 sinkronisasi kebijakan pusat
dan daerah, 7 partisipasi pengusaha swasta dalam usaha peternakan, 8 kemitraan dengan pemerintah, 9 kemitraan dengan kelompok tani. Empat
diantaranya merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS 1,5. Atribut kelembagaan yang merupakan faktor pengungkit adalah 1 ketersediaan
lembaga keuangan bankkredit, 2 sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, 3 ketersediaan Badan Penyuluh Pertanian BPP, 4 kemitraan dengan lembaga
adat. Secara visual disajikan pada Gambar 36.
Gambar 36. Atribut kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit
keberlanjutan pengembangan ternak
Ketersediaan lembaga keuangan bankkredit
Sampai saat ini banyak kalangan menilai bahwa sektor pertanian memiliki banyak permasalahan, namun disisi lain, sektor pertanian sebagaimana
diketahui memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia diantaranya sebagai penghasil devisa, sektor yang terbesar menyerap tenaga
kerja sekitar 73 dari angkatan kerja nasional dan menampung 90 usaha kecil menengah. Sektor pertanian merupakan salah satu dari care business di
Kabupaten Jayapura dan merupakan salah satu pilar penyokong pertumbuhan
perekonomian daerah. Selain itu, terbukti sektor ini masih dapat bertahan dimasa krisis, dan mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi ketahanan
pangan dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Jayapura. Berlakunya Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang
ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan provinsi dan kabupaten kota
menimbulkan perubahan yang fundamental dalam keseluruhan sistem kewenangan pemerintahan termasuk dalam proses pelayanan yang
berhubungan dengan penanaman modal. Disamping itu, persaingan dalam menarik investasi di dalam negeri cenderung meningkat semakin tajam pada
berbagai sektor terutama sektor Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN dan Penanaman Modal Asing PMA, sektor pertanian terutama pada pertanian
rakyat ternyata sulit sekali ditemukan investor menanamkan modalnya pada sektor ini sehingga sangat sulit menempatkan pertanian sebagai sektor ekonomi
yang dapat berdiri sendiri, dimana berdasarkan cakupan pelaku maupun keterkaitan antar kelembagaan akan berkaitan dengan kebijakan moneter,
infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia serta kebijakan perdagangan dalam negeri maupun luar negeri. Secara umum kelembagaan
keuangan menjalankan fungsi pembiayaan di Indonesia meliputi Bank Usaha Milik Negara BUMN, bank swasta nasional, bank asing, Bank Pembangunan
Daerah BPD, Bank Perkreditan Rakyat BPR, dan lembaga keuangan non bank. Namun, banyaknya lembaga keuangan tersebut yang serius dan konsisten
dalam pembiayaan sektor pertanian masih sangat terbatas.
Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah
Agenda pembangunan daerah Kabupaten Jayapura merupakan satu kesatuan dalam mendukung agenda pembangunan nasional dan provinsi.
Sinergitas dan konsistensi kebijakan pembangunan menjadi hal yang mendasar untuk dapat dilaksanakan dalam setiap tahapan proses kebijakan pembangunan
di daerah. Keterpaduan dan sinkronisasi perencanaan dan penganggaran pembangunan tahun 2011 antara Pemerintah Kabupaten Jayapura dengan
Pemerintah Propinsi Papua dan Pemerintah Pusat nampak dari isu strategis dan masalah mendesak dan prioritas program dan kegiatan yang menunjang guna
mengatasi hal dimaksud. Keterpaduan dan sinkronisasi dilakukan melalui upaya penyamaan presepsi terhadap tantangan, prioritas dan langkah kebijakan
pembangunan sehingga secara simultan tercapai tujuan pembangunan nasional
sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Keterpaduan dan Sinkronisasi kebijakan program kegiatan terutama yang terkait dengan penurunan angka kemiskinan pro poor ; penurunan tingkat
pengangguran pro job dan peningkatan pertumbuhan ekonomi pro growth dengan tetap memperhatikan kebijakan Millenium Development Goals MDGs
dan keadilan untuk semua justice for all merupakan tantangan yang membutuhkan penyatuan persepsi dalam penyusunan program kegiatan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011 mengisyaratkan adanya tantangan
utama pembangunan yang harus dihadapi dan diatasi pada tahun 2011, yaitu : a Penciptaan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang mampu
menciptakan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan; b Pembangunan tata kelola yang baik untuk dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pengeluaran
pemerintah; c Peningkatan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah. Berdasarkan atas realisasi pembangunan 2009 dan perkiraan capaian
tahun 2010 serta tantangan yang dihadapi pada tahun 2011 maka terdapat 11 sebelas prioritas kebijakan pembangunan nasional tahun 2011 dan tiga
prioritas lainnya. Adapun 11 prioritas dimaksud adalah: 1 Pemantapan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan; 2Peningkatan akses dan
kualitas pendidikan; 3 Perbaikan akses dan mutu Kesehatan; 4Penanggulangan Kemiskinan; 5 Peningkatan Ketahanan Pangan;
6Peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur; 7 Perbaikan iklim investasi dan iklim usaha; 8 Peningkatan sumber daya energi; 9 Peningkatan kualitas
lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; 10 Penanganan daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca – konflik; 11 Pengembangan kebudayaan,
kreativitas dan inovasi teknologi. Sedangkan 3 prioritas lainnya adalah 1. Bidang Politik hukum dan keamanan ; 2. Bidang Perekonomian ; dan 3 Bidang
Kesejahteraan Rakyat.
Ketersediaan badan penyuluh pertanian BPP
Sektor pertanian di masa mendatang diharapkan masih memegang peran strategis sebagai penghela pembangunan ekonomi nasional, karena
kontribusinya yang nyata bagi 230 juta penduduk Indonesia, penyedia bahan baku industri, peningkatan Produk Domestik Bruto PDB, penghasil devisa
negara melalui ekspor, penyedia lapangan pekerjaan, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Untuk meningkatkan peran sektor pertanian sebagai
penghela pembangunan nasional, Kementerian Pertanian pada periode 2010 - 2014 telah menetapkan visi pembanguan pertanian, yaitu “Terwujudnya
pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor, dan
kesejahteraan petani”. Target utama penetapan visi pembangunan tersebut adalah untuk mewujudkan empat sukses pembangunan pertanian, yaitu: 1
pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, 2 peningkatan diversifikasi pangan, 3 peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan 4
peningkatan kesejahteraan petani. Dalam rangka mewujudkan empat sukses pembanguan pertanian tersebut, diperlukan sumber daya manusia pertanian
yang profesional, kreatif, inovatif, dan berwawasan global. Untuk itu, penyuluhan pertanian, pelatihan pertanian, pendidikan pertanian, serta standarisasi dan
sertifikasi SDM pertanian perlu terus dikembangkan dan dimantapkan untuk menyiapkan aparatur yang kompeten, visioner, serta memahami peran dan
fungsinya dalam pembangunan pertanian. Di samping itu, kegiatan penyuluhan pertanian, pelatihan pertanian, pendidikan pertanian, serta standarisasi dan
sertifikasi SDM pertanian juga ditujukan untuk: 1 memperkuat kelembagaan petani, 2 memberdayakan usaha petani, dan 3 mewujudkan pelaku utama
pembangunan pertanian yang mandiri, berjiwa wirausaha, berdaya saing, dan berwawasan global. Hal ini dimaksudkan agar pelaku utama pembangunan
pertanian mampu bersaing, baik di pasar regional maupun di pasar global.
Kemitraan dengan lembaga adat
Sebagai kelanjutan dari perjalanan reformasi ditanah air telah melahirkan
tuntutan masyarakat adat dalam rangka memperoleh hak-haknya untuk memiliki suatu sistem sosial tersendiri. Pada periode sebelumnya hak-hak masyarakat
adat telah dirampas oleh rezim Orde Baru. Salah satu akibatnya adalah lahirnya
proses marginalisasi di segala bidang. Marginalisasi yang dilakukan Negara terhadap masyarakat adat antara lain: 1 dengan lahirnya UU no. 5 tahun 1979
tentang pemerintahan desa, maka masyarakat adat tidak lagi memiliki suatu pemerintahan lokal yang otonom yang menjalankan fungsinya sesuai dengan
kepentingan politik dan ekspresi sosial kulturalnya. Pemerintahan desa yang diamanatkan dalam UU No. 5 tahun 1979 menggantikan pemerintahan adat
seperti nagari, pasirahan, ketemukungan, dan berfungsi sebagai kepanjangan
tangan dari pemerintahan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten. 2 lembaga adat yang melayani kepentingan komunitasnya kemudian dikebiri dengan
dijadikan sebagai bagian dari organisasi state corporatisme. Oleh karenanya di tingkat propinsi, kabupaten sampai kecamatan di luar Jawa muncul apa yang
disebut Lembaga Masyarakat Adat, suatu organisasi buatan pemerintah yang visi, misi, dan struktur organisasinya tidak selaras dengan konsepsi lembaga
adat asli, kalaupun lembaga adat asli masih dibiarkan hidup tetapi fungsinya dibatasi pada hal-hal yang tidak mengurangi hegemoni negara atas masyarakat
asli misalnya mempertahankan berlakunya hukum adat secara terbatas karena masyarakat masih mempertahankannya, 4 masyarakat adat menjadi semakin
terasing dengan dunia politik di lingkungannya dan tidak mempunyai suatu kepemimpinan lokal yang sejalan dengan worldviewnya. Akibatnya, masyarakat
adat menjadi tidak mempunyai bargaining power dalam menghadapi kekuatan dari luar baik yang merepresentasikan negara maupun pasar. Masyarakat adat
menjadi terpuruk ekonominya dan semakin ketinggalan terhadap arus kemajuan jaman yang dibawakan oleh rezim Orde.
Perjuangan masyarakat adat untuk mengembangkan eksistensinya selalu menghadapi hambatan dan ancaman serta tantangan ke depan yang tidak
mudah diatasi. Salah satu hambatan adalah melemahnya modal sosial social capital kepempinan dan kebersamaan yang mereka miliki untuk mewujudkan
suatu kekuatan bersama dalam mengembangkan komunitasnya, dan rendahnya kemampuan untuk mengelola organisasi adat. Disisi lain mereka dituntut untuk
mampu berhadapan dengan berbagai stakeholder seperti lembaga legislatif, eksekutif, press, dan sektor swasta yang mempunyai kepentingan berlainan dan
dapat menghambat proses revitalisasi masyarakat adat ke depan. Tidak ketinggalan masyarakat adat pun ke depan dituntut untuk mempunyai kepedulian
dengan agenda nasional dan global terhadap semangat demokrasi, HAM dan pluralisme dan keselarasan antara gerakan lokalisme dengan globalisme.
Perjuangan yang berat dari masyarakat adat untuk mengembangkan eksistensinya tidak mungkin dibiarkan berjalan sendiri tanpa kepedulian dari
berbagai elemen masyarakat sipil lainnya . Beberapa agenda penting yang bisa jadi acuan antara lain: 1 menguatkan kapasitas lembaga-lembaga adat
sehingga bisa dikelola secara mandiri dan berkelanjutan, 2 Pelembagaan demokrasi masyarakat adat dengan kepemimpinan yang demokratis, dan bisa
diterima oleh komunitas dan masyarakat, 3 membangun akses organisasi dan
masyarakat adat untuk menggunakan hak ulayat, sumberdaya ekonomi lokal dan kerjasama dengan pemerintah. Mengawal proses perubahan sosial pada
organisasi masyarakat adat maupun pada diri kelompok dengan bekerja sama dengan stakeholder masyarakat adat itu sendiri. Beberapa strategi yang bisa
ditempuh antar lain: Pengembangan wacana, pendekatan ini diperlukan untuk menghasilkan suatu kesadaran kritis mengenai pentingnya pemberdayaan
masyarakat adat dari berbagai perspektif. Pengembangan Partisipasi, dengan melibatkan masyarakat adat secara langsung dalam proses untuk memperoleh
hak-haknya. Pengembangan jaringan kerja, untuk membangun semangat visi gerakan bersama. dan kerja sama masyarakat adat. Proses pemberdayaan
masyarakat adat, akan menyisakan berbagai tantangan yang multidimensional. Peran kebijakan pemerintah tentulah diperlukan untuk mempercepat komunitas
ini lebih mandiri dan siap menyongsong perubahan sosial yang semakin memperkuat modal sosial karena konsep pembangunan adalah untuk
memperbaiki kehidupan mayoritas manusia, melalui program-program pengurangan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup, pembangunan
kesehatan dan pembangunan masyarakat berbasis komunitas. Dengan demikian hanya rakyat sendiri yang dapat menentukan apa sebenarnya yang mereka
anggap sebagai perbaikan dalam kualitas hidup mereka. Jadi, partisipasi Lembaga Masyarakat Adat sebagai wadah pemusyawaran dan Partisipasi
Masyarakat Adat asli orang Papua dalam pembangunan di Kabupaten Jayapura adalah sesuatu hal yang perlu dan penting, bukan hal yang mengada-ngada dan
dibuat-buat. Berdasarkan hasil analisis MDS dan pembahasannya, diperoleh 19 faktor
pengungkit kegiatan pengembangan kawasan berbasis ternak sapi potong di Kabupaten Jayapura secara berkelanjutan. Sembilan belas faktor tersebut tertera
pada Tabel 46. Dalam proses pengelolaan lingkungan, semua faktor ini harus diperhatikan agar tercapai efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha agribisnis
peternakan. Secara operasional, faktor-faktor ini memiliki keterkaitan dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Hal ini perlu diperhatikan
dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan kawasan berbasis ternak sapi potong secara berkelanjutan. Namun demikian, dalam proses implementasinya
diperlukan pemilihan faktor yang paling berpengaruh dan memiliki keterkaitan dengan faktor lainnya yang paling tinggi sehingga kegiatan usaha agribisnis
peternakan dapat tercapai sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura.
Tabel 46. Faktor pengungkit setiap dimensi pengembangan kawasan berbasis ternak sapi potong
Dimensi Faktor
pengungkit Ekologi
1. Sistem pemeliharaan
2. Tingkat pemanfaatan lahan 3. Ketersediaan Rumah Potong Hewan RPH dan IPAL
RPH 4. Agroklimat
Ekonomi 5. Kontribususi terhadap total pendapatan keluarga
6. Besarnya pasar
7. Kontribusi terhadap PDRB dan PAD 8. Perubahan nilai APBD subsektor peternakan
Sosial Budaya
9. Peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan 10. Frekuensi penyuluhan dan pelatihan
11. Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak 12. Pertumbuhan Rumah Tangga Peternak RTP
Teknologi 13. Ketersediaan tempat pelayanan IB
14. Ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hewan 15. Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis
Kelembagaan 16. Ketersediaan Lembaga Keuangan bankkredit
17. Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah 18. Ketersediaan Badan Penyuluh Pertanian BPP
19. Kemitraan dengan Lembaga Adat Faktor-faktor kunci tersebut digunakan sebagai basis dalam perumusan
kebijakan dan strategi implementasi pengelolaan kawasan berbasis agribisnis sapi potong Kabupaten Jayapura secara berkelanjutan. Penentuan faktor kunci
dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait. Hal ini dilakukan agar faktor yang terpilih sesuai dengan kondisi kawasan.
5.4. Faktor Kunci Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Berbasis Agribisnis Sapi Potong
Faktor kunci merupakan faktor-faktor yang memiliki tingkat pengaruh lebih tinggi daripada tingkat ketergantungannya terhadap faktor lain sehingga
faktor tersebut menjadi penentu dalam kebijakan pengelolaan lingkungan. Faktor penghubung merupakan faktor-faktor yang memiliki tingkat pengaruh
hampir sama dengan tingkat ketergantungan terhadap faktor lain. Faktor Terikat merupakan faktor yang memiliki tingkat pengaruh lebih rendah daripada tingkat
ketergantungan terhadap faktor lainnya. Faktor bebas merupakan faktor-faktor yang memiliki tingkat pengaruh hampir sama rendahnya dengan tingkat
ketergantungan terhadap faktor lainnya. Penentuan faktor kunci dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder
yang terkait dengan kegiatan pengembangan agribisnis peternakan sapi potong di Kabupaten Jayapura. Untuk mengetahui faktor kunci yang paling berpengaruh
dalam pengembangan agribisnis yang berkelanjutan, maka dilakukan analisis yang efektif dan relevansinya tinggi. Artinya bahwa faktor kunci yang dihasilkan
sesuai dengan yang dibutuhkan dan relevan untuk diterapkan. Analisis yang digunakan adalah analisis prospektif yang dilakukan secara partisipatif.
Berdasarkan hasil analisis prospektif diperoleh empat faktor kunci keberhasilan pengembangan agribisnis sapi potong di Kabupaten Jayapura yang
mempunyai pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antara faktor rendah yaitu: 1 sistem pemeliharaan, 2 sarana dan prasarana
agribisnis, 3 pos pelayanan Inseminsi Buatan IB, 4 tersedianya lembaga keuangan bankkredit serta satu faktor yang mempunyai pengaruh tinggi
terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor tinggi pula yaitu perubahan nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD . Hasil
analisis prospektif disajikan pada Gambar 37.
Gambar 37. Pemetaan faktor pengungkit pengembangan agribisnis sapi potong
5.5. Kebutuhan stakeholder dalam pengembangan kawasan agropolitan
Stakeholder pembangunan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura adalah individu, kelompok masyarakat dan lembaga pemerintah yang memiliki
minat dan wewenang untuk berperan dalam kegiatan pembangunan Kabupaten Jayapura. Identifikasi stakeholder dilakukan berdasarkan peran dan fungsi
terhadap kawasan Kabupaten Jayapura. Pendekatan ini lebih menguntungkan stakeholder yang lemah secara politik, tetapi memainkan peran dan fungsi
penting terhadap kawasan Kabupaten Jayapura. Stakeholder tersusun atas kelompok pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, pihak swasta, dan
lembaga sosial masyarakat. Para stakeholder ini memiliki minat yang berbeda- beda dan berbagai masalah dan hambatan dalam menjalankan perannya.
Pembangunan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura di masa mendatang perlu memperhatikan kebutuhan stakeholder. Hal ini berkaitan
dengan rencana kegiatan pembangunan yang harus dilakukan dan hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pembangunan tersebut.
Hasil identifikasi kebutuhan stakeholder disajikan pada Tabel 47. Pemerintah, masyarakat, dan pengusaha merupakan stakeholder yang
penting dalam pembangunan kawasan Kabupaten Jayapura. Pemerintah dengan peran otoritas pembangunan wilayah, dan pengusaha dan masyarakat dengan
peran peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks perencanaan partisipatif pemerintah pengusaha dapat menjadi pionir yang
mampu untuk mengajak dan merangkul stakeholder lainnya dalam berpartisipasi secara aktif, terintegrasi serta dengan visi yang sama dalam merencanakan
pengembangan ternak sapi potong untuk kepentingan bersama. Dengan demikian kelestarian kawasan Kabupaten Jayapura dan keberlanjutan manfaat
yang dapat diberikan kepada seluruh stakeholder terutama masyarakat lokal dapat terlaksana dengan baik dalam konteks keadilan dan pemerataan.
Tabel 47. Kebutuhan stakeholder pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura
Kategori Stakeholder
Kebutuhan
Masyarakat Peternak
Petani Pedagang
Tokoh masyarakat
1. Peningkatan pendapatan masyarakat
2. Tersedianya bibit dengan harga yang terjangkau
3. Pembinaan manajemen dan sistem pemeliharaan
4. Pelayanan IB dan keswan yang optimal
5. Sumber permodalan usahatani ternak
6. Tersedianya sarana dan prasarana yang dapat
meningkatkan produksi, pengolahan hasil dan
pemasaran hasil tani ternak
7. Tersedianya sarana dan prasarana yang dapat
mempermudah perolahan saprodi dengan harga
terjangkau 8.
Terjalinnya kemitraan antara pemerintah, swasta, tokoh
adat dan agama dengan masyarakat petani‐ peternak
9. Penyediaan lapangan pekerjaan
10. Peningkatan produksi pertanian dan peternakan
11. Pemanfaatan sarana produksi yang ramah lingkungan
12. Lingkungan yang bersih, sehat dan indah
Kategori Stakeholder
Kebutuhan
Swasta Pedagang
sektor informal Investor
Lembaga keuangan mikro
Perbankan 13.
Terciptanya persaingan usaha yang sehat dan transparan
di semua bidang 14.
Terbangunnya sarana dan prasarana yang dapat menunjang
pengembangan agribisnis dan kawasan agropolitan
15. Tenaga kerja terampil
16. Keberlanjutan usaha
17. Sarana dan prasarana kawasan yang memadai
18. Regulasi yang jelas tentang kemitraan dan investasi
19. Kemudahan dalam memperolah modal usaha
20. Ketersediaan lahan usahatani yang produktif
21. Margin keuntungan yang tinggi
Peneliti dan
LSM Peneliti
LSM lokal
22. Berkembangnya inovasi‐inovasi baru dalam
mendorong terwujudnya kawasan agropolitan
berkelanjutan 23.
Terwujudnya kontrol sosial 24.
Tersedianya teknologi sesuai kebutuhan 25.
Penguatan kelembagaan 26.
Konservasi sumberdaya lahan 27.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia 28.
Tidak terjadi konflik sosial di masyarakat DPRD
DPRD Kab. Jayapura
DPRD Provinsi Papua
29. Adanya regulasi yang dapat mendorong iklim usaha
30. Adanya alokasi dana APBD kabupaten dan provinsi
yang dapat
meyentuh langsung
kehidupan masyarakat
di wilayah pedesaan 31.
Tersedianya pelayanan infrastruktur yang dapat menunjang
kehidupan sosial
dan ekonomi
masyarakat Pemerintah
Departemen Pertanian
BP3D Papua
Disbunak Papua
Distan Papua
Dinas PU Papua
Bappeda Kab. Jayapura
Disnak Kab. Jayapura
Dinas PU Kab. Jayapura
Distan Kab. Jayapura
Disbun Kab. Jayapura
32. Pengembangan ekonomi kawasan
33. Penyerapan tenaga kerja
34. Peningkatan pendapatan asli daerah
35. Pemanfaatan lahan secara optimal dan berkelanjutan
36. Harmonisasi masyarakat dalam kegiatan usahatani
ternak 37.
Peningkatan minat investasi 38.
Sarana dan prasarana pelayanan IB dan keswan 39.
Jumlah SDM yang cukup dan kompetensinya sesuai dengan
kebutuhan 40.
peningkatan populasi sapi potong 41.
menurunnya angka sakit dan kematian ternak 42.
Peningkatan perekonomian masyarakat
Sumber: Hasil survei lapangan 2008 Selanjutnya faktor-faktor yang menjadi kebutuhan stakeholder tersebut
dianalisis guna menentukan faktor kunci dalam pembangunan kawasan agropolitan. Penentuan faktor kunci dari kebutuhan stakeholder ini dilakukan
dengan analisis prospektif melibatkan stakeholder dan pakar. Hasil analisis prospektif disajikan pada Gambar 38.
Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh empat faktor kunci yang perlu diperhatikan guna memenuhi kebutuhan stakeholder di masa mendatang
dalam pembangunan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong yaitu: pengembangan dan penerapan teknologi budidaya pertanian dan peternakan
yang sesuai dengan kondisi lahan, pengembangan komoditi pertanian dan peternakan unggulan yang dapat menjamin kesejahteraan masyarakat dan
meningkatkan pendapatan daerah dan kelestarian lingkungan, peningkatan iklim investasi melalui perbaikan regulasi dan kelembagaan, dan peningkatan kualitas
sumberdaya manusia melalui pendidikan dan pelatihan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mastur 2002 bahwa strategi yang dipilih dalam pemanfaatan lahan
kering marjinal yang ideal, haruslah mempertimbangkan sumberdaya lokal terutama kondisi sosial, budaya dan ekonomi petani, ketersediaan teknologi,
ketersediaan dana, serta akses dan peluang pasar.
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
REF Peningkatan kualitas SDM
Peningkatan pendapatan asli daerah
Penyerapan tenaga kerja Harmonisasi usahatani
Pemanfaatan lahan Pengembangan ekonomi
Peningkatan minat investasi
Peningkatan pendapatan masyarakat Sumber permodalan
Tenaga kerja terampil Keberlanjutan usaha
Sarana dan prasarana kawasan
Regulasi kemitraan dan investasi Penggunaan saprodi
Tersedianya teknologi Konservasi lahan
- 0.20
0.40 0.60
0.80 1.00
1.20 1.40
1.60 1.80
2.00
- 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00
Ketergantungan Pe
n g
a ru
h
Gambar 38. Hasil analisis prospektif faktor kunci pembangunan kawasan agropolitan berdasarkan kebutuhan stakeholder
Faktor-faktor tersebut merupakan masukan dalam perumusan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong secara
berkelanjutan. Dengan demikian, kebijakan pembangunan kawasan peternakan telah dapat mencerminkan aspirasi stakeholder dan kondisi masa depan yang
diinginkan.
5.6. Rancangan Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Sapi Potong
Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, diperoleh berbagai faktor kunci yang menentukan keberhasilan pembangunan kawasan agropolitan berbasis
agribisnis sapi potong guna menuju pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Hasil ini juga telah
mempertimbangkan kondisi eksisting wilayah dan arahan kebijakan pembangunan secara umum.
Rancangan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong dirumuskan dengan memperhatikan faktor-faktor kunci
yang telah dihasilkan dari analisis sebelumnya. Menurut Godet et al. 1999, salah satu tujuan melakukan analisis prospektif adalah untuk menterjemahkan
strategi ke dalam perencanaan, tujuan umum dan strategi yang muncul dari analisis prospektif yang berguna untuk menentukan prioritas dalam proses
perencanaan. Perumusan kebijakan ini dilakukan melalui FGD dengan stakeholder dan pakar. Rumusan rancangan kebijakan pembangunan kawasan
agropolitan berbasis agribisnis sapi potong adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia khususnya petani peternak dan
pelaku usahatani melalui pelatihan dan pendidikan 2. Pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana kawasan guna
menunjang pengembangan kawasan 3. Peningkatan jumlah sapi potong yang diusahakan dengan komoditi pertanian
yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat 4. Pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani dalam mendukung
kegiatan pengembangan agribisnis sapi potong 5. Perbaikan iklim investasi dan peningkatan investasi pemerintah dan
pengusaha 6. Pengembangan teknologi budidaya pertanian dan peternakan dan perbaikan
manajemen usaha tani.
5.7.
Analytical Hierarchy Process AHP
Dalam memilih kebijakan yang penting untuk dilaksanakan dan yang lebih aspiratif dari enam alternatif kebijakan yang telah dirumuskan sebelumnya
digunakan Model AHP. Kriteria yang digunakan dalam model AHP untuk penentuan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi
potong adalah kriteria manajemen pelaksanaan pembangunan, khususnya terkait: aktor pelaksana dalam pembangunan wilayah, dimensi pembangunan
berkelanjutan, dan kriteria pelaksanaan untuk masing-masing prinsip pembangunan untuk menentukan prioritas kebijakan pembangunan Kabupaten
Jayapura. Hirarki AHP disusun dengan lima level yang memperlihatkan tahapan proses penetapan prioritas.
Kriteria yang digunakan untuk pencapaian dimensi merupakan gabungan hasil analisis faktor pengungkit keberlanjutan pembangunan dan analisis
kebutuhan stakeholder yang dikelompokkan ke dalam enam dimensi sesuai dengan dimensi pengembangan kawasan agropolitan yang telah dianalisis.
Pengisian kuesioner matriks perbandingan berpasangan disampaikan kepada stakeholder yang prominent di provinsi Papua 3 orang, Kabupaten
Jayapura 5 orang, Distrik Kemtuk Gresi, Kemtuk, Nimboran dan Nimbokrang masing-masing 2 orang, dan 2 orang dari Universitas Negeri Papua UNIPA
Manokwari. Keinginan dan preferensi stakeholder merupakan aspirasi pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan pakar terhadap
kebijakan yang diinginkannya terkait dengan pembangunan kawasan, baik untuk kepentingan saat ini maupun di masa yang akan datang. Penentuan prioritas
kebijakan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar diperoleh hasil yang partisipatif dan akomodatif sehingga kebijakan yang
dihasilkan dapat dilaksanakan dan didukung oleh semua stakeholder. Analisis dilakukan pada setiap level dari hirarki penentuan kebijakan
dalam pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Papua. Bobot dan prioritas yang dianalisis adalah hasil kombinasi gabungan dari pendapat dan penilaian seluruh
stakeholder pada setiap matriks perbandingan berpasangan. Hasil analisis disajikan pada Gambar 39.
Gambar 39. Bobot faktor-faktor pada setiap level penentuan kebijakan Pada level 2 aktor diperoleh hasil analisis yaitu pemerintah dan
pemerintah daerah bobot 0,412 merupakan aktor yang paling berperan dalam penentuan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis
sapi potong. Hal ini menujukkan bahwa aspirasi pemerintah daerah menjadi fokus perhatian dalam penentuan kebijakan pembangunan. Pemerintah daerah
dan pusat dalam hal ini memegang otoritas dalam perencanaan dan pembangunan wilayah serta berperan menjamin kelestarian pemanfaatan
sumberdaya untuk kesejahteraan masyarakat. Aktor yang menjadi prioritas kedua adalah penguasaha dan investor bobot 0,236 sedangkan aktor petani
peternak serta masyarakat dan LSM merupakan prioritas ketiga dan keempat. Pada tahap implementasi, ketiga aktor ini perlu dilibatkan dalam proses
pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Hal ini karena di lokasi pengembangan kawasan agropolitan, pengusaha, petani
peternak serta masyarakat memegang peranan yang paling dominan. Pada level 3, tujuan pengembangan kawasan agropolitan berbasis
agribisnis sapi potong yang menjadi prioritas utama adalah: pertumbuhan ekonomi 0,314, pengembangan dan penerapan teknologi 0,235, kelestarian
ekosistem dan fungsinya 0,226, penguatan kelembagaan 0,0147 dan kesejahteraan sosial 0,078. Hal ini merupakan indikator bahwa pada umumnya
stakeholder mementingkan aspek pertumbuhan ekonomi, pengembangan dan penerapan teknologi dan kelestarian ekosistem dan fungsinya sebagai dimensi
penting dalam pengembangan kawasan agropolitas berbasis agribisnis sapi potong. Prioritas ini menujukkan keinginan stakeholder dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan pada kawasan sentra produksi peternakan. Pada level empat, kriteria dari setiap tujuan pembangunan, diperoleh
hasil bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, aspek yang harus diprioritaskan adalah usaha ternak sapi potong memberikan manfaat yang besar
bagi pendapatan keluarga peternak yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Tujuan teknologi yang menjadi prioritas adalah
teknologi Inseminasi Buatan, sarana prasarana agribisnia dan terknologi kesehatan hewan. Tujuan ekologi yang menjadi prioritas adalah sistem
pemeliharaan dan luasan lahan yang dimanfaatkan untuk komoditi pertanian dan peternakan. Tujuan kelembagaan yang menjadi prioritas adalah tersedianya
lembaga keuangan mikro untuk modal usaha dan terjadinya sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Tujuan sosial yang menjadi
prioritas adalah terlaksananya penyuluhan dan pelatihan bagi petani peternak yang berkesinambungan. Kesemuanya faktor ini menjadi salah satu bahan
pertimbangan dalam penyusunan strategi implementasi arahan kebijakan terpilih. Selanjutnya berdasarkan judgement semua stakeholder dan pakar pada setiap
level diperoleh bobot dan prioritas alternatif kebijakan pembangunan kawasan pengembangan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong. Hasil analisis
disajikan pada Gambar 40.
Gambar 40.
Bobot masing-masing alternatif kebijakan pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura
Nilai indeks konsistensi adalah 0,05 overall inconsistency, yang berarti nilai pembobotan perbandingan berpasangan pada setiap matriks adalah
konsisten. Hal ini juga berarti masing-masing responden telah memberikan jawaban yang konsisten.
Hasil AHP tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani dalam pengembangan komoditi unggulan
peternakan merupakan alternatif kebijakan yang memiliki bobot tertinggi 0,267 dan menjadi prioritas utama dalam pembangunan kawasan Kabupaten Jayapura.
Pertimbangan utama stakeholder memprioritaskan kebijakan ini, diharapkan terjalin kerjasama yang baik antara pemerintah, pengusaha atau investor dan
masyarakat adat yang mempunyai tanah ulayat. Hal ini dipandang penting dikarenakan dewasa ini tanah menjadi isu yang sangat aktual di Kabupaten
Jayapura karena dapat memberikan dampak langsung atau tidak langsung dari proses pembangunan yang menggunakan tanah seperti halnya pengembangan
kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan atau juga pengembangan kawasan lainnya dan perkembangan jumlah penduduk yang semakin meningkat
tidak disertai dengan peningkatan jumlah luas tanah. Isu ini akan menjadi lebih hebat lagi ketika tanah sebagai barang publik
berubah menjadi barang privat yang dikuasai oleh sekelompok kecil individu dengan menggeser sejumlah besar kelompok individu lainnya yang tak
mendapat kesempatan untuk tinggal dan menetap untuk mengelolah tanah. Jumlah penduduk jika dibandingkan dengan luas tanah dalam wilayah
Kabupaten Jayapura ini masih sangat cukup untuk menampung pertambahan penduduk beberapa tahun yang akan datang, tetapi penguasaan sebagaian
besar tanah yang luas masih pada komunitas masyarakat asli. Penguasaan tanah ini mulai beralih kepada swasta besar terutama untuk penguasaan hutan
yang akan digantikan dengan tanaman perkebunan, daerah industri dan lain-lain usaha swasta yang memperkecil luas tanah sebagai barang publik dan ada
sebagian kecil dari tanah yang dikuasi swasta digunakan untuk kepentingan umum kepentingan publik seperti pembangunan perumahan tempat tinggal,
gedung sekolah, taman hiburan dan perkebunan rakyat. Barang-barang ini digunakan oleh setiap individu atau kelompok yang membutuhkannya dengan
memberikan kontribusi pembayaran sebagai harga atas pelayanan publik yang diberikan oleh swasta dan ada bagian perhitungan presentase yang diberikan
kepada pemerintah sebagai bagian dari retribusi dan pajak menurut ketentuan yang dibuat dan diberlakukan oleh pemerintah.
Kepadatan penduduk di dalam wilayah kota distrik-distrik terkemuka Sentani, Nimboran, Depapre, dan Demta, menonjolkan konflik kepentingan
antara penguasaan tanah sebagai barang publik dan sebagai barang privat. Tanah-tanah yang seharusnya merupakan barang publik yang dikuasai secara
nyata oleh pemerintah ternyata dijual oleh anggota komunitas masyarakat setempat kepada individu yang berdiam di pusat-pusat kota distrik. Konsekuensi
dari pengalihan hak penguasaan itu adalah tanah publik di pusat kota distrik telah disekat-sekat menjadi tanah privat dan setiap petugas pemerintah yang
baru masuk untuk bertugas di distrik harus menyewa tempat tinggal yang dibangun oleh usaha privat Ayamiseba dan Giay, 2010.
Kabupaten Jayapura walaupun memiliki wilayah yang cukup luas namun cakupan wilayah ini tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah. Pemerintah
hanya mengatur ketertiban peruntukkannya mewakili negara atau daerah. Tanah-tanah dikuasai oleh ”komunitas masyarakat adat” yang menggunakannya
dengan pengaturan secara tradisi. Penggunaan tanah oleh pemerintah, swasta, dan kelompok atau perorangan dari luar komunitas masyarakat adat dilakukan
dengan pengalihan hak-hak tertentu secara adat dan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam wilayah Negara Republik Indonesia
atau pada lingkup daerah Kabupaten Jayapura di Provinsi Papua. Sebagai akibat dari berbagai kegiatan pembangunan yang difasilitasi oleh pemerintah termasuk
pemerintah Kabupaten Jayapura sejak tahun 1969, maka sebagian bangunan infrastruktur yang kelihatan secara fisik jalan , jembatan, gedung-gedung dan
sejumlah instalasi telah didirikan di atas tanah-tanah yang dibebaskan dari pengusaan kelompok masyarakat asli dan dikuasai oleh pemerintah, ada pula
yang tidak dibebaskan hak penguasaannya, masih dikuasai komunitas setempat. Setiap tahun pemerintah mengeluarkan biaya untuk meningkatkan kapasitas dan
jumlah fasilitas publik di atas tanah-tanah yang dikuasai komunitas masyarakat adat dan tanah-tanah yang dibebaskan penguasaannya dari komunitas ini.
Beberapa kasus pertanahan yang semakin marak terjadi, seperti pemalangan bandar udara, beberapa kantor pemerintah, pelabuhan laut, pusat
perbelanjaan, areal HPH, lokasi pemukiman transmigrasi dan sebagainya yang terjadi di Kabupaten Jayapura sejak dicanangkannya reformasi hingga saat ini
merupakan suatu koreksi terhadap kinerja pemerintah. Memperhatikan kondisi dan situasi yang akan datang dalam pelaksanaan pembangunan yang akan
berdampak secara langsung terhadap tanah-tanah hak ulayat, maka perlu ada pengaturan secara ketat tentang keberadaan hak ulayat tersebut dalam suatu
mekanisme peraturan perundang-undangan pada tingkat lebih bawah yaitu berupa peraturan daerah. Jika dilihat dari rentang waktu perjalanan
pemberlakuan Undang-Undang Pokok Agraria UUPA 1970 di Irian JayaPapua atas proses pengadaan tanah dan Keputusan Menteri Negara Agraria No. 5
Tahun 1999 menyebutkan bahwa daerah adalah daerah otonomi yang berwenang melaksanakan urusan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat sepanjang kenyataannya
masih ada dilakukan olek masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat; pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa penelitian
dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum
adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat dan instansi yang mengelola sumberdaya alam, maka
pemerintah masih mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap akses-akses tanah sebagai pusat kekuasaan perlu melibatkan masyarakat adat dalam setiap
proses pembangunan apabila hal itu menyangkut tanah-tanah hak ulayat terutama dalam hal penyusunan rencana tata ruang wilayah dan
mengikutsertakan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam rangka melaksanakan
pengembangan kawasan agropolitan yang berbasis agribisnis peternakan kiranya hal ini dapat diatur sesuai dengan kewenangan yang ada, sehingga
dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah ulayat dan adanya jaminan berusaha yang aman dari
pemerintah bagi pengusaha atau investor yang berminat menanamkan modalnya di bidang agribisnis peternakan sapi potong terutama untuk tempat berusaha.
Dengan terpelihara dan terjaminnya hak-hak individu maupun kelompok dalam masyarakat, maka apa yang menjadi esensi dari tujuan hukum sebagai suatu
keseimbangan akan hak dan kewajiban tersebut dapat terpenuhi, yaitu keadilan sehingga realisasi dari kebijakan pengembangan dan penguatan kemitraan
usahatani dalam pengembangan komoditi unggulan peternakan ini akan
mendorong percepatan pembangunan kawasan serta dapat menjadi faktor pendorong pelaksanaan lima alternatif kebijakan lain.
Prioritas kebijakan kedua adalah perbaikan peningkatan kualitas sumberdaya manusia khususnya petani dan pelaku usahatani melalui pelatihan
dan pendidikan bobot 0,224. Kebijakan kemitraan usaha dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia ini diharapkan diimplementasikan secara terpadu
untuk mendukung keberlanjutan dan percepatan pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia
dan kemitraan usahatani dapat dicapai dengan dukungan sarana dan prasarana yang sesuai kebutuhan kawasan yang mendukung kegiatan agribisnis dan
agroindustri peternakan. Prioritas kebijakan ketiga adalah penerapan teknologi budidaya
peternakan yang dapat meningkatkan populasi ternak sapi potong seperti teknologi inseminasi buatan 0,150. Prioritas kebijakan keempat pembangunan
dan pemeliharaan sarana dan prasarana kawasan guna menunjang ketersediaan sarana produksi pertanian dan pemasaran hasil pertanian bobot 0,138.
Prioritas kebijakan kelima adalah peningkatan jumlah populasi ternak sapi yang diusahakan bobot 0,115. Kebijakan ini pada dasarnya mendukung
implementasi kebijakan kemitraan usahatani. Prioritas keenam adalah peningkatan invstasi baik dari pemerintah, swasata maupun masyarakat
peternak bobot 0,106. Kebijakan ini diharapkan dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi wilayah untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan
berkelanjutan. Hasil analisis AHP tersebut telah disepakati oleh semua stakeholder dan
menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong di Kabupaten Jayapura. Pada FGD
disepakati bahwa hasil tersebut sesuai dengan keinginan semua stakeholder. Dengan demikian, implementasi kebijakan ini diharapkan dapat terlaksana
dengan baik.
5.8. Strategi Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Sapi Potong
Strategi implementasi kebijakan dibahas melalui focus group discussion FGD yang melibatkan stakeholder terkait. Pada FGD ini dibahas mengenai
faktor yang perlu diperhatikan peluang dan tantangan serta langkah strategis
yang dilakukan untuk keberhasilan pengembangan komoditi unggulan di Kabupaten Jayapura. Strategi implementasi kebijakan pengembangan kawasan
tetap memperhatikan faktor-faktor pengungkit yang mendukung percepatan pencapaian sasaran kebijakan tersebut, kondisi dan potensi kawasan, faktor
peluang dan kendala pelaksanan pembangunan kawasan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1997 tentang
Kemitraan, secara prinsip kemitraan usaha tetap diarahkan dapat berlangsung atas dasar norma-norma ekonomi yang berlaku dalam keterkaitan usaha yang
saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemudian di tindaklanjuti melalui SK Mentan No. 94-KptsOT.210101997 tentang
Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, dikatakan bahwa tujuan kemitraan usaha pertanian antara lain untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha,
meningkatkan kualitas sumberdaya petani mitra, peningkatan skala usaha serta dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok
mitra yang mandiri. Terdapat empat faktor pertimbangan dalam pengembangan kemitraan
usaha di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura yakni landasan hukum kemitraan, kapasitas sumberdaya manusia khususnya petani dan pengusaha,
sistem kemitraan usahatani, dan komoditi peternakan yang menjadi objek kemitraan usaha. Landasan pengembangan kemitraan di bidang pertanian dalam
Undang-Undang No.12 tahun 1992 tentang kemitraan badan usaha telah ditetapkan: badan usaha diarahkan untuk kerjasama secara terpadu dengan
masyarakat petani dalam melalukan usaha budidaya sapi potong, pemerintah dapat menugaskan badan usaha untuk pengembangan kerjasama dengan
petani. Mitra usaha bagi petani di Kabupaten Jayapura saat ini masih sebatas pemerintah. Sebagian besar petani masih berusaha sendiri atau bermitra dengan
pemerintah, belum dengan pengusaha. Karakteristik perekonomian kecamatan Kabupaten Jayapura berbasis
pada kegiatan pertanian. Hal ini terlihat dari hampir 90 keluarga di setiap desa berusaha di bidang pertanian terutama tanaman pangan, perkebunan,
peternakan dan perikanan. Hasil survai lapangan menunjukkan bahwa pola perekonomian masyarakat Kabupaten Jayapura baru beralih dari subsisten ke
komersial. Kendala utama dalam pengembangan perekonomian di wilayah ini
adalah tingkat pendidikan yang rendah dan pengetahuan tentang teknologi
budidaya masih belum maju. Selain itu kendala kapasitas sumberdaya manusia yang relatif terbatas untuk pengembangan komoditi peternakan dan juga
terbatasnya modal usaha serta sarana prasana agribisnis yang kurang memadai. Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan untuk mewujudkan kebijakan
pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan agribisnis komoditi peternakan unggulan adalah:
1. Mengembangkan kualitas sumberdaya manusia di kawasan agropolitan dalam penguatan kemitraan usaha.
Sebagian besar usaha peternakan tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM
usaha peternakan baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan
usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, usaha tersebut relatif
sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya disebabkan karena masih lemahnya
jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar. Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga,
mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat
terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta
didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik. Disamping itu
mentalitas dari masyarakat yang bergerak dalam agribisnis peternakan masih rendah. Semangat yang dimaksud disini, antara lain kesediaan terus
berinovasi, ulet tanpa menyerah, mau berkorban serta semangat ingin mengambil risiko. Suasana pedesaan yang menjadi latar belakang dari
usaha peternakan seringkali memiliki andil juga dalam membentuk kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja peternak di daerah berjalan dengan santai dan
kurang aktif sehingga seringkali menjadi penyebab hilangnya kesempatan- kesempatan yang ada.
Berdasarkan hal tersebut, maka kualitas sumberdaya manusia di kawasan Kabupaten Jayapura perlu diperhatikan. Ketersediaan sumberdaya
manusia ini baik secara kualitas maupun secara kuantitas sangat
mempengaruhi keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong. Pengembangan kualitas pelaku usaha sapi potong di
masa mendatang dilakukan dengan menempuh strategi dan pendekatan sistem rekruitmen terpadu terutama calon penerima ternak gaduhan.
Tujuannya yaitu untuk mendorong perubahan secara bertahap kapasitas peternak melalui pertukaran pengetahuan antara peternak yang sudah lama
memelihara sapi potong dengan peternak baru. Mekanisme ini akan mendorong peternak secara terus menerus meningkatkan keterampilan
usaha sapi potong di kawasan agropolitan, berusaha menemukan inovasi- inovasi baru dalam aspek manajemen, teknologi, kemampuan mengakses
modal, yang pada akhirnya menjadikan peternak yang dapat melaksanakan kegiatan usaha ternaknya pada kawasan agropolitan secara profesional dan
berdaya saing. Pelaku usahatani perlu pengetahuan yang baik tentang manajemen usaha ternak, sehingga kegiatan yang dilakukan dapat
berkelanjutan. Dengan demikian diperlukan pelatihan budidaya dan manajemen usaha ternak untuk komoditi peternakan unggulan. Pada
prosesnya perlu menyediakan tenaga pendamping untuk penerapan teknologi dan manajemen usaha ternaknya.
Pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana diatur Undang-undang No. 32 Tahun 2004 yang merupakan revisi dalam Undang-undang No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menghadapi berbagai tantangan bagi Pemerintah KotaKabupaten. Tantangan tersebut antara lain adalah
bagaimana daerah dapat mengelola sumber daya manusia, sebagai salah satu sumber kekuatan keberhasilan otonomi daerah. Karena, kualitas sumber
daya manusia yang tinggi memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap keberhasilan pembangunan daerah maupun nasional. Melihat pentingnya
peranan sumber daya manusia tersebut, menurut Tjiptoherijanto 1996, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1 kondisi dan kemampuan penduduk,
yang di satu sisi sebagai pelaku atau sumber daya bagi faktor produksi, di sisi lain sebagai sasaran atau konsumen bagi produk yang dihasilkan; 2
melihat besarnya jumlah penduduk Indonesia, sangat diharapkan penduduk menjadi potensi kekuatan ekonomi yang besar pula; 3 peluang usaha yang
sangat luas muncul karena perdagangan bebas serta makin terbukanya perdagangan antarnegara. Upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia tersebut, antara lain dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat
daerah yang diharapkan mampu menjadi pemrakarsa dan pemain bagi penciptaan produksi yang bermutu dan andal.
Dalam pemberdayaan masyarakat daerah, selain dilakukan reorientasi peran pemerintah pusat, juga secara sistematis dan konsisten melakukan
penyadaran terhadap masyarakat daerah melalui isu-isu lokal yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Upaya yang dilakukan lebih
bersifat partisipatoris sehingga mampu menumbuhkan kemampuan masyarakat lokal. Strategi lain adalah melakukan tekanan secara politik
terhadap institusi-institusi lokal seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif khususnya yang menyangkut fungsional kinerja mereka. Tekanan ini
dimaksudkan untuk mendorong perbaikan-perbaikan pada kinerja institusi- institusi formal tersebut agar mampu merespons, merencanakan serta
melaksanakan aspirasi-aspirasi yang berkembang di kalangan masyarakat. Elemen terpenting di dalam mengimplementasikan pembangunan
masyarakat pertanian adalah elemen pemberdayaan sumber daya manusia petani yang menempati posisi sangat strategis yaitu berperan sebagai pelaku
utama dan subyek pembangunan prime mover to development. Dalam rangka pemberdayaan petani farmer development, kunci
pertama dan utama adalah ‘percaya kepada petani.’ Dengan demikian peran petani dalam pembangunan masyarakat adalah krusial dalam pengertian
sebagai penentu keberhasilan pembangunan yang sangat berperan aktif dalam seluruh aspek kegiatannya. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi termasuk kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian yang berdimensi masyarakat harus
dirancang sedemikian rupa sehingga dapat berakhir di petani dan berawal dari petani.
Oleh karena itu komponen pemberdayaan petani menjadi sangat mutlak, yaitu sebagai upaya strategis dan sistematis yang pada hakekatnya
merupakan pendidikan nonformal bagi pembangunan perilaku petani dan keluarganya termasuk kelembagaannya. Hal ini dimaksudkan agar mereka
dapat memahami dan memiliki kemampuan dan kesempatan dalam mengelola usaha tani maupun usaha ternak pertanian sebagai usaha dan
industri dan mampu berswadaya sehingga dapat memberikan keuntungan yang memuaskan hidupnya.
Peran penyuluh pertanian dalam pembangunan masyarakat pertanian sangatlah diperlukan. Dalam arti bahwa peran penyuluh pertanian tersebut
bersifat ‘back to basic’, yaitu penyuluh pertanian yang mempunyai peran sebagai konsultan pemandu, fasilitator dan mediator bagi petani. Dalam
perspektif jangka panjang para penyuluh pertanian tidak lagi merupakan aparatur pemerintah, akan tetapi menjadi milik petani dan lembaganya. Untuk
itu maka secara gradual dibutuhkan pengembangan peran dan posisi penyuluh pertanian yang antara lain mencakup: penyedia jasa pendidikan
konsultan termasuk di dalamnya konsultan agribisnis, mediator pedesaan, pemberdaya dan pembela petani, petugas profesional dan mempunyai
keahlian spesifik. Jika selama ini peran petani terlalu diabaikan dalam pembangunan
daerah di Kabupaten Jayapura, maka mulai saat ini dan pada masa yang akan datang, peran pertanian dalam pembangunan daerah akan semakin
terfokus pada: 1 sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi daerah, termasuk sebagai sumber penerimaan PAD; 2 sebagai penyedia pangan dan papan;
3 sebagai penyedia bahan baku industri; 4 sebagai penciptaan kesempatan dan perluasan lapangan kerja; 5 sebagai pemicu pemerataan
pembangunan daerah, dan 6 sebagai faktor pendukung stabilitas daerah. Peran pertanian yang unik tersebut memerlukan pendekatan khusus dalam
merumuskan kebijakannya. Untuk mengoptimalkan peran tersebut diperlukan transformasi pembangunan pertanian ke arah agribisnis dan agroindustri,
sehingga sektor pertanian dapat menjadi sektor unggulan leading sector dalam pembangunan ekonomi daerah di Kabupaten Jayapura.
Herawati dan Junanto 2003, mengatakan bahwa dalam
melaksanakan pembangunan pertanian sering dijumpai keterbatasan sumber daya yang dimiliki khususnya sumber daya manusia, sehingga diperlukan
skala prioritas dalam pengembangan agroindustri. Pada tahap awal agroindustri yang dikembangkan adalah agroindustri unggulan dengan
kriteria sebagai berikut: 1 nilai dan peluang ekspor atau nilai substitusi impor tinggi; 2 daya saing dan nilai tambah produk tinggi serta dapat
ditingkatkan melalui pemanfaatan teknologi; 3 memiliki keunggulan komparatif yang dapat dikembangkan melalui pemanfaatan, pengembangan,
serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk dapat menciptakan petani yang mampu melaksanakan agroindustri unggulan tersebut maka kelembagaan yang ada di tingkat petani
perlu dibenahi. Reformasi kelembagaan pertanian untuk mewujudkan sistem pertanian dengan agribisnis dan agroindustri yang berdaya saing tinggi
memerlukan organisasi lembaga pertanian yang mampu mengemban visi dan misi pembangunan pertanian, mampu mengantisipasi tantangan
pembangunan pertanian, mampu memanfaatkan peluang dan secara konsisten mampu mendinamisasikan seluruh pelaku pertanian dalam
melaksanakan strategi dan kebijakan pembangunan pertanian, serta mampu menjadi dinamisator dan katalisator bagi masyarakat dalam pembangunan
pertanian. Berdasarkan hal tersebut, kelembagaan masyarakat pertanian disusun
dalam unit-unit yang secara struktural dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: 1 pengembangan dan pembinaan sarana produksi pertanian
pengairan, peralatan dan mesin pertanian, pupuk, dan lain sebagainya; 2 pengembangan dan pembinaan dalam mengembangkan budidaya pertanian
yang berwawasan agribisnis; 3 pengembangan dan pembinaan dalam pengolahan hasil pertanian yang berwawasan agroindustri; 4
pengembangan dan pembinaan dalam mengembangkan sistem perdagangan pertanian yang berwawasan nasional dan internasional; 5
pengembangan dan pembinaan untuk meningkatkan kualitas SDM dan iptek; dan 6 pengembangan dan pembinaan dalam meningkatkan kesejahteraan
pelaku pertanian dan peran pertanian dalam ekonomi daerah dan nasional.
2. Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana untuk mendukung peningkatan kemitraan usaha dan investasi
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang
dimiliki peternak juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, tak jarang
pelaku agribisnis peternakan kesulitan dalam memperoleh tempat untuk menjalankan usahanya yang disebabkan karena mahalnya harga sewa atau
tempat yang ada kurang strategis. Salah satu faktor yang dapat mendorong minat pengusaha untuk mengembangkan usahanya adalah jaminan
keberlanjutan dan kelancaran usaha. Untuk itu diperlukan investasi pemerintah untuk menjadi stimulus bagi pengusaha untuk berinvestasi di
Kabupaten Jayapura dan melakukan kemitraan dengan petani. Investasi pemerintah yang paling penting adalah pembangunan sarana dan prasarana
terutama fasilitas jalan darat dalam rangka memperkuat aksesibilitas masyarakat melalui upaya peningkatan status seluruh ruas jalan kabupaten
menjadi jalan propinsi dan seluruh ruas jalan desa menjadi jalan kabupaten, memantapkanmenyempurnakan jalan-jalan poros desa yang menjadi sentra-
sentra transportasi antar desa – distrik - kabupaten dan provinsi, mendorongmengembangkan partisipasi masyarakat perdesaan dalam hal
membantu memeliharamerawat jalan-jalan yang sudah ada dan mengatasi setiap permasalahan yang berkait dengan aktivitas transportasi di desa
masing-masing, sesuai kemampuan sumberdaya yang dimiliki, dan memantapkan dan menyempurnakan rencana tata ruang di bidang
transportasi dengan berbagai implikasinya, karena upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan strategi peningkatan investasi pemerintah
dalam menunjang kemitraan usahatani antara masyarakat dan pengusaha adalah: mengembangkan sistem keterkaitan antara sarana dan prasarana
kawasan yang menunjang pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial masyarakat. Sistem keterkaitan sarana dan prasarana kawasan yang paling
menunjang pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura adalah jaringan transportasi. Moda transportasi yang dikembangkan sebaiknya yang
terjangkau oleh masyarakat dalam menunjang aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat disesuaikan dengan kondisi jalan yang ada dan pertimbangan
rencana pembangunan jalan serta daya beli mayarakat kawasan Kabupaten Jayapura.
Kondisi kawasan agropolitan yang relatif jauh dari pusat kegiatan wilayah Kabupaten Jayapura, sehingga dalam melaksanakan pembangunan
jalan perlu diprioritaskan pada jalan yang merupakan penghubung aktivitas usahatani masyarakat. Terdapat dua jenis jalan yang memiliki strategis dalam
pengembangan kawasan Kabupaten Jayapura yakni jalan poros penghubung kawasan agropolitan dengan kawasan pusat pertumbuhan ekonomi lainnya
dan jalan penghubung antar desa yang memiliki komoditi unggulan. Pembangunan jalan yang menjadi prioritas dilakukan melalui
kerjasama pemerintah daerah dan pengusaha. Hal ini sebagai insentif pemerintah daerah dan pengusaha terhadap pengembangan kawasan.
Pemeliharaan jalan diharapkan partisipasi semua stakeholder terkait.
Investasi lainnya berupa pembangunan sarana dan prasarana kawasan, dukungan penyiapan teknologi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia,
dan apsek hukum berkaitan dengan kepemilikan lahan.
3. Kebijakan pengembangan sapi potong yang berintegrasi dengan tanaman pertanian untuk mendukung kemitraan usaha.
Kebijakan ini diharapkan merupakan solusi jangka panjang untuk dikembangkan di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura, dengan kunci
menemukan pakan ternak dari beragam limbah pertanian dan sumberdaya tanaman tahunan, tentunya bukan untuk mengganti pakan konvensional,
melainkan untuk memperkuat ketahanan pangan dalam ekosistem lahan dikarenakan dengan kebijakan ini dapat mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya lokal seperti pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak dan kotoran ternak sapi dapat diproses menjadi pupuk organik yang
sangat bermanfaat untuk memperbaiki unsur hara yang dibutuhkan tanaman sehingga tidak ada limbah yang terbuang Zero waste.
Ada tiga komponen teknologi utama dalam kebijakan ini yakni a. Teknologi budidaya tenak. b. teknologi budidaya pertanian. c. dan
teknologi pengolahan limbah pertanian dan kompos. Agar ketiga komponen tersebut dapat diintegrasikan secara sinergis, maka pengembangan
kebijakan ini dilakukan dengan pendekatan kelembagaan. Pendekatan kelembagaan dalam pemgembangan sapi potong yang berintegrasi dengan
tanaman pertanian adalah kerjasama kelompok peternak dimana kepemilikan lahan pertanian dan ternak secara individu tetap ada, seperti
pengumpulan limbah pertanian, pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil. Dalam sistem kegiatan ini petani yang ingin memproduksi kompos
mendapat kredit dalam jumlah yang memadai dengan proses yang mudah dalam waktu relatif singkat.
Sedangkan yang dihasilkan seperti pedet atau sapi bakalan adalah bonus yang dapat diperoleh setiap tahunnya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya
adalah upaya meningkatkan keterampilan sumberdaya manusia, agar mereka mampu menangani usahanya secara profesional. Pembinaan juga
sangat diperlukan terhadap kelembagaan keuangan setempat agar mampu mandiri. Contohnya pembentukan kelompok usaha agribisnis terpadu
KUAT.
Dalam hal pengadaan dan pemasaran hasil dapat dilakukan kerjasama dengan swasta. Didalam kerjasama ini akan terlihat hubungan
secara vertikal yang memberdayakan kelompok ternak secara optimal yang tujuannya adalah dalam satu kelompok akan mendapatkan nilai tambah
yang lebih besar. Sehingga pada era perdagangan bebas ini, sistem produksi pertanian khususnya peternakan harus senantiasa dikelola dengan
beroientasi pada permintaan pasar. Sistem pemasaran yang perlu diperbaikai untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi kawasan seperti:
Penguatan pasar dalam daerah yang diikuti dengan tingkat proteksi yang memadai;
Pengembangan infrastruktur pemasaran sarana dan kelembagaan pasar;
Pengembangan sistem informasi pemasaran; Pengembangan pasar keluar daerah serta penguatan negosiasi dan
lobby di forum regional. Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura harus melakukan pembinaan
dan koordinasi dengan pengusaha pedagang pengumpul, pedagang besar dalam mempertahankan tingkat harga yang layak agar petani dan
peternak tetap tertarik melakukan usahanya di bidang pertanian dan peternakan.
Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura harus melakukan inisiasi dalam promosi dan kerja sama dengan pengusaha diluar daerah.
Dengan demikian untuk menghasilkan produk ternak sapi potong yang kompetitif, ketersediaan pakan dan keberadaan lokasi usaha sangat
menentukan. Manfaat yang dapat diambil dari kebijakan ini adalah 1 berputarnya pergerakan modal dari daerah perkotaan ke pedesaan, antara
lain berupa bantuan kredit bank, kerjasama kemitraan dan investasi lain. Keadaan ini mendorong terbukanya kesempatan kerja dan pemerataan
pendapatan, 2 pemanfaatan limbah pertanian dan agroindustri yang lebih bermanfaat 3 dengan berkembangnya usaha penggemukan sapi dapat
mengurangi biaya-biaya yang dikeluarkan selama transportasi, 4 terkumpulnya kotoran ternak yang diolah menjadi kompos dan terciptanya
perbaikan lingkungan berupa penghijauan serta penyuburan kualitas tanah pertanian dipedasaan, 5 daerah pedesaan merupakan basis
pengembangan ternak sapi potong. Ada tiga prinsip yang harus dipenuhi
salah satunya adalah mengurangi ketergantungan impor daging dari luar derah. Dimana yang selama ini ketergantungan akan daging impor dan sapi
bakalan yang cenderung meningkat dapat dikurangi secara bertahap.
4. Kebijakan sistem kemitraan usaha dalam meningkatkan pertumbuhan sektor keuangan sebagai sumber modal usaha peternakan.
Kemampuan sumber-sumber di dalam negeri saat ini sangat terbatas baik dari segi penyediaan dana, penguasaan teknologi maupun kemampuan
memasuki pasar global. Demikian pula tentang tersedianya prasarana dan sarana untuk menunjang perkembangan investasi khususnya di Kawasan
Timur Indonesia KTI. Dalam perekonomian global, kegiatan ekonomi tidak lagi mengenal batas negara, sehingga negara yang paling siap dalam
memberikan pelayanan maupun jaminan keamanan untuk tempat investasi tentu menjadi pilihan utama bagi para investor untuk menanamkan
modalnya. Dalam rangka meningkatkan daya saing, pemerintah pusat maupun
daerah berupaya memperbaiki iklim investasi di Kabupaten Jayapura agar lebih kondusif bagi masuknya investor. Beberapa kondisi yang diinginkan
oleh investor antara lain : a perlakuan yang sama dalam hukum; b konsistensi dalam pelaksanaan peraturan; c adanya jaminan berinvestasi
dan berusaha; d kebijaksanaan yang transparan; dan e kemudahan dan kesederhanaan prosedur perizinan.
Potensi pengembangan peternakan memiliki prospek yang cerah, karena Papua khususnya Kabupaten Jayapura memiliki sumberdaya yang
cukup besar. Dalam upaya pengembangannya pemerintah senantiasa berusaha mengkaitkan dengan segala usaha kecil dan menengah melalui
program kemitraan dengan berbagai pola yang dapat memberikan dampak yang cukup besar terhadap peningkatan pendapatan dan mutu hasil
pertanian rakyat. Mengingat sumber pembiayaan pemerintah yang semakin terbatas,
maka untuk menggerakkan usaha di sektor peternakan diperlukan kebijakan pengembangan peternakan yang mendorong tumbuhnya peluang investasi
dalam usaha agribisnis peternakan dan mendorong terciptanya peluang pasarpromosi potensi agribisnis peternakan. Peluang investor di subsektor
peternakan masih terbuka lebar bagi para investor baik dari hulu, budidaya maupun industri hilir. Salah satu peluang investasi subsektor peternakan
adalah peluang investasi untuk pengembangan sapi potong di Papua Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternak. Dengan daya dukung potensi
wilayah yang cocok untuk pengembangan sapi potong, potensi sumberdaya yang cukup, ketersediaan pakan ternak dan transportasi yang cukup
memadai. Pada umumnya pemeliharaan peternakan sapi potong di Papua
khususnya Kabupaten Jayapura, masih bersifat tradisional dan para peternak masih kekurangan modal usaha. Pengembangan ternak sapi
potong disamping untuk kebutuhan lokal, juga untuk mengantisipasi permintaan daging dari perusahaan pertambangan untuk konsumsi
karyawanya seperti PT. Freeport di Kabupaten Mimika dan negara tetangga PNG yang pada saat ini belum terpenuhi. Apabila dilihat dari potensi dan
daya dukung tersebut di atas, maka peternakan sapi potong cukup menjanjikan, oleh karena itu masih terbuka bagi para investor baik dari dalam
negeri maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya. Ketersediaan modal dalam pembiayaan usaha peternakan memiliki peran sangat penting.
Adanya sumber pembiayaan yang mudah diakses peternakpengusaha dan memiliki persyaratan ringan akan mampu menggerakkan berbagai usaha di
subsektor peternakan. Melihat kondisi tersebut maka untuk mendukung pembangunan subsektor peternakan diperlukan dukungan pembiayaan bagi
para pelaku agribisnis, baik skim kredit perbankan maupun non perbankan yang perlu dioptimalkan untuk mendukung usaha peternakan. Dengan
kondisi seperti ini maka strategi permodalan untuk peternak yang dapat diterapkan di Kabupaten Jayapura adalah 1 Strategi bantuan permodalan
kredit dengan sistem agunan, 2 Strategi bantuan permodalan kredit dengan selektif, 3 Strategi bantuan permodalan dengan cuma-cuma, dan
4 Strategi bantuan permodalan kredit dengan pola kemitraan. Strategi pengembangan bantuan dengan pola kemitraan
dikembangkan dalam upaya mengatasi permasalahan yang dimiliki peternak seperti; masih kurangnya sumber daya manusia dinas, masih rendahnya
pendapatan masyarakat tani ternak, penguasaan teknologi yang masih rendah, kurangnya informasi pasar, masih rendanya pembinaan, terbatasnya
sarana prasarana serta masih rendahnya kemampuan manajemen usaha oleh peternak. Selain itu juga bertujuan untuk menghindari terjadinya
tunggakan kredit modal yang diperbantukan. Strategi ini juga diharapkan
dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki untuk pengembangan ternak seperti ketersediaan sumberdaya lahan dan hijauan makanan ternak,
tingginya motivasi masyarakat peternak serta adanya koordinasi dengan instansi terkait dalam upaya menjemput peluang yang ada seperti
peningkatan hasil pertanian dan peternakan, otonomi daerah, adanya pasar ekspor, adanya pola kemitraan, adanya kebijakan pemerintah untuk
mendukung sektor pertanian peternakan dan kecenderungan politik dan keamanan yang semakin membaik. Bantuan permodalan dengan pola
kemitraan juga diharapkan dapat menghindari ancaman yang terjadi seperti masih tingginya tingkat suku bunga komersial, masuknya barang dari luas,
biaya transportasi yang masih tinggi, pertumbuhan ekonomi daerah masih rendah, sumber modal Pemerintah Daerah yang masih rendah dan sulitnya
informasi pasar. Strategi bantuan permodalan dengan sistem agunan ini dikembangkan
dalam upaya mengantisipasi kelemahan yang dimiliki seperti kurangnya sumberdaya manusia pada dinas, masih rendahnya manajemen
pengorganisasian dinas dan terbatasnya sarana prasarana, serta upaya menghindari adanya kendala seperti tingkat suku bunga komersial yang
tinggi dan keraguan investor. Strategi bantuan modal kredit dengan cara selektif lebih diarahkan
pada petani dan peternak yang sudah memiliki usaha yang jelas, sehingga modal yang digunakan untuk pengembangan usaha dan peningkatan
investasi. Sedangkan strategi bantuan permodalan dengan cuma-cuma dikembangkan dalam upaya mengatasi permasalahan yang dimiliki seperti;
masih rendahnya pendapatan masyarakat, lahan usaha yang masih kecil dan kelembagaan petani dan dinas yang belum berjalan dengan baik. Bantuan
permodalan dengan cuma-cuma dapat merangsang peternak untuk meningkatkan hasil produksi ternaknya, namun bantuan ini diberikan kepada
peternak yang benar-benar tidak memiliki modal yang cukup tapi memiliki kemauan dan motivasi yang kuat untuk beternak.
Implementasi strategi pengembangan bantuan modal bagi peternak di Kabupaten Jayapura memerlukan implikasi kebijakan dalam pelaksanaannya
dengan melihat permasalahan yang dihadapi selama ini, sehingga dapat menentukan solusi yang perlu ditentukan untuk mengatasi permasalahan.
5.9. Arahan kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Yang Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, maka penyusunan lokasi kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura diarahkan untuk
memanfaatkan potensi yang sudah ada baik potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun peluang pengembangan kawasan yang sudah
ada. Hal ini berarti bahwa penentuan lokasi kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura diupayakan untuk mengeffisienkan investasi yang akan dilakukan
dengan jalan menempatkan lokasi kawasan agropolitan sesuai dengan ketersediaan sumberdaya alam, pola pemanfaatan ruang yang sudah ada dan
kelengkapan ketersediaan sarana prasarana ekonomi, transportasi dan komunikasi. Faktor lain yang turut diperhitungkan adalah kesiapan aparat
pemerintah dan kemampuan sosial masyarakat. Kesiapan aparat pemerintah baik pemerintahan distrik maupun kampung yang dimaksud adalah kesiapan
aparat dalam menyikapi peluang pengembangan daerahnya dalam bentuk komitmen untuk bekerjasama dengan masyarakat dan bekerja keras demi
pembangunan daerahnya. Kemampuan social masyarakat yang dituntut adalah kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan berbagai persoalan dasar yang
menyangkut pengembangan daerah, komitment anggota masyarakat termasuk tokoh agama dan tokoh masyarakat secara bersama-sama untuk menjawab
peluang peningkatan taraf hidup masyarakat secara menyeluruh termasuk keterbukaan masyarakat untuk menerima perbedaan-perbedaan di antara
anggota masyarakat.
1. Kawasan Pusat Agropolitan
Mempertimbangkan kemampuan masyarakat dalam menjalankan usahatani baik tanaman bahan makanan, perkebunan dan usaha ternak,
kelengkapan ketersediaan sarana prasarana ekonomi, transportasi dan komunikasi di wilayah studi termasuk letak kawasan terhadap berbagai lokasi
di wilayah studi, maka Kawasan Pusat Agropolitan KPA dinominasikan Ibukota Distrik Nimboran. Penduduk Distrik Nimboran menunjukan
keunggulan dalam melaksanakan berbagai usahatani yang tampak dari performance usahataninya yang lebih baik di banding distrik lainnya di
kawasan studi seperti usaha tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan dan usaha ternak sapi.
Distrik Nimboran juga memiliki keunggulan kelengkapan ketersediaan sarana prasarana ekonomi seperti, bank dan koperasi, sarana dan prasarana
kesehatan seperti puskesmas, sarana prasarana komunikasi berupa telepon satelit dan listrik dan sarana prasarana transportasi berupa jalan, jembatan
dan ketersediaan berbagai kendaraan baik roda 2, roda 4 dan roda 8. Selanjutnya, Distrik Nimboran mudah dijangkau dari berbagai lokasi di
wilayah studi mengingat tersedianya ruas jalan yang menghubungkan distrik ini dengan lokasi lain di dalam wilayah studi.
Selain Distrik Nimboran, Distrik Kemtuk terutama daerah di sekitar Kampung Mamda Yawan berpotensi pula untuk dikembangkan menjadi
Kawasan Pusat Agropolitan. Distrik Kemtuk mudah dijangkau dari berbagai lokasi di wilayah studi termasuk letaknya yang lebih dekat ke Kota Outlet
Jayapura dibandingkan dengan distrik lainnya di wilayah studi. Walaupun kelengkapan ketersediaan sarana prasarana ekonomi tidak sebaik Distrik
Nimboran, Distrik Kemtuk memiliki sarana prasarana transportasi berupa jalan yang memadai dan menjangkau seluruh areal di wilayah studi. Selain
itu lahan di sekitar Kampung Mamda Yawan tidak cocok untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian mengingat sebagian besar kondisi
tanahnya berbatu cadas. Kondisi lahan seperti ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan perkantoran sehingga tidak mengorbankan
lahan-lahan potensial untuk usaha pertanian.
2. Letak Terhadap Kawasan Lain
Letak kawasan agropolitan terhadap pusat-pusat kegiatan lainnya dapat dilihat pada Gambar 41, dan beberapa pertimbangan yang mendasari
nominasi pusat-pusat distrik adalah: a. Kawasan Unit Penghasil Komoditas KUPK tersebar di seluruh wilayah
studi. Oleh karenanya perlu dibangun kawasan sentra produk di setiap pusat distrik.
b. Pusat-pusat distrik adalah daerah yang lebih berkembang dibanding lokasi-lokasi lain di dalam distrik.
c. Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang pengembangan kawasan sentra produksi di pusat-pusat distrik lebih lengkap dibanding lokasi
lainnya di dalam distrik.
d. Pusat-pusat distrik umumnya merupakan lokasi yang mudah dijangkau baik dari lokasi-lokasi lain di dalam distrik maupun dari lokasi lain di luar
distrik. Kawasan Agropolitan yang berlokasi di ibukota Kecamatan Nimboran
terletak di sebelah Barat Daya ibukota Kabupaten Jayapura Sentani atau ibukota provinsi Papua Jayapura. Letak Pusat Agropolitan terhadap
ibukota distrik dalam kawasan agropolitan masing-masing di sebelah Barat Laut adalah ibukota Distrik Nimbokrang Nimbokrang Sari yang berjarak
10.8 km, di sebelah Tenggara adalah ibukota Distrik Kemtuk Gresi Sawoy yang berjarak 12.4 km, dan di sebelah Timur adalah ibukota Distrik Kemtuk
Sabron Samon yang berjarak 26.3 km. Kota outlet yaitu Sentani dan Jayapura masing-masing berjarak 55.7
km dan 84 km terletak di sebelah Timur Laut Kawasan Agropolitan. Beberapa daerah yang potensial untuk dikembangkan sebagai kota
pelabuhan yakni Demta dan Depapre terletak masing-masing di sebelah Utara dan Timur Laut Kawasan Agropolitan. Jarak pusat agropolitan ke
Demta dan Depapre masing-masing adalah 35.84 km dan 76.4 km. Sarana prasarana penting lainnya yang menunjang pengembangan
kawasan agropolitan adalah Rumah Pemotongan Hewan RPH yang terletak di daerah Yoka. Jarak pusat agropolitan ke Yoka adalah 58 km
melalui jalur Genyem – Borowai – Sentani. 5.9.1. Kriteria Kawasan
Kriteria kawasan menyangkut keberadaan berbagai komponen lingkungan suatu kawasan dan menjadi faktor penentu berfungsinya setiap
subsistem agribisnis di kawasan bersangkutan. Berfungsinya setiap subsistem agribisnis dilihat dari aspek intensitas dan keberlanjutan serta kualitas fungsi
setiap subsistem agribisnis ditentukan oleh keberadaan komponen-komponen lingkungan kawasan bersangkutan. Artinya, tingkat keberlanjutan dan intensitas
serta kualitas berfungsinya setiap subsistem agribisnis adalah proporsional dengan tingkat keberadaan komponen-komponen lingkungan yang lazim disebut
sebagai potret kawasan. Hal ini berarti pula tingkat keberadaan setiap komponen lingkungan kawasan dapat digunakan sebagai kriteria untuk
menentukan ke dalam tingkat kelayakan mana kawasan itu berpotensi untuk
dikembangkan menjadi kawasan agropolitan. Apakah kawasan itu layak, kurang layak, ataukah tidak layak untuk dikembangkan menjadi sebuah kawasan.
Berdasarkan hasil identifikasi yang diperkenalkan oleh Departemen Pertanian, komponen-komponen lingkungan kawasan adalah: 1 sumber daya
alam dan agroklimat, 2 prasaranasarana agribisnis, 3 prasaranasarana umum, 4 prasaranasarana kesejahteraan sosial, dan 5 kelestarian
lingkungan. Tingkat keberadaan masing-masing kawasan inilah yang ditempatkan sebagai kriteria kawasan. Sebagai pedoman, Departemen
Pertanian memperkenalkan 5 prasyarat yang perlu dimiliki suatu kawasan agar dapat dikembangkan menjadi kawasan agropolitan.
1. Memiliki sumber daya alam dan agroklimat yang sesuai untuk pengembangan komoditas bernilai pasar tinggi.
2. Memiliki prasaranasarana agribisnis yang memadai. 3. Memiliki prasaranasarana umum atau infrastruktur yang memadai.
4. Memiliki prasaranasarana kesejahteraan sosial yang memadai. 5. Berlangsungnya suatu kondisi kelestarian lingkungan hidup.
Kriteria kawasan yang mencakup 4 distrik yakni Distrik Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk, dan Distrik Kemtuk Gresi berdasarkan potret kawasan
yang telah diidentifikasi dan dengan memperhitungkan 5 prasyarat kawasan agropolitan dapat dijelaskan seperti di bawah ini.
1. Sarana dan prasarana agribisnis.
Jenis prasaranasarana agribisnis penting yang telah terdapat di kawasan ini adalah bank yakni BRI dan Bank Papua, pasar, KUD dan Kios
Sarana Produksi Pertanian. Intensitas kegiatan yang berlangsung pada setia jenis prasanasarana ini masih terbatas, dan kondisi fisik bangunan masing-
masing prasaranasarana tergolong kecil dan sederhana. Namun keberadaannya mampu menempatkan kawasan ini memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura. Pemusatan letak sebagian besar prasaranasarana ini di Distrik Nimboran
menempatkan Distrik Nimboran layak menjadi pusat kawasan agropolitan.
Sarana prasarana umum.
Jenis sarana prasarana umum atau infrastruktur yang telah terdapat di kawasan ini yang mencakup Distrik Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk dan Distrik
Kemtuk Gresi adalah jalan, telekomunikasi, pos dan giro, listrik, dan air bersih.
1 Jalan
Jalan darat merupakan satu-satunya prasaranasarana transportasi vital yang menjamin mobilitas input maupun output pembangunan sektor pertanian
disamping sektor-sektor lain di kawasan ini. Jaminan mobilitas input maupun output pembangunan sektor pertanian dari kawasan ke pusat-pusat pelayanan
kegiatan subsistem agribisnis hilir di luar kawasan seperti pasar dan pelabuhan ekspor-impor serta rumah potong hewan yang berskala regional dimungkinkan
oleh jalan poros yang telah ada. Selain jalan poros yang telah ada juga telah dirintis dua jaringan jalan poros alternatif. 1 Jaringan jalan poros dari “Padang
Rumput Bonggrang” memasuki pasar dan pelabuhan ekspor-impor di Kota Kabupaten dan Kotamadya Jayapura melalui Kampung Maribu. 2 Jaringan
jalan poros dari Pusat Kota Distrik Kemtuk memasuki pasar dan pelabuhan ekspor-impor di Kota Kabupaten Jayapura dan Kotamadya Jayapura melalui
Kampung Yoka sebagai rumah potong hewan. Jaringan jalan poros yang telah ada sekarang telah mampu menjadi prasyarat bagi Distrik Nimboran dan
Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi untuk dapat mengembangkan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura kea rah yang lebih
baik. Badan jalan poros dan jembatan yang telah ada sekarang perlu diperbaiki dan dikembangkan secara bertahap serta dipelihara secara berkelanjutan sesuai
kebutuhan kegiatan berbagai subsistem agribisnis di kawasan agropolitan selama tahapan operasional.
Jalan simpang atau jalan kampung yang telah ada sekarang sebagian besar masih merupakan jalan tanah dan pengerasan. Namun jalan ini telah
mampu memperlancar hubungan antara kampung dan pusat-pusat kota distrik pada masing-masing distrik, dan juga telah mampu menjamin hubungan antara
Distrik Nimbokrang dan Distrik Kemtuk serta Distrik Kemtuk Gresi dengan Distrik Nimboran. Keragaan transportasi darat yang terujud sekarang merupakan salah
satu kriteria yang telah memposisikan Distrik Nimboran sebagai pusat kawasan agropolitan dan Distrik Nimbokrang, Kemtuk Gresi serta Distrik Kemtuk sebagai
hinterland kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura. Badan jalan kampung dan jembatan yang telah ada sekarang perlu dipelihara secara berkelanjutan dan
dikembangkan secara bertahap sesuai kebutuhan kegiatan berbagai subsistem agribisnis di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura setelah kegiatan
pengembangan kawasan agropolitan ini telah mencapai tahapan operasinal.
2 Listrik
Jaringan listrik telah menjangkau sebagian besar kampung dan seluruh kelurahan di Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Distrik
Kemtuk Gresi. Lama pelayanan listrik pada setiap sambungan termasuk sambungan ke rumah-rumah tinggal berlangsung 24 jam dalam setiap hari.
Kinerja pelayanan listrik ini tampak mirip seperti di daerah-daerah lain di Provinsi Papua yakni kadang-kadang terjadi pemadaman secara bergiliran disamping
padam tiba-tiba. Walaupun demikian keberadaan prasaranasarana listrik sekarang telah mampu memposisikan Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta
Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi untuk dikembangkan menjadi kawasan agropolitan, dengan tetap memberi perhatian besar pada upaya pemeliharaan
jaringan listrik secara berkelanjutan, dan pengembangannya secara bertahap sesuai kebutuhan kegiatan berbagai subsistem agribisnis selama kegiatan
pengembangan kawasan agropolitan ini telah mencapai tahapan operasional.
3 Telekomunikasi
Prasaranasarana telekomunikasi membatasi jumlah sambungan telepon otomat yang sangat terbatas yakni 25 sambungan dan terkonsentrasi di Distrik
Nimboran, sehingga belum memungkinkan seluruh penduduk kampung dapat berkemunikasi dengan daerah lain secara lebih intensif. Walaupun demikian
kondisi prasaranasarana telekomunikasi yang telah ada sekarang dapat digunakan sebagai kriteria yang memposisikan Distrik Nimboran dan
Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi untuk pengembangan selanjutnya menjadi kawasan agropolitan yang lebih maju. Pemusatan lokasi
prasaranasarana telekomunikasi menjadi salah satu kriteria yang memposisikan Distrik Nimboran sebagai pusat kawasan agropolitan, dan 3 distrik lainnya
menjadi hinterland. Prasaranasarana telekomunikasi yang telah ada sekarang perlu dipelihara secara berkelanjutan dan dikembangkan secara bertahap sesuai
kebutuhan kegiatan berbagai subsistem agribisnis pada saat kegiatan pengembangan kawasan agropolitan telah mencapai tahapan operasional.
4 Pos dan Telekomunikasi.
Sarana prasarana pos dan giro masih terbatas yakni lokasinya terpusat di Distrik Nimboran, sehingga tidak memungkinkan penduduk kampung di luar
Distrik Nimboran untuk berkomunikasi tertulis dengan cara yang lebih intensif. Namun keberadaan prasaranasarana pos dan giro sekarang dapat digunakan
sebagai satu kriteria yang menempatkan keempat distrik ini menjadi kawasan agropolitan. Pemusatan lokasi prasaranasarana pos dan telekomunikasi yang
telah ada sekarang di Distrik Nimboran dapat digunakan sebagai satu kriteria yang memposisikan distrik ini menjadi pusat kawasan agropolitan dan 3 distrik
lainnya sebagai hinterland. Prasaranasarana pos dan giro yang telah ada perlu dipelihara secara berkelanjutan, dan dikembangkan secara bertahap sesuai
kebutuhan kegiatan berbagai subsistem agribisnis terutama pembangunan kantor-kantor unit pos dan giro di setiap pusat distrik yang diposisikan sebagai
hinterland.
5 Air bersih.
Prasaranasarana air bersih masih terbatas pada sumur tradisional yang dimiliki oleh sebagian besar rumahtangga penduduk Distrik Nimboran dan
Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Nimbokrang. Namun ditinjau dari kondisi hidrologi dan iklim kawasan ini memiliki potensi besar untuk membangun
prasaranasarana air bersih yang layak. Pembangunannya perlu dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan kegiatan berbagai subsistem agribisnis di
kawasan agropolitan.
2. Sarana Prasaran Kesejahteraan Sosial.
Jenis sarana prasarana kesejahteraan sosial yang telah ada sekarang di Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi
meliputi prasaranasarana pendidikan, kesehatan dan keagamaan.
1 Pendidikan.
Prasaranasarana pendidikan dasar SD dan lanjutan pertama SLTP telah tersebar di setiap distrik yakni di Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta
Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi. Sekolah lanjutan atas SLTA masih terbatas di Distrik Nimboran serta Nimbokrang, dan taman kanak-kanak masih terbatas di
Distrik Nimbokrang. Pemusatan sebagian besar prasaranasarana pendidikan di Distrik Nimboran menjadi satu kriteria yang memposisikan distrik ini wajar
menjadi pusat kawasan agropolitan dan 3 distrik lainnya sebagai hinterland. Pemeliharaan prasaranasarana yang telah ada perlu dilakukan secara
berkelanjutan, dan penyelenggaraan proses belajar-mengajar perlu dilakukan secara efektip dan efisien serta berkelanjutan agar mampu menghasilkan
sumber daya manusia berkualitas dan mampu bersaing murni untuk mendapatkan kesempatan kerja maupun kesempatan ekonomi. Khusus
prasaranasara pendidikan kanak-kanak perlu dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang secara proporsional dengan
perkembangan kawasan agribisnis.
2 Kesehatan.
Prasaranasarana kesehatan masih terbatas di Distrik Nimboran dan Distrik Kemtuk Gresi. Masing-masing distrik memiliki 1 unit PUSKESMAS dan 6
unit POLINDES. Pemeliharaan prasaranasarana yang telah ada perlu dilakukan secara berkelanjutan, dan pengembangan status serta pengelolaan PUSKEMAS
menjadi rawat nginap perlu dilakukan bertahap sesuai kebutuhan masyarakat untuk memelihara kesehatan keluarga yang akan terjadi proporsional dengan
perkembangan kawasan agropolitan.
3 Keagamaan.
Prasaranasarana keagamaan yakni rumah ibadah telah tersebar luas di setiap distrik, baik di Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan
Kemtuk Gresi, sesuai agama dan kepercayaan yang dianut marga masyarakat di setiap distrik.
5.9.2. Kelestarian Lingkungan Hidup.
Wilayah Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi sebagian besar 75,83 masih tertutup hutan, dan 35, 15 persen
22 675 ha dari total luas hutan ini adalah hutan lindung. Keberadaan hutan ini merupakan salah satu indikator bahwa kelestarian lingkungan hidup di wilayah
yang mencakup keempat distrik ini berada dalam keadaan yang alamiah. Sebaran luas hutan lindung yang hingga mencapai 52,55 di Distrik Nimboran
dan 0,79 persen di Distrik Kemtuk Gresi, menjadi satu kriteria yang menempatkan Distrik Kemtuk Gresi lebih unggul dibandingkan Distrik Nimboran
ditinjau dari aspek kelestarian lingkungan hidup secara berkelanjutan di kawasan agropolitan.
Keragaman berbagai komponen lingkungan kawasan yang mencakup Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi yang
telah dijelaskan di atas menunjukkan sejumlah kriteria yang memposisikan
keempat distrik ini berdasarkan 5 prasyarat kawasan dapat dikembangkan menjadi kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura yang lebih maju lagi.
Berdasarkan keragaan kelima prasyarat tersebut, kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura dalam perkembangannya memiliki potensi untuk menjadi
sebuah kawasan agropolitan yang ideal. Ciri-ciri kawasan agropolitan yang ideal menurut Departemen Pertanian
dirumuskan seperti di bawah ini. 1. Perekonomian kawasan agropolitan didominasi oleh sektor pertanian dalam
arti luas, meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan.
2. Sebagian besar penduduk kawasan agropolitan menggantungkan hidupnya pada usaha agribisnis, mulai dari hasil produksi sampai dengan pemasaran
hasil produksi pertanian. 3. Kawasan agropolitan memiliki prasaranasarana kota, karena semua
kebutuhan yang menunjang kegiatan agribisnis telah tersedia secara lokal kawasan agropolitan.
4. Kota pusat kawasan agropolitan dan desa hinterland memiliki hubungan yang harmonis melalui hubungan interdependensi.
5.9.3. Pengembangan Kawasan Agropolitan Grime-Sekori
Berdasarkan analisis terhadap keadaan sekarang present condition,
maka pengembangan kawasan agropolitan “Grime-Sekori” Kabupaten Jayapura
dilaksanakan dengan mengikuti hierarki sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, yaitu terdiri pusat kawasan, sentra produksi, dan unit
penghasil komoditas.
Pengembangan kawasan agropolitan “Grime-Sekori” Kabupaten
Jayapura pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di kawasan, mendorong berkembangnya sistem
usaha agribisnis, meningkatkan keterkaitan desa-kota, mempercepat pertumbuhan kegiatan ekonomi pedesaan, mempercepat industrialisasi
pedesaan, mengurangi arus urbanisasi, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD Kabupaten Jayapura. Dengan
demikian, aspek pengembangan kawasan agropolitan “Grime-Sekori”
Kabupaten Jayapura dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : aspek makro dan aspek mikro.
Pada aspek makro, yang perlu dilakukan adalah memberikan iklim yang kondusif melalui deregulasi dan debirokratisasi untuk meningkatkan efisiensi dan
mendorong investasi pengembangan komoditas yang berorientasi ekspor “export promotion” dan memenuhi kebutuhan komoditas yang masih
didatangkan dari daerah lain “import substitution”. Pada aspek mikro pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura seyogyanya
diarahkan pada terutama membantu petani dalam penetrasi pasar dengan meningkatkan efisiensi, produktifitas dan kualitas serta ditunjang dengan
pemasaran yang proaktif. Aspek-aspek tersebut harus dilakukan dalam rangka memberdayakan ekonomi pedesaan dengan menggeser orientasi komoditas ke
orientasi pasar. Kabupaten Jayapura menghadapi lingkungan yang makin kompetitif, yaitu
dengan masuknya berbagai komoditas baik dari daerah lain maupun dari negara lain. Dalam situasi persaingan yang semakin ketat, secara spesifik
pengembangan kawasan agropolitan “Grime-Sekori” Kabupaten Jayapura
harus dilakukan dengan upaya-upaya sebagai berikut : 1. Pengembangan informasi pasar yang akan menuntun keputusan mengenai
jenis komoditas yang akan diusahakan, penggunaan input, teknologi yang digunakan, dan keputusan-keputusan lain menyangkut pengembangan
agribisnis. 2. Pembentukan skala ekonomi untuk meningkatkan daya saing, terutama
peningkatan efisiensi, meminimumkan variasi kualitas dan menjamin kontinuitas dari supply. Dalam skala komersial, layanan kegiatan
pendukung misalnya grading, packaging atau prosesing harus segera dilakukan dan menjamin pengelolaan kualitas relatif lebih mudah
dikembangkan. Pembentukan skala ekonomi ini dikembangkan dengan mendorong berkembangnya sentra-sentra produksi untuk komoditas lokalita
unggulan. 3. Mendorong program inkubator, sehingga para pengusaha dapat dilatih
bagaimana menjalankan usahanya dan memasarkan hasilnya. 4. Pengembangan kawasan agroindustri terpadu untuk meningkatkan efisiensi
disetiap tingkatan kegiatan produksi sehingga dapat meningkatkan daya saing. Keterpaduan ini mengacu pada keterkaitan antara unit-unit penghasil
komoditas UPK dengan kawasan sentra produksi KSP dan pusat kawasan PK serta outlet sehingga menciptakan efisiensi. Efisiensi ini
sangat penting untuk dapat menangkap semua peluang yang menguntungkan.
5. Mengembangkan kemitraan antara pengusaha besar dengan petani di sentra-sentran produksi dan di unit-unit penghasil komoditas misalnya
dengan pola inti plasma. Pada dasarnya perusahaan inti menyediakan modal kerja dan input produksi, melakukan proses pengolahan dan
pemasaran hasil, sedangkan plasma melakukan proses produksi berdasarkan perjanjian yang disepakati kedua pihak mengenai kualitas,
kuantitas dan perlakuan lain yang harus diterapkan. Perjanian dilakukan secara resmi dengan ikatan kontrak.
6. Sosialisasi standar baik nasional maupun internasional dan peraturan perdagangan untuk meningkatkan kualitas. Untuk tujuan pengawasan dan
promosi perlu dikembangkan pelabelan. 5.9.4. Strategi Pengembangan Kawasan
Dengan memperhatikan potensi sumberdaya dan taraf pencapaian tujuan dari wilayah Distrik Nimboran, Distrik Nimbokrang, Distrik Kemtuk dan Distrik
Kemtuk Gresi untuk dikembangkan sebagai kawasan agropolitan, maka strategi pengembangan wilayahnya didasarkan pada beberapa prinsip pokok.
1. Wilayah yang hendak dikembangkan menjadi kawasan agropolitan bukan merupakan wilayah kosong, maka pengembangan wilayah studi diarahkan
untuk memberdayagunakan potensi sumberdaya yang sudah ada sehingga diharapkan dengan investasi yang seminimum mungkin dapat dihasilkan
keluaran dan output yang maksimal. Selain efisiensi, investasi yang ditanamkan harus berhasilguna yaitu tepat sesuai dengan keinginan
masyarakat, keinginan pemerintah dan para investor termasuk mitra pengusaha yang sudah membina hubungan kerja dengan masyarakat di
wilayah keempat distrik ini. 2. Pengembangan keempat distrik menjadi kawasan agropolitan diarahkan
untuk menciptakan kawasan yang dapat tumbuh dan berkembang sendiri. Investasi yang ditanamkan hendaknya dapat mendorong penciptaan unit-unit
usaha baru yang dapat membiayai diri sendiri sekaligus mendorong bekerja perekonomian wilayah karena keterkaitan antar sektor dan usaha yang saling
menunjang dan saling menguntungkan. 3. Pengembangan keempat distrik menjadi kawasan agropolitan harus
memperhatikan etika di dalam bermasyarakat sehingga diharapkan
pengembangan kawasan agropolitan harus dapat memberdayakan penduduk lokal dan sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
keempat distrik secara adil. 4. Pengembangan keempat distrik menjadi kawasan agropolitan melibatkan
berbagai instansi pemerintah, swasta dan masyarakat maka pengembangan kawasan agropolitan harus dapat menciptakan tanggung jawab moral yang
baik dari setiap pihak yang terlibat di dalamnya. 5. Pengembangan kawasan agropolitan di keempat distrik harus dipandang
sebagai satu kesatuan yang terpadu di mana setiap unit atau unsur yang terlibat didalamnya berhubungan satu dengan lain. Berdasarkan hubungan
ini, maka pengembangan kawasan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada setiap unit yang terlibat di dalamnya dengan rada
korban yang sekecil-kecilnya. Berdasarkan kondisi sekarang kawasan dan dengan berpatokan pada
prinsip yang telah diuraikan di atas maka strategi pengembangan keempat distrik sebagai kawasan agropolitan diuraikan sebagai berikut.
Tujuan pengembangan kawasan agropolitan dalam kebijakan jangka pendek 1 - 5 tahun adalah 1 Melakukan upaya-upaya nyata yang
memungkinkan unit-unit penghasil komoditi memiliki produktivitas tinggi, effisien, sesuai dengan kondisi biofisik, kesuburan tanah, keinginan masyarakat,
keinginan pemerintah dan kemampuan untuk mendorong peciptaan unit-unit usaha baru secara mandiri. 2 Memperbaiki dan mengembangkan sistem
pemasaran komoditi unggulan kawasan agropolitan yang memberikan kepastian dan kestabilan harga terutama bagi petani penghasil komoditas, 3
Mengembangkan sistem transportasi yang dapat menjangkau kawasan unit-unit penghasil komoditi dan kota outlet dari kawasan sentra produksi dan 4
Meningkatkan dan memperbaiki pengadaan air bersih ke rumah-rumah penduduk di wilayah studi dan pusat pengembangan kawasan agropolitan.
Kebijakan yang ditempuh dalam jangka pendek adalah 1 Upaya peningkatan pengetahuan dan kesadaran penduduk wilayah studi tentang
konsep agropolitan. Kebijakan ini merupakan langkah awal yang dipandang sangat strategis dan perlu dilakukan untuk mencapai tujuan pengembangan
kawasan agropolitan di wilayah studi. Kesadaran penduduk bahwa pengembangan agropolitan dapat menjawab masalah peningkatan taraf hidup
penduduk wilayah studi dan pengembangan wilayah secara keseluruhan
merupakan kunci utama partisipasi penduduk di kawasan agropolitan secara utuh di dalam pengembangan kawasan agropolitan. Diharapkan dengan
partisipasi penuh dan motivasi yang tinggi untuk memperbaiki diri dan membangun daerah maka diharapkan tujuan pengembangan kawasan
agropolitan dapat tercapai. 2 Kebijakan pemasaran hasil produksi komoditas unggulan utama secara berkelanjutan, 3 Kebijakan peningkatan produktivitas
usahatani penduduk. Kebijakan ini dapat ditempuh dengan tiga cara: a Peningkatan pengetahuan teknik budidaya penduduk, b Tindakan perbaikan
kondisi lahan baik melalui masukan input, pembuatan parit drainase, perbaikan saluran irigasi dan penggunaan benih unggul dan c Pengembangan dan
pembentukan sistem kerja berkelompok. Khusus untuk penduduk lokal, upaya ini dapat ditempuh dengan menyertakan tokoh adat di dalam mengkoordinir
kegiatan usahatani penduduk. Yang terakhir atau 4 Kebijakan pengadaan, perbaikan dan peningkatan fasilitas penunjang utama dan fasilitas penunjang
pengembangan kawasan agropolitan. Ada tiga upaya yang dapat dilakukan: 1. Pembuatan aturan sistem pemasaran produk kawasan agropolitan.
Kegiatan ini diharapkan dapat menciptakan kestabilan dan kepastian harga komoditi unggulan yang dikembangkan di kawasan agropolitan.
2. Pembangunan ruas jalan dan jembatan yang menghubungkan kawasan agropolitan dan kota outlet termasuk ruas jalan dan jembatan yang
menghubungkan kawasan-kawasan sentra produksi dan unit penghasil komoditi.
3. Kegiatan pengadaan dan penyaluran air bersih ke rumah-rumah penduduk dengan memanfaatkan sumber air yang tersedia di kawasan agropolitan.
Dalam jangka menengah 5 – 10 tahun tujuan utama pengembangan kawasan agropolitan adalah 1 Peningkatan kualitas produksi komoditi
unggulan kawasan agropolitan. 2 Pengembangan dan peningkatan sistem penanganan pasca panen komoditi unggulan, 3 Pengembangan sistem
pemasaran output dengan memberdayakan organisasi yang telah terbentuk untuk tujuan ekspor ke luar Kabupaten Jayapura, 4 Pemberdayaan petani
menuju spesialisasi produk dan komoditi yang diusahakan dan 5 Pengembangan kelembagaan dan fasilitas perkantoran yang memadai untuk
suatu kota dengan memperhatikan keindahan dan kelestarian lingkungan. Dalam jangka panjang 10 – 25 tahun tujuan utama pengembangan
kawasan adalah 1 Mempertahankan kualitas komoditi produksi kawasan
agropolitan, 2 Mengembangakan sistem spesialisasi komoditi unggulan dengan memperhatikan diversifikasi usaha, 3 Melembagakan sistem
pemasaran yang berdasarkan sistem perjanjian-perjanjian tertulis, 4 Peningkatan profesionalisme kelembagaan dan fasilitas penunjang kota
pertanian, dan 5 Peningkatan nilai usahatani penduduk melalui penataan usahatani yang memperhatikan keindahan alam dan kenyamanan lingkungan
dan mengembangkan sistem usahatani yang berbasis ekoturisme.
5.9.5. Program Pengembangan
Pengembangan Kawasan Agropolitan merupakan suatu konsep terpadu yang melibatkan petani dan usaha tani sebagai unit penghasil produk pertanian,
pedagang dan pemilik modal sebagai penggerak ekonomi, dan pihak pemerintah sebagai administrator. Dengan demikian untuk terwujudnya suatu Kawasan
Agropolitan maka kebijakan yang dicanangkan hendaknya menyentuh komponen-komponen tersebut berdasarkan skala prioritasnya. Dengan
demikian memiliki dimensi waktu dan skala prioritas. Dengan berpedoman kepada prinsip dan kebijakan umum
pengembangan Kawasan Agropolitan, maka programnya berdasarkan dimensi waktu dapat diuraikan sebagai berikut:
1 Jangka Pendek
a. Pemasaran secara kontinyu komoditas unggulan yang telah dimiliki petani sehingga menjadi salah satu factor perangsang petani untuk berproduksi.
b. Pemberdayaan petani untuk mengintensifkan usahatani tiap komoditas unggulan yang telah dimiliki menjadi suatu usahatani yang berorientasi
agribisnis melalui suatu proses pembelajaran. Proses pembelajaran difasilitasi oleh suatu lembaga yang kompeten, berbarengan dengan
upaya-upaya sebagai berikut yang dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan untuk memfungsikan semua subsistem agribisnis komoditi
unggulan, yakni: 1 Inventarisasi sarana prasarana yang telah tersedia dan perencanaan kebutuhan yang belum tersedia, 2 Penempatan
petugas penyuluh pertanian lapangan pada setiap Kawasan Sentra Produksi, 3 Pengaktifan kegiatan-kegiatan penyuluhan dengan
menggunakan model percontohan demplot pada setiap Kawasan Sentra Produksi, 4 Pembinaan dan pembentukan kelembagaan petani, dan 5
Pembenahan fungsi dan peran Lembaga Pertanian yang sudah ada Balai Penyuluhan Pertanian, Balai Benih, dll
2 Jangka Menengah
a. Penguatan petani untuk meningkatkan skala usahatani tiap komoditas unggulan melalui proses pembelajaran penerapan teknik budidaya secara
utuh dan benar. b. Pengembangan saranaprasaran kawasan agropolitan secara bertahap
sesuai kebutuhan merangsang dan mendorong petani memperbesar skala usahatani komoditas unggulan seperti: 1 Perbaikan prasarana jalan dari
dan menuju Pusat Agropolitan dan Kawasan Sentra Produksi, 2 Pembukaan jalur lalu lintas trayek kendaraan umum dari Pusat
Agropolitan ke Kawasan Sentra Produksi, 3 Pemberian pinjaman modal kepada kelembagaan petani yang sudah terbentuk dan berfungsi, 4
Pembangunan infrastruktur pertanian, 5 Pembangunan pasar ternak pada Puasat Agropolitan, 6 Pengaturan dan pembangunan infrastruktur
perdagangan pasar, ruko, kios,terminal bus, dll di Pusat Agropolitan, dan 7 Pemberian kemudahan bagi investor yang ingin membuka usaha
dikawasan Agropolitan perizinan, pajak, dll c. Penguatan fungsi, peran, dan kemampuan komponen Unit Produksi,
Kawasan Sentra Produksi, dan Pusat Agropolitan serta menciptakan keterkaitan positif pada komponen tersebut.
Strategi ini bertujuan agar komponen-komponen agropolitan tersebut dapat berperan sesuai dengan fungsinya masing- masing. Strategi ini meliputi
program- program :
¾
Kegiatan pendampingan untuk peningkatan kemampuan teknik budidaya petani.
¾
Penyediaan kredit bagi usaha-usaha tani untuk peningkatan kemampuan permodalan petani
¾
Penyediaan Sarana produksi bibit, pestisida, pupuk, pakan ternak, dll yang dapat dibeli pada kios- kios koperasi di Sentra Produksi
¾
Penyediaan sapi pejantan jenis unggul pada Sentra Produksi sapi
¾
Pembuatan Peraturan Daerah tentang tata niaga perdagangan komoditas unggulan untuk Kawasan Agropolitan.
d.
Peningkatan kemampuan dan daya saing kawasan Agropolitan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan Kawasan Agropolitan yang memiliki
keunggulan- keunggulan.
3 Jangka panjang:
a. Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan pada produksi ternak sapi di KawasanAgropolitan
b. Perluasan pasar bagi produk pertanian kawasan ke berbagai tujuan pemasaran
c. Pemanfaatan produk limbah pertanian untuk tujuan komersil d. Pengujian dan standarisasi mutu produk pertanian kawasan
Pengembangan Kawasan Sentra Produksi
Kawasan Sentra Produksi merupakan wadah usaha pertanian yang dijalankan di Unit Produksi. Tergantung dari produksi komoditas yang
ditampungnya, maka dalam pembangunan dan pengembangan Kawasan Sentra Produksi dipandang perlu untuk menyediakan fasilitas seperti gudang
penampungan hasil, pusat prosesing hasil, pengepakan hasil, bengkel workshop, pool angkutan pedesaan dan pasar penampungan. Dalam
pengembangannya di masa depan sangat diharapkan Kawasan Sentra Produksi dapat menjadi inti atau jembatan atau pasar antara dalam pembangunan
ekonomi di wilayah itu, khususnya untuk wilayah yang Unit Produksinya masih jauh dari pusat kegiatan ekonomi.
Di samping itu diharapkan limbah produksi pertanian sebagai hasil samping kegiatan pertanian dapat dirubah menjadi komoditi baru yang
mempunyai nilai tambah. Industri pengolahan limbah tersebut agar diarahkan mempunyai daya guna bagi kegiatan pertanian lainnya. Dengan berjalannya
waktu, diharapkan bahwa hasil samping pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan akan mempunyai nilai tambah melalui usaha-usaha industri, antara
lain industri pakan ternak, industri pupuk organik.
Pengembangan Unit Produksi
Unit Produksi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan Kawasan Agropolitan. Unit Produksi akan merupakan sumber pemasokan utama
produksi pertanian dalam aspek kuantitas, kualitas dan kontinuitas bagi Kawasan
Sentral Produksi. Unit Produksi dicirikan oleh jenis tanah dari lahan usaha dan macam komoditas yang diusahakannya.
Akan tetapi dengan berjalannya waktu, nampak bahwa di keempat wilayah distrik terjadi degradasi produktivitas hasil pertanian. Untuk keperluan
pengembangannya, keberadaan Unit Produksi komoditas lainnya itu juga per dikaji lebih lanjut.
Untuk pencapaian produktivitas yang lebih tinggi dari saat sekarang ini diperlukan pengkajian faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab penurunan
produktivitas. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor tanah sifat fisik dan sifat kimianya, faktor tenaga kerja yang tersedia, faktor ketersediaan sarana
produksi, faktor pengetahuan dan teknologi yang dimiliki petaninya, ketersediaan pasar atau faktor sistem tataniaga. Selanjutnya faktor-faktor itu perlu disusun
urutannya dan ditentukan prioritas penanggulangannya.
Pengembangan Komoditas Unggulan Sapi Potong
Sapi merupakan salah satu komoditas unggulan di kawasan Agropolitan. Pengembangan sapi di daerah ini pada umumnya sudah baik, keadaan sapi
dalam kondisi yang sehat. Pendapatan petani melalui komoditas ini cukup tinggi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan peternak., namun nilai tambah dari
penjualan sapi, masih belum dirasakan. Hal ini disebabkan karena yang dijual adalah sapi, bukan dagingnya. Untuk lebih mensejahterakan peternak, strategi
pengembangan sapi di kawasan diarahkan untuk mendapatkan bobot sapi yang lebih tinggi dengan kualitas yang baik pada umur yang relatif lebih singkat.
Selain itu, strategi pengembangan sapi diarahkan agar nilai tambah yang berupa pemanfaatan limbah pemotongan sapi dapat pula dirasakan peternak. Dengan
demikian strategi pengembangan komoditas sapi di kawasan agropolitan terdiri dari :
1. Peningkatan Produksi Ternak Sapi Hal ini dilakukan melalui upaya 1 Pembibitan yaitu dengan
mengidentifikasi penjantan unggul pada sapi-sapi yang telah ada di kawasan Agropolitan ataupun mendatangkan sapi unggul dari luar daerah baik dari tipe
sapi yang sama maupun yang berbeda. Untuk itu masa birahi dan teknik inseminasi buatan perlu diketahui oleh setiap peternak sapi melalui bimbingan
teknis yang dilakukan oleh instansi terkait. Sarana dan prasarana pendukung perlu pula disiapkan. Pemantauan terhadap kesehatan ternak dan dagingnya
perlu dilakukan secara terus menerus oleh instansi terkait untuk menghindari
terjadinya wabah. 2 Pengelolaan padang rumput. Kualitas ternak yang baik memerlukan pakan yang bermutu. Dua strategi yang dapat diusulkan dalam
rangka perbaikan pakan ternak adalah: Pembuatan paddock sebagai grazing zone dengan memperhatikan daya
dukung lahan. Strategi ini dianjurkan dengan memperhatikan kemungkinan pengembangan jumlah ternak serta luas padang rumput yang pada saat ini
tersedia. Ternak akan digiring untuk merumput pada areal yang telah ditentukan dan secara bergilir berpindah dari satu lokasi ke lokasi berikutnya. Pemeliharaan
rumput dapat dilakukan melalui pemotongan rumput secara menyeluruh sambil menghilangkan jenis rumput-rumputan yang tidak diminati sapi. Setelah
beberapa rotasi diharapkan bahwa paddock tersebut akan ditumbuhi oleh jenis rumput-rumputan bermutu tinggi yang disenangi sapi.
Pembuatan ranch tetap dibarengi penyediaan areal di luar ranch untuk penanaman hijauan pakan ternak. Luas areal yang ditanam ditentukan jumlah
sapi yang dipelihara, Selanjutnya untuk menyuburkan lahan tersebut dapat memanfaatkan limbah kotoran sapi Peternak diharapkan untuk selalu aktif
memberi hijauan, air dan mineral secara tetap kepada ternaknya. 2. Pemanfaatan
limbah Selain kotoran yang digunakan, kulit sapi dapat bermanfaat untuk
berbagai industri rumah tangga berbahan baku kulit. Iklim yang kondusif untuk berkembangnya industri tersebut perlu diciptakan oleh pemerintah melalui
instansi teknisnya.
Pemberdayaan Petani
Masyarakat petani di wilayah Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi dibedakan menjadi 2 golongan yakni petani
lokal dan petani transmigran nasional. Golongan petani lokal adalah penduduk asli setempat yang kehidupan ekonominya sangat tergantung pada sektor
pertanian dalam arti luas. Di dalam golongan petani ini termasuk petani alokasi penduduk pemukiman daerah transmigrasi APPDT. Mereka adalah penduduk
lokal yang dimukimkan dalam rangka program transmigrasi. Golongan petani transmigran nasional adalah petani yang berasal dari daerah berpenduduk padat
di Pulau Jawa dan Bali serta Nusatenggara.
Golongan petani yang disebutkan pertama dilihat dari corak usahatani secara luas termasuk sebagai petani subsisten. Ditinjau dari aspek penggunaan
dan penguasaan teknologi termasuk dalam golongan petani yang berada pada tahapan transisi, yakni dari tahapan peramu ke tahapan bertani. Golongan
petani yang disebutkan kedua dilihat dari corak usahatani yang diterapkannya tergolong petani komersial. Ditinjau dari aspek penggunaan dan penguasaan
teknologi pertanian termasuk dalam golongan petani maju. Selanjutnya ditinjau dari corak usahatani dan penguasaan serta
kemampuan menerapkan teknologi pertanian tampaknya golongan petani lokal tidak berdaya. Sebaliknya mereka adalah pemegang hak adat atas sumber daya
alam setempat termasuk tanah lokasi permukiman dan usaha pertanian kaum transmigran nasional sehingga mereka sangat kuat ditinjau dari aspek sosial-
psikologi. Golongan petani transmigran ditinjau dari aspek corak usahatani dan penguasaan serta kemampuan menerapkan teknologi pertanian, tampak jelas
golongan petani ini kuat. Berdasarkan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing
golongan petani, tampaknya kedua golongan petani ini perlu dipadukan dalam upaya pengembangan kawasan agropolitan. Kekuatan yang dimiliki oleh
masing-masing golongan akan menempatkan masing-masing golongan petani ini pada posisi saling menghela. Golongan petani transmigran nasional mampu
menghela golongan petani lokal dalam hal penerapan manajemen dan teknologi produksi pertanian. Sebaliknya golongan petani lokal dapat menghela petani
transmigran dalam hal penguatan status penguasaan tanah sebagai salah satu faktor produksi vital. Kesediaan golongan petani lokal untuk menghela
diharapkan akan mampu memperkuat kondisi sosial-psikologi golongan petani transmigran dalam menjalankan usahatani.
Ditinjau dari aspek permodalan dan pasar, kedua golongan petani di kawasan ini sama-sama lemah. Kendala pasar telah menghambat
perkembangan berbagai cabang usahatani yang telah ada hingga sekarang. Hambatan perkembangan muncul karena ketidak mampuan petani untuk
memupuk modal yang diperlukan untuk proses produksi selanjutnya. Kendala- kendala ini muncul karena petani kurang memiliki akses ke pasar pada hirarki
yang lebih luas disamping tidak memiliki akses ke bank sebagai sumber modal.
Untuk memberdayakan petani dalam melakukan kegiatan dalam berbagai subsistem agribisnis, perlu pendampingan oleh lembaga pendamping yang lebih
kompoten. Pendampingan diperlukan dalam hal tranfer teknologi produksi pertanian secara luas dan juga dalam hal penguatan akses mereka ke pasar dan
bank.
Pengembangan Kelembagaan Petani
Lembaga petani yang perlu dikembangkan adalah lembaga-lembaga yang secara fungsional mampu memperkecil dan bila mungkin menghilangkan
sama sekali berbagai kendala yang dihadapi petani dalam melakukan kegiatan berbagai subsistem agribisnis. Selain itu pula lembaga petani yang layak untuk
dikembangkan adalah lembaga-lembaga yang mampu berorientasi pada struktur sosial dan ekonomi serta budaya lokal.
Berdasarkan pemikiran ini lembaga yang layak untuk dikembangkan disesuaikan dengan struktur sosial-budaya dari setiap golongan petani
bersangkutan. Hal ini penting mengingat lembaga-lembaga petani konvensional tampaknya telah kehilangan kepercayaan di kalangan petani terutama di
kalangan golongan petani lokal. Lembaga-lembaga yang sesuai struktur sosial- budaya dipandang layak dikembangkan sebagai lembaga alternatip. Disamping
itu pula lembaga alternatip ini dinilai lebih efisien dan efektip melaksanakan tugas-tugas penyuluhan pertanian dalam arti luas.
Pengembangan Permodalan
Kendala permodalan bagi pelaku agribisnis di Kawasan Agropolitan Kabupaten Jayapura selain disebabkan oleh kemampuan pemupukan modal
juga terkait dengan keberadaan lembaga keuangan bank dan bukan bank. Keberadaan lembaga perbankan sangat berhubungan dengan kesempatan bagi
pelaku agribisnis untuk mendapatkan modal bagi perluasan dan pengembangan usaha.
Di Kawasan Pengembangan Agropolitan Kabupaten Jayapura sampai saat ini belum ada bank yang berperan sebagai penyedia dana dalam jumlah
yang cukup sesuai yang dibutuhkan oleh para pengusaha. Oleh sebab itu diperlukan lembaga perbankan yang baru maupun peningkatan status dari bank-
bank yang sudah ada seperti Bank Papua, Bank BRI menjadi Kantor Cabang
Menghilangkan Ketergantungan,
Menumbuhkan Keswadayaan
Sistem Ekonomi Rakyat
Bantuan Cuma-cuma
Bantuan Bergulir
Kredit - Subsidi
Kredit Komersial
dengan Kemudahan
Khusus Kredit
Komersial Penuh
sehingga fungsi pelayanan dapat didekatkan kepada masyarakat. Keberadaan Bank Papua dan Bank BRI diharapkan dapat meningkatkan investasi di bidang
pertanian khususnya agrobisnis dan agroindustri di Kawasan Pengembangan Agropolitan.
Keberadaan bank dan lembaga keuangan belum menjamin terselesainya masalah permodalan di atas, jika akses para pengusaha terhadap kredit yang
tersedia kecil. Hal ini dikarenakan tingginya tingkat bunga, persyaratan kredit yang terlalu berat bagi pengusaha kecil atau dikarenakan ketidaktahuan para
pengusaha tentang prosedur dan tatacara mendapatkan kredit. Untuk mengatasi masalah permodalan di atas, dapat ditempuh strategi pengembangan
permodalan seperti terlihat pada skema berikut.
Gambar 41. Strategi Pengembangan Permodalan
Bank Dunia menyebutkan bahwa selayaknya agribisnis diberikan tingkat bunga yang lebih rendah dari rata-rata tingkat bunga bank umum. Oleh sebab
itu, perlu ditunjuk bank yang khusus untuk melayani kebutuhan investasi di bidang agribisnis, merumuskan kembali persyaratan untuk mendapatkan kredit
dari bank sehingga tidak memberatkan, terutama bagi pengusaha-pengusaha yang bergerak disektor produksi disertai dengan sosialisasinya kepada
pengusaha secara luas. Bagi petani yang belum banyak tersentuh pembangunan, terutama penghasil komoditi dapat dimulai dengan berbagai
bantuan dalam bentuk “bantuan cuma-cuma” atau “bantuan bergulir”. Bantuan ini diberikan berdasarkan kebutuhan yang benar-benar dirasakan oleh petani
sesuai hasil analisa kebutuhan. Bagi yang sudah lebih baik taraf kemampuannya bantuan permodalan diberikan dalam bentuk “kredit subsidi”
atau “kredit komersial dengan kemudahan khusus” tanpa jaminan dan prosedurnya mudah. Kredit ini dapat digunakan untuk berbagai macam usaha
baik on-farm maupun off-farm seperti usaha sarana produksi, pengolahan hasil, perdagangan dan pelayanan jasa keuangan. Apabila pelaku agribisnis sudah
mampu, maka ditingkatkan menjadi “kredit komersial penuh”. Dengan cara demikian, maka kita berhasil mendidik mereka menjadi mandiri dalam kebutuhan
permodalan usaha. Artinya, apabila mereka membutuhkan tambahan permodalan bagi pengembangan usahanya mereka mampu berhubungan
dengan bank lembaga keuangan formal dan mampu memenuhi persyaratan bank.
Dalam rangka mengembangkan kegiatan agribisnis di Kawasan Pengembangan Agropolitan, bantuan pemerintah melalui subsidi sangat penting.
Subsidi melalui lembaga perbankan dan lembaga permodalan lainnya perlu dikembangkan yaitu subsidi yang diwujudkan dalam bentuk kredit kepada petani
dan pengusaha agribisnis. Bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian dari keberhasilan pelaku
agribisnis dalam mengembangkan usahanya. Selama ini lembaga perbankan menyalurkan kredit pada sektor-sektor yang dianggap aman, dalam arti sektor-
sektor yang diperkirakan mempunyai tingkat pengembalian tinggi yaitu sektor perdagangan, kontraktor dan leveransir. Sektor-sektor yang dianggap resiko
tinggi bagi pengembalian kredit seperti sektor produksi di bidang pertanian, perikanan dan peternakan tidak memperoleh porsi yang wajar. Padahal sektor
produksi dan industrilah dasar bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk mengurangi resiko tingkat pengembalian, pihak bank perlu melakukan
pendampingan teknis kepada pelaku agribisnis. Permodalan juga terkait dengan peran Pemerintah Daerah. Investasi
pemerintah daerah di bidang pertanian seyogyanya diarahkan untuk memberikan insentif dan kondisi kondusif kepada para petani. Dengan dana yang terbatas,
investasi pemerintah daerah seyogyanya lebih diarahkan pada pembangunan “public goods”, infrastruktur, penelitian, dan pengembangan sumberdaya
manusia. Selama ini Pemerintah Daerah telah menyalurkan bantuan modal bagi para pengusaha kecil dalam bentuk kredit program melalui Bank Papua dan
Bank BRI. Sebagian besar kredit program ini berdasarkan pemantauan Bank Papua dan Bank BRI menjadi kredit macet. Hal ini disebabkan kurangnya
bimbingan dan penyuluhan, sehingga yang seharusnya merupakan kredit produksi digunakan untuk membiayai keperluan konsumsi.
Pemerintah daerah diharapkan merumuskan strategi yang dapat menciptakan iklim kondusif sehingga pihak swasta dapat berperan dalam
penyediaan modal bagi pelaku agribisnis di dalam mengembangkan usahanya. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa strategi tersebut haruslah bersifat
menghilangkan ketergantungan dari pihak luar dan lebih mengarah pada upaya menumbuhkan keswadayaan pelaku agribisnis dalam memenuhi kebutuhan
permodalan.
Pengembangan Sistem Pembinaan
Pembinaan terhadap pelaku agribisnis merupakan salah satu penentu keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan. Untuk mendukung
keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura dibutuhkan berbagai wawasan yang harus dimiliki oleh seluruh pelakun agribisnis
yang terkait. Pemahaman wawasan ini dapat disampaikan secara terus- menerus pada kegiatan pendampingan di lapangan. Wawasan tersebut antara
lain wawasan keterpaduan dan keterkaitan serta wawasan lingkungan. Wawasan keterpaduan dan keterkaitan ini harus menjadi prioritas utama,
mengingat banyaknya komponen yang terlibat dalam pengembangannya. Disamping itu keterpaduan dan keterkaitan merupakan kunci utama bagi
berjalannya sistem dan usaha agribisnis. Sementara wawasan lingkungan pada dasarnya untuk memberi arah agar setiap kegiatan dalam pengembangan
agribisnis senantiasa memperhatikan kondisi dan potensi sumberdaya alam dan lingkungan fisik dan non fisik. Hal ini bertujuan agar kelestarian sumberdaya
alam dan kualitas hidup terjamin untuk menunjang upaya pembangunan yang berkelanjutan.
Pembinaan dan pendampingan lain yang perlu dilakukan adalah pendampingan terhadap aspek-aspek sebagai berikut :
1. Usahatani Kecil Usaha Rumah Tangga Langkah ini perlu dilakukan untuk mengembangkan sub-sistem budidaya
pada usahatani kecil yang banyak menghadapi kendala dan masalah
sehubungan dengan keterbatasan usahatani. Langkah yang dapat dilakukan adalah dengan jalan menerapkan industrialisasi pertanian, yaitu
mengembangkan suatu usaha budidaya sebagai bentuk kegiatan industri, dalam arti sistem dan mekanisme kerja yang lebih baik, efisien, penggunaan teknologi
yang sesuai, homogenitas produk, kualitas yang standar, keteraturan produksi dan distribusi, responsif terhadap pasar dan sebagainya.
2. Pengembangan Agroindustri Kecil dan Menengah Aspek yang perlu dikembangkan antara lain menyangkut jenis dan ragam
produk yang dihasilkan, teknologi yang digunakan berikut seluruh penunjangnya, pengembangan sistem organisasi dan manajemen serta pengembangan aspek
pemasaran. 3. Pengembangan Lembaga Ekonomi Petani.
Menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang mungkin dihadapi, perlu dikembangkan suatu lembaga ekonomi petani, yang
memungkinkan mereka mampu menangkap nilai tambah yang terjadi dari proses industrialisasi pertanian dan pengembangan usaha agroindustri. Lembaga
petani perlu memiliki integrasi dalam berbagai jenjang, mulai dari lembaga usaha ekonomi yang dapat mengefisienkan unit produksi terkecil usaha rumah
tangga, hingga lembaga yang benar-benar dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan petani dalam pengambilan keputusan dan bukan
hanya sekedar organisasi politik yang bertindak atas nama petani. 4. Pengembangan Pelayanan Jasa.
Pengembangan sub-sistem pelayanan jasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengembangan sistem usaha agribisnis secara keseluruhan.
Pengembangan lembaga-lembaga pelayanan jasa tersebut harus dilakukan terutama dalam peningkatan daya saing, sehingga tumbuh kepercayaan dunia
usaha terhadap kemampuan dan kehandalan lembaga-lembaga pemberi jasa dalam memberikan dukungan dan pelayanannya. Secara khusus lembaga
pelayanan jasa yang perlu mendapat perhatian adalah lembaga keuangan khususnya di pedesaan, lembaga penelitian dan pendidikan khususnya
penyuluhan. Dalam kaitan ini beberapa faktor yang diperkirakan dapat menciptakan
iklim yang kondusif dalam pengembangan agribisnis di Kawasan Pengembangan Agropolitan Kabupaten Jayapura adalah sebagai berikut :
1. Desentralisasi. Agribisnis adalah kegiatan yang sifatnya “highly
decentralized” lokalita. Model serta pembangunan agribisnis di Kabupaten Jayapura sangat dipengaruhi oleh ciri daerah yang tidak selalu sinkron
dengan kebijaksanaan yang sifatnya “centralized” sehingga acapkali harus merujuk pada kepentingan yang sifatnya menjadi prioritas nasional. Dalam
kaitan ini desentralisasi hanya dapat efektif jika dekonsentrasi otoritaskewenangan juga dapat dibentuk di Kabupaten Jayapura sehingga
terdapat tanggungjawab yang jelas tentang siapa dan apa yang bertanggung- jawab dalam menumbuhkembangkan agribisnis di lapisan bawah.
2. Mekanisme pemberi dan penerima. Kendala dalam mendorong pertumbuhan dan pengembangan agribisnis di Kabupaten Jayapura adalah kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah dalam hal penyaluran sarana produksi, jaminan pasar, kredit dan jasa penyuluhan untuk membentuk kapasitas dan
partisipasi sebagai pemberi sering terbentur pada kesulitan institusional karena mekanisme penerima tidak berfungsi efektif mengakomodasi serta
menjabarkan lebih lanjut berbagai kemudahan yang disediakan oleh pemerintah. Salah satu kendalanya adalah informasi serta pemahaman
mengenai kebijakan tersebut selain terhenti ditengah, juga kurang dihayati oleh otoritas di daerah. Kebanyakan koperasi yang berlokasi di pedesaan
hanya berfungsi sebagai pelaksana target pemerintah sehingga memperoleh kebudahan dalam dukungan pembiayaan tanpa adanya otoritas untuk
melakukan terobosan-terobosan radikal di sektor pertanian. 3. Kelompok Tani. Pembentukan kelompok tani yang lahir dari hasil pembinaan
penyuluhan di bidang pertanian yang berpusat pada satu hamparan lebih dirasakan sebagai organisasi bersama diantara para petani. Kelompok tani
di kawasan pengembangan umumnya berusaha untuk mandiri dengan melakukan aksi bersama dengan tingkat pengetahuan yang sesuai dengan
kemampuan individual. Terdapat indikasi kuat bahwa kelompok ini dapat berkembang baik untuk merencanakan dan mengupayakan apa yang
menjadi kebutuhan kelompok. Masalahnya adalah kelompok ini bukan merupakan organisasi yang dikenal secara legal terutama menghadapi dunia
perbankan. Pengorganisasian yang lebih mapan antara kelompok tani dan KUD merupakan harapan potensial untuk mendorong pengembangan
kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura yang berbasis lokalita.
4. Kebijakan di bidang infrastruktur. Infrastruktur, baik yang bersifat kelembagaan maupun sarana teknis pendukung transportasi, pasar, RPH,
bank, penyuluhan dan lain-lain harus menjadi prioritas guna mengembangkan agribisnis yang dapat menciptakan nilai tambah bagi
petani. Kenyataan menunjukkan meskipun produksi berbagai komoditas pertanian meningkat, terdapat indikasi nilai tukar petani berkembang tidak
proporsional di banding sektor lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang diterima petani lebih kecil dari apa yang diperoleh dari sektor pertanian. Oleh
sebab itu, diperlukan kebijakan infrastruktur agar peningkatan nilai tambah dari produksi komoditas tersebut tidak jatuh dan dinikmati oleh pelaku di luar
daerah. 5. Campur Tangan Pemerintah Daerah. Tanpa mempertentangkan antara
prinsip ekonomi pasar dengan intervensi pemerintah, untuk mengembangkan agribisnis di kawasan pengembangan agropolitan di Kabupaten Jayapura
masih memerlukan perlindungan pemerintah daerah dalam menghadapi pelaku bisnis kuat di pasar bebas. Dalam kaitan ini campur tangan tersebut
tidak selalu harus ditujukan untuk mensubsidi atau melindungi komoditas pertanian, tetapi juga mencakup berbagai kebijakan yang dapat menciptakan
iklim kondusif bagi pelaku agribisnis.
Keterpaduan program Lintas Sektor
Wawasan agribisnis adalah cara pandang terhadap pertanian sebagai lapangan usaha dan lapangan kerja yang menghasilkan barang dan jasa untuk
memenuhi permintaan pasar, dengan tujuan untuk memperoleh nilai tambah yang maksimal secara kompetitif. Dalam meraih nilai tambah tersebut agribisnis
memandang ruang geraknya tidak terbatas pada budidaya, tetapi juga usaha pada penyediaan bahan, sarana dan jasa di sektor hulu, usahatani, serta pasca
panen, pengolahan, penanganan hasil, pemasaran dan lain-lain di sektor hilirnya. Prinsipnya adalah lapangan usaha pada usahatani maupun sektor pendukung
dan penunjangnya baik yang di hulu maupun di hilir. Dalam konteks pengertian agropolitan, maka pengembangan kawasan
agropolitan tidak hanya bertumpu pada sektor pertanian, tetapi menyangkut kegiatan lintas sektoral, menyangkut seluruh tatanan makro pelaku agribisnis
atau sering disebut masyarakat agribisnis. Dengan demikian, pengembangan agribisnis tidak dapat dilakukan secara terkotak-kotak, dan mudah dimengerti
bahwa yang sangat kritikal bagi pengembangan agribisnis di kawasan pengembangan agropolitan Kabupaten Jayapura adalah adanya sinkronisasi dan
koordinasi dari berbagai sektor. Sinkronisasi dan koordinasi dari berbagai sektor dan program
pengembangan agribisnis adalah memaksimumkan komplelentaritas dan sinergi baik dalam arah, mekanisme dan dalam pemanfaatan aset yang dimiliki berbagai
sektor. Pemanfaatan seperti ini dapat dilakukan dengan adanya tim-tim koordinasi dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan program tertentu.
Pengembangan Infrastruktur
Sesuai dengan konsep dan struktur serta hirarkhi Pengembangan Kawasan Agropolitas, maka pengembangan infrastruktur dalam Kawasan
Agropolitan Kabupaten Jayapura diselaraskan dengan pemenuhan kebutuhan pendukung fungsi masing-masing kawasan yang telah ditetapkan. Di samping
itu dipertimbangkan pula ketersediaan inratruktur saat ini di dalam setiap lokasi yang ditetapkan dalam struktur dan hirarkhi Kawasan Agropolitan. Berdasarkan
kondisi tersebut, maka pengembangan infrastruktur yang akan dikembangkan di setiap lokasi sub sistem kawasan meliputi: 1 Meningkatkan kualitas dan fungsi
Infrastruktur yang telah ada pada setiap Sub. Kawasan dan 2 Membangun infrastruktur yang belum tersedia tetapi merupakan kebutuhan minimal
pendukung fungsi sub sistem kawasan bersangkutan. Secara umum berdasarkan struktur dan hirarkhi kawasan Agropolitan,
maka infrastruktur minimum yang dibutuhkan meliputi: 1. Sarana dan prasarana pendukung sub sistem Agribisnis Hulu
2. Sarana dan prasarana pendukung sub sistem usaha tani 3. Sarana dan prasarana pendukung sub sistem pengolahan hasil
4. Sarana dan prasarana pendukung sub sistem pemasaran hasil 5. Sarana dan prasarana pendukung sub sistem jasa penunjang.
Ke lima infrastruktur tersebut masing-masing terdiri dari berbagai jenis sarana dan prasarana serta penetapan lokasinya disesuaikan dengan fungsi
dari struktur dan hirarkhi kawasan agropolitan yang dibentuk. Jumlah jenis sarana dan prasarana yang akan dikembangkan pada setiap struktur dan hirarkhi
kawasan disamping bergantung pada jenis komoditas unggulan dan tipologi kawasan, juga disesuaikan dengan kondisi sarana dan prasarana yang telah
tersedia saat ini. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka pengembangan
infrastruktur dalam kwasan Agropolitan Kabupaten Jayapura seperti disajikan pada Tabel 48.
Tabel 48. Jenis Prasarana Dan Sarana Pendukung yang Dibutuhkan pada Setiap Struktur dan Hirarkhi Kawasan Agropolitan Jayapura
No StrukturHirarki
Agropolitan Jenis SaranaPrasarana
Rencana Lokasi Status
Pengembangan 1. Kawasan
Sentra Produksi
KiosToko Saprodi Sawoy, Sabron
Samon, Nimbokrang Sari
Baru
Saluran Irigasi Nimbokrang,
Nimboran Rehabilitasi
Jaringan Air Bersih Kemtuk, Nimboran,
Nimbokrang Sari, Kemtuk Gresi
Rehabilitasi
Gudang Penampungan hasil
Sawoy, Sabron Samon,
Nimbokrang Sari Baru
Tempat Penampungan Hewan Holding Ground
Kemtuk Gresi, Kemtuk
Rehabilitasibaru Balai Benih Ikan
Sermai Atas Rehabilitasi
Balai Benih Sapi dan Klinik Sapi
Besum Baru Kolam Percontohan
Berap Rehabilitasi
Balai Pembenihan Tanaman
Besum Baru Jalan Usaha Tani Farm
road Kemtuk, Kemtuk
Gresi BaruRehabilitas
i Sarana dan prasarana
Sub Terminal Agribisnis STA
Sabron Samon, Sawoy,
Nimbokrang Sari RehabilitasiBar
u
Sarana Utilitas Umum jaringan listrik,
teleponwartel, Sarana Air Bersih, Sanitasi,
Drainase Jalan Nimboran,
Nimbokrang, Kemtuk, Kemtuk
Gresi Barurehabilitasi
Sarana Pelayanan Umum Puskesmas,
Sekolah, Perkantoran dan Rumah Ibadah serta
lapangan olah raga Nimboran,
Nimbokrang, Kemtuk, Kemtuk
Gresi Rehabilitasi
Sarana Kelembagaan Unit Usaha Agribisnis,
Koperasi Nimboran,
Nimbokrang, Kemtuk, Kemtuk
Gresi Baru Penguatan
2. Pusat Agropolitan
Tempat Penjemuran Hasil
PertanianPerikanan Genyem Baru
Gudang Penyimpanan Hasil Pertanian, Cold
Storage, Rumah Pengepakkan, Tempat
Sortasi dan Pengepakan Genyem Baru
Pusat Industri Kecil dan Pelayanan Makanan
Genyem Baru
Pasar, pelataran parkir dan terminal Muat
Bongkar Genyem Rehabilitasi
Pusat Pelelagan Ikan dan Hewan
Genyem Baru Jalan poros dan jalan
cabang serta jembatan Sentani, Kemtuk,
Kemtuk Gresi, Nimboran,
Nimbokrang Baru dan
rehabilitasi
Sarana Utilitas Umum Jaringan air bersih,
sanitasi, pengolahan sampah, jaringan listrik,
Telepon, Warung Internet, Drainase Jalan
Genyem Baru dan
Rehabilitasi
Sarana Pelayanan Umum Pusat
Perbelanjaan, Rumah Genyem
Sakit, Pendidikan, Pusat Pelatihan dan Konsultasi
Agribisnis, Perkantoran, dll.
Sarana Kelembagaan Kantor Badan Pengelola
Agropolitan, Kantor Perbankan, Koperasi,
Unit-Unit Usaha Agropolitan
Genyem Baru dan
Rehabilitasi
3. Kota Outlet
Pelabuhan, Bandara,
Terminal Induk Jayapura, Sentani,
Demta, Depapre Rehabilitasi
Pusat Final Manufacturing Industri
Pertanian, Gudang EksportImport dan Pusat
Perdagangan Bursa Komoditas
Jayapura, Sentani Rehabilitasi
Pusat Berbagai Pelayanan Agroindustri
Jayapura, Sentani Baru
Tabel 49. Program jangka pendek 3 tahun pengembangan saranaprasarana di Kawasan Agropolitan Grime-Sekori .
No. Jenis SaranaPrasarana
Volume Unit
Sifat Pekerjaan
Lokasi Penyandang Dana
1. Jembatan pada bagian jalan poros
2 Pembangunan Braso-Sabyab
Kimpraswil 2 Bramali-
Sebyab 1 Genyem-
Benyom 1
Meikari-Sawoi 2. Jaringan Irigasi 1
Rehabilitasi Nimboran
Kimpraswil Ganti rugi
tanah Pemda
Jayapura 1 Rehabilitasi Nimbokrang Kimpraswil
Ganti rugi tanah
Pemda Jayapura
3. Bangunan gudang
fermentasi dan pengeringan biji
kakao 3
Pembangunan Sanggai
Sawoi Sabron-
Samon Dinas
Perkebunan Kabupaten
Jayapura
4. Bangunan tempat
penampungan sapi
3 Pembangunan
Sanggai Sawoi
Sabron- Samon
Dinas Peternakan
Kabupaten Jayapura
5. Gudang penampungan dan
teknologi pengawetan
pisang barangan 1
Pembangunan Sanggai
Dinas Pertanian
Tanaman Pangan
Kabupaten Jayapura
6. Jaringan air
bersih 5
Pembangunan Genyem
Braso Sawoi
Sabron-
Samon Kimpraswil
7. Pembibitan ikan
2 Rehabilitasi Semai Atas
Dinas kelautan dan
Perikanan 8. Pencetakan
kolam ikan budidaya
10 Rehabilitasi Semai Atas
Dinas kelautan dan
Perikanan
Tabel 50. Program jangka menengah 5 tahun pengembangan saranaprasarana di Kawasan Agropolitan Grime-Sekori
No .
Jenis SaranaPrasara
na Volume
Sifat Pekerjaan
Lokasi Penyandan g
Dana
1. Jalan poros
alternatif 26 Km
Pembanguna n
Bongrang - Dayo
Kimpraswil 30 Km
Pembanguna n
Sabron- Samon-
Puay 2.
Pasar dan Kios 1 Unit
Pengembang an
Genyem Kimpraswil 3. Gudang
penimbunan hasil produksi biji
kakao 1 Pembanguna
n Genyem Kimpraswil
4. Balai pembibitan
tanaman pertanian
unggulan 1 Pengembang
an Besum Dinas
Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura
5. Unit pembibitan tanaman
pertanian dan perkebunan
unggulan 3 Pembanguna
n Sangga
i Sawoi
Sabron -
Samon Dinas
Pertanian dan Dinas
Perkebunan Kabupaten
Jayapura
6. Balai pembibitan
ternak sapi 1 Pengembang
an Besum
Dinas Peternakan
Kabupaten Jayapura
7. Kilinik pembibitan
sapi 3 Pembanguna
n Sangga
i Braso
Sabron -
Samon Dinas
Peternakan Kabupaten
Jayapura
8. Bank 2
Pengembang an
Genyem BRI dan Bank Papua
Cabang Kabupaten
Jayapura
9. Listrik Pengembang
an Jaringan Genyem,
Sanggai, Sermai
Atas, Sawoi,
Braso, dan
Sabron- Samon
PLN Cabang
Kabupaten Jayapura
10. Jalan Poros
47 Km Pengembang
an rehabilitasi
Genyem- Umbrob
Kimpraswil Genyem-
Sermai Atas
Yansu- Ibub
Yansu- Sawoi
Yansu- Yanim
Berap- Benyom
11. Terminal angkutan jalan
raya 1 Unit
Pengembang an
Genyem Kimpraswil 12. Sub
terminal angkutan jalan
raya 4 Unit
Pembanguna n
Sangga i
Sawoi Braso
Sabron -
Samon Kimpraswil
13. Puskesmas 2
Unit Pengembang an
Genye m
Sawoi Dinas
Kesehatan Kabupaten
Jayapura
Tabel 51. Program jangka panjang 10 tahun pengembangan saranaprasarana di Kawasan Agropolitan Grime-Sekori .
No. Jenis SaranaPrasarana
Volume Unit
Sifat Pekerjaan
Lokasi Penyandang Dana
1. Jalan poros
75 Km Pengembangan
rehabilitasi Bramali-Puai
Kimpraswil Braso-Sabeyab
Besukm- Belitung
Berap- Worambaim
Berap-Dempta
2. Jalan usahatani
Pengembangan Semua kampung atau
unit produksi Kimpraswil
3. Jaringan Listrik
Penambahan Jaringan
Kampung atau unit produksi
Kimpraswil 4. Jaringan
Telepon Penambahan
Sambungan telepon otonat
Sanggai Sawoi
Sabron- Samon
Genyem Nimbokrang
Kadatel Cabang
Jayapura
Pembangunan dan pengembangan infrastruktur tersebut akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan kawasan agropolitan.
Rehabilitasi fasilitas-fasilitas yang telah ada menjadi prioritas utama pada tahap awal kegiatan pengembangan bersamaan dengan kegiatan sosialisai dan
penyiapan sumberdaya manusianya. Sari
Braso 5. Jaringan
air bersih
Penambahan Jaringan
kampung atau unit produksi
Kimpraswil 6. Kantor Pos dan
Giro 1 Unit
Pengembangan Genyemi
Kantor Pos dan Giro
Cabang Jayapura
7. Unit Pelayanan
Pos dan Giro Pembangunan
Sawoi Sabron-
Samon Nimbokrang
Sari Kantor Pos
dan Giro Cabang
Jayapura
8. Puskesmas 2
Unit Pembangunan Semai Atas Dinas
kelautan dan Perikanan
8. Pencetakan kolam
ikan budidaya 10 Rehabilitasi Sabron-
Samon Nimbokrang
Sari Dinas
Kesehatan Kabupaten
Jayapura
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1. Semua komoditas ternak yang meliputi : sapi potong. babi, kambing, ayam
buras, ayam rasa pedaging, ayam ras petelur dan itik berpotensi untuk dikembangkan di wilayah Kabupaten Jayapura, namun dalam
pengembangan model kebijakan ini, komoditas yang diunggulkan adalah ternak sapi.
2. Saat ini, kawasan agropolitan yang berbasis pada ternak sapi potong lebih berorientasi untuk menambah tingkat pendapatan keluarga dengan sistem
usaha yang bersifat ekstensif karena peternak banyak yang tidak memiliki kandang, lahan usaha yang terbatas, kesulitan dalam memperoleh bibit
ternak, sistem perkawinan masih banyak dilakukan secara alami, sarana dan prasarana yang kurang memadai dan kelembagaan peternak yang belum
berjalan secara optimal. 3. Dengan kondisi dan karakteristik peternak sapi potong di kawasan
agropolitan tersebut, hasil analisis MDS menunjukkan status keberlanjutannya belum berkelanjutan, dikarenakan dari lima dimensi yang
dianalisis hanya dua dimensi yang statusnya cukup berkelanjutan yaitu dimensi ekonomi dan sosial budaya, sedangakan dimensi ekologi, teknologi
dan kelembagaan belum berkelanjutan. Untuk mencapai keberlanjutan pembangunan kawasan maka kinerja atribut-atribut yang perlu didorong
secara optimal dan terpadu dari kelima dimensi ini adalah perbaikan sistem pemeliharaan, peningkatan sarana dan prasarana penunjang dalam kawasan
agropolitan, penyediaan pos pelayanan inseminasi buatan IB, tersedianya kelembagaan keuangan mikro yang memberikan kemudahan dalam
pinjaman modal usaha dengan bunga yang rendah dan adanya dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD dari pemerintah daerah
yang berpihak bagi subsektor peternakan. 4. Alternatif kebijakan yang telah dirumuskan dan disepakati oleh stakeholder
dan para pakar dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong yang berkelanjutan adalah pengembangan
dan penguatan kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan agribisnis
241
komoditi peternakan unggulan, dengan strategi implementasi kebijakan dengan mengembangkan kualitas sumberdaya manusia, melaksanakan
pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana, pengembangan sapi potong yang berintegrasi dengan tanaman pertanian untuk mendukung
kemitraan usaha dan melaksanakan kebijakan sistem kemitraan usaha dalam meningkatkan pertumbuhan sektor keuangan sebagai sumber modal usaha
peternakan.
6.2. Saran
Berdasarkan analisis, sintesis, dan kesimpulan penelitian, beberapa saran dalam melaksanakan pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan
berbasis agribisnis peternakan sapi potong di Kabupaten Jayapura dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Pengembangan kawasan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan harus memperhatikan optimalisasi sumber daya lokal dan strategi
kebijaksanaan pembangunan daerah. Pemerintah daerahlah yang memetakan pembangunan peternakan ke dalam kawasan-kawasan yang
sudah ada. Pengembangan kawasan ini juga harus disesuaikan dengan agroekosistem dan alokasi tata ruang wilayah serta kondisi biofisik dan sosial
ekonomi masyarakat kawasan. Disamping itu juga harus berbasis komoditas ternak unggulan yang memiliki prospek pasar yang luas dan didukung oleh
ketersediaaan teknologi sehingga memilki peluang pengembangan produk yang tinggi serta didukung kelembagaan dan jaringan kelembagaan yang
berakses kehulu dan hilir. Peternak sebagai subyek pembangunan harus ditingkatkan pendapatan dan kesejahteraannya dengan cara membentuk
kelembagaan peternak, meningkatkan pengetahuannya dan diupayakan bantuan permodalannya.
2. Peran pemerintah kabupaten untuk mengembangkan kawasan yang sesuai dengan rencana dan strategi pengembangan kawasan agropolitan sangat
diperlukan. Oleh sebab itu disarankan perlu dilakukan kajian kelembagaan pengelolaan kawasan agropolitan yang mendalam dan partisipatif agar dapat
menghasilkan lembaga yang kuat di tingkat kabupaten untuk menjamin pelaksanaan strategi pembangunan kawasan agropolitan di masa
mendatang.
242
242
3. Pelibatan stakeholder dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
disarankan perlu dilakukan sehingga perumusan kebijakan, program, peningkatan peran serta, pembinaan dan evaluasi pelaksanaan
pengembangan agribisnis komoditas unggulan peternakan dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakatpeternak dapat dilaksanakan dengan
serasi dan berkesinambungan. Hal ini penting juga untuk menghindari konflik kewenangan antar instansi dan konflik pemanfaatan lahan oleh masyarakat
lokal dengan pendatang dan pengusaha.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Z. dan H. Soeprapto. 2006. Cara Tepat Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta
Aminullah E. 2003. Berpikir Sistem dan Pemodelan Dinamika Sistem. Makalah Kuliah Umum. Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Akil. 2003. Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah. Sejarah Penataan
Ruang Indonesia 1948 – 2000. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.
Atmadilaga D. 1975. Kedudukan Usaha Ternak Tradisional dan Perusahaan Peternakan dalam Sistem Pembangunan Peternakan. Fakultas Ekonomi
UGM. Yogyakarta. Ayamiseba J.R., dan E.R. Giay. 2010. Ketika Tanah Menjadi Barang Publik.
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Jayapura. Althapritama Mandiri Sentani. Jayapura.
Bachtiar N. 1991. Peran Subsektor Peternakan Dalam Perekonomian Indonesia; Aspek Lingkungan Terhadap Pengembangan Peternakan.
Pusat Penelitian Universitas Andalas. Padang. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Departemen Pertanian. 2002.
Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Proyek
Pengembangan Kelembagaan Agribisnis dan Sumber Daya Manusia Pertanian Pusat. Bogor.
Basri H. 1999. Pengantar Pembangunan Ekonomi Rakyat Pedesaan. Bina Rena Pariwara. Jakarta.
Bond R., J. Curran, K. Patrick, N. Lece and P. Francis. 2001. Integrated Impact Assessment for Sustainable Development. A Case Study Approach.
University of Manchester. UK. Bosshard A. 2000. A Methodology And Terminology of Sustainability
Assessment and Its Perpectines for Rural Planning. Agriculture, Ecosystem and Environment 77, pp. 29-41.
Bourgeois R dan F. Jesus. 2004. Participatory Prospective Analisys. Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. UNESCAP-CAPSA.
Bogor. BPS Kabupaten Jayapura. 2005. Kabupaten Jayapura dalam Angka. BP3D
Kabupaten Jayapura dan BPS Kabupaten Jayapura. Provinsi Papua.
BPS Provinsi Papua. 2006. Papua dalam Angka. Provinsi Jayapura. Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan
Lautan. Cetakan Pertama PT. Pradnya Paramita. Jakarta Charles A.T. 2001. Suatainable Fiseheries Systems. Blackwell Science. UK.
Chemical Industry and Chemistry. 2005. Sustainable Development; The
Concept.http:www.cefic.beTemplatesshwStory;asp? NID=10HID=53. 9 Januari 2009
Chen L.F. and K. Salih. 1978. Growth Pole Strategy and Regional Development Policy. Asian Experience and Alternative Approaches. New York.
[CSD] Commission on Sustainable Development. 2001. Indicators of Sustainable Development: Framework and Methodology. Commission on
Sustainable Development. Background Paper No. 3. Division for Sustainable Development. New York.
Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah : Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
Dahuri R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Cetakan Pertama PT.
Pradnya Paramita. Jakarta Dardak H. 2004. Strategi Pengembangan Infrastruktur dan Sarana Utama di
Kawasan Agropolitan. Makalah pada Workshop Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah
Secara Berimbang. Kerjasama Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah dengan IPB. Bogor.
Dardak H. And E. Elestianto[Tanpa tahun]. The Role of Agropolitan Infrastructure Development In Addressing The Underlying Causes of
Land Degardation. http:www.virtualref.comancrd1796.html. 9 Januari 2009
Daryanto A. 2007. Peningkatan Daya Saing Industri Peternakan. Permata Wacana Lestari. Jakarta.
David F.R. 2002. Manajemen Strategis; Konsep. Ed ke-7. Sindoro A. Penerjemah. Terjemahan dari Concept of Strategic Management.
Prenhallindo. Jakarta [Deptan] Departemen pertanian 2004a. Penerapan Konsep Kawasan
Agropolitan Laporan Pengkajian. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia SDM Pertanian. Jakarta. 136 hal.
Direktur Pengembangan Peternakan. 2002. Pola Pengembangan Ternak Pemerintah Dalam Otonomi Daerah. Disampaikan pada pertemuan
penyusunan pedoman umum penyebaranpengembangan dan gaduhan ternak pemerintah di Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Integrasi Ternak Sapi dengan Perkebunan Kelapa Sawit. Direktur Pengembangan Peternakan.
Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Pengembangan Kawasan
Agribisnis Berbasis Peternakan. Direktur Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2003. Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948 – 2000. Citra Kreasi. Jakarta.
Djajadiningrat S.T. 1997. Pengantar Ekonomi Lingkungan. LP3ES. Pustaka. Jakarta.
Djajalogara S.S. dan R. Pambudy. 2003. Peduli Peternak Rakyat. Yayasan Agrindo Indonesia. Jakarta.
Djojohadikusumo S. 1994. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. LP3ES. Pustaka. Jakarta.
Douglas M. 1998. A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban Linkages. J. Agenda for Policy Research With Reference to Indonesia.
Downey W.D. dan Erikson P.S. 1992. Manajemen Agribisnis. PT. Gelora Aksara Pratama. Jakarta.
Dunn W.N. 2004. Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.
Dwidjowijoto N.R. 2003. Organisasi Publik Masa Depan: Redefinisi Peran Pemerintah. Pustaka Pergaulan. Jakarta.
Dwiyanto K, D Sitompul, I manti, IW mathius, Soentor, 2003. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi, Makalah
Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kalapa Sawit-Sapi. Bengkulu, 9 – 10 September.
Ernalia, L.R., D. Hardedi, T. Siahaan, A. Wahyu, D.N. Abdulkodir, Lukman, Lasminto, Y.K. Bhakti, R. Hidayat, da, W.S. Sahita. 2004. Penerapan
Konsep Kawasan Agropolitan Laporan Akhir. Bandan Pengembangan SDM Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 136 hal.
Erwidodo E. 1999. Modernisasi dan Penguatan Ekonomi Masyarakat Pedesaan; Pembangunan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Bina Rena
Pariwara. Jakarta.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor
Fauzi A., dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Lautan untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Friedman J. 1996. Modular Cities: Betond The Rural-Urban Divide. J. Environment and Urbanization 8, pp,1-129.
Friedman J. and M. Douglas. 1975. Development: Toward a New Strategy for Regional Planning in Asia. Regional Economic Centre. Nagoya. Japan.
Godet M., R Monti, F Meunier, and F Roubelat. 1999. Scenarios and Strategies a Toolbox for Scenario Planning, LIPS Working Papers, Special issue
Published with the Support of The French Ministry of Foreign Affairs, Paris, France.
Greenland D.J. 1992. Soil Resilience and Sustainable Land Use. In Proceedings of Symposium Held in Budafest. 28 September to 2
October 1992. Including the Second Workshop on thr Ecological Foundations of Sustainable Agriculture Chemistry Hungarian Academy
of Sciences. Budafest.
Greenland D.J. and Szabolcs. 1994. Soil Resilience and Sustainable Land Use. Short Run Press Ltd. UK.
Gumbira-Said E dan A.H. Intan. 2001. Manajemen Agribisnis. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
Gurnadi E. 1998. Livestock Development in Indonesia. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan di Indonesia. Jakarta.
Hadi P.U. dan N. Ilham. 2002. Peluang Pengembangan Usaha Peternakan Pembibitan Ternak Sapi Potong di Indonesia Dalam Rangka
Swasembada Daging 2005. Monograph Series No. 22. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Hadi SHM. 2000. Riwayat Singkat Formula Penggemukan Sapi Bossdext. Makalah Seminar Nasional Upaya Mewujudkan Swasembada Pangan
dan Ketahanan Pangan Nasional. 20 – 21 Maret. Jakarta. Hadi SHM dan B. Sediono. 2000. Petunjuk Teknis Teknologi Bossdext Sapi
Pedaging. Makalah Seminar Nasional Upaya Mewujudkan Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan Nasional. 20 – 21 Maret. Jakarta.
Hall C.A.S. and W.D. John. Jr. 1977. Ecosystem Medeling in Theory and Practice an Introduction with Case Historie. John Wiley ang Son. New
York.
Hanley N.M. 2001. Modelling Sustainable Development : System Dynamic and Input-Output Aproaches. Departemen of Economic. University of
Glasgow. Scotland. Hardjosubroto W. dan M.J. Astuti. 1994. Buku Pintar Peternakan. Widiasarana
Indonesia. Jakarta. Hartisari H. 2002. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Fakultas Teknologi
Pertanian, Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Hasan. 2003. Model Tata Ruang Kota Tani yang Berorientasi Ekonomis dan Ekologis Studi Kasus di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan.
[Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Herawati A.R., dan D Junanto. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Daerah:
Tantangan Dalam Mengelola Sumber Daya Manusia Di Era Otonomi Daerah Kasus Pembangunan Masyarakat Pertanian di Beberapa
Negara. Jurnal Good Governance Vol. 2 Maret 2003. STIA LAN Jakarta. Himawan D. 2002. Strategi Pengembangan Ternak Sapi Berorientasi Agribisnis
dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Pangan di Provinsi Riau. [Tesis]. Program Pascasarjana. Program Studi Magister Manajemen
Agribisnis. Institut Pertanian Bogor. Hull A. 1998. Spatial Planning, Journal The Development Plan as a Vechile to
Unlock Development Potential? Cities 155, pp327-335. Ilham N, S. Hastuti, IK Karyasa. 2002. Pendugaan Parameter dan Elastisitas
Penawaran dan Permintaan Beberapa Jenis Daging di Indonesia. Journal Agro Ekonomi. Volume 2 No. 2 Oktober. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Irawan B. dan T. Pranadji. 2002. Pemberdayaan Lahan Kering untuk
Pengembangan Agribisnis Berkelanjutan. FAE. Volume 2, No. 2 Desember. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian Bogor. Karim A. 2002. Peran Perbankan Dalam Pengembangan Agribisnis. Makalah
Kuliah Umum MMA-IPB. Bogor. Kasikoen K.M. 2005. Kajian Keterkaitan Perkotaan Perdesaan di Jawa Barat.
[Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kavanagh. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries RAPFISH Project: RAPFISH
Software Description for Microsoft Excel. Fisheries Centre. University of British Columbia
Kay R. and J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. Routledge. New York.
Kholil. 2005. Rekayasa Model Sistem Dinamik Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis Nirlimbah zero Waste, Studi Kasus di Jakarta Selatan.
[Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. KMNLH dan UNDP. 2000. Membuat Pembangunan Berkelanjutan. Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Kusumawati R. 1999. Analisis Pengaruh Nilai Tukar RpUSD Terhadap Usaha
Penggemukan dan Perdagangan Sapi Potong di Indonesia. [Tesis]. Program Pascasarjana. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis.
Institut Pertanian Bogor. Leach M.R., and I. Scoones. 1997. Challenges to Community-Based
Sustainable Development. Dynamics, Entitlements, Institusions. IDS Bull. 284: 4-14.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. 1996. Pengembangan Agropolitan Menuju Siasat Baru. Perencanaan Rigional di Asia. Fakultas
Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta. Manetch T.J. and G.L. Park. 1977. System Analysis and Simulation with
Application to Economic and Social System Part I. Third Edition, Departement of Electrical Engineering and System Science. Michigan
State University. East Lansing. Michigan. Marten G.G. 2001. Human Ecology. Basic Concepts for Sustainable
Development. London. Mastur. 2002. Potensi Pemanfaatan Lahan Marginal untuk Pembangunan
Agribisnis Berkelanjutan. Alami. Jurnal Air, Lahan, Lingkungan dan Mitigasi Bencana 7 1 : pp. 14 – 20.
Meadows D.H. 1982. Batas-Batas Pertumbuhan. Gramedia. Jakarta. Mercado R.G. 2002. Rigional Development in The Philippine: A Review of
Experience, State of The Art and Agenda for Research and Action, Discussion Paper Series. Philippine Institute for Development Studies.
Mersyah R. 2005. Desain Sistem Budidaya Sapi Potong Berkelanjutan untuk Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Bengkulu
Selatan. Disertasi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertaian Bogor. Meyer M.F. and J.R.E. Harger. 1996. Definition of Indicators for
Environmentally Sustainable Development. Unesco – 10C. Lrue Miollis. Paris. France.
Misra. 1980. Rural Development National Policies and Experiences. Japan. Mitchell B. 1997. Resource and Environmental Management. University of
Waterlo. Waterlo. Ontario.
Miyoshi T. 1997. Successes and Failures Associated With The Growth Pole Stategies. A Dissertation Submitted to The University of Manchester for
The Degree of MA. http;miyotchi,tripod,comdissert.htm. Mosher A.T. 1966. Getting Agriculture Moving. Frederick A. Praeger,
Publishers. New York. Muhammadi A., Ernan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan
Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta. OECD. 1993. Coastal Zone Management. Integrated Policies. Organization for
Economic Co-operation and Development. Paris. Pambudy R., T Sipayung, WB Priatna, Burhanudin, A Kriswantriyono, A Satria.
2001. Bisnis dan Kewirausahaan Dalam Sistem Agribisnis. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor.
Partowidagdo W. 1999. Memahami Analisis Kebijakan Kasus Reformasi Indonesia. Program Studi Pembangunan Program Pascasarjana ITB.
Bandung. Pitcher T.J. 1999. Rapfish : A Rapid Appraisal Technique for Fisheries and Its
Application to The Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO UN. Rome.
Plessis C.D. 1999. Sustainable Development Demands Dialoque Between Develop and Developing Worlds. J. Building Research Information
276, pp378-389. Pranoto S. 2005. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan melalui Model
Pengembangan Agropolitan. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Preston T.R. and R.A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System With Avalilable Resources in The Tropics and Subtropics. New South Wales.
Australia. Priyanto R, E.R. Johnson, D.G. Taylor. 1997. Investigating Into The Accuracy of
Prediction of Beef Carcass Composition Using Subcutaneous Fat Thickness and Carcass. I. Identifying Problems. J Meat Science. 17:
187-198. Priyanto R, E.R. Johnson, D.G. Taylor. 1999. The Importance of Genotype in
Streers Fed Pasture or Lucerne Hay and Prepared for The Australian and Japanese Beef Market. New Zealand. J of Agric. Res. 42:393-404
Rahardi F.R., dan Hartono. 2003. Agribisnis Peternakan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Razoux Schultz, F. H. N. 1958. Verslag van een Bodemkundige Opname van het Oostelijk Deel van de Grimevlakte. Bodemkundige Afdeling,
Agrarisch Proefstation. Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik.
Cetakan I Edisi Revisi. BPFE. Uiversitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Robin M.L and L.S. Mearns. 1997. Editorial: community Based Sustainable
Development. Consensus or Conflict? IDS Bull. 284. Roderic G. and T. Meppem. 1997. Planning for Sustainability as a Learning
Concept. New England Ecological Economic Group. Centre for Water Policy Research. University of New England. Armidale. Australia.
Rondinelli D.A. 1985. Applied Methods of Regional Analysis. The Spatial Dimensions of Development Policy.
Rusono N. 1999. Sinergi antar Subsektor Dalam Pengembangan Pertanian Terpadu. Seminar Nasional Dalam Rangka Lustrum Fapet UGM.
Yogyakarta. Rustiadi E., S. Hadi, dan W. M. Ahmad. 2006. Kawasan Agropolitan Konsep
Pembangunan Desa-Kota Berimbang. Crestpent Press Kampus IPB Baranang Siang P4W-LPPM IPB. Bogor.
Rustiadi E. 2003. Paradigma Baru Proses Perencanaan Pengembangan Wilayah. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. IPB. Bogor.
Rustiadi E. 2004. Pemantapan Kebijakan dalam Mendukung Pengembangan Kawasan Agropolitan. Makalah Pada Lokakarya Nasional Agropolitan.
Proyek Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan. Gorontalo.
Ruth M. and B. Hannon. 1997. Modeling Dynamic Economic System. Boston University. USA.
Saaty T.L. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin : Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang
Kompleks terjemahan. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Sabrani M., Panjaitan dan A. Mulyadi. 1981. Prospek Pengembangan Kambing
dan Domba Bagi Petani Kecil dan Perlunya Pendekatan Keilmuan Terpadu. Proceeding Seminar Penelitian, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Saefulhakim S. 2004. Pengembangan Agropolitan Memacu Pembangunan
Ekonomi Regional Melalui Keterkaitan Desa-Kota. Paper Bahan Diskusi dalam Seminar Nasional Pengembangan Agropolitan Sebagai Strategi
Pembangunan Perdesaan dan Wilayah Secara Berimbang P4W – IPB. Bogor.
Sanim B. 2000. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Agribisnis.. MMA-IPB. Bogor.
Santosa U. 2001. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Penebar Swadaya. IKAPI. Jakarta.
Santosa U. 2007. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Saragih B. 1998. Strategi Pengembangan Pertanian Pasca Orde Baru : Alternatif Kebijakan. MMA-IPB. Bogor.
Saragih B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Bogor.
Saragih B. 2003. Agribisnis Berbasis Peternakan. Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB. Bogor.
Saragih B, T Sipayung. 2000. Biological Utilization in Developmentalism and Environmentalism. Paper Presented at the International Seminar on
Natural Resources Accounting-Environmental Economic Heid in Yogyakarta. Indonesia, April 29.
Sarwono B dan H.B. Arianto. 2001. Penggemukkan Sapi Potong Secara Cepat. Ed ke-1. Penebar Swadaya. Depok.
Schroo H. 1961. Analyse-rapport ener Bodembemonstering in het Oostelijk Deel der Grime-Vlakte. Bodemkundige Afdeling, Agrarisch Proefstation.
Schroo H. 1963. An Inventory of Soils and Soil Suitabilities in West Irian. II A. Neth. J. Agric. Sci., Vol. 11, No.5. p 387-417.
Serageldin I. 1996. Sustainability and Wealth of Nation First Step in an Ongoing Journey. Environmentally Sustainable Development Studies
and Monograph Series No. 5. The World Bank, Washington D.C. Setiawan B. 2003. Konsep Dasar dan Prinsip-Prinsip Pengelolaan Lingkungan.
dalam Seminar Penyusunan Pedoman Mekanisme Kerjasama Pengelola Lingkungan Antar Daerah. 10 Juli 2003. Kementerian Negara
Lingkungan Hidup Shukla A. 2000. Regional Planning ang Sustainable Development. Kanisha
Publishers. New Delhi. Sihombing D.T.H., I. Sawir, T.M. Wardiny, dan D.V. Sara. 2000. Lingkungan
Ternak. Universitas Terbuka. Jakarta. Sitorus S. 2004. Pengembangan Sumber Daya Berkelanjutan. Laboratorium
Perencanaan Pengembangan Sumber Daya Lahan IPB. Bogor.
Soemarwoto O. 2001. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan Djambatan. Jakarta.
Soehadji. 1995. Membangun Peternakan Tangguh. Orasi Ilmiah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Padjadjaran. Bandung.
Sudrajat S. 2002, Ekspor Ternak dan Hasil Ternak Melonjak. http:www.kompas.com [9Januari 2009]
Sugeng YB. 2002. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Cimanggis-Bogor. Suharto. 1999. Integrasi Ternak pada Usaha Pertanian dan Peternakan.
Seminar Nasional dalam Rangka Lustrum Fapet UGM. Yogyakarta. Susilo S.B. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus
Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. [Disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sutjahjo S.H. 2004. Strategi Penanggulangan Dampak Pengembangan Peternakan Terhadap Lingkungan. Makalah disampaikan pada Seminar
Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan. Gedung MMA-IPB, 15 Januari. Bogor.
Syahrani and H.A. Husainie. 2001. The Application of The Agropolitan and Agrobusiness in Regional Economy Development. Fontir nomor 33.
Tampubolon S.M.H. [Tanpa Tahun]. Sistem dan Usaha Agribisnis: Kacamata Sang pemikir. Bogor.
Tawaf R., Sulaeman dan T.S. Udiantono. 1994. Strategi Pengembangan Industri Peternakan Sapi Potong Berskala Kecil dan Menengah.
Proceding Agroindustri Sapi Potong Prospek Pengembangan Pada PJPT II. PPA-CIDES-UQ. Jakarta.
Thohari E.S. 2003. Sumber-Sumber Pembiayaan Untuk Agribisnis. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit –
Sapi. Bengkulu, 9 – 10 September. Tim Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. 2002. Penyusunan Standar
Kawasan Agribisnis Peternakan Dalam Rangka Pengembangan Sistem Informasi. Fakultas Peternakan IPB dan Direktur Pengembangan
Peternakan, Dirjen Bina Produksi Peternakan, Deptan RI. Tjiptoherijanto P. 1996. Sumber Daya Manusia dalam Pembangunan Nasional.
Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta Tong Wu C. 2002. The New Regional Planning: Economic or Politics?
University of Sydney. Uje. 1999. Bossdext Gemukan Sapi 1,5 – 4 KgHari. Trobos Desember.
[UU 231997] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[UU 262007] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Vining A.R. and D.L. Weimer. 1998. Policy Analysis Concept and Practice. Third Edition. Prentice-Hall Inc. United States of America.
Voith R. 1998. Do suburbs need cities? J. Regional Science 383,pp445-464. Walpole R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta WCED. 1987. Our Commom Future. Oxford Univ. Press. New York.
Wentholt F. A. 1939. Voorlopig Verslaag van de Kaartering van de Grime-
Sekolivlakte. Bodemkundige Afdeling, Agrarisch Proefstation. www. Papua.go.id. Visi dan Misi Pembangunan Provinsi Papua.
Yudhoyono S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesan Sebagai Upaya
Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran. Analisis Ekonomi – Politik Kebijakan Fiskal. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor. Yusdja Y, H. Malian, B. Winarso, R. Sayuti, A.S. Bagyo. 2002. Analisis
Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Comoditas Peternakan. Volume 2, No. 1 dan 2 Februari. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Lampiran 1. Analisis perbandingan eksponen agribisnis komoditas unggulan peternakan di Kabupaten Jayapura.
A. Perhitungan pembobotan metode perbandingan eksponen MPE. Nama-nama responden dalam analisis perbandingan eksponensial :
1. Sekretaris Daerah Provinsi Papua. 2. Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua.
3. Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura. 4. Kepala Badan Kerjasana dan Pengembangan Masyarakat Pedesaan
Provinsi Papua. 5. Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Jayapura.
6. Kepala Sub Dinas produksi Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura. 7. Kepala Sub Bidang Pertanian BAPPEDA Kabupaten Jayapura.
Keterangan : 1. Sapi
Potong. 2. Babi.
3. Kambing. 4. Ayam Ras Pedaging.
5. Ayam Ras Petelur. 6. Ayam
Buras. 7. Itik.
Kriteria yang dianggap penting menurut responden dan masukan dari peternak dalam penetapan komoditas unggulan peternakan :
a. Potensi Pasar.
b. Sumber Daya Manusia Peternak. c. Kondisi Sosial Budaya.
d. JumlahPopulasi ternak.
e. Ketersedian Modal.
f. Sarana dan Prasarana Transportasi Pendukung. g. Ketersediaan Sarana Produksi.
h. Penggunaan Teknologi.
i. Kebijaksanaan Pemerintah.
j. Ketersediaan Lahan.
Batasan angka penilaiaan :
1 = Tidak berpengaruh 2 = Kurang berpengaruh
3 = Berpengaruh 4 = Sangat berpengaruh
Responden 1. No.
Komoditas Alternatif
Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria Total
Alternatif a b c
d e
f g
h i
j 1. Sapi
Potong 4 4 3 4 3 4 4 3 4 4 37
2. Ayam Buras 3 3 3 4 2 4 3 4 4 4
34 3. Kambing
2 2 4 4 1 4 2 2 3 3 27
4. Babi 4 2 3
3 2
4 2
4 4
4 32
5. Ayam Daging 4 4 4 3 4 4 2 1 4 3
33 6. Ayam
Petelur 4 4 4 3 4 4 2 2 4 3 34
7. Itik 3 2 3 3 2 4 3 2 3 4
29 Total
Kriteria 24 21 24 24
18 28
18 18
26 25
266 Responden 2.
No. Komoditas
Alternatif Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria
Total Alternatif
a b c d
e f
g h
i j
1. Sapi Potong 4 3 4 3 3 4 3 2 3 3
32 2. Ayam
Buras 3 3 3 3 3 4 2 4 3 3 31
3. Kambing 3 3 4 3 1 4 2 2 3 3
28 4. Babi
3 3 3 3 2 3 2 2 3 3 27
5. Ayam Daging 4 4 3 4 1 4 3 3 3 3
32 6. Ayam
Telur 4 4 3 4 1 4 3 3 3 3 32
7. Itik 4 3 3 4 1 4 3 3 3 3
31 Total
Kriteria 25 23 23 24
12 27
18 19
21 21
213 Responden 3.
No. Komoditas
Alternatif Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria
Total Alternatif
a b c d
e f
g h
i j
1. Sapi Potong 4 2 3 4 3 4 3 4 3 3
33 2. Ayam
Buras 4 2 3 4 2 4 3 3 2 4 31
3. Kambing 3 3 3 4 2 3 3 3 3 3
30 4. Babi
3 3 3 4 3 4 4 3 3 4 34
5. Ayam Daging 3 3 4 4 3 3 4 2 3 3
32 6. Ayam
Telur 4 3 4 4 3 4 4 2 3 3 34
7. Itik 3 3 3
4 2
3 3
2 3
4 30
Total Kriteria 24 19 23
28 18
25 24
19 20
24 224
Responden 4. No.
Komoditas Alternatif
Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria Total
Alternatif a b
c d
e f
g h
i j
1. Sapi Potong 4 3 3 4 3 4 4 3 4 4
36 2. Ayam
Buras 4 3 3 3 3 3 2 3 3 3 30
3. Kambing 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
30 4. Babi
3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 29
5. Ayam Daging 3 3 4 4 3 4 4 2 4 4
35 6. Ayam
Telur 3 3 4 4 3 4 4 2 4 4 35
7. Itik 3 3 4 3 3 3 3 2 3 3
30 Total
Kriteria 23
21 24
24 21
24 23
17 24
24 225 Responden 5.
No. Komoditas
Alternatif Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria
Total Alternatif
a b c
d e
f g
h i
j 1. Sapi
Potong 3 4 3 3 2 4 3 3 4 4 33
2. Ayam Buras 3 3 3 3 2 4 3 3 3 4
31 3. Kambing
2 4 3 2 2 3 3 2 3 4 28
4. Babi 3 4 3 3 3 4 3 3 3 4
33 5. Ayam
Daging 2 3 2 2 2 4 3 3 2 3 26
6. Ayam Telur 2 3 2 2 2 4 2 3 2 3
25 7. Itik
2 3 3 2 2 4 3 2 2 2 25
Total Kriteria
17 24
19 17
15 27
20 19
19 24 201
Responden 6. No.
Komoditas Alternatif
Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria Total
Alternatif a b
c d
e f
g h
i j
1. Sapi Potong 4 3 3 4 3 3 3 2 4 4
33 2. Ayam Buras
4 4
4 3
3 4
3 4
3 2
34 3. Kambing
4 4 3 3 3 4 3 2 4 3 33
4. Babi 3 3 4 2 2 3 2 2 3 3
27 5. Ayam
Daging 4 4 4 4 3 3 4 2 3 4 35
6. Ayam Telur 4 4 4 4 3 3 4 2 3 4
35 7. Itik
4 3 4 2 2 3 2 1 2 3 26
Total Kriteria
27 25
26 22
19 23
21 15
22 23 223
Responden 7. No.
Komoditas Alternatif
Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria Total
Alternatif a b
c d
e f
g h
i j
1. Sapi Potong 3 4 3 3 2 4 3 3 4 4
33 2. Ayam
Buras 3 3 3 3 3 4 3 3 3 4 32
3. Kambing 2 4 3 2 2 3 3 2 3 4
28 4. Babi
3 4 3 3 3 4 3 3 3 4 33
5. Ayam Daging 2 3 2 2 2 4 3 2 2 3
25 6. Ayam
Telur 2 3 2 1 1 4 3 2 2 3 23
7. Itik 2 3 3 1 1 3 2 2 2 2
21 Total
Kriteria 17
24 19
15 14
26 20
17 19
24 195
Nilai rata-rata 7 tujuh responden berdasarkan komoditas alternatif dan kriteria agribisnis komoditas unggulan peternakan Kabupaten Jayapura.
No. Komoditas
Alternatif Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria
Total Alternatif
a b c d
e f
g h
i j
1. Sapi Potong 4 3 3 4 3 4 3 3 4 4
35 2. Ayam
Buras 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 31
3. Kambing 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3
28 4. Babi
3 3 3 3 3 4 3 3 3 4 32
5. Ayam Daging 3 3 3 3 3 4 3 2 3 3
30 6. Ayam
Telur 3 3 3 3 2 4 3 2 3 3 29
7. Itik 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3
28 Total
Kriteria 22 21 21 22
16 25
21 17
22 23
210 B. Perhitungan bobot kriteria dengan paired comparison criteria.
Batasan angka penilaian pengisian pembobotan : 2 = Jika kriteria horizontal lebih penting dari pada kriteria vertikal
1 = Jika kriteria horizontal sama penting dari pada kriteria vertikal 0 = Jika kriteria horizontal kurang penting dari pada kriteria vertikal
Responden 1. Kriteria a b c d e
f g
h i
j Score Bobot
a 2 1 0 2 2 2 1 0 0 10 0,111
b 0 0 0 1 0 1 2 1 2 7
0,078
c 1 2 0 1 1
2 2
1 10
0,111
d 2 2 2 2 1 2 2 0 2 15 0,167 e 0 1 1 0 1 2 2 0 2 9 0,100
f 0 2 1 1 1 1 1 0 2 9 0,100 g 0 1 0 0 0 1 1 0 2 5
0,056
h 1 0 0 0 0 1 1 0 1 4 0,044
i 2 1 2 2 2 2 2 2 2 17 0,189 j
2 0 1 0 0 1
4 0,044
Jumlah 8 11 8 3 9 9 13
14 1 14 90
1,000
Responden 2. Kriteria a b
c d e f
g h i
j Score Bobot
a 2 1 2 1 2 1 0 0 0 9
0,100
b 0 0 0 1 1 0 0 0 0
2 0,022
c 1 2 2 0 2 1 0 0 0 8
0,089
d 0 2 0 0 2 1 0 0 0 5
0,056
e 1 1 2 2 2 0 1 1 0 10 0,111 f 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0,011
g 1 2 1 1 2 2 2 2 2 15 0,167 h 2 2 2 2 1 2 0 2 2 15 0,167
i 2 2 2 2 1 2 0 0 0 11 0,122 j 2 2 2 2 2 2 0 0 2 14 0,156
Jumlah 9 16 10 13 8 17
3 3 7 4
90 1,000
Responden 3. Kriteria a b c d
e f
g h
i j
Score Bobot a 2 1 1 2 2 1 1 1 2 13 0,144
b 0
2 1 2 1 2 2 1 1 12 0,133
c 1 0 1 2 1 1 1 1 0 8
0,089
d 1 1 1 2 1 1 2 2 1 12 0,133 e 0 0 0 0 0 1 1 1 0
3 0,033
f 0 1 1 1 2 2 2 2 1 12 0,133 g 1 0 1 1 1 0 2 1 1 8 0,089
h 1 0 1 0 1 0 0 1 1 5 0,056 i 1 1 1 0 1 0 1 1 1 7 0,078
j 0 1 2 1 2 1 1 1 1 10 0,111 Jumlah
5 6 10 6 15 6 10 13 11 8
90 1,000
Responden 4. Kriteria a b c d
e f
g h
i j
Score Bobot a 1 1 1 1 1 1 0 1 1
8 0,089
b 1 1 2 1 1 1 0 1 1
9 0,100
c 1 1 1 1 2 2 1 1 1 11 0,122 d 1 0 1 1 1 1 1 1 1
8 0,089
e 1 1 1 1 1 1 0 1 1 8
0,089
f 1 1 0 1 1 1 0 1 1 7 0,078 g 1 1 0 1 1 1 0 1 1 7 0,078
h 2 2 1 1 2 2 2 0 1 13 0,144 i 1 1 1 1 1 1 1 2 1 10 0,111
j
1 1
1 1
1 1
1 1
1 9 0,100
Jumlah 10 9 7 10 10 11
11 5 8 9 90
1,000
Responden 5. Kriteria a b c d
e f
g h
i j
Score Bobot a 1 1 1 2 1 1 2 1 1 11 0,122
b 1
2 1 2 1 2 2 1 1 13 0,144
c 1 0 1 2 1 1 1 1 0 8
0,089
d 1 1 1 1 1 1 1 2 1 10 0,111 e 0 0 0 1 1 1 1 1 0
5 0,056
f 1 1 1 1 1 2 2 2 1 12 0,133 g 1 0 1 1 1 0 2 1 1 8 0,089
h 0 0 1 1 1 0 0 1 1 5 0,056 i 1 1 1 0 1 0 1 1 1 7 0,078
j 1 1 2 1 2 1 1 1 1 11 0,122 Jumlah
7 5 10 8 13 6 10 13 11 7
90 1,000
Responden 6. Kriteria a b c d e
f g
h i
j Score
Bobot a 2 2 2 1 1 2 1 1 0 12 0,133
b 0
0 2 0 0 0 2 0 2 6
0,067
c 0 2 1 0 1 0 2 1 2 9
0,100
d 0 0 1 1 1 2 2 1 2 10 0,111 e 1 2 2 1 0 0 2 2 0 10 0,111
f 1 2 1 1 2 1 0 0 0 8
0,089
g 0 2 2 0 2 1 2 1 0 10 0,111 h 1 0 0 0 0 2 0 0 0 3 0,033
i 1 2 1 1 0 2 1 2 0 10 0,111 j 2 0 0 0 2 2 2 2 2 12 0,133
Jumlah 6 12 9 8 8 10
8 15 8 6
90 1,000
Responden 7. Kriteria a b c d e
f g
h i
j Score Bobot
a 2 1 2 1 2 1 2 0 1 12 0,133 b 0
1 1 1 1 0 2 1 0 7
0,078
c 1 1 1 1 1 1 1 1 0 8
0,089
d 0 1 1 1 2 1 1 0 2 9
0,100
e 1 1 1 1 2 1 1 1 1 10 0,111 f 0 1 1 0 0 1 1 0 1
5 0,056
g 1 2 1 1 1 1 1 0 1 9 0,100 h 0 0 1 1 1 1 1 1 1 7 0,078
i 2 1 1 2 1 2 2 1 2 14 0,156 j
1 2
2 1
1 1
1 9
0,100
Jumlah 6 11 10 9 8 13
9 11 5 9
90 1,000
Hasil perhitungan nilai rata-rata bobot kriteria agribisnis komoditas unggulan peternakan Kabupaten Jayapura.
Kriteria Bobot kriteria 7 tujuh responden
Score Bobot
Bobot kriteria
akhir R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7
a 0,111 0,100 0,144 0,089 0,122 0,133 0,133 0,832 0,119
b 0,078 0,022 0,133 0,100 0,144 0,067 0,078 0,622 0,089
c 0,111 0,089 0,089 0,122 0,089 0,100 0,089 0,689 0,098
d 0,167 0,056 0,133 0,089 0,111 0,111 0,100 0,767 0,110
e 0,100 0,111 0,033 0,089 0,056 0,111 0,111 0,611 0,087
f 0,100 0,011 0,133 0,078 0,133 0,089 0,056 0,600 0,086
g
0,056 0,167 0,089 0,078 0,089 0,111 0,100 0,690 0,099
h 0,044 0,167 0,056 0,144 0,056 0,033 0,078 0,578 0,083
i 0,189 0,122 0,078 0,111 0,078 0,111 0,156 0,845 0,121
j 0,044 0,156 0,111 0,100 0,122 0,133 0,100 0,766 0,109
Jumlah 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 7,000 1,00
Hasil perhitungan penentuan komoditas unggulan agribisnis peternakan Kabupaten Jayapura dengan metode perbandingan eksponensial MPE.
Komoditas Alternatif
Kriteria Rating
Nilai Rangking
a b c d e
f g
h i
j Sapi
Potong 4 3 3 4 3 4 3 3 4 4
11,36 I Babi
3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 11,20 III
Kambing 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 11,10 VI
Ayam Buras
3 3 3 3 3 4 3 3 3 4 11,24 II
Ayam Pedaging
3 3 3 3 3 4 3 2 3 3 11,17 IV
Ayam Petelur
3 3 3 3 2 4 3 2 3 3 11,13 V
Itik 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3
11,10 VI
Bobot Kriteria
0.12 0.09 0.10 0.11 0.09
0.09 0.10
0.08 0.12
0.11
Lampiran 2. Nilai skor pendapat pakar pada setiap dimensi keberlanjutan pengembangan wilayah berbasis agribisnis peternakan sapi potong di Kabupaten Jayapura
Dimensi dan Atribut Hasil
Skor Baik Buruk
Keterangan Dimensi Ekologi
Kondisi prasarana jalan usahatani
2 3
0 sangat jelek , 1 jelek, 2 agak baik, 3 baik
Rencana Tata Ruang Wilayah
1 2
Mengacu pada RTRW Jayapura 0 tidak ada, 1 ada tapi tidak terperinci,
2 terperinci Jarak lokasi dengan
pemukiman 1
2 0 dilokasi pemukiman, 1 dekat, 2
agak dekat, 3 agak jauh, 4 jauh Agroklimat
1 2
mengacu pada tipe iklim di Indonesia, agroklimat : 0 kering, 1 sedang 2
basah Kejadian banjir
1 2
0 sering, 1 kadang-kadang 2 tidak pernah terjadi
Kejadian kekeringan 2
2 0 sering, 1 kadang-kadang 2 tidak
pernah terjadi Kuantitas limbah
peternakan 2
0 ada banyak, 1 sedikit 2 tidak ada
Kebersihan kandang 1
0 kotor, 1 bersih Pemotongan ternak betina
produkstif 1
3 0 10, 1 10 – 25, 2 25 -
50, 3 50 Ketersediaan RPH dan
IPAL RPH 3
0 tidak ada, 1 ada tetapi sederhana, 2 ada dengan kondisinya baik, 3
ada dengan kondisinya sangat baik Jenis pakan ternak
2 0 seadanyahijauan alami, 1 hijauan
+ limbah pertanian, 2 hijauan + limbah pertanian + konsentrat
Daya dukung pakan ternak 3
3 Mengacu pada Dinas Peternakan 0
sangat kritis, 1 kritis, 2 rawan, 3 aman
Tingkat pemanfaatan lahan 1
2 0 melebihi kapasitas, 1 sedang, 2
rendah Lahan tingkat kesuburan
tanah 1 2 0
0 tidak subur, 1 sedang, 2 subur Sistem pemeliharaan
3 0 50 tradisional, 1 25 - 50, 2
10 – 25, 3 10 Pemanfaatan limbah
pertanian untuk pakan ternak
1 3
0 tidak dimanfaatkan, 1 sebagian kecil dimanfaatkan, 2 sebagian besar
dimanfaatkan, 3 seluruhnya dimanfaatkan
Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk
organik 1
3 0 tidak dimanfaatkan, 1 sebagian
kecil dimanfaatkan, 2 sebagian besar dimanfaatkan, 3 seluruhnya
dimanfaatkan
Dimensi Ekonomi
Keuntungan profit dalam usaha agribisnis
peternakan 4
4 mengacu pada analisis usaha : 0 rugi
besar, 1 rugi sedikit, 2 kembali modal, 3 keuntungan marginal, 4
sangat menguntungkan
Perubahan nilai APBD subsektor peternakan
2 2 0 0 berkurang, 1 tetap, 2 bertambah
Ketersediaan agroindustri peternakan
2 0 pasar lokal, 1 pasar nasional, 2
pasar internasional Ketersediaan industri pakan
ternak 2
0 tidak ada, 1 ada pada desa tertentu, 2 tersedia pada setiap desa
Kelayakan finansial 2
2 0 tidak layak, 1 break event point,
2 layak Transfer keuntungan
2 0 terutama berada di penduduk lokal,
1 seimbang antara penduduk lokal dengan penduduk luar daerah, 2
keuntungan lebih banyak di penduduk luar daerah
Rata-rata pendapatan peternak terhadap UMR
3 4
0 jauh di bawah, 1 di bawah, 2 sama, 3 lebih tinggi, 4 jauh lebih
tinggi Rata-rata penghasilan
peternak antar skala usaha 3
4 0 jauh di bawah, 1 di bawah, 2
sama, 3 lebih tinggi, 4 jauh lebih tinggi
Besarnya pasar 2
0 pasar lokal, 1 pasar nasional, 2 pasar internasional
Kontribusi terhadap total pendapatan keluarga
1 2 0 0 30, 1 30 - 70, 2 70,
Kontribusi terhadap PDRB dan PAD
1 2
0 rendah; 30, 1 sedang 30 - 50, 2 tinggi; 50
Trend harga ternak dan hasil ternak
1 3
0 sangat tinggi, 1 tinggi, 2 sedang, 3 rendah
Pendapatan dari usaha non tani
3 3
0 sangat tinggi, 1 tinggi, 2 sedang, 3 rendah
Dimensi Sosial
Alternatif usaha selain peternakan
1 2 0 0 banyak, 1 sedikit, 2 tidak ada,
Kesehatan masyarakat peternak
2 3
0 buruk, 1 sedang, 2 baik, 3 sangat baik
Pertumbuhan penduduk 3
3 0 sangat tinggi, 1 tinggi, 2 sedang,
3 rendah Pengetahuan terhadap
lingkungan 0 2 0
0 sangat minim, 1 cukup, 2 banyakluas
Frekuensi penyuluhan dan pelatihan
1 3
0 tidak pernah ada, 1 sekali dalam setahun, 2 dua kali dalam setahun,
3 minimal tiga kali dalam setahun Partisipasi keluarga dalam
usaha 1
3 0 tidak ada, 1 1 – 2 anggota
keluarga, 2 3 – 4 anggota keluarga, 3 5 anggota keluarga
Frekuensi konflik 1
2 0 sering terjadi, 1 kadang-kadang,
2 tidak ada Curahan waktu kerja dalam
usaha peternakan 1
3 0 sekedar hobbi, 1 paruh waktu, 2
musiman, 3 waktu penuh Tingkat pendidikan rata-rata
masyarakat peternak 2
0 rendah, 1 kurang berpendidikan, 2 tinggi
Rasio tenaga kerja 2
2 0 anak-anak, 1 wanita dewasa, 2
pria dewasa
Pertumbuhan rumah tangga peternak
1 3
0 10, 1 10 – 20, 2 20 – 30, 3 30
Jumlah rumah tangga peternak
1 2
0 13, 1 13 – 23, 2 23 total jumlah rumah tangga rencana
kawasan Peran masyarakat dalam
usaha agribisnis sapi potong
2 4
0 sangat negatif, 1 negatif, 2 netral, 3 positif, 4 sangat positif
Dimensi Teknologi
Standar mutu produk peternakan
1 2
0 belum diterapkan, 1 tersedia tapi tidak optimal, 2 tersedia optimal
Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis
2 0 sangat minim, 1 cukup, 2
lengkap Ketersediaan teknologi
informasi dan transportasi 1
2 0 sangat minim, 1 cukup, 2
lengkap Penggunaan vitamin dan
probiotik untuk pertumbuhan ternak
2 0 tidak pernah, 1 kadang-kadang,
2 rutin Tempat pelayanan
inseminasi buatan IB 1
3 0 tidak dilakukan, 1 terpusat, 2
agak terpusat, 3 tersebar Tempat pelayanan
kesehatan hewan poskeswan
1 3
0 tidak dilakukan, 1 terpusat, 2 agak terpusat, 3 tersebar
Teknologi pengolahan limbah peternakan
2 0 tidak ada, 1 sederhana, 2
modern Teknologi pakan
2 0 tidak ada, 1 sederhana, 2
modern Teknologi pengolahan hasil
produk peternakan 1
2 0 tidak ada, 1 sederhana, 2
modern
Dimensi Kelembagaan
Ketersediaan lembaga keuangan bankkredit
1 2
0 tidak ada, 1 ada tapi kurang berjalan, 2 ada dan berjalan
Kerjasama antar negara dalam pengembangan
peternakan 1
2 0 tidak ada, 1 ada tapi kurang
berjalan, 2 ada dan berjalan Partisipasi pengusaha
dalam usaha peternakan 2
0 tidak ada, 1 ada tapi kurang berjalan, 2 ada dan berjalan
Sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan
daerah 1
2 0 tidak sinkron, 1 kurang sinkron,
2 sinkron Lembaga penyuluhan
pertanian 1
2 0 tidak ada, 1 ada tapi kurang
berjalan, 2 ada dan berjalan Koperasi peternakan
1 2
0 tidak ada, 1 ada tapi kurang berjalan, 2 ada dan berjalan
Kemitraan dengan lembaga adat
2 0 tidak bermitra, 1 ada tapi kurang
berjalan, 2 bermitra Kemitraan dengan
pemerintah 2
2 0 tidak bermitra, 1 ada tapi kurang
berjalan, 2 bermitra Kemitraan kelompok tani
1 2
0 tidak bermitra, 1 ada tapi kurang berjalan, 2 bermitra
Lampiran 3. Nilai indek lima dimensi keberlanjutan kawasan berbasis agribisnis peternakan sapi potong di Kabupaten Jayapura
A. Dimensi Ekologi
RAPFISH Ordination
48,5 GOOD
BAD UP
DOWN -60
-40 -20
20 40
60
20 40
60 80
100 120
Fisheries Sustainability O
th er
D ist
in g
ish in
g F
eat u
res
Real Fisheries References
Anchors
B. Dimensi Ekonomi
RAPFISH Ordination
53.2 GOOD
BAD UP
DOWN -60
-40 -20
20 40
60
20 40
60 80
100 120
Fisheries Sustainability O
th er
D ist
in g
ish in
g F
eat u
res
Real Fisheries References
Anchors
C. Dimensi Sosial
RAPFISH Ordination
67.0 GOOD
BAD UP
DOWN -60
-40 -20
20 40
60
20 40
60 80
100 120
Fisheries Sustainability O
th er
D ist
in g
ish in
g F
eat u
res
Real Fisheries References
Anchors
D. Dimensi Teknologi
RAPFISH Ordination
40.5 GOOD
BAD UP
DOWN -60
-40 -20
20 40
60
20 40
60 80
100 120
Fisheries Sustainability O
th er
D ist
in g
ish in
g F
eat u
res
Real Fisheries References
Anchors
E. Dimensi Kelembagaan
RAPFISH Ordination
49.3 GOOD
BAD UP
DOWN -60
-40 -20
20 40
60
20 40
60 80
100 120
Fisheries Sustainability O
th er
D ist
in g
ish in
g F
eat u
res
Real Fisheries References
Anchors
269 Lampiran 4. Kuesioner penentuan faktor kunci pembangunan kawasan agropolitan berbasia agribisnis sapi potong yang berkelanjutan
Dari ĺ terhadap Ļ
Si s
te m
p e
m e
lihara an
T ingka
t p
em anf
aat an
laha n
Sa ra
na p
ra sarana
ag rib
is n
is Ket
e rs
e d
ia an RP
H IP
AL A
groklimat K
e mitraa
n dg
l em
b ag
a ad
a t
as li
K onst
ribu s
i p
en dap
ata n kelu
arga Pa
ng s
a pa
s a
r K
ont ribu
si terhad
ap P
DRB PA
D P
erub aha
n ni
la i A
P BD
p ete
rn akan
P eran
ma sy
a rakat
ag rib
is n
is F
re k
ue ns
i pen
yuluh an
pela tihan
T ingka
t pe
ndid ika
n pet
ernak Pe
rtum b
u h
an r
u ma
h ta
ngg a
pet ernak
Ket e
rs e
d ia
an P
os IB
Ket e
rs e
d ia
an P
os Kes
w an
Ket e
rs e
d ia
an Lem
ba ga
Keu a
ng an
S inkronisas
i K eb
ija kan
pusa t d
an dae
rah Ket
e rs
e d
ia an BPP
1 2 3 4 5
6 7 8
9 10 11 12
13 14 15
16 17 18 19
Sistem pemeliharaan 1
Tingkat pemanfaatan
lahan 2
Sarana prasarana agribisnis
3 Ketersediaan
RPH IPAL
4 Agroklimat
5 Kemitraan dengan lembaga
adat 6
Konstribusi terhadap total pendapatan keluarga
7 Pangsa
pasar 8
Kontribusi terhadap PDRB PAD
9 Perubahan nilai APBD
peternakan 10
Peran masyarakat
agribisnis 11
Frekuensi penyuluhan pelatihan
12 Tingkat pendidikan peternak 13
Pertumbuhan rumah tangga peternak
14 Ketersediaan
Pos IB
15 Ketersediaan Pos Keswan
16 Ketersediaan Lembaga
Keuangan 17
Sinkronisasi Kebijakan pusat dan daerah
18 Ketersediaan
BPP 19
Pedoman pengisian matrik analisis pengaruh adalah sebagai berikut: • nilai 0 untuk faktor yang tidak saling berpengaruh langsung
• nilai 3 diberikan jika pengaruh langsung antar faktor sangat kuat, • nilai 2 untuk pengaruh langsung sedang
• nilai 1 untuk pengaruh kecil
Lampiran 5. Gambaran usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Jayapura
273 Lampiran 6 Kuesioner AHP
P P
P E
E E
N N
N E
E E
N N
N T
T T
U U
U A
A A
N N
N K
K K
E E
E B
B B
I II
J J
J A
A A
K K
K A
A A
N N
N P
P P
E E
E N
N N
G G
G E
E E
M M
M B
B B
A A
A N
N N
G G
G A
A A
N N
N K
K K
A A
A W
W W
A A
A S
S S
A A
A N
N N
A A
A G
G G
R R
R O
O O
P P
P O
O O
L L
L I
II T
T T
A A
A N
N N
B B
B E
E E
R R
R B
B B
A A
A S
S S
I II
S S
S A
A A
G G
G R
R R
I II
B B
B I
II S
S S
N N
N I
II S
S S
P P
P E
E E
T T
T E
E E
R R
R N
N N
A A
A K
K K
A A
A N
N N
Y Y
Y A
A A
N N
N G
G G
B B
B E
E E
R R
R K
K K
E E
E L
L L
A A
A N
N N
J J
J U
U U
T T
T A
A A
N N
N D
D D
I II
K K
K A
A A
B B
B U
U U
P P
P A
A A
T T
T E
E E
N N
N J
J J
A A
A Y
Y Y
A A
A P
P P
U U
U R
R R
A A
A
Identitas Responden
Nama :
Pekerjaan Instansi :
TelpHP :
Tanggal Wawancara
: Paraf
:
Oleh:
Hermanus Rumaj omi
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
274
274
PENGANTAR
Kuesioner ini disusun dengan memperhatikan kepentingan stakeholder dalam penyusunan kebijakan, dimensi pembangunan, dan kriteria setiap dimensi dengan
metode partisipatif dengan melibatkan judgement pakar. 1 Tata Cara Pengisian Kuesioner
Isilah perbandingan antara masing-masing atribut sesuai dengan Skala Saaty, seperti yang tertera pada Tabel 1 tentang Skala Angka Saaty. Perbandingan
dilakukan dengan cara membandingkan komponen BARIS dengan komponen
KOLOM terhadap TOPIK lihat di judul tabel. Apabila komponen baris lebih
kuat dari komponen kolom maka ditulis bilangan bulat misalnya 5. Akan tetapi
apabila sebaliknya, komponen kolom lebih kuat dari komponen baris, maka
ditulis 15.
Pengisian harus dilakukan secara konsisten. Sebagai contoh, apabila atribut A lebih baik dari atribut B, dan atribut B lebih baik dari dari atribut C, maka atribut A
harus lebih baik dari atribut C.
Bagian yang diarsir tidak perlu diisi
2 Contoh Cara Pengisian Kuisioner
Hasil Penentuan Bobot Faktor A, B, C, dan D terhadap alternatif kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang
berkelanjutan di Kab. Jayapura
Atribut A B
C D
A 1 17 13
15
B 1 5
3
C 1
13
D
1 Pengisian matriks perbandingan berpasangan tersebut memperlihatkan bahwa
atribut yang memiliki prioritas tertinggi hingga terendah berturut-turut adalah B, D, C, dan A.
275
Tabel 1. Skala Angka Saaty
Intensitas Pentingnya
Definisi Keterangan
1 Atribut yang satu dengan
yang lainnya sama penting Dua aktivitas memberikan kontribusi yang
sama kepada tujuan 3
Atribut yang satu sedikit lebih penting agak kuat dari
atribut yang lainnya. Pengalaman dan selera sedikit
menyebabkan yang satu lebih disukai daripada yang lain
5 Sifat lebih pentingnya atribut
yang satu dengan lain kuat Pengalaman dan selera sangat
menyebabkan penilaian yang satu lebih dari yang lain, yang satu lebih disukai dari
yang lain.
7 Menunjukkan sifat
sangat penting satu atribut dengan
atribut lain Aktivitas yang satu sangat disukai
dibandingkan dengan yang lain, dominasinya tampak dalam kenyataan
9 Satu atribut ekstrim penting
dari atribut lainnya Bukti bahwa antara yang satu lebih
disukai daripada yang lain menunjukkan kepastian tingkat tertinggi yang dapat
dicapai.
2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua
penilaian Diperlukan kesepakatan kompromi
Resiprokal Jika atribut i dibandingkan dengan j mendapat nilai
bukan nol, maka j jika dibandingkan dengan i
mempunyai nilai kebalikannya
Asumsi yang masuk akal
Rasional Rasio yang timbul dari skala
Jika konsistensi perlu dipaksakan dengan mendapatkan sebanyak n nilai angka
untuk melengkapi matriks
276
1. Penentuan bobot dan prioritas aktor penentuan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan
Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing AKTOR penentuan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang
berkelanjutan berikut ini:
Aktor
Pemerintah Pengusaha
dan investor Petani
Peternak Masyarakat
dan LSM Pemerintah
1 …. …. …. Pengusaha dan
investor 1
…. ….
Petani Peternak 1
…. Masyarakat dan
LSM 1
2. Penentuan bobot dan prioritas kebutuhan pemerintah dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan
yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing DIMENSI Penentuan
Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan yang merupakan prioritas
Pemerintah berikut ini:
Dimensi Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi
Kelembagaan Ekologi 1
…. ….
…. ….
Ekonomi 1
…. …. ….
Sosial 1 …. ….
Teknologi 1 ….
Kelembagaan 1
3. Penentuan bobot dan prioritas kebutuhan Pemerintah Daerah dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis
peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing DIMENSI Penentuan
Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan yang merupakan prioritas
Pemerintah Daerah berikut ini:
Dimensi Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi
Kelembagaan Ekologi 1
…. ….
…. ….
Ekonomi 1
…. …. ….
Sosial 1 …. ….
Teknologi 1 ….
Kelembagaan 1
4. Penentuan bobot dan prioritas kebutuhan pengusaha dan investor dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis
peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing DIMENSI Penentuan
Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan yang merupakan prioritas
pengusaha dan investor berikut ini:
Dimensi Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi
Kelembagaan Ekologi 1
…. ….
…. ….
Ekonomi 1
…. …. ….
Sosial 1 …. ….
Teknologi 1 ….
Kelembagaan 1
5. Penentuan bobot dan prioritas kebutuhan petani peternak dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan
yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing DIMENSI Penentuan
Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan yang merupakan prioritas
petani peternak berikut ini:
Dimensi Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi
Kelembagaan Ekologi 1
…. ….
…. ….
Ekonomi 1
…. …. ….
Sosial 1 …. ….
Teknologi 1 ….
Kelembagaan 1
6. Penentuan bobot dan prioritas kebutuhan masyarakat dan LSM dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis
peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing DIMENSI Penentuan
Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan yang merupakan prioritas
masyarakat berikut ini:
Dimensi Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi
Kelembagaan Ekologi 1
…. ….
…. ….
Ekonomi 1
…. …. ….
Sosial 1 …. ….
Teknologi 1 ….
Kelembagaan 1
278
7. Penentuan bobot dan prioritas dimensi ekologi dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang
berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk KRITERIA dalam kaitan dengan
dimensi
ekologi Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis
agribisnis peternakan yang berkelanjutan berikut ini:
Ekologi
Sistem pemeliharaan
Pemanfaatan lahan
RPH IPAL RPH
Agroklimat Sistem pemeliharaan
1 ….
…. Pemanfaatan lahan
1 ….
RPH IPAL RPH 1
Agroklimat 1
8. Penentuan bobot dan prioritas dimensi ekonomi dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang
berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk KRITERIA dalam kaitan dengan
dimensi
ekonomi Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan
berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan berikut ini:
Ekonomi
Pendapatan keluarga
Pangsa pasar besar
Kontribusi PDRB PAD
Perubahan nilai APBD
peternakan Pendapatan keluarga
1 ….
…. Pangsa pasar besar
1 ….
Kontribusi PDRB PAD
1 Perubahan nilai
APBD peternakan 1
9. Penentuan bobot dan prioritas dimensi sosial dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang
berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk KRITERIA dalam kaitan dengan
dimensi
sosial Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis
agribisnis peternakan yang berkelanjutan berikut ini:
Sosial
Penyuluhan dan pelatihan
Peran masyarakat
peternak Tingkat
pendidikan Pertumbuhan
RTP Penyuluhan dan
pelatihan 1 ….
…. Peran masyarakat
peternak 1
…. Tingkat pendidikan
1 Pertumbuhan RTP
1
10. Penentuan bobot dan prioritas dimensi teknologi dalam kaitan dengan
kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan
Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk KRITERIA dalam kaitan dengan dimensi
teknologi Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan
berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan berikut ini:
Teknologi Teknologi IB
Teknologi Keswan Sarana dan
prasarana agribisnis
Teknologi IB 1
…. ….
Teknologi Keswan 1 ….
Sarana dan prasarana agribisnis
1
11. Penentuan bobot dan prioritas dimensi kelembagaan dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis
peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk KRITERIA dalam kaitan dengan
dimensi
kelembagaan untuk Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan
agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan berikut ini:
Kelembagaan
Lembaga keuangan
modal Sinkronisasi
kebijakan Badan
Penyuluh Pertanian
Kemitraan lembaga
adat Lembaga keuangan
modal 1 ….
…. Sinkronisasi
kebijakan 1
…. Badan Penyuluh
Pertanian 1
Kemitraan lembaga adat
1
280
12. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Sistem Pemeliharaan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Sistem Pemeliharaan berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
13. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Pemanfaatan Lahan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Pemanfaatan Lahan berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
14. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan RPH
dan IPAL RPH Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
RPH dan IPAL RPH berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
15. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Agroklimat Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Agroklimat berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
282
16. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Sumber Pendapatan Keluarga Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Sumber Pendapatan Keluarga berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
17. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Pangsa Pasar Besar Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Pangsa Pasar Besar berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
18. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Kontribusi terhadap PDRB PAD Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Kontribusi terhadap PDRB PAD berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
19. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Perubahan Nilai APBD Peternakan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Perubahan Nilai APBD Peternakan berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
284
20. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Teknologi IB Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Teknologi IB berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
21. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan
berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Teknologi Keswan
Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang
berkelanjutan dalam kaitan dengan
Teknologi Keswan berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
22. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Sarana dan Prasarana Agribisnis Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Sarana dan Prasarana Agribisnis berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
23. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Lembaga Keuangan Modal Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Teknologi Lembaga Keuangan Modalberikut
ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
286
24. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Sinkronisasi Kebijakan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Sinkronisasi Kebijakan berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
25. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Badan Penyuluh Pertanian Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Badan Penyuluh Pertanian berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
26. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Kemitraan Lembaga Adat Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Kemitraan Lembaga Adat berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
27. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Penyuluhan dan Pelatihan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Penyuluhan dan Pelatihan berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
288
28. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Peran
Masyarakat Peternak Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Peran Masyarakat Peternak berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
29. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Tingkat Pendidikan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Tingkat Pendidikan berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
30. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Pertumbuhan RTP Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan
Pertumbuhan RTP berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
31. Penentuan bobot dan prioritas aktor penentuan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan
Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing ALTERNATIF KEBIJAKAN penentuan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis
agribisnis peternakan yang berkelanjutan berikut ini:
Alternatif Kebijakan
Peningkatan kualitas
SDM Pembangunan
sarana prasarana
Peningktan jumlah ternak
sapi Peningkatan
kemitraan usaha
Penerapan teknologi
budidaya Peningkatan
investasi Peningkatan
kualitas SDM 1 …. …. ….
…. ….
Pembangunan sarana
prasarana 1 ….
…. ….
…. Peningktan
jumlah ternak sapi
1 ….
…. ….
Peningkatan kemitraan usaha
1 …. ….
Penerapan teknologi
budidaya 1
…. Peningkatan
investasi 1
TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASI SAUDARA
ABSTRACT
HERMANUS BUDIARTO RUMAJOMI. Development of Agropolitan Policy Model Based on Regional Sustainable Agribusiness Livestock in Jayapura Regency. Under
Supervision of SURJONO H. SUTJAHJO, MULADNO, and CATUR HERISON
.
Agropolitan estate development in the Regency of Jayapura is less sustainable. Of the five dimensions are analyzed to determine the status of sustainability of regional
development, there are two dimensions that are categorized as showed quite sustainable score 50-75, namely the economic dimension with a value of 53.2 index; and social
dimensions 67.0. While the dimensions are less sustainable score 50 is the dimension of ecology with an index value of 48.5; dimensions of technology 40.5, and
institutional dimensions 49.3. The dimensions of ecological, technological, and institutional become the most important thing to consider in the development activities
agropolitan Jayapura region because it has a sustainability index score 50. There are five key factors to consider in order to meet the future needs of stakeholders in the
development of region-based agropolitan beef cattle in Jayapura District, namely: the improvement of maintenance systems, facilities and infrastructure development of
agribusiness, the construction of artificial insemination post, the availability of financial institution that provides easy-interest loans lower for beef cattle raising business capital
and the support of local government policy in the form of changes in budget revenues and expenditures livestock sub-sector. The design of development policies formulated by
taking into account the area agropolitan key factors that have been generated from the preceding analysis. It also include the results of regional development policy review
agropolitan. The formulation of this policy is carried out through FGDs with stakeholders and experts. The formulation of regional development policy design agropolitan are: 1
Improving the quality of human resources, especially farmers and ranchers farm actors through training and education, 2 Development and maintenance of infrastructure and
facilities for the region to support the development of the region, 3 Increasing the number of beef cattle traded with agricultural commodities that can improve the welfare of
the community, 4 Developing and strengthening partnerships in support of farming beef cattle agribusiness development activities, 5 Improvement of investment climate and
increased government investment and entrepreneurs, and 6 Development of cultivation technology and the improvement of agriculture and animal husbandry agricultural
business management. Regional development policy alternatives agropolitan continuing the priorities are: improving and strengthening partnerships in support of agribusiness
farm commodities of superior livestock. To realize the policy is agreed upon policy implementation strategy are: to develop quality human resources in the region in
strengthening the partnership agropolitan, implement construction and maintenance of facilities and infrastructure to support increased business and investment partnerships,
developing economies in the region mengintensitaskan agropolitan with beef cattle population and productivity agriculture that can support business partnerships in
accelerating economic growth and implement policies to improve the system of business partnerships and rental growth in the financial sector as a source of capital that can
contribute to the welfare of the community by conducting inter-regional cooperation in promoting the growth of industrial sector in the region through efforts to increase the
power industrial competitiveness by developing a network pattern of industrial clusters as its foundation.
Key words: priority commodities, the behavior of farmers, cattle agribusiness, agropolitan, sustainable, development, policy.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beberapa dekade yang lalu paradigma pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah lebih menitikberatkan pada pembangunan fisik tanpa diikuti
pembangunan ekonomi sosial dan lingkungannya yang dilakukan secara terpadu. Hal ini menimbulkan masalah di dalam pengelolaannya, karena
masyarakat belum punya kemampuan untuk mengelola agar investasi yang telah dilaksanakan dapat lestariberfungsi. Investasi dalam skala besarmasif yang
dilaksanakan di daerah perkotaan, diharapkan dapat memberikan efek penetesan ke wilayah sekitarnya namun tidak terjadi secara serta merta.
Berdasarkan pada paradigma tersebut di atas, maka pembangunan perdesaan juga harus diperhatikan. Pendekatan pembangunan di perdesaan harus
dilakukan tidak hanya pada kegiatan fisik, namun yang lebih penting sebagai entry point-nya adalah kegiatan ekonomi berdasarkan pada potensi unggulan di
masing-masing wilayah. Terkait dengan pendekatan ini maka melalui konsep pembangunan kawasan agropolitan menjadi relevan untuk dilaksanakan di
daerah perdesaan. Pengembangan kawasan agropolitan, pada dasarnya memiliki
keunggulan-keunggulan yaitu 1 mendorong ke arah terjadinya desentralisasi pembangunan maupun kewenangan, 2 menanggulangi hubungan saling
memperlemah antara perdesaan dengan perkotaan, dan 3 menekankan kepada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan
diusahakan dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat perdesaan itu sendiri Rustiadi et al., 2006. Pengembangan kawasan agropolitan ini
diharapkan dapat berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland
atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor
secara luas seperti usaha pertanian on farm dan off farm, industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan pelayanan lainnya.
Pengembangan agropolitan, seperti resdistribusi tanah, prasarana dan sarana pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan,
sehingga masyarakat petani tidak perlu pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan yang berkaitan dengan produksi, pemasaran, sosial budaya dan
kehidupan setiap hari Syahrani, 2001. Prasarana dan sarana fisik sebagai modal sosial masyarakat yang memiliki keterkaitan kuat dengan kesejahteraan
masyarakat Dardak, 2004. Pembangunan infrastruktur pada kawasan agropolitan memungkinkan penciptaan lapangan pekerjaan, kompetisi
pemanfaatan lahan yang dapat ditanami untuk kepentingan non pertanian dapat dikurangi dan pendapatan masyarakat perdesaan dapat ditingkatkan melalui
kegiatan agribisnis atau agroindustri Dardak dan Elestianto, 2005. Sektor agribisnis merupakan sektor usaha yang memanfaatkan
sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang memberikan sumbangan sangat besar bagi pembangunan Indonesia. Sumbangan sektor agribisnis
terutama terlihat pada masa krisis, masih sanggup memberikan devisa negara dengan meningkatnya nilai ekspor komoditas agribisnis. Menurut Gumbira-Said
dan Intan 2001 sektor agribisnis sangat potensial dikembangkan untuk orientasi ekspor dan pembangunan agribisnis dapat memberdayakan potensi ekonomi
rakyat dan potensi ekonomi daerah. Pemberdayaan ekonomi rakyat tidak cukup dilaksanakan hanya dengan membagi dana kepada masyarakat, tanpa kejelasan
pemanfaatannya, namun peningkatan ekonomi rakyat dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk kesejahteraan masyarakat itu
sendiri. Menurut Saragih 1998 kegiatan sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia, yang dapat menyerap 70
angkatan kerja nasional serta melibatkan 90 usaha kecil menengah dan koperasi. Sektor agribisnis dapat menghidupi atau menyokong hampir 80
penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 210 juta jiwa. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat dan pelaksanaan otonomi
daerah, Kabupaten Jayapura juga mempunyai peluang untuk mengembangkan agropolitan yang berbasis agribisnis peternakan. Hal ini didukung oleh misi
Kabupaten Jayapura dalam meningkatkan pembangunan, antara lain 1 pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi daerah terutama
usaha kecil menengah dan koperasi, 2 mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dan
berbasis sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Sumberdaya peternakan, merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui renewable dan berpotensi untuk dikembangkan guna
meningkatkan dinamika ekonomi daerah. Menurut Saragih 2000 hal ini
didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu pertama, kegiatan peternakan, khususnya subsistem budidaya, relatif bersifat tidak tergantung pada
ketersediaan lahan dan tidak menuntut kualitas tenaga kerja yang tinggi. Kedua, kegiatan budidaya peternakan memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas
dan luwes. Ketiga, produk ternak sapi merupakan produk yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi. Keempat,
sifat produk peternakan yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi dan kegiatan peternakan yang dilihat sebagai
suatu sistem agribisnis, akan mampu menciptakan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan peningkatan pendapatan. mulai pada agribisnis hulu,
budidaya, agribisnis hilir dan kegiatan jasa terkait seperti transportasi, perbankan dan lain-lain.
Dalam pengembangan peternakan terdapat beberapa aspek sarana dan prasarana yang penting diperhatikan selain aspek karakteristik komoditas dan
pemasaran, yaitu aspek teknis produksi, suhu dan lokasi lingkungan. Aspek teknis produksi dan suhu lingkungan yang sesuai sangat menentukan mutu hasil
budidaya peternakan. Aspek teknis produksi meliputi keadaan perkandangan baik fungsi, model kandang, bahan dan konstruksi, ukuran dan letak bangunan
kandang Santosa, 2000. Peralatan dan bangunan penunjang merupakan peralatan yang dibutuhkan dalam aspek teknis produksi. Peralatan penunjang
tersebut yaitu tempat pakan dan minum dan peralatan kebersihan Sugeng, 2002. Bangunan penunjang dalam aspek teknis antara lain gudang untuk
penyimpan pakan dan peralatan, tempat pemotongan hewan, bak dan saluran limbah serta handling yard yaitu fasilitas yang diperlukan untuk menangani
berbagai fungsi, seperti penimbangan, pemeriksaan dan pengobatan ternak, pemuatan atau pembongkaran ternak dari atau ke kendaraan.
Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan 2002 sarana dan prasarana pendukung pengembangan kawasan peternakan adalah 1 sarana produksi,
yaitu adanya industri bibitbakalan ternak, industri obat dan vaksin, 2 untuk pengamanan budidaya antara lain tersedianya pos keswan dan pos inseminasi
buatan IB, 3 untuk pengamanan pasca panen dan pengolahan hasil diperlukan adanya rumah potong hewan, industri pengolah daging dan produk ternak
lainnya, 4 untuk pemasaran adalah adanya holding ground, pasar hewan, sarana transportasi, 5 untuk pengembangan usaha, terdapatnya kelembagaan
keuangan permodalan, penyuluh, koperasi, lembaga peneliti dan kelembagaan
pasar dan 6 untuk prasarana pendukung lainnya, yaitu tersedianya jalan. listrik dan air. Masalah sumber pembelian dan kualitas bakalan bibit sangat penting
diketahui dalam usaha pembibitan sapi maupun penggemukan. Pemilihan semen beku bakalan merupakan aspek penting dalam pembibitan maupun
penggemukan sapi Sarwono dan Arianto, 2002, begitu juga dengan ketersediaan jenis pakan yang berkualitas dan pakan tambahan atau konsentrat,
disesuaikan penggunaannya dalam usaha peternakan sapi potong Hadi dan Ilham, 2002.
Dalam rangka mendapatkan manfaat yang optimal, pengembangan sistem budidaya peternakan perlu memenuhi kriteria pembangunan
berkelanjutan sustainable development yang mempersekutukan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan Saragih dan Sipayung 2000.
Fauzi 2002 mengemukakan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah bagaimana how best mengelola sumberdaya alam tersebut di dalam
suatu wilayah untuk dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia dan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam. Menurut
Budiharsono 2001 ada enam aspek pembangunan wilayah terpadu yang harus diperhatikan yaitu aspek biofisik, ekonomi wilayah, sosial budaya dan politik,
kelembagaan, lokasi, dan lingkungan. Dahuri et a. 1996 mengemukakan bahwa kriteria-kriteria pembangunan berkelanjutan secara umum dapat
dikelompokkan ke dalam empat dimensi yaitu ekologi, sosial-ekonomi, sosial- politik, serta hukum dan kelembagaan. Selanjutnya Kay dan Alder 1999 serta
OECD 1993 juga menyebutkan beberapa kriteria yang dapat menjadi acuan pembangunan berkelanjutan, yang pada prinsipnya juga menyangkut dimensi
ekologi, ekonomi, sosial-budaya, serta hukum dan kelembagaan. Pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas dapat menjadi acuan
dalam pengembangan agribisnis peternakan dalam kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura, dengan melakukan penilaian dan pengkajian sumberdaya
peternakan sehingga dapat menentukan pembenahan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya peternakan di Kabupaten Jayapura. Penerapan
konsep pembangunan berkelanjutan dalam pengembangan sistem agribisnis peternakan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan peternak, memberikan
kontribusi terhadap pendapatan asli daerah PAD, menyerap tenaga kerja, memeratakan pendapatan
,
mengaplikasikan teknologi untuk meningkatkan produktifitas, patuh hukum dan berfungsinya kelembagaan peternakan. Dalam
upaya mewujudkan hal tersebut maka penelitian mengenai pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan
berkelanjutan di Kabupaten Jayapura perlu dilakukan.
1.2. Kerangka Pemikiran
Pembangunan nasional mengamanatkan bahwa pendayagunaan sumberdaya alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat dilakukan secara
terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab, dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat serta memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Konsep pembangunan tersebut di
atas yang telah dijalankan selama ini, ternyata masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan kawasan perdesaan, bahkan cenderung
menyebabkan kesenjangan antar wilayah perkotaan urban dan wilayah perdesaan rural. Daerah perkotaan selama ini telah diarahkan sebagai pusat
industri dan perdagaangan, disamping sebagai pusat pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari pesatnya pembangunan sarana dan prasarana perdagangan,
perkantoran, dan industri. Di daerah perdesaan diarahkan sebagai pusat produksi pertanian Pranoto, 2005. Program pembangunan untuk daerah
perdesaan selama ini ditekankan pada peningkatan produksi pertanianpeternakanperkebunan, seringkali kurang memperhatikan aspek
kelestarian lingkungan. Hal ini juga dapat dilihat dari penerapan konsep intensifikasi untuk peningkatan produksi oleh petani, seperti pengolahan tanah,
pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit di daerah-daerah kawasan sentra produksi.
Pengelolaan tanah yang dilakukan di lokasi penelitian pada umumnya kurang memperhatikan konsep konservasi tanah dan air, seperti penanaman
intensif tanaman monokultur yang dilakukan terus-menerus sepanjang tahun, atau pengusahaan tanaman semusim pada areal dengan kelerengan curam,
sehingga dapat menyebabkan degradasi lahan. Kebergantungan petani pada pupuk anorganik akibat penggunaan varietas responsif pemupukan dan
kebiasaan pemberian pupuk secara tidak berimbang pada dosis tinggi, menyebabkan kerusakan sifat fisik dan kimia tanah. Pengendalian hama dan
penyakit dengan mengandalkan penggunaan pestisida, yang pada umumnya melebihi anjuran, menyebabkan musnahnya musuh alami dan timbulnya ras-ras
hama dan penyakit resisten. Program-program pembangunan tersebut pada akhirnya mengakibatkan peningkatan produksi, maupun ekonomi yang tercapai
tidak dapat berkelanjutan karena malah menimbulkan degradasi lingkungan secara fisik, kimia, dan biologis.
Menyadari terjadinya ketidakseimbangan pembangunan, maka pemerintah telah menyelenggarakan berbagai program pengembangan
wilayahkawasan yang dikhususkan bagi wilayahkawasan yang selama ini kurang mendapat perhatian diantaranya melalui pembentukkan kawasan pusat
pertumbuhan KPP, kawasan pengembangan ekonomi terpadu KAPET, kawasan sentra produksi KSP, dan kawasan industri masyarakat perkebunan
KIMBUN, dimana semua program ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan dan disparitas antar wilayah. Oleh karena itu strategi pembangunan
yang telah dijalankan perlu dipikirkan kembali. Menurut Tong Wu 2002, pemikiran kembali strategi pembangunan dapat
mencakup: 1 redistribusi dengan pertumbuhan, 2 substitusi eksport, dan 3 penciptaan lapangan kerja dan pembangunan perdesaan. Untuk mencegah
proses degradasi lingkungan sebagai dampak negatif proses pembangunan, harus diterapkan konsep pembangunan perdesaan berkelanjutan. Model
pengembangan agropolitan, merupakan alternatif yang dapat digunakan dalam pembangunan perdesaan yang berkelanjutan. Agropolitan adalah konsep
pembangunan perdesaan yang mengintegrasikan pemberdayaan masyarakat dan pengembangan wilayah secara simultan. Pemberdayaan masyarakat
merupakan konsep pembangunan yang mengutamakan partisipasi participation dan kemitraan partnership yang mengarah pada pembangunan dari dan untuk
rakyat. Agropolitan didasari oleh konsep pengembangan wilayah dengan penekanan pada pembangunan infrastruktur, kelembagaan, dan
permodalaninvestasi. Langkah-langkah yang dltempuh dalam pengembangan agropolitan
meliputi peningkatan agribisnis komoditas unggulan, pembangunan agroindustri, dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan. Sasarannya adalah
infrastruktur pendukung produksi pertanian, pengolahan hasil dan pemasaran, serta permukiman terbangun secara memadai dan setara infrastruktur kota;
penguatan kelembagaan perdesaan dapat terjadi; kelestarian lingkungan terjaga; perekonomian perdesaan tumbuh berkembang; dan produktivitas
pertanianpeternakan meningkat.
Apabila hal tersebut dapat dicapai, maka akan terbentuk kota di daerah perdesaan dengan sarana dan prasarana permukiman setara kota dengan
kegiatan pertanianpeternakan sebagai kekuatan penggerak perekonomian perdesaan. Multiplier effect selanjutnya adalah terbukanya lapangan pekerjaan
sehingga dapat mengurangi pengurasan sumberdaya alam dan urbanisasi dari desa ke kota, disparitas perkembangan kota dan desa dapat ditekan, dan
pembangunan dapat dirasakan lebih adil dan merata. Secara garis besar, kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran pengembangan model kebijakan kawasan
agropolitan berbasis agribisnis peternakan
Pembangunan Nasional
Rencana Strategis Provinsi, KotaKabupaten
Otonomi Daerah Ekonomi
Sosial-Budaya
Politik Keamanan
Hukum
Perkotaan Urban
Perdesaan Rural
Disparitas pembangunan - backwash effect
- Urban bias
AGROPOLITA
Pemberdayaan Masyarakat
Partisipasi Kemitraan
Pengembangan Wilayah
Infrastruktur, Kelembagaan ModalInvestasi
Ekonomi Perdesaan
Kelestarian Lingkungan
Kelembagaan dan Kemitraan
Konservasi Agro-
industri Agribisnis
Peternakan
Pembangunan Desa
Berkelanjutan Kebijakan
Pembangunan Daerah
Pembangunan Pertanian
Kebijakan Pembangunan
Nasional
KSP KAPE
KIMBUN KPP
Infrastruktur Produksi
Pertanian
1.3. Rumusan Masalah
Diberlakukannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi Undang-undang No. 22 Tahun
1999, maka pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam menentukan kebijakan dan program pembangunan yang terbaik bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah masing-masing. Latar belakang demografi, geografis, ketersediaan infrastruktur dan budaya yang
tidak sama, serta kapasitas sumber daya yang berbeda, memiliki konsekuensi adanya keberagaman kinerja daerah dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan
pembangunan. Perbedaan kinerja selanjutnya akan menyebabkan ketimpangan pembangunan antar wilayah, meningkatnya tuntutan daerah, dan kemungkinan
disintegrasi bangsa. Ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat dilihat dari perbedaan
tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa angka kemiskinan di DKI Jakarta hanya sekitar
3,18 persen, sedangkan di Papua sekitar 38,69 persen. Ketimpangan pelayanan sosial dasar yang tersedia, seperti pendidikan, kesehatan dan air bersih juga
terjadi antar wilayah, penduduk di Jakarta rata-rata bersekolah selama 9,7 tahun, sedangkan penduduk di NTB rata-rata hanya bersekolah selama 5,8 tahun.
Hanya ± 30 persen penduduk Jakarta yang tidak mempunyai akses terhadap air bersih, tetapi di Kalimantan Barat lebih dari 70 persen penduduk tidak
mempunyai akses terhadap air bersih. Data BPS tahun 2004 mengenai penguasaan PDRB pendapatan
domestik regional bruto seluruh provinsi dan lajur pertumbuhan PDRB antar provinsi menunjukkan bahwa provinsi di Jawa dan Bali menguasai ± 61,0 persen
dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatra menguasai ± 22,2 persen, provinsi di Kalimantan menguasai 9,3 persen, Sulawesi menguasai 4,2 persen.
PDRB di provinsi di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua hanya 3,3 persen. Selain itu, laju pertumbuhan PDRB provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2004 sebesar
10,71 persen, provinsi di Sumatra sebesar 7,78 persen, provinsi di Kalimantan 5,72 persen, provinsi di Sulawesi sebesar 11,22 persen, dan provinsi di Nusa
Tenggara, Maluku dan Papua sebesar 4,34 persen. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan
semakin timpangnya pembangunan antar wilayah.
Kabupaten Jayapura merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Papua yang berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea PNG. Melihat
posisi Kabupaten Jayapura yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, memiliki potensi yang cukup besar sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di
daerah tersebut, di mana selain sangat potensial untuk pembangunan di sektor pertanian subsektor peternakan. Namun seiring dengan perkembangan
pembangunan, kenyataan menunjukkan telah terjadi ketimpangan pertumbuhan ekonomi di daerah ini yang disebabkan oleh disparitas pembangunan antara
wilayah perkotaan dengan perdesaan. Selama ini tercipta kesan kuat disparitas pembangunan antara wilayah perkotaan dan perdesaan diikuti oleh aktifitas
ekonomi dan daya dukung sumberdaya yang berbeda pula. Wilayah perkotaan dicirikan oleh aktifitas ekonomi dominan berupa industri pengolahan,
perdagangan dan jasa yang kuat, sumberdaya manusia berkualitas, serta tingkat pelayanan infrastruktur yang cukup dan lengkap. Sebaliknya wilayah perdesaan
didominasi oleh kegiatan sektor ekonomi pertanian dalam arti luas, kualitas sumberdaya manusia rendah, kemiskinan dan infrastruktur yang terbatas.
Ketimpangan pembangunan antar wilayah juga ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial
terutama masyarakat di perdesaan, wilayah terpencil, perbatasan serta wilayah tertinggal. Ketimpangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan ditunjukkan
oleh rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa, tertinggalnya pembangunan kawasan perdesaan dibanding dengan perkotaan, dan tingginya
ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya akses pada permodalan, lapangan kerja, informasi,
teknologi pendukung, dan pemasaran hasil-hasil produksi di perdesaan. Kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan selain mengakibatkan
terjadinya backwash effect, juga mengakibatkan penguasaan terhadap pasar, kapital dan kesejahteraan yang lebih banyak dimiliki oleh masyarakat perkotaan.
Akibatnya kondisi masyarakat perdesaan semakin terpuruk dalam kemiskinan dan kebodohan. Keadaan ini juga dinyatakan Yudhoyono 2004 bahwa
pembangunan yang telah berkembang selama ini melahirkan kemiskinan dan pengangguran struktural di pertanian dan perdesaan.
Berdasarkan ketimpangan-ketimpangan pertumbuhan ekonomi tersebut di atas serta dengan mengacu pada kerangka pemikiran, maka salah satu
pendekatan pengembangan kawasan perdesaan untuk mewujudkan kemandirian
pembangunan perdesaan yang didasarkan atas potensi wilayah. Khusus di Kabupaten Jayapura dapat dilakukan dengan mengembangkan kawasan
agropolitan yang merupakan konsep pengembangan atau pembangunan perdesaan rural development dengan mengkaitkan atau menghubungkan
perdesaan dengan pembangunan wilayah perkotaan urban development pada tingkat lokal.
Program pengembangan kawasan agropolitan bukan merupakan konsep baru, tetapi merupakan pengembangan dan optimalisasi dari program-program
pembangunan sebelumnya. Pengembangan kawasan agropolitan merupakan pengembangan kawasan agribisnis yang terintegrasi dengan pembangunan
wilayah. Pengembangan kawasan agropolitan adalah gerakan masyarakat karena masyarakat memegang peranan utama dalam setiap kegiatan
pembangunan kawasan yang diperkuat melalui pengelolaan kelembagaan dan kemitraan dengan pihak yang terkait. Selain itu, peran pemerintah terutama
pemerintah daerah sangat menentukan keberhasilan dalam pengembangan kawasan agropolitan yang berfungsi sebagai fasilitator, dinamisator, dan
motivator. Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis
peternakan, Kabupaten Jayapura memiliki sejumlah permasalahan- permasalahan baik yang terkait dengan kelengkapan sarana dan prasarana baik
sarana dan prasarana umum maupun sarana dan prasarana pendukung agribisnis. Selain itu masalah lain yang dihadapi adalah kualitas sumberdaya
manusia perdesaan, bentuk kelembagaan yang ada, serta dukungan modal dalam rangka pengembangan kawasan. Namun demikian, belum pernah
dilakukan pengkajian secara mendalam sehingga perlu dilakukan pengkajian mengenai pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan
berkelanjutan dengan menggunakan berbagai macam metode secara komprehensif yang nantinya akan diperoleh hasil penelitian secara detail dan
mendalam. Dalam pengkajian tersebut, permasalahan-permasalahan yang perlu dipecahkan adalah :
1 Apa yang menjadi komoditas unggulan peternakan di Kabupaten Jayapura? 2 Bagaimana perilaku dan karakteristik peternak yang ada di Kabupaten
Jayapura untuk menunjang pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan?
3 Bagaimana keberlanjutan potensi wilayah yang dimiliki Kabupaten Jayapura yang dapat mendukung pengembangan agropolitan berbasis agribisnis
peternakan? 4 Apa saja faktor-faktor strategis masa depan yang berperan penting dalam
pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan?
5
Apa saja faktor kunci yang menentukan keberlanjutan pengembangan agribisnis peternakan di kawasan agropolitan
yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura.
6 Bagaimana pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura serta
bagaimana rumusan kebijakan dan skenario strategi pengembangannya ?
Gambar 2. Perumusan masalah pengembangan model kebijakan
kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong
UU No.32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah
Otonomi Daerah Pembangunan Perkotaan
urban development Industri
Perdagangan Jasa
SDM berkualitas Infrastuktur memadai
Pembangunan Perdesaan rural development
Pertanian Kemiskinan
SDM rendah Infrastuktur terbatas
Wilayah terpencil
Rural-Urban Gap
Pembangunan Kawasan Agropolitan
Agribisnis Peternakan
• Backwash effect • Urbanisasi
MDS
Ekologi Ekonomi
Sosial
Teknologi Kelembagaan
Faktor-faktor strategis pengembangan
Prospektif pengembangan
Skenario dan kebijakan pengembangan
Pengembangan Model Kebijakan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan
yang Berkelanjutan Rekomendasi Kebijakan dan Strategi
Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan Sapi Potong
1.4. Tujuan Penelitian
1. Menentukan komoditas unggulan peternakan di Kabupaten Jayapura. 2.
Mengetahui perilaku dan karakteristik peternak kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura, untuk menunjang pengembangan agropolitan berbasis
agribisnis peternakan.
3.
Menilai keberlanjutan sistem melalui penyusunan indeks dan status kategori keberlanjutan model pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribsnis
peternakan.
4.
Mengidentifikasi faktor-faktor strategis masa depan yang berperan penting dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan
yang berkelanjutan.
5. Menganalisis faktor kunci yang menentukan keberlanjutan
pengembangan agribisnis peternakan di kawasan agropolitan
yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura.
6. Merumuskan kebijakan pengembangan agribisnis peternakan kawasan agropolitan yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura
.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat untuk :
1. Ilmu pengetahuan dalam rangka pengembangan dan aplikasi cara berpikir sistem system thinking dan metodologi yang dapat digunakan untuk
penyelesaian berbagai permasalahan melalui pendekatan sistem dalam menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan.
2. Pengusahainvestor agar dapat memahami strategi dan prospek pengembangan usaha peternakan unggulan di Kabupaten Jayapura.
3. Pemerintah daerah khususnya Dinas Peternakan, sebagai pedoman untuk menyusun perencanaan pembangunan bidang peternakan di Kabupaten
Jayapura.
1.6. Kebaruan Novelty
Novelty kebaruan dalam penelitian ini terdiri dari dua hal yaitu: 1 kebaruan dari segi metode merupakan perpaduan secara komperhensif dan
partisipatif dari beberapa metode analisis untuk menyusun pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang
berkelanjutan di Kabupaten Jayapura, dan 2 kebaruan dari segi hasil penelitian adalah mengembangkan pembangunan pertanian yang berbasis peternakan
yang berkelanjutan dilihat dari segi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, dan kelembagaan dan mengetahui faktor-faktor masa depan yang berpengaruh,
serta tersusunnya skenario strategi untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan unggulan di Kabupaten Jayapura.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Berkelanjutan
2.1.1. Konsep dan Definisi
Dalam proses pembangunan yang dilakukan pemerintah pada kurun waktu tahun 1970-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an masih
dititikberatkan pada pembangunan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek- aspek lainnya. Hal ini mengakibatkan adanya ketimpangan pembangunan antara
di wilayah perkotaan dan perdesaan. Pembangunan berkelanjutan menerapkan konsep keadilan antar generasi yang diadopsi oleh seluruh masyarakat di dunia
walaupun dengan fokus dan penafsiran yang berbeda-beda. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan dengan ekploitasi sumberdaya,
arahan investasi, dan perubahan kelembagaan yang seluruhnya dibuat konsisten dengan kebutuhan saat ini dan juga kebutuhan yang akan datang Khanna et al.
1999. Menurut Leach dan Scooness 1997, masyarakat dilihat sebagai unit yang tepat dan peduli serta mampu secara kolektif dalam menghadapi
lingkungan. Menurut Robin et al. 1997, pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan pada solusi tingkat lokal yang diperoleh dari inisiatif masyarakat.
Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi wacana secara internasional. Kerangka berpikir ini pada tahun 1992 dalam
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro disepakati oleh semua Negara di dunia termasuk Indonesia untuk dlgunakan sebagai panduan. Program Aksi
Dunia hasil konferensi tersebut di kenal sebagai Agenda 21. Dalam agenda tersebut Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP 2000
menyatakan bahwa kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa haras
menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa datang. Melalui kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan, maka setiap negara, wilayah dan daerah
dapat mengembangkannya sendiri, baik cara maupun prioritas permasalahannya yang akan diatasi dan potensi yang akan dikembangkan. Bond et al. 2001
menyatakan bahwa berkelanjutan sustainability didefinisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup
yang lebih baik untuk semua orang. Pembangunan ekonomi, sosial dan proteksi lingkungan adalah saling memperkuat dalam pembangunan berkelanjutan.
Bosshard 2000 mengemukakan pendekatan secara komprehensif menuju pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan lima prinsip kriteria yaitu:
1 abiotik lingkungan, 2 biotik lingkungan, 3 nilai-nilai budaya, 4 sosiologi dan 5 ekonomi. Dalam hubungannya untuk memproteksi lingkungan, maka
konsekuensi intervensi manusia dalam pemanfaatan dan manipulasi sumber daya lingkungan harus diantisipasi. Jika hal ini tidak dilakukan maka dapat
mengakibatkan degradasi lingkungan yang akan merongrong pembangunan ekonomi Greenland, 1992. Selanjutnya, sebagai konsep pembangunan yang
berkelanjutan dan lingkungan yang baik, maka harus dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi tuntutan generasi mendatang dalam mencukupi
kebutuhannya sendiri Meyer dan Harger, 1996. Menurut Marten 2001, pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan
sebagai pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kecukupan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti
berlanjutnya pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin ekonomi tumbuh jika ia tergantung pada keterbatasan kapasitas sumber daya alam yang ada.
Beberapa sumber daya alam seperti deposit mineral termasuk non-renewable dan sumber daya alam seperti makanan, dan air adalah renewable.
World Commision on Environment and Development 1987 mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dalam naskah tersebut
terkandung dua gagasan penting yaitu : - Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia
yang harus diprioritaskan. - Gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan
organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan. Kebutuhan masa mendatang menurut Greenland dan Szabolcs 1994, adalah
bahwa dunia masa mendatang bergantung pada cara keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumberdaya energi dan proteksi
lingkungan secara harmonis. Definisi lain juga dikemukakan oleh Hanley 2001, bahwa pembangunan
berkelanjutan menjadi bagian penting sebagai suatu pendekatan nasional dan internasional untuk mengintegrasikan ekonomi, lingkungan sosial dan etika
sehingga kualitas kehidupan yang baik bagi generasi sekarang dan generasi
mendatang dapat dipenuhi. Pemahaman lain terhadap konsep berkelanjutan dikemukakan oleh Roderic dan Meppem 1997, bahwa berkelanjutan
memerlukan pengelolaan tentang 1 skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, 2 pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan
antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbangadil, dan 3 efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Dalam kajian ini Djojohadikusumo
1994 mengemukakan bahwa penafsiran tentang pembangunan berkelanjutan yang diartikan sebagai daya upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi kini
tanpa mengorbankan kebutuhan generasi-generasi mendatang. Dengan kata lain, proses pembangunan harus bisa berlangsung secara terus-menerus dan
sambung-menyambung. Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, secara umum dapat diartikan
bahwa pembangunan berkelanjutan suatu pendekatan pembangunan yang tidak bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi
dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.
2.1.2. Prinsip - Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Berdasarkan publikasi Our Common Future, banyak upaya telah dilakukan untuk mengembangkan pedoman dan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Pertimbangannya adalah bahwa tanpa pedoman atau prinsip, tidak mungkin ditentukan apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat dikatakan
berkelanjutan, atau apakah suatu prakarsa konsisten dengan pembangunan berkelanjutan.
Mitchell 1997 menyatakan bahwa prinsip keberlanjutan antara lain: 1 Prinsip lingkunganekologi, yaitu melindungi sistem penunjang kehidupan,
memelihara integritas ekosistem, dan mengembangkan dan menerapkan strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi ancaman perubahan
lingkungan global. 2 Prinsip sosial politik, yaitu mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia
dibawah daya dukung atmosfer, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan manusia, dan menyakinkan adanya kesamaan sosio, politik dan ekonomi
dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan. Menurut Plessis 1999, pada awalnya pembangunan berkelanjutan
hanya diarahkan untuk mengatasi konflik antara proteksi lingkungan dan sumberdaya alam untuk menjawab kebutuhan pembangunan yang berkembang.
Selanjutnya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak mungkin tercapai tanpa mempertimbangkan perubahan ekonomi dan sosial seperti pengurangan
tingkat kemiskinan dan keseimbangan sosial. Pembangunan berkelanjutan juga harus memenuhi kebutuhan generasi
sekarang tanpa mengorbankan pemenuhi kebutuhan generasi mendatang. Hal ini perlu dijaga keseimbangannya terhadap tiga persyaratan prinsip yaitu: 1
kebutuhan masyarakat the social objective, 2 effisiensi dalam mengelola keterbatasan sumber daya alam the economic objective dan, 3 perlu
mengurangi beban ekosistem untuk melestarikan lingkungan the environmental objective Chemical Industry dan Chemistry, 2005.
Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk sistem
ekologi. Dalam hubungan ini Soemarwoto 2001 mengemukakan bahwa faktor lingkungan diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Faktor lingkungan tersebut meliputi: pertama, terpeliharanya proses ekologi yang esensial, kedua, tersedianya sumber daya yang cukup, dan ketiga, lingkungan
sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai. Sitorus 2004 mengemukakan pokok-pokok pikirannya bahwa
pembangunan berkelanjutan perlu menjadi pertimbangan karena ada keterbatasan planet bumi dalam empat asumsi dasar yaitu:
1 terbatasnya cadangan sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui non-renewable resources,
2 terbatasnya kemampuan lingkungan untuk dapat menyerap polusi 3 terbatasnya lahan yang dapat ditanami
4 terbatasnya produksi per satuan luas lahan, atau batasan fisik terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital.
Sitorus 2004 selanjutnya menyatakan bahwa ciri-ciri pembangunan yang tidak berkelanjutan antara lain adalah:
1 Prakarsa biasanya dimulai dari pusat 2 Proses penyusunan program bersifat statis dan didominasi oleh pendapat
pakar dan teknokrat 3 Mekanisme kelembagaan bersifat top-down
2.1.3. Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan
Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan
sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus
mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak
berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan
kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi,
dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan sustainable development telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya united
nation conference on the human environment di Stockholm tahun 1972. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya WCED, 1987. Komisi
Burtland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses
perubahan yang mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa
depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Dalam rangka mengoperasionalkan paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah menjabarkan konsep
pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan sustainable development triangle seperti pada Gambar 3.
Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya dinyatakan
berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan Serageldin, 1996. Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa
suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara
efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut
harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung
lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan
hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat,
identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.
Gambar 3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan
pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi
intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang
memerlukannya. Pada konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta
konsultasi. Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan pada
banyak negara dan oleh berbagai lembaga dengan mengembangkan indikator keberlanjutan antara lain Center for international Forestry Research CIFOR
mengembangkan sistem pembangunan kehutanan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Charles
2001 mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan
memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan
untuk pembangunan wilayah berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan.
Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergi dengan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup UU 231997. Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan
yang luas, karena tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan melainkan juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya
melalui proses penataan lingkungan. Upaya-upaya pengelolaan lingkungan di Indonesia harus dilakukan tidak
saja bersifat kuratif, melainkan juga bersifat preventif. Di masa depan, upaya- upaya yang lebih bersifat preventif harus lebih diprioritaskan, dan hal ini
menuntut dikembangkannya berbagai opsi pengelolaan lingkungan, baik melalui opsi ekonomi maupun melalui proses-proses peraturan dan penataan
penggunaan lahan Setiawan, 2003.
2.2. Pengembangan Wilayah
Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model
pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan
tanpa memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, bahkan menghambat pertumbuhan itu sendiri Akil, 2003.
Dalam kontek ini mulai dirasakan perlunya pendekatan yang meninjau kota-desa kawasan produksi serta prasarana pendukungnya sebagai satu kesatuan
wilayah. Dalam hubungan ini, kegiatan ekonomi kota dan desa sub urban adalah saling tergantung interdependent dalam kontek perubahan penduduk
jangka panjang dan tenaga kerja Voith, 1998. Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas Mercado, 2002.
Kasikoen 2005 menyatakan bahwa ada keterkaitan pembangunan perkotaan dan perdesaan dimana keterkaitan ini diekspresikan dalam bentuk
fisik, sosial, ekonomi, politik dan idiologi yang sekaligus untuk mengatasi adanya ketidakseimbangan pembangunan di perkotaan dan perdesaan.
Kesenjangan pelaksanaan program pembangunan di dalam mencapai tujuannya, bukanlah semata-mata kegagalan dalam penyelenggaraannya namun
lebih kepada kebijakan yang diterapkan. Pada beberapa dekade yang lalu, cara pandang pembangunan lebih berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi
dengan basis peningkatan investasi dan teknologi yang menimbulkan krisis yang sampai saat ini masih dirasakan. Penekanan pembangunan yang hanya pada
pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan masalah disampaikan juga oleh Djajadiningrat 1997. Titik berat pembangunan semata-mata pada pertumbuhan
ekonomi dapat menyebabkan kerusakan lingkungan alam yang tidak dapat diperbaiki. Lingkungan alam juga merupakan unsur penting dari pertumbuhan
ekonomi, dan apabila lingkungan alam turun melebihi daya dukungnya, maka ekonomi akan kehilangan daya untuk tumbuh. Menurut Shukla 2000, melalui
perencanaan wilayah regional planning dapat mencapai kedua-duanya yaitu pembangunan dan keberlanjutan, jawaban ini dapat diuraikan sebagai berikut;
- Perencanaan wilayah akan membantu pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada, sumber daya fisik serta teknologi
- Perencanaan wilayah akan membantu pembuatan perencanaan dimana akan
mengisi kebutuhan lokal - Perencanaan wilayah membantu mengurangi pembangunan yang
kurang berimbang antar dan dalam wilayah. Kini telah banyak disadari bahwa pengalaman membangun selama ini
telah menimbulkan dampakmasalah yang semakin besar dan komplek sehingga cenderung menimbulkan kesenjangan antara wilayah perkotaan dan
perdesaan. Sejalan dengan pernyataan di atas, Erwidodo 1999 menyatakan bahwa kesenjangan pertumbuhan antara wilayah perkotaan dan perdesaan telah
memunculkan permasalahan kompleks antara lain meningkatnya arus migrasi penduduk desa ke kota, meningkatnya kemiskinan masyarakat dan pengurasan
sumber daya alam. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya pengurasan
tersebut. Pertama, terbukanya akses ke daerah perdesaan seringkali mendorong kaum elit kota, pejabat pemerintah pusat, dan perusahaan-perusahaan besar
untuk mengeksploitasi sumberdaya yang terdapat di desa. Masyarakat desa sendiri tidak berdaya karena secara politik dan ekonomi para pelaku eksploitasi
sumberdaya tersebut memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat. Kedua, kawasan perdesaan sendiri umumnya dihuni oleh masyarakat yang kualitas SDM-nya
kurang berkembang. Kondisi ini mengakibatkan ide-ide dan pemikiran modern dari kaum elit kota sulit untuk didesiminasikan. Oleh karena itu sebagian besar
aktivitas pada akhirnya lebih bersifat enclave dengan mendatangkan banyak SDM dari luar yang dianggap lebih mempunyai keterampilan dan kemampuan.
Menurut Basri 1999, bahwa rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat perdesaan dipengaruhi oleh:
1 Kondisi sosial ekonomi rumah tangga masyarakat yang mempengaruhi kapasitas individu, keluarga, dan kelompok masyarakat dalam melakukan
interaksi sosial dan proses produksi; 2 Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar lapangan usaha dan
pendapatan rumah tangga atau masyarakat; 3 Potensi daya dukung regional geographical setting seperti kondisi geografis,
sumberdaya alam serta infrastruktur yang mempengaruhi pola kegiatan produksi dan distribusi;
4 Kelembagaan sosial ekonomi masyarakat yang mendukung interaksi sosial dan jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan
global. Berdasarkan pernyataan tersebut maka masalah utama dalam
pembangunan wilayah perdesaan adalah kebijakan yang kurang berpihak terhadap masyarakat perdesaan dan rendahnya kemampuan sumber daya
manusia dalam mengelola sumber-sumber daya alam guna pembangunan masyarakat perdesaan.
Miyoshi 1997 mengemukakan pendapat Friedman dan Douglas, bahwa strategi pembangunan perdesaan yang cocok adalah supaya memperhatikan
hal-hal sebagai berikut yaitu: 1 sektor pertanian harus dipandang sebagai leading sektor; 2 kesenjangan pendapatan dan kondisi kehidupan antara kota
dan desa harus dikurangi; 3 small scale production untuk pemasaran lokal harus dilindungi melawan kompetisi dari pengusaha besar. Pembangunan rural
small enterprise sangat penting untuk mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan atau kota kecil yang berperan sebagai pusat pemasaran desa-desa
di sekitarnya.
Akibat dari kegagalan pembangunan yang disebabkan oleh terjadinya urban bias di atas, pembangunan di wilayah perdesaan mengalami kekurangan
investasi modal, dampaknya telah menimbulkan kehilangan kesempatan kerja bagi masyarakat perdesaan. Dalam kondisi seperti ini posisi tawar masyarakat
perdesaan menjadi semakin lemah sehingga pengambilan keputusan pembangunan menjadi tersentralisasi di kota-kota tanpa menghiraukan kondisi
perdesaan. Pembangunan di perdesaan semakin terpuruk sedangkan pertumbuhan ekonomi kota-kota relatif semakin besar yang diikuti dengan
eksploitasi sumberdaya di wilayah perdesaan. Keadaan ini mendorong terjadinya kerusakan-kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang pada
gilirannya berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat luas, baik di wilayah perdesaan maupun di kawasan perkotaan sendiri. Kondisi di atas terjadi antara
lain karena investasi-investasi di wilayah perdesaan baik secara fisik material capital: man-made and natural, sumberdaya manusia human capital dan
sumberdaya sosial social capital dan kebijaksanaan pengembangan teknologi tidak diiakukan secara tepat dan memadai, bahkan di masa yang lalu terkesan
banyak diabaikan. Makin meluasnya masalah-masalah sejenis di sebagian besar negara-
negara berkembang, mengakibatkan para pakar pembangunan mulai berpikir untuk mencari solusi bagi pembangunan daerah perdesaan. Pembangunan yang
berimbang secara: spasial menjadi penting karena dalam skala makro hal ini menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien,
berkeadilan dan berkelanjutan. Berkenaan dengan hal tersebut, Rustiadi 2003, mengatakan bahwa
pengembangan wilayah harus mengandung prinsip-prinsip: 1 mengedepankan peran serta masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan
masyarakat. Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan dari pada sebagai pelaksana. 2 Menekankan aspek proses dibandingkan
pendekatan-pendekatan yang menghasilkan produk-produk perencanaan berupa master plan dan sejenisnya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang, bahwa proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian ruang yang merupakan suatu sistem yang terkait satu sama lainnya. Rencana Tata Ruang sebagai acuan dalam pembangunan daerah pada
era otonomi ini perlu dilaksanakan dengan pendekatan pengembangan wilayah
bukan lagi pendekatan sektor sebagaimana dilakukan pada masa lalu. Menurut Hull 1998, perencanaan tata ruang merupakan suatu mekanisme integratif
untuk mengkoordinasikan berbagai strategis pembangunan. Pendekatan pengembangan wilayah harus dilakukan dengan penetapan
struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang disusun berdasarkan karakteristik, potensi, kebutuhan daerah, kepentingan stakeholders, daya dukung
daerah serta mempertimbangkan perkembangan dinamika pasar dan dampak arus globalisasi. Menurut Rondinelli 1985, ada tiga konsep dalam
pengembangan wilayah yaitu: 1 kutub-kutub pertumbuhan growth pole; 2 integrasi fungsi functional integration, dan 3 pendekatan pendesentralisasian
wilayah decentralized territorial approaches. Selanjutnya Chen dan Salih 1978, mengemukakan bahwa mengadopsi
pendekatan kutub-kutub pertumbuhan growth pole approach oleh negara- negara ketiga merefleksikan dua bentuk pemikiran yang bijaksana yaitu:
pertama, industrialisasi dengan teknologi modern dapat didesentralisasikan manfaatkannya pada daerah perdesaan, kedua, keterpaduan pada tingkat
nasional melalui strategi kutub-kutub pertumbuhan dapat memecahkan masalah pembangunan regional. Pendekatan pembangunan agropolitan merupakan
bagian dari pada pengembangan wilayah skala kawasan merupakan senergitas pembangunan antara kota-desa urban rural development.
Dalam rangka mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri dan keterkaitan dengan
perekonomian kota harus bisa diminimalkan, maka pendekatan agropolitan dapat menjadi salah satu pendekatan pembangunan perdesaan. Agropolitan yang
dilakukan di wilayah penelitian merupakan aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000
sampai 150.000 orang, sehingga kegiatan ini menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan
sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
1996.
2.3. Agropolitan
Pendekatan pembangunan perdesaan ditujukan untuk mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu
sendiri, dimana ketergantungan dengan perekonomian kota harus bisa
diminimalkan. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumber daya alam memang
merupakan mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat perdesaan. Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya
ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan
pertanian. Proses interaksi ke dua wilayah selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah perdesaan dengan kegiatan utama
sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivitas yang selalu menurun dan tertinggal, di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan
pusat pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan-permasalahan sosial konflik, kriminal,
dan penyakit dan lingkungan pencemaran dan buruknya sanitasi lingkungan permukiman. Hubungan yang saling memperlemah ini secara agregat akan
berdampak kepada penurunan produktivitas wilayah secara keseluruhan. Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak
memberikan efek penetesan ke bawah trickle down effect, tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah perdesaan di sekitarnya
backwash effect. Urban bias terjadi akibat kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan growth
poles yang semula meramalkan bakal terjadinya penetesan tricle down effect dari kutub-pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, ternyata net-effect-nya
malah menimbulkan pengurasan besar masive backwash effect. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa dalam bidang ekonomi telah terjadi transfer
neto sumberdaya dari wilayah pedesaan ke kawasan perkotaan secara besar- besaran.
Dalam konteks wiiayah yang lebih luas, maka disparitas wilayah bisa pula diiihat dari ketimpangan wilayah dalam satu wilayah kabupaten, provinsi,
regional, bahkan nasional. Ketimpangan wilayah dalam satu wilayah administratif akan mendorong terjadinya pemekaran wilayah administratif. Hal ini telah dan
sedang terjadi proses pemekaran wilayah adminstratif dengan munculnya kabupaten-kabupaten baru dan provinsi-provinsi baru. Secara nasional, sempat
muncul ancaman disintegrasi akibat ketimpangan pembangunan wilayah. Percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia KTI adalah salah satu
jawaban pemerintah untuk mengatasi kesenjangan yang mencolok pembangunan nasional dibanding Kawasan Barat Indonesia KBI.
Dari berbagai alternatif model pembangunan, konsep agropolitan dipandang sebagai konsep yang menjanjikan teratasinya permasalah
ketidakseimbangan perdesaan-perkotaan selama ini. Secara singkat, agropolitan adalah :
1. Suatu model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi,
mengandaikan pembangunan infrastruktur setara kota di wiiayah pedesaan, sehingga mendorong terbentuknya kota-kota di wilayah perdesaan. Dari
berbagai alternatif model pembangunan, pendekatan agropolitan dipandang sebagai konsep yang dapat mengatasi permasalahan ketidakseimbangan
perdesaan - perkotaan selama ini. Kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintahan desakelurahan, kecamatan, kabupaten
tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan economic of scope.
2. Bisa menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti yang selama ini terjadi yaitu migrasi desa-kota urbanisasi yang tak terkendali, polusi,
kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran masif sumberdaya alam, pemiskinan desa dll.
3. Menekankan transformasi desa-desa dengan memperkenalkan unsur-unsur urbanisme ke dalam lingkungan pedesaan yang spesifik.
4. Mendorong peningkatan produktivitas perdesaan secara ekonomi, sosial, dan kelembagaan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan. Pendekatan agropolitan bisa mendorong penduduk perdesaan tetap
tinggal di pedesaan melalui investasi di wilayah perdesaan. Melalui agropolitan diharapkan dapat tercapai tujuan akhir pembangunan yaitu tercipta daerah yang
mandiri dan otonom, dan karenanya dapat mengurangi kekuasaan korporasi transnasional atas wilayah lokal. Kepentingan lokal seperti ini akan dapat
menjadi pengontrol kekuasaan pusat ataupun korporasi yang bersifat sub- ordinatif.
Pengembangan agropolitan diperlukan untuk lebih mengembangkan potensi perdesaan sehingga lebih mandiri, hal tersebut ditujukan untuk:
Mereduksi pengurasan kekayaan desa sentra produksi ke kota besar.
Menghidupkan ekonomi perdesaankerakyatan dengan memberdayakan potensi perdesaankerakyatan sehingga rnengurangi ketergantungan kepada
kota besar. Mengurangi kemacetanaglomerasi baik pasar modal, industri, transportasi
dll. kota-kota besar yang merusak lingkungan Agropolis dikembangkan sebagai kekuatan yang mampu mendorong,
menghela dan melayani daerah-daerah pertumbuhan Mengembangkan sistem dan usaha agribisnis dalam suatu kawasan terpiiih
dalam rangka pemerataan pembangunan dan hasilnya.
2.3.1. Pengertian
Agropolitan terdiri dari kata agro yang berarti pertanian dan politan polis yang berarti kota. Sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota
pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota Departemen Pertanian, 2002. Hasan 2003 mengemukakan bahwa kegiatan
kota tani berbasis budidaya pertanian, konservasi sumberdaya alam dan pengembangan potensi daerah dengan bingkai pembangunan berwawasan
lingkungan, yang merupakan suatu upaya untuk menghindari kesalahan pembangunan masa lalu.
Menurut Saefulhakim 2004, agro bermakna tanah yang dikelola atau budidaya tanaman, yang kemudian digunakan untuk menunjuk berbagai
aktivitas berbasis pertanian. Metropolis bermakna a central point or principal Agro - metropolis bermakna lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-
sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Kawasan agropolitan adalah kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih
yang pada kawasan tersebut, terdapat kota pertanian agropolis yang merupakan pusat pelayanan Badan Pengembangan SDM Pertanian, 2003.
2.3.2. Batas Kawasan Agropolitan
Pendekatan pembangunan perdesaan melalui konsep agropolitan dikembangkan oleh Friedman dan Douglass 1975. Keduanya bahkan
menekankan pentingnya pendekatan agropolitan dalam pengembangan perdesaan di kawasan Asia dan Afrika. Pendekatan agropolitan menggambarkan
bahwa pembangunan perdesaan rural development secara beriringan dapat dilakukan dengan pembangunan wilayah perkotaan urban development pada
tingkat lokal. Dalam konteks pengembangan agropolitan terdapat tiga issue
utama yang perlu mendapat perhatian, yaitu: 1 akses terhadap lahan pertanian dan penyediaan pengairan, 2 desentralisasi politik dan wewenang administratif
dari tingkat pusat dan tingkat lokal, dan 3 perubahan paradigma atau kebijakan pembangunan nasional untuk lebih mendukung diversifikasi produk pertanian.
Melihat kota - desa sebagai fungsi - fungsi politik dan administrasi, pendekatan pengembangan agropolitan di banyak negara lebih cocok dilakukan pada skala
kabupaten Douglass, 1998. Menurut Friedman dan Douglass 1975, tujuan pembangunan
agropolitan adalah menciptakan cities in the field dengan memasukkan beberapa unsur penting dari gaya hidup kota ke dalam daerah perdesaan yang
berpenduduk padat dan mempunyai ukuran tertentu. Agropolitan district merupakan satuan yang tepat untuk membuat suatu kebijakan pembangunan
ruang, melalui desentralisasi perencanaan dan pengambilan keputusan decentralized. Agropolitan districts dapat dikembangkan pada perdesaan
dengan kepadatan penduduk tinggi atau peri-urban untuk meningkatkan standar hidup, meningkatkan kesempatan tenaga kerja, dan mengurangi tingkat migrasi
ke kota Friedman, 1996. Implikasi hal tersebut menyebabkan kota-desa berperan sebagai site
utama untuk fungsi politik dan administrasi, transformasi wewenang dari pusat ke daerah desentralisasi dan demokratisasi. Sebagai bagian dari perubahan
politik, hal tersebut akan berdampak terhadap perencanaan pembangunan perdesaan mengenai bagaimana upaya-upaya melaksanakan pembangunan
kapasitas lokal local capacity building dan partisipasi masyarakat dalam suatu program yang menumbuhkan manfaat mutual bagi masyarakat perdesaan dan
perkotaan. Selanjutnya Mercado 2002 mengemukakan bahwa gambaran
agropolitan adalah pertama, skala geografinya relatif kecil. Kedua, proses perencanaan dan pengambilan keputusan berdasarkan partisipasi dan aksi
koperatif pada tingkat lokal. Ketiga, diversifikasi tenaga lokal termasuk pertanian dan kegiatan non pertanian. Keempat, pemanfaatan teknologi dan sumberdaya
setempat. Kelima, berfungsi sebagai urban-rural industrial. Dengan luasan skala kabupaten akan memungkinkan hal-hal sebagai
berikut: 1 akses lebih mudah bagi masyarakat untuk menjangkau kota, 2 cukup luas untuk meningkatkan dan mengembangkan wilayah pertumbuhan
ekonomi scope of economic growth dan cukup luas dalam upaya
pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi, dan 3 pengetahuan lokal local
knowledge akan mudah dimanfaatkan dalam proses perencanaan jika proses itu dekat dengan rumah tangga dan produsen perdesaan.
Pendekatan pembangunan perdesaan tersebut ditangani oleh berbagai stakeholders secara terpadu sesuai tanggung jawab bidang masing-masing.
Menurut Misra 1980, pendekatan pembangunan harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu untuk meningkatkan produktivitas, meningkatkan
kualitas hidup penduduk perdesaan dan meningkatkan pembangunan bertumpu pada masyarakat. Pendekatan pembangunan tersebut disarankan agar
dilaksanakan melalui enam elemen dasar yaitu: 1 pembangunan pertanian dengan padat karya labour intensive, 2 menciptakan lapangan kerja, 3
membangun industri kecilindustri rumah tangga pada wilayah pertanian, 4 gotong-royong masyarakat setempat dan partisipasi dalam membuat keputusan,
5 mengembangkan hirarki pembangunan kota untuk mendukung pembangunan perdesaan, dan 6 kelembagaan yang tepat untuk koordinasi multisektor.
Menurut Rustiadi 2004 pengembangan agropolitan memerlukan terjadinya re-organisasi pembangunan ekonomi wilayah perdesaan. Hal ini
dapat dilakukan melalui strategi peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan. Strategi tersebut memerlukan beberapa dukungan kebijakan agar
mampu meningkatkan kinerja ekonomi perdesaan, seperti antara lain redistribusi asset, terutama yang menyangkut lahan dan kapital.
Di Indonesia, pembangunan agropolitan yang sifatnya masih rintisan telah dilaksanakan dalam lima tahun terakhir ini. Program ini merupakan kerjasama
antara Depertemen Pertanian dengan Departemen Kimpraswil. Departemen Pertanian bertanggung jawab terhadap penyiapan lokasi garapan
dan penyuluhan sedangkan Departemen Kimpraswil sesuai dengan core bisnis- nya membangun prasarana dan sarana yang diperlukan untuk mendukung
keberhasilan program agropolitan. Dalam pelaksanaannya belum didukung adanya kebijakan secara nasional melainkan hanya berupa Pedoman Umum
Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan, yang dikeluarkan oleh Departemen
Pertanian. Dalam pelaksanaanya, belum semua stakeholders yang diharapkan ikut
bersama-sama secara terpadu menangani program agropolitan ini. Saat ini baru
beberapa instansi saja yang secara aktif menangani program ini. Adalah tidak mungkin kalau untuk keberhasilan program ini hanya bertumpu pada peran
pemerintah, tetapi juga diperlukan keterlibatan masyarakat, swasta, dan pemerintah secara bersama-sama dan bermitra untuk menyepakati program-
program yang dibutuhkan untuk dilaksanakan secara terencana dan berkesinambungan.
2.4. Pembangunan Agribisnis yang Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
Pembangunan agribisnis di Indonesia dapat dikatakan merupakan sektor yang paling mampu bertahan dan mampu menikmati keuntungan yang berlipat
ganda apabila nilai tukar rupiah terhadap dolar menurun. Kondisi ini terjadi karena pengembangan kegiatan agribisnis relatif kurang mengandalkan bahan
baku yang berasal dari komponen impor, artinya kegiatan agribisnis menggunakan sebanyak mungkin komponen input yang dapat dihasilkan di
dalam negeri. Pada sisi lain, output kegiatan agribisnis sebagian besar adalah jenis barang-barang yang merupakan kebutuhan mendasar bagi kelanjutan
kehidupan manusia yang berupa kebutuhan pangan, sandang, papan, kosmetika, kesehatan, dan sebagainya. Perbandingan rendahnya harga beli
input dan tingginya nilai jual output kegiatan agribisnis menyebabkan keuntungan ideal yang dapat diperoleh oleh para pengusaha agribisnis di Indonesia.
Akan tetapi apabila kita mengkaji lebih jauh pengelolaan usaha-usaha agribisnis yang terjadi selama ini di Indonesia, umumnya kurang memperhatikan
manfaat yang dapat diperoleh dalam jangka panjang. Orientasi usaha agribisnis yang dilakukan oleh banyak pengusaha di Indonesia selama ini, baik petani kecil
yang mengelola usaha skala kecil atau pengusaha besar yang mengelola lahan pertanian pada skala yang amat luas, cenderung kurang memperhatikan pola
pengusahaan kegiatan agribisnis yang berkelanjutan. Kegiatan agribisnis memang berbasiskan pada sumber daya yang
renewable dapat diperbaharui, tetapi lahan usaha tanah, hutan, air sebagai sarana produksi yang mendasar untuk mengembangkan kegiatan agribisnis juga
mempunyai daya dukung yang juga terbatas jika tidak diperhatikan usaha-usaha pengelolaannya agar tetap lestari. Keberhasilan agribisnis tidak hanya
diindikasikan oleh kontinuitas dan peningkatan produksi agribisnis, tetapi juga bagaimana agar agribisnis tersebut dapat memberikan manfaat yang merata bagi
semua pelaku dalam sistem agribisnis secara kontinyu dan menjaga kelestarian lingkungan.
Ada dua kelemahan mendasar dalam pengembangan usaha di sektor pertanian Indonesia selama ini. Pertama, adalah keuntungan hanya dinikmati
oleh sekelompok pengusaha yang memiliki modal besar dan aksesibilitas terhadap berbagai sumber daya pokok maupun pendukung usaha perbankan,
pasar, informasi harga dan teknologi; dan kedua, terjadinya eksploitasi besar- besaran terhadap sumber daya sehingga menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan lingkungan. Dalam perencanaan kebijakan pembangunan perekonomian Indonesia,
khususnya dalam pengembangan agribisnis, maka penting diperhatikan strategi kegiatan yang berusaha semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan potensi
sumber daya lokal yang ada sumber daya alam dan sumber daya sosial- budaya dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam kegiatan penge-
lolaan usaha pertanian yang dilakukan oleh para petani pada zaman dahulu, banyak kepercayaan atau strategi memanfaatkan sumber daya alam yang
sangat memperhatikan terjaganya kelestarian lingkungan. Contoh untuk hal tersebut adalah menggunakan pupuk tanaman yang berasal dari sisa tanaman
atau kotoran hewan, menghindari melakukan eksploitasi sumber daya alam di wilayah pegunungan, upaya memberantas hama dan penyakit tanaman tanpa
menggunakan zat-zat kimia tetapi dengan menggunakan cara-cara pemberantasan secara alami, dan banyak lagi cara-cara lainnya yang seringkali
dipandang kurang rasional oleh pengikut teori modernisasi. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal bagi pengembangan agri-
bisnis di Indonesia merupakan strategi terbaik dalam mendukung pertumbuhan perekonomian masyarakat secara adil dan berkelanjutan. Kekayaan alam
Indonesia cukup besar untuk dapat mendukung keberlangsungan hidup seluruh rakyat Indonesia, tetapi kuncinya adalah bagaimana mengelola semua itu secara
benar, agar manfaatnya tidak hanya dinikmati oleh sekelompok orang dalam jangka pendek.
Pengembangan agribisnis merupakan suatu strategi pembangunan pertanian di Indonesia yang berusaha meningkatkan nilai tambah dan daya saing
komoditas pertanian Indonesia di pasaran domestik dan internasional. Namun penting diperhatikan berbagai upaya yang dapat mencegah eksploitasi yang
berlebihan terhadap sumber daya alam Indonesia dan mengabaikan
pengembangan usaha yang selaras dengan lingkungan alam serta lingkungan sosial.
Berbagai kasus pengembangan agribisnis beberapa komoditas kehutanan dan perkebunan yang telah banyak dilakukan selama ini umumnya
berorientasi pada peningkatan produksi dan produktivitas komoditas yang dihasilkan dalam jangka pendek, sehingga kurang memperhatikan daya dukung
sumber daya alam, manusia dan kelembagaan lokal yang ada di wilayah pengembangan usaha tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan jika cukup
banyak kegiatan agribisnis yang tidak berumur panjang, melakukan eksploitasi sumber daya yang berlebihan atau menimbulkan konflik dengan masyarakat di
sekitar lokasi Tampubolon, 2002.
2.5. Agribisnis Sapi Potong
Istilah agribisnis pertama kali muncul tahun 1950-an sebagai istilah yang digunakan terhadap gugus industri cluster industry yang melakukan
pendayagunaan sumberdaya hayati Pambudy et al. 2001. Berdasarkan pendekatan etimologis, pengertian agribisnis adalah usaha dagang yang
berbasis pada semua kegiatan yang memanfaatkan tanah atau lahan sebagai basis budidaya agri berarti tanah atau lahan dan bisnis berarti usaha dagang.
Dengan demikian, agribisnis sapi potong berarti pemanfaatan tanah atau lahan sebagai usaha perdagangan sapi potong. Namun, pengertian agribisnis saat ini
tIdak hanya terbatas pada pengertian berdasarkan etiomologis, akan tetapi telah meluas seiring dengan tuntutan aspirasi dan tantangan global dikaitkan dengan
semangat modernisasi dan aktualisasi kehidupan di berbagai bidang. Menurut Djajalogawa dan Pambudy 2003, agribisnis sapi potong
diartikan sebagai suatu kegiatan bidang usaha sapi potong yang menangani seluruh aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan
yang utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan dan penyaluran sarana praduksi, kegiatan budidaya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua
stakeholders pemangku kepentingan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak petani-
peternak, perusahaan swasta dan pemerintah. Sistem agribisnis sapi potong merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian
secara simultan dalam arti luas dengan pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu kluster industri industrial cluster sapi potong yang mencakup
empat subsistem. Keempat subsistem tersebut menurut Saragih 2000 adalah sebagai berikut:
1 Subsistem agribisnis hulu upstream off-farm agribusiness, yaitu kegiatan ekonomi praduksi dan perdagangan yang menghasilkan sapronak seperti
bibit sapi potong, pakan ternak, industri obat-obatan, dan inseminasi buatan; 2 Subsistem agribisnis budidaya sapi potong on-farm agribusiness yaitu,
kegiatan ekonomi yang selama ini kita sebut sebagai usaha ternak sapi potong;
3 Subsistem agribisnis hilir downstream off-farm agribusiness, yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil usaha ternak. Ke
dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, dan industri pengolahan kulit;
4 Subsistem jasa penunjang supporting institution, yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis sapi potong seperti perbankan, asuransi,
koperasi, trasportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan dan penelitian.
Menurut Irawan dan Pranadji 2002, agribisnis merupakan sistem terpadu yang meliputi empat bagian subsistem yaitu:1 Subsistem pengadaan
dan distribusi saranaprasarana produksi yang akan dipergunakan sebagai input produksi pada subsistem budidaya, 2. Subsistem produksi atau usaha tani, yang
akan menghasilkan produk pertanian primer, misalnya daging, beras, dan jagung dan lain-lain, 3. Subsistem pengolahan hasil dan pemasaran, dan 4. Subsistem
pelayanan pendukung, berupa fasilitas jalan, kredit, kebijakan pemerintah, dan lain-lain. Dengan demikian dapat diartikan secara substansial pengertian sistem
agribisnis dari kedua teori tersebut tidak ada perbedaan. Sebagai suatu sistem, keempat subsistem agribisnis sapi potong beserta usaha-usaha di dalamnya
berkembang secara simultan dan harmonis, sebagaimana disajikan pada Gambar 4.
2.5.1. Subsistem agribisnis hulu
Subsistem agribisnis hulu upstream off-farm agribusiness dari sistem agribisnis sapi potong mencakup kegiatan ekonomi produksi dan perdagangan
yang menghasilkan sarana produksi peternakan, seperti bibit, pakan ternak, industri obat-obatan, dan lain-lain. Kegiatan pada subsistem ini memiliki peranan
penting dalam pengembangan sistem agribisnis terutama bibit. Skala usaha atau jumlah pemilikan induk sapi untuk pembibitan umumnya kecil, berkisar antara 1 -
3 ekor per petani. Kecilnya usaha ini karena merupakan usaha rumah tangga, dengan modal, tenaga kerja, dan manajemen seluruhnya atau sebagian besar
berasal dari keluarga petani yang serba terbatas. Karena kecilnya pemilikan ternak, usaha pembibitan umumnya hanya sebagai usaha sampingan.
Ada dua macam teknik reproduksi ternak yang sudah dikembangkan di Indonesia untuk menghasilkan bibit, yaitu inseminasi buatan IB dan kawin alam.
Di antara kedua teknik reproduksi tersebut, IB semakin popular di kalangan masyarakat petani ternak. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan akan
ternak terutama ternak besar. Menurut Hadi dan llham 2002, ada beberapa permasalahan dalam. industri pembibitan ternak di Indonesia, antara lain; 1.
Angka pelayanan kawin per kebuntingan service per conception - SC masih cukup tinggi, mencapai 2.6, 2. Masih terbatasnya fasilitas pelayanan IB yang
Subsistem Agribisnis Hulu
Sistem produksi dan distribusi sarana dan
alat-alat peternakan : BibitIndukSemen
PakanKonsentrat Obat Hewan
Lahan Kandang
Tenaga Kerja
Subsistem Agribisnis Budidaya
Sistem kegiatan produksi peternakan primer, penanganan
dan pemasaran produk-produk primer :
Pengolahan lahan Antisipasi iklimcuaca
Pencegahan penyakit Pemberantasan penyakit
Pembelian Sapronak Kegiatan produksi
Subsistem Agribisnis Hilir
Sistem pengumpulan produk primer
peternakan, pengolahan produk, distribusi dan
pemasaran produk olahan segar, beku,
kaleng dan sebagainya sampai ke konsumen
akhir
Subsistem Lembaga Penunjang Penyedian sarana usaha agrisupport dan pengaturan iklim usaha agriclimate
Prasarana jalan, pasar, kelompok peternak, koperasi, lembaga keuangan, dan lain-lain Sarana transportasi, informasi, kredit, peralatan, dan lain-lain
Kebijakan RUTR, Makro, Mikro, dan lain-lain Penyuluhan
Gambar 4. Lingkup pembangunan agribisnis sapi potong
tersedia baik ketersediaan semen beku, tenaga inseminator dan masalah transportasi, 3. Jarak beranak calving interval masih terlalu panjang, dan 4.
Tingginya tingkat kematian mortality rate pedet pra sapih, bahkan ada yang mencapai 50. Rendahnya produktivitas ternak dalam hal pembibitan seperti ini
menyebabkan kebutuhan ternak yang bermutu belum dapat terpenuhi. Hal ini sekaligus mencerminkan masih lemahnya program perbaikan mutu genetik, yang
mengharuskan kita tetap mengimpor ternak dalam jumlah yang cukup besar. Pakan ternak dapat disediakan dalam bentuk hijauan dan konsentrat.
Satu hal yang terpenting adalah pakan tersebut dapat memenuhi kebutuhan protein, karbohidrat, lemak vitamin, dan mineral. Hijauan untuk pakan ternak
dapat berasal dari rumput alam atau limbah pertanian dan perkebunan. Berbagai hasil penelitian merekomendasikan jerami dan dedak bekatul serta limbah
perkebunan kelapa sawit pelepah, daun, tandan kosong, serat perasan, dan bungkil merupakan sumber pakan yang cukup baik untuk ternak sapi potong
Sarwono dan Arianto, 2002 dan Dwiyanto et al. 2003. Teknologi pengolahan pakan menjadi aspek penting untuk keberlangsungan usaha agribisnis sapi
potong. Ketergantungan pakan hijauan yang bersumber dari rumput alam akan menghadapi kendala pada saat musim kering.
2.5.2. Subsistem agribisnis budidaya
Pada subsistem agribisnis budidaya on-farm agribusiness, menurut Prasetyo 1994 ada dua kegiatan utama, yaitu kegiatan pengembangbiakan
reproduksi dan penggemukan. Kegiatan budidaya ternak untuk tujuan penggemukan sudah banyak dilakukan, baik dalam skala usaha kecil petani
maupun dalam bentuk perusahaan besar. Faktor yang penting untuk diperhatikan dalam usaha budidaya peternakan adalah manajemen pemberian pakan.
Pemberian pakan pada ternak peliharaan dibedakan menjadi dua golongan yaitu pakan perawatan, untuk mempertahankan hidup dan kesehatan dan pakan
produksi untuk pertumbuhan dan pertambahan berat badan.
2.5.3. Subsistem Agribisnis Hilir
Subsistem agribisnis hilir downstream off-farm agribusiness dari sistem agribisnis peternakan adalah kegiatan ekonomi yang mengolah dan
memperdagangkan hasil usaha ternak. Ke dalam subsistem ini termasuk industri
pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, industri pengolahan kulit dan lain-lain.
Pengembangan teknologi proses dan produk pada subsistem hilir diarahkan untuk peningkatan efisiensi, pengembangan diversifikasi teknologi
prosesing untuk menghasilkan diversifikasi produk, meminimumkan waste dan pollutan, dan pengembangan teknologi produk. Sapi potong menghasilkan
produk utama yaitu daging dan jeroan. Produk samping yaitu kulit, tulang, tanduk, darah, lemak, lidah, dan otak serta limbah yakni isi rumen dan kotoran.
Hampir semua bagian sapi potong dapat dijadikan sebagai produk bermanfaat yang bisa dimakan dan tidak bias dimakan, seperti disajikan dalam pohon
industri pada Gambar 6. Menurut llham et al. 2002, keragaan saluran tataniaga ternak dan
daging sapi menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen akhir adalah konsumen daging segar. Pola umum saluran tataniaga daging dapat dilihat pada
Gambar 5. Konsumen membeli daging dengan harga eceran jika membeli dari pengecer, atau harga produsen jika membeli dari pejagaldistributor. Kelompok
konsumen daging segar terdiri dari; konsumen rumah tangga, rumah makanrestoran, hotel, tukang baso, dan lain-lain.
Gambar 5. Pola umum saluran tataniaga ternak dan daging
Pedagang Peternak
PenjagalPemotong
Pengecer
Konsumen
38
Gambar 6. Pohon industri sapi potong judoamidjojo, 1980; Palupi, 1986; Purnomo, 1997; WWW.ristek.go.id
, 200; Dewan Iptek dan Industri Sumbar, 2001; Astawan, 2004; Uska, 2004; Wahyono dan Marzuki, 2004; Murtidjo, 2005;
www.Halalguide.info [09-01-2009]
2.5.4. Subsistem agribisnis lembaga penunjang
Subsistem agribisnis lembaga penunjang supporting institution merupakan subsistem yang sangat berperan terhadap ketiga subsistem
agribisnis lainnya. Subsistem ini akan memberikan dukungan secara kelembagaan dalam pengembangan sistem agribisnis secara keseluruhan. Ada
beberapa lembaga yang berperan di dalam sub sistem lembaga penunjang untuk pengembangan sistem agribisnis berbasis lingkungan seperti perbankan,
asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan dan penelitian, dan lain-lain.
Pelayanan kesehatan hewan perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan karena hal tersebut berkaitan
dengan tingkat produktivitas ternak. Kesehatan ternak menjadi faktor penentu tingkat produktifitas ternak, karena kondisi kesehatan ternak terkait dengan
pertambahan berat badan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai usia dewasa kelamin. Ternak yang tidak sehat akan terganggu pertumbuhannya
sehingga produktifitasnya menjadi rendah. Aplikasi teknologi kesehatan hewan berupa pelayanan kesehatan hewan seperti pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular, pemberian vitaminprobiotik, pemberian obat cacing, pemeriksaan kesehatan reproduksi dan lain sebagainya memerlukan pos
kesehatan hewan poskeswan yang difasilitasi oleh pemerintah dan didukung oleh tenaga teknis di bidang kesehatan hewan Dokter Hewan dan paramedis
kesehatan hewan. Koperasi merupakan salah satu lembaga yang juga perlu mendapat
perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingat petani ternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki
kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan aplikasi teknologi Yusdja et al. 2002. Koperasi dapat menjadi media bagi petani ternak
untuk secara bersama-sama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar petani ternak dapat memperoleh nilai
tambah yang lebih baik. Saat ini, koperasi yang bergerak di kalangan peternak sapi potong memang belum berkembang sebaik koperasi yang bergerak di
kalangan peternak sapi perah, misalnya Gabungan Koperasi Susu Indonesia GKSI.
Khusus aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapatkan
prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Hal ini dikarenakan, pihak perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong beresiko tinggi
high risk dan rendah dalam hal pendapatan low return Karim 2002. Namun menurut Thohari 2003 ada beberapa sumber pembiayaan yang dapat
dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan agribisnis sapi potong antara lain adalah: kredit taskin, modal ventura, pemanfaatan laba BUMN, pegadaian,
kredit BNI, kredit komersial perbankan kupedes dari BRI, swamitra dari Bukopin, kredit usaha kecil dari: BNI, Bank Danamon, Bll, Bank Mandiri, kredit BCA, kredit
pengusaha kecil dan mikro KPKM dari Bank Niaga, kredit modal kerja dari Bank Agro Niaga, dan pemanfaatan lembaga keuangan mikro LKM di pedesaan.
Dalam rangka pengembangan sistem agribisnis maka prasarana jalan merupakan faktor yang menentukan tingkat aksesibilitas dalam suatu kawasan.
Aksesibilitas kawasan akan mempengaruhi kinerja sosial dan ekonomi masyarakat. Di sisi lain, tingginya sumbangan terhadap perekonomian wilayah
dari suatu daerah akan mendorong pemerintah untuk membangun infrastruktur jalan menuju kawasan agribisnis. Prasarana jalan merupakan prasarana vital
untuk mengembangkan perekonomian di wilayah. Terbangunnya jalan kabupaten antar kecamatan dan antar desa akan memudahkan pengangkutan
hasil pertanian dan peternakan berupa barang produksi dan konsumsi. Prasarana jalan merupakan kebutuhan prioritas dalam pengembangan agribisnis
di wilayah perdesaan.
2.6. Pembangunan Peternakan Di Era Otonomi Daerah
Program pembangunan peternakan sebagai bagian dari program pembangunan sektor pertanian mengarah langsung kepada pemberdayaan
petani ternak, koperasi, dan swasta. Mekanisme pelaksanaannya dilakukan melalui pelimpahan wewenang dekosentrasi dan penyerahan wewenang
desentralisasi kepada daerah kabupatenkota sebagai pencerminan dari kebijakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Undang-
undang No 32 Tahun 2004, Undang-undang No. 25 Tahun 1999 serta PP No. 25 Tahun 2000, merupakan landasan yuridis formal dalam penataan peran dan
tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi, dan kabupatenkota dalam pembangunan peternakan.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 dan 25 Tahun 1999 kemudian dituangkan ke dalam PP No. 25 Tahun 2000 dijelaskan batas kewenangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya bidang peternakan. Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan 2002 secara rinci
pemetaan kewenangan di bidang peternakan berdasarkan tugas dan fungsi pengembangan peternakan dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan peta kewenangan sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka penyebaran dan pengembangan ternak menjadi kewenangan
pemerintah daerah. Oleh karena itu maka penyebaran ternak gaduhan yang bersumber dari dana APBN yang semula merupakan aset pemerintah pusat,
dengan telah diberlakukannya PP No. 25 Tahun 2000, secara otomatis aset tersebut menjadi milik pemerintah daerah.
Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 417 Tahun 2001 tentang pedoman umum penyebaran dan pengembangan ternak pemerintah telah
didasarkan pada semangat otonomi daerah yang tercermin dari tujuan program tersebut, yaitu untuk membentuk kawasan peternakan, menciptakan
keseimbangan pembangunan antar wilayah, optimalisasi sumberdaya alam untuk meningkatkan pendapatan peternak, dan meningkatkan populasi dalam rangka
pemberdayaan masyarakat peternak.
2.6.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong.
Peranan sub-sektor peternakan pada perekonomian Indonesia menurut Bachtiar 1991 dipengaruhi oleh indikator yang digunakan. Suatu wilayah
mempunyai potensi pengembangan komoditi pertanian peternakan pada kawasan strategis dan sentra produksi antara lain karena adanya sejumlah
populasi ternak yang dikaitkan dengan kepadatan ternak, luas area untuk pengembangan ternak, sarana dan prasarana pendukung, tingkat produktivitas
atau efisiensi usaha dan adanya peluang pasar. Penentuan wilayah potensi kurang tepat bila dikaitkan dengan batas administrasi, seperti penetapan potensi
wilayah peternakan didasarkan pada prinsip tata ruang daerah. Populasi ternak dijadikan indikator untuk melihat pengaruh jumlah populasi ternak terhadap
variabel-variabel jumlah penduduk, produk domestik regional bruto PDRB per kapita, luas padang rumput, luas tegalanladang dan luas sawah dari berbagai
data populasi ternak di seluruh Indonesia.
Tabel 1. Batas kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumberdaya peternakan.
Tingkat Pusat Tingkat Provinsi
Tingkat KabupatenKota
Penetapan kebijakan tata ruang peternakan
Pembinaan pengembangan
kelembagaan peternakan
Perumusan model pengembangan
kelembagaan ekonomi peternakan seperti
koperasi, kelembagaan pemasaran dan
pengembangan usaha.
Analisis dan pelayanan informasi pasar
Promosi ekspor komoditas ternak unggulan daerah.
Analisis dan pelayanan
informasi peluang investasi. Analisis
pola pengembangan usaha
peternakan di kawasan agroekologi.
Penetapan tata ruang untuk peternakan di wilayah
provinsi.
Pemantauan dan pengawasan penerapan
standar-standar teknis eksplorasi, eksploitasi,
konservasi, rehabilitasi dan pengelolaan sumberdaya
alam hayati serta tata ruang untuk peternakan di wilayah
provinsi. Identifikasi potensi, pemetaan tata
ruang dan pemanfaatan lahan untuk penyebaran dan
pengembangan peternakan. Bimbingan dan pengawasan
penyebaran pengembangan serta redistribusi ternak.
Bimbingan dan pengawasan
ternak oleh swasta.
Penyebaran pengembangan serta redistribusi ternak
pemerintah. Pelaksanaan promosi komoditas
peternakan. Pembinaan dan pengembangan
kemitraan petani ternak dan pengusaha.
Bimbingan kelembagaan usaha peternakan, manajemen usaha,
analisis usaha, dan pemasaran hasil peternakan.
Bimbingan eskplorasi,
eksploitasi, konservasi, rehabilitasi, dan pengelolaan
sumberdaya alam hayati peternakan.
Bimbingan teknis pengembangan lahan, konservasi tanah dan air
dan rehabilitasi lahan kritis di kawasan peternakan.
Sumber : Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2002
Populasi ternak sapi ternyata hanya dipengaruhi oleh variabel luas sawah dan erat perkembangannya dengan usaha tani padi sawah. Penduduk dan
PDRB mempunyai hubungan kuat hanya terhadap jumlah ternak dan usaha ternak yang bersifat tradisional. Jumlah dan usaha ternak tidak akan berkembang
tanpa penduduk walaupun areal tersedia. Dalam hal ini Bachtiar 1991 menyatakan sebagai berikut.
1.
Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin kecil jumlah ternak. Hal ini menunjukan bahwa usaha peternakan hanya berkembang di
wilayah yang relatif miskin, padahal tambahan pendapatan dari sektor lain belum terbuka.
2.
Kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong kegiatan investasi swasta sangat diperlukan terutama kebijakan deregulasi untuk menekan biaya
produksiharga input dan penyediaan informasi potensi suatu daerah perlu dikembangkan untuk menarik investor di bidang peternakan.
3. Usaha peternakan rakyat di wilayah yang relatif belum berkembang perekonomiannya berpotensi besar ditingkatkan teknologinya, sehingga
dapat memberikan sumber pendapatan yang lebih menarik. Semakin tinggi pendapatan per kapita di suatu wilayah, semakin berkurang populasi
ternaknya, jumlah penduduk dan areal sawah akan menentukan konsentrasi ternak yang dikembangkan dengan memanfaatkan areal padang rumput dan
membentuk usaha peternakan yang berskala besar dan intensif. Perkembangan peternakan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan atau
kemandirian kelompok ternak di suatu kawasan pengembangan. Kondisi kawasan peternakan ditentukan oleh tingkat pertumbuhan berdasarkan
perkembangan agroekosistem. Dirjen Bina Produksi Peternakan 2002 membagi tingkat kawasan pertumbuhankemandirian kelompok ternak, yaitu kawasan
baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri.
1.
Kawasan baru. Merupakan daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang
ternak yang memiliki potensi untuk pengembangan peternakan. Peternak telah memiliki usaha tani lain di samping peternakan. Kelompok belum
terbentuk atau sudah ada akan tetapi belum memiliki kelembagaan yang kuat kelompok pemula. Tersedia lahan untuk bahan pakan ternak, limbah
pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber bahan makanan ternak dan peran pemerintah pada pelayanan, pengaturan dan pengawasan.
2. Kawasan Binaan. Merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru
setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan binaan. Wilayah telah berkembang sesuai dengan pengembangan dan
peningkatan kemampuan kelompok dari kelompok pemula menjadi kelompok madya dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan
skala usaha yang ekonomis. Telah dirintis adanya kerjasama antar kelompok
dalam bentuk usaha bersama agribisnis KUBA. Telah dirintis pendirian unit- unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana dan unit pemasaran. Peran
pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan mulai sudah berkurang.
3.
Kawasan Mandiri. Merupakan lanjutan dari perkembangan kawasan binaan
yang telah lebih maju dan berkembang dalam suatu wilayah yang lebih luas. Terdapat kelompok petani yang meningkat kemampuannya menjadi
kelompok lanjut dan telah bekerjasama antara beberapa kelompok dalam wadah KUBA kelompok usaha bersama agribisnis, dan dapat
dikembangkan beberapa KUBA dan saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis per kepala keluarga, per
kelompok, per KUBA dan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Terdapat unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana
produksi dan unit pemasaran yang efisien, sehingga ada kemandirian petani peternak, kelompok KUBA dan kawasan. Pada kawasan mandiri peran
pemerintah hanya dalam pengaturan dan pengawasan. Berdasarkan standar kawasan agribisnis peternakan Tim Fapet IPB,
2002 pengembangan peternakan pada suatu kawasan harus menghasilkan produk yang berkualitas. Kualitas tersebut antara lain dapat dilihat dari kualitas
daging sapi yang ditentukan oleh jumlah kandungan lemaknya, bobot total daging dan lemak sapi ditentukan oleh bobot karkasnya, menurut Priyanto et al.
1997 bobot karkas segar merupakan indikator yang akurat dalam memprediksi bobot total daging yang dihasilkan.
Peningkatan kualitas hasil sapi potong juga dipengaruhi oleh pakan yang diberikan selama proses pemeliharaan atau budidaya ternak sapi. Sapi potong
yang diberikan pakan yang sesuai, mempunyai kandungan lemak lebih rendah serta serat-serat yang sangat lembut dibanding jenis ternak besar lainnya dan
disukai konsumen. Priyanto et al. 1999 menyatakan bahwa daging sapi lebih disukai karena kelembutan, mempunyai sedikit kandungan lemak dan sejumlah
kandungan air daging. Penggemukkan sapi menggunakan pakan tambahan Boosdext menurut
Sarwono dan Arianto 2001 dapat efektif meningkatkan pertambahan bobot sapi dalam waktu dua sampai tiga bulan dan serat-serat daging sapi yang dihasilkan
sangat lembut, sedangkan menggunakan Starbio dan Bioplus membutuhkan waktu lebih lama, yaitu enam sampai delapan bulan pemeliharaan. Penggunaan
teknologi Boosdext menghasilkan daging yang berkualitas dengan kandungan lemak yang rendah, yaitu sebesar 1,68 persen Uje, 1999; Hadi, 2000; Hadi dan
Sediono, 2000. Pemberian pakan tambahan seperti Starbio, Bioplus dan Bossdext digunakan untuk mengatur keseimbangan mikroorganisme di dalam
rumen alat pencernaan. Menurut Priyanto et al. 1999 nilai jual produk daging sapi di pasaran
bervariasi sesuai dengan segmentasi pasar dan tingkat kualitasnya. Daging sapi mempunyai nilai ekonomi mutu maupun harga lebih tinggi dibandingkan dengan
hasil temak besarkecil lainnya Sugeng, 2001.
2.6.2. Kendala dan Peluang Pengembangan Sapi Potong
Perkembangan sapi potong di suatu wilayah, secara umum harus memperhatikan tiga faktor, yaitu pertimbangan teknis, sosial dan ekonomis.
Pertimbangan teknis mengarah pada kesesuaian pada sistem produksi yang berkesinambungan, ditunjang oleh kemampuan manusia, dan kondisi
agroekologis. Pertimbangan sosial mempunyai arti bahwa eksistensi ternak di suatu daerah dapat diterima oleh sistem sosial masyarakat dalam arti tidak
menimbulkan konflik sosial. Sedangkan pertimbangan ekonomis mengandung arti bahwa ternak yang dipelihara harus menghasilkan nilai tambah bagi
perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sendiri Santosa, 2001. Selanjutnya dikatakan bahwa disamping ketiga faktor tersebut terdapat faktor lain
yang mempengaruhi perkembangan peternakan secara eksternal diantaranya infrastruktur, keterpaduan dan koordinasi lintas sektoral, perkembangan
penduduk serta kebijakan pengembangan wilayah atau kebijakan pusat dan daerah. Pengembangan sistem budidaya sapi potong melalui pola-pola integrasi,
pada dasarnya mengikuti prinsip-prinsip ekosistem alami dengan cara memanfaatkan sumberdaya lokal yang tersedia dan ramah lingkungan
environmental friendly sehingga tercipta suatu keseimbangan yang dinamis dan meningkatkan produktivitas. Karena yang menjadi ciri ekosistem alami adalah
adanya keanekaragaman, adanya ketergantungan dan keterkaitan, adanya keseimbangan yang dinamis, adanya harmonisasi dan stabilisasi, serta adanya
manfaat dan produktivitas Sutjahjo 2004 Menurut Atmadilaga 1975, hambatan-hambatan dalam usaha
meningkatkan produksi ternak pada umumnya disebabkan oleh masalah yang kompleks dan bersifat biologis, ekologis, serta sosioekonomis. Hal ini akan
berpengaruh terhadap produktivitas secara kuantitatif terutama ternak yang bersifat tradisional.
Dalam pembangunan peternakan nasional, peternakan rakyat ternyata masih memegang peranan sebagai aset terbesar, tetapi sampai saat ini
tipologinya masih bersifat sambilan tradisional yang dibatasi oleh skala usaha kecil, teknologi sederhana, dan produknya berkualitas rendah Soehadji, 1995.
Hal tersebut diperkuat oleh Sudrajat 2000 yang menyatakan bahwa beberapa kendala yang dijumpai dalam pengembangan sapi potong adalah : 1
Penyempitan lahan pangonan, 2 kualitas sumberdaya manusia rendah, 3 produktivitas ternak rendah, 4 akses ke pemodal sulit. 5 koordinasi lintas
sektoral belum kondusif, dan 5 penggunaan teknologi masih rendah. Sebagai suatu sistem, pengembangan peternakan pada saat ini masih
menghadapi berbagai kendala. Menurut Santosa 2001 secara nasional kita dihadapkan kepada persoalan-persoalan sebagai berikut.
Harga obat hewan yang semakin tinggi. Kesulitan untuk memperoleh bibit.
Kesulitan untuk akses ke sumber modal. Rendahnya nilai tambah yang diperoleh peternak.
Rendahnya angka kelahiran dan masih tingginya angka kematian ternak. Masih tingginya angka pemotong ternak betina produktif.
Manajemen pakan yang kurang baik. Masih rendahnya tingkat keberhasilan teknologi IB.
Belum ada upaya pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber pakan dan kotoran ternak sebagai pupuk organik secara intensif.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong bagi pengembangan sapi potong di Indonesia adalah : I permintaan pasar terhadap daging sapi semakin
meningkat, 2 Ketersediaan tenaga kerja cukup besar, 3 Kebijakan pemerintah mendukung, 4 Hijauan dari sisa pertanian tersedia sepanjang tahun, 5 Usaha
peternakan sapi lokal tidak terpengaruh krisis. Kendala dan peluang pengembangan peternakan pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai acuan
dalam menentukan strategi pengembangan sapi potong di wilayah tersebut.
2.6.3. Strategi Pengembangan Sapi Potong
Sejak dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka semua kegiatan pembangunan yang menggunakan, memanfaatkan, dan
mengelola sumberdaya alam yang berada di darat, laut dan udara harus menyesuaikan dengan rencana penataan ruang sebagai suatu strategi nasional
dalam memanfaatkan, menggunakan kekayaan sumberdaya alam dan mendorong pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara
nasional dan berkelanjutan. Pengembangan sapi potong merupakan upaya untuk meningkatkan
produksi ternak secara kuantitas maupun kualitas, meningkatkan kecernaan bahan pakan, membangun sistem agribisnis peternakan, mengembangkan
penggunaan sumberdaya tersedia, dan lebih jauh dapat meningkatkan nilai tambah bagi peternak sebagai pengelola usaha peternakan tersebut. Gurnadi
1998 menganjurkan bahwa dalam pengembangan ternak di suatu daerah, maka perlu diukur potensi sumberdaya yang tersedia. Sumberdaya tersebut
mencakup ketersediaan lahan dan pakan, tenaga kerja, dan potensi ternak yang akan dikembangkan. Potensi tersebut ditentukan oleh tersedianya tanah
pertanian, kesuburan tanah, iklim, topografi, ketersediaan air, dan pola pertanian yang ada. Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan ternak tersebut dapat
dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu 1 pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak,
dan perbaikan genetik ternak, 2 pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya, serta
pembentukkan kelompok peternak yang bekerja sama dengan instansi-instansi terkait, 3 Pendekatan agribisnis dengan tujuan mempercepat pengembangan
peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi lahan, pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia, proses produksi. pengolahan
hasil, dan pemasaran. Sistem produksi ternak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pertanian secara umum. Menurut Preston dan Leng 1987 tujuan dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan sapi potong dengan sistem
usaha tani lain adalah: 1. Untuk mengoptimalkan produktivitas pertanian dan peternakan
dengan menggunakan input yang tersedia 2. Untuk memadukan antara beberapa jenis tanaman, ternak, limbah
peternakan dan pertanian sehingga semua bagian saling memanfaatkan. Pemeliharaan ternak merupakan salah satu komponen dalam usaha tani
dan ternak ini akan terintegrasi dengan komoditi lain yang diusahakan oleh
petani. Menurut Sabrani et al. 1981 problema yang dihadapi dalam pengembangan ternak sistem tradisional adalah ketepatan pengalokasian
sumberdaya. Selanjumya dijelaskan bahwa bila usaha ternak skala kecil yang berorientasi pada usaha keluarga maka program pengembangan ternak tersebut
didasarkan pada sistem pertanian secara terpadu. Sistem pertanian terpadu integrated farming system adalah suatu usaha
dalam bidang pertanian dimana terjadi keterkaitan input-output antar komoditas pertanian, keterkaitan antar kegiatan produksi dengan pra produksi dan pasca
produksi, serta antara kegiatan pertanian dengan kegiatan manufaktur dan jasa Rusono, 1999. Selanjutnya dijelaskan bahwa keterpaduan merupakan hal
penting maka suatu sistem pertanian terpadu membutuhkan dan mensyaratkan sumberdaya manusia yang berkualitas serta mampu dalam menata aliran input-
output sedemikian rupa sehingga kombinasi input-output yang dihasilkan adalah kombinasi optimum yang menghasilkan manfaat yang besar bagi petani.
Tanaman pangan atau hortikultura tidak hanya menghasilkan pangan sebagai produk utama, tetapi menghasilkan produk sampingan atau limbah
ikutan misalnya jerami padi, ampas tahu, limbah tanaman kacang tanah dan sebagainya. Dengan cara sederhana limbah tersebut dapat diubah menjadi
pangan yang bermutu daging melalui sapi potong, sehingga biaya pakan produksi ternak dapat ditekan. Disamping menghasilkan produk utama berupa
daging, sapi potong menghasilkan kotoran feses yang diolah dengan cara sederhana dapat menjadi komoditas ekonomis atau digunakan sebagai pupuk
sehingga dapat menopang kegiatan produksi tanaman pangan dan secara langsung mengurangi biaya pengadaan pupuk, dan pada akhirnya keterpaduan
tersebut dapat meningkatkan tambahan pendapatan petani peternak Suharto, 1999.
Beberapa manfaat integrasi ternak pada usaha pertanian yaitu : 1. Meningkatkan pemberdayaan sumberdaya lokal domestic based resources
2. Optimalisasi hasil usaha 3. Penciptaan produk-produk baru hasil diversifikasi usaha
4. Penciptaan kemandirian petani sehingga tidak tergantung pinjaman luar 5. Meningkatkan pendapatan petani peternak
6. Menciptakan lapangan kerja yang menyerap banyak tenaga kerja pedesaan
Pengembangan sistem usaha tani terpadu merupakan salah satu pendekatan dalam memanfaatkan keragaman sumberdaya alam. Bila
dikembangkan dengan tepat maka sistem usaha tani terpadu dapat menjadi pilar pembangunan pertanian modern dan berkelanjutan. Supaya sistem usaha tani
terpadu dapat berkembang, maka aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah 1 sifat usaha tani, 2 sumberdaya manusia, 3 skala usaha, 4 sarana dan pra
sarana, 5 kemitraan dan hubungan antar subsistem agribisnis, 6 orientasi usaha, dan 7 kelestarian sumberdaya dan lingkungan Rusono, 1999.
2.7. Penggunaan Model
Menurut Manetsch and Park 1997 model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata riil, yang akan bertindak seperti dunia nyata
untuk aspek-aspek tertentu. Model yang baik akan memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan
perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan. Model dan manipulasinya melalui proses simulasi adalah alat yang
sangat bermanfaat dalam sistem analisis. Model dapat digunakan sebagai representasi sebuah sistem yang sedang dikerjakan atau menganalisis sistem
yang sudah dilakukan. Dengan menggunakan model dapat dihasilkan desain atau keputusan operasional dalam waktu yang singkat dan biaya yang murah
Blanchord dan Fabrycky, 1981. Menurut Kholil 2005, untuk dapat menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan kesisteman, harus diawali
dengan berpikir sistemik system thinking, sibernetik goal oriented, holistik dan efektif.
Dari terminologi penelitian operasional, secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual.
Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu suatu model
adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang komplek dari pada realitas itu sendiri Eriyatno, 2003.
Menurut Muhammadi et al. 2001 model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikelompokkan menjadi
model kuantitatif, kualitatif dan model ikonik. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau matrik. Model ikonik adalah model yang
mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan.
Menurut Meadows 1982 model adalah usaha memahami beberapa segi dari dunia kita yang sangat beraneka ragam sifatnya, dengan cara memilih
sekian banyak pengamatan dan pengalaman masa lalu untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Sedangkan menurut Hall dan John 1977,
model adalah penggambaran atau lukisan tentang sebagian dari kenyataan. Model harus dicek dengan kondisi sebenarnya dunia nyata untuk meyakinkan
bahwa penggambaran dari dunia nyata dalam pemodelan akurat atau tidak. Selanjutnya Ruth dan Hannon 1997 mengemukakan bahwa model adalah
pusat pemahamannya terhadap dunia karena model dapat mempresentasikan dan manipulasi fenomena nyata. Dengan membangun model dapat memahami
pengaruh positif terhadap keputusan alternatif dalam kinerja ekonomi, pengelolaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan. Model merupakan suatu
alat yang penting untuk menciptakan pengetahuan baru. Dari berbagai pendapat tersebut diatas, maka model secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu
bentuk peniruan dan penyederhanaan dari suatu gejala, proses atau benda dalam skala yang lebih kecil skalanya.
2.8. Analisis Kebijakan
Partowidagdo 1999 menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah ilmu yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Produk
analisis kebijakan adalah nasehat. Kebijakan yang diambil akan mempunyai biaya dan manfaat tertentu. Kebijakan tersebut dapat relatif menguntungkan
suatu kelompok dan relatif merugikan kelompok lain. Selanjutnya menurut Vining dan Weimer 1998 analisis kebijakan adalah nasehat yang berorientasi pada
klien yang relevan dengan kebijakan publik dan disampaikan dengan nilai-nilai sosial, tapi kenyataannya tidak semua nasehat adalah analisis kebijakan, jadi
untuk menentukan nasehat tersebut, perlu lebih spesifik dan terkait dengan kebijakan publik.
Analisis kebijakan pada dasarnya mencakup tiga hal utama, yaitu bagaimana merumuskan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi
kebijakan Dwijowijoto, 2003. Setiap kebijakan dirumuskan untuk tujuan tertentu yaitu mengatur sistem yang sedang berjalan untuk mencapai tujuan visi
dan misi bersama yang telah disepakati. Dengan demikian, analisis kebijakan adalah tindakan yang diperlukan untuk dibuatnya sebuah kebijakan, baik
kebijakan yang baru sama sekali atau kebijakan yang baru sebagai konsekuensi dari kebijakan yang ada.
Analisis kebijakan merupakan suatu keharusan bagi perumus kebijakan, namun tidak terlalu ditekankan pada implementasi kebijakan dan lingkungan
kebijakan. Pada implementasi kebijakan dan lingkungan biasanya dilakukan evaluasi. Namun demikian, evaluasi kebijakan merupakan bagian dari analisis
kebijakan yang lebih berkenaan dengan prosedur dan manfaat dari kebijakan. Meski analisa kebijakan lebih fokus kepada perumusan, pada prinsipnya setiap
analisis kebijakan pasti mencakup evaluasi kebijakan karena analisis kebijakan menjangkau sejak awal proses kebijakan, yaitu menemukan isu kebijakan,
menganalisa faktor pendukung kebijakan, implementasinya, peluang evaluasi, dan kondisi lingkungan kebijakan.
Analisis kebijakan pada dasarnya adalah menemukan langkah strategis untuk mempengaruhi sistem. Ada dua pilihan skenario yang dapat dilakukan
untuk mempengaruhi kinerja sistem yaitu: 1 kebijakan fungsional, skenario dengan tindakan yang mempengaruhi fungsi dari unsur sistem tanpa merubah
sistem; dan 2 kebijakan struktural, skenario dengan tindakan yang akan menghasilkan sistem yang berbeda Aminullah, 2004.
Tujuan dari analisis kebijakan adalah menganalisis dan mencari alternatif kebijakan yang dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan bagi
penentu kebijakan. Analisis kebijakan adalah ilmu yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan adalah nasehat
sehingga seorang analis kebijakan hanyalah penasehat kebijakan bukan penentu
kebijakan. Oleh karena itu seorang analis kebijakan memerlukan hal-hal sebagai berikut.
1. Harus tahu bagaimana mengumpulkan, mengorganisasi dan
mengkomunikasikan informasi dalam situasi dimana terdapat keterbatasan waktu dan akses.
2. Membutuhkan perspektif pandangan untuk melihat masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam konteksnya.
3. Membutuhkan kemampuan teknik agar dapat memprediksi kebijakan yang diperlukan di masa yang akan datang dan mengevaluasi alternatif kebijakan
dengan lebih baik.
4. Harus mengerti institusi dan implementasi dari masalah yang diamati untuk dapat meramalkan akibat dari kebijakan yang dipilih, sehingga dapat
menyusun fakta dan argumentasi secara lebih efektif. 5. Harus mempunyai etika moral.
Muhammadi et al. 2001 menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah pekerjaan intelektual memilah dan mengelompokkan upaya atau untuk
memperoleh pengetahuan tentang cara-cara yang strategis dalam mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam sistem dinamis
untuk menyederhanakan sistem dalam analisis kebijakan digunakan simulasi model. Ada dua tahap simulasi model untuk analisis kebijakan yaitu: 1
pengembangan kebijakan alternatif, yaitu suatu proses berpikir kreatif untuk menciptakan ide-ide baru tentang tindakan yang diperlukan dalam rangka
mempengaruhi sistem untuk mencapai tujuan, baik dengan cara merubah model maupun tanpa merubah model; dan 2 analisis kebijakan alternatif, suatu upaya
untuk menentukan alternatif kebijakan yang terbaik dengan mempertimbangkan perubahan sistem serta perubahan lingkungan ke depan.
Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif. Sebagai disiplin ilmu
terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku tetapi juga administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis
sistem dan matematika terapan. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga
macam pertanyaan: 1 nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi, 2 fakta yang keberadaannya
dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan 3 tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.
Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui apa yang sesungguhnya dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal
tersebut dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya dengan cara yang berbeda-beda. Analisis kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran
yang bermuara pada penggambaran dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan akibat dari tindakan pemerintah.
Ada tiga jenis analisis kebijakan, yaitu: 1 analisis prospektif, 2 analisis retrospektif, dan 3 analisis terintegrasi Dunn, 1994. Analisis prospektif
merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi
informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya berkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan
dilakukan. Sedangkan analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis
prospektif dan retrospektif.
2.9. Hasil Penelitian Terdahulu
Ada beberapa hasil penelitian dan tulisan ilmiah yang membahas tentang kegiatan budidaya sapi potong khususnya di Indonesia dan pendekatan
pembangunan berkelanjutan sebagai metode untuk melakukan studi terhadap suatu sumberdaya alam secara keberlanjutan. Kusumawati 1999 dalam
penelitiannya tentang pengaruh nilai tukar rupiahUSD terhadap usaha penggemukan dan perdagangan sapi potong di Indonesia menyimpulkan bahwa
usaha penggemukan dan perdagangan sapi potong di Indonesia dengan cara impor bibitbakalan tidak layak untuk dikembangkan jika kondisi nilai tukar
rupiahUSD tidak stabil. Peneliti menyarankan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan percepatan pengembangan bibitbakalan bermutu dengan
menggunakan teknologi inseminasi buatan dan transfer embrio untuk mengurangi ketergantungan kepada bibitbakalan impor.
Himawan, 2001 dalam penelitiannya yang berjudul strategi pengembangan ternak sapi berorientasi agribisnis dalam rangka meningkatkan
ketahanan pangan di Provinsi Riau, dengan menggunakan metode analisis lingkungan eksternal dan internal berdasarkan konsep manajemen strategi,
menyimpulkan bahwa untuk pengembangan budidaya ternak sapi di Propinsi Riau harus dilakukan dengan pendekatan kawasan dengan sistem integrasi.
Susilo 2003, melakukan studi di Kepulauan Seribu dengan judul Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau
Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dengan menggunakan pendekatan konsep pembangunan berkelanjutan, yang
bersangkutan menyusun nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya di wilayah studi. Berdasarkan hasii analisis dengan metode MDS disimpulkan
bahwa pengelolaan sumberdaya di Pulau Panggang dan Pulau Pari termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan.
Mersyah 2005 dalam penelitiannya yang berjudul desain sistem budidaya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi
daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan dengan menyusun nilai indeks keberlanjutan menggunakan MDS disimpulkan bahwa budidaya sapi potong di
Kabupaten Bengkulu Selatan kurang berkelanjutan. Untuk itu pengembangan sistem budidaya sapi potong berkelanjutan dapat dilakukan dengan strategi
moderat-optimistik.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian berada dalam wilayah Propinsi Papua di Kabupaten Jayapura, yaitu Distrik Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk dan Kemtuk Gresi, secara
astronomis berada pada posisi 02
o
27 – 02
o
46 Lintang Selatan LS dan 139
o
58’ – 140
o
31’ Bujur Timur BT. Batas-batas wilayah penelitian tersebut secara administrasi pemerintahan sebagai berikut :
Disebelah utara berbatasan dengan Distrik Demta dan Sentani Barat. Disebelah timur berbatasan dengan Distrik Skamto dan Sentani Barat.
Disebelah selatan berbatasan dengan Distrik Unurum Guay, serta Disebelah barat berbatasan dengan Distrik Unurum Guay dan Bonggo.
Penentuan lokasi penelitian tersebur dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1. Letak geografis dan kesinergian program pembangunan yang telah dicanangkan oleh pemerintah daerah setempat.
2. Aksesibilitas kawasan telah dihubungkan oleh jalan arteri yang menghubungkan antar kecamatan.
3. Potensi lahan yang memungkinkan untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan.
Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2009 sampai bulan Agustus 2010, terhitung sejak penyusunan proposal sampai pengesahan Disertasi.
3.2.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif melalui studi kasus dengan menggunakan pendekatan sistem. Pendekatan sistem digunakan untuk
merumuskan kebijakan dan skenario strategi pengembangan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong berkelanjutan di Kabupaten Jayapura yang bersifat
multi dimensi, melibatkan berbagai stakeholders, dan lintas sektor. Penelitian dimulai dengan melakukan analisis komoditas unggulan peternakan
dan perilaku peternak. Hasil analisis ini menjadi salah satu sumber untuk memberikan penilaian skor setiap atribut pada masing-masing dimensi dalam rangka menilai
keberlanjutan sistem pada saat ini existing condition. Atribut-atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan sistem yang dikaji
selanjutnya dijadikan sebagai faktor-faktor penting dalam sistem dan dianalisis tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor tersebut.
Pada tahap berikutnya dilakukan analisis kebutuhan need analysis dari semua pihak yang berkepentingan terhadap sistem, sehingga diperoleh faktor-faktor penting,
yang selanjutnya juga dilakukan analisis tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor tersebut. Faktor-faktor penting dari kedua hasil analisis existing condition dan
need analysis dikombinasikan untuk mendapatkan hasil yang lebih mencerminkan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji. Faktor-faktor penting hasil
kombinasi dari kedua sumber tersebut kembali dilakukan analisis tingkat pengaruh dan kepentingannya, yang selanjutnya dijadikan sebagai variabel untuk membangun model
pengembangan sistem. Analisis prospektif digunakan untuk mendapatkan faktor penting yakni
kemungkinan keadaannya state di masa depan dan dirumuskan berbagai skenario strategi masa depan dalam pengembangan sistem yang dikaji. Pada tahap akhir, dapat
dirumuskan kebijakan dan strategi pengembangan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong secara berkelanjutan di Kabupaten Jayapura dengan
menggunakan analisis hierarki proses AHP
3.3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara diskusi, wawancara, pengisian kuesioner, dan pengamatan langsung terhadap kegiatan pengembangan
agribisnis peternakan sapi potong di lokasi penelitian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Data sekunder diperoleh dengan cara mencari dari berbagai
sumber seperti hasil penelitian terdahulu, hasil studi pustaka, dan laporan serta dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian.
3.3.1. Jenis Dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan sekunder, yang bersumber dari responden dan semua stake holders dalam bidang budidaya sapi
potong. Pada Tabel 2, disajikan secara rinci jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian.
Tabel 2. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian.
Jenis Data Sumber Data
I. Data Primer
1. Sosial-Ekonomi
2.
Kebutuhan sistem.
3.
Tujuan sistem
4.
Identifikasi faktor-faktor strategis sistem.
5.
Tingkat kepentingan faktor-faktor strategis terhadap sistem.
6.
Perumusan skenario sistem.
7.
Penentuan prioritas Responden peternak
Responden expertpakar Responden expertpakar
Responden expertpakar Responden expertpakar
Responden expertpakar Responden expertpakar
II. Data Sekunder
1. Populasi Ternak
2.
Tingkat kamatian dan kelahiran.
3.
Jumlah pemotongan.
4.
Jumlah ternak keluar daerah.
5.
Tingkat keberhasilan IB.
6.
Jenis penyakit hewan
7.
Tingkat konsumsi daging masyarakat
8.
Pendapatan Asli Daerah PAD
9.
Populasi penduduk, dan sosial-ekonomi
10.
Pola penggunaan lahan
11.
Jumlah angkatan pencari kerja
12.
Kebutuhan pakan per ekor sapi potong.
13.
Jumlah feses per ekor sapi potong
14.
Rasio pupuk organik dari feses Dinas Peternakan Kabupaten
Jayapura dan Dirjen Bina Produksi Peternakan Deptan,
Jakarta
Diperindag Jayapura Dispenda Jayapura
BPS Jayapura BPN Jayapura
Dinas Tenaga Kerja Jayapura Hasil Penelitianstudi literatur
3.3.2. Teknik Penentuan Responden dan Pengambilan Contoh
Pemilihan responden disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan jumlah responden yang akan diambil yaitu responden yang dianggap dapat mewakili dan
memahami permasalahan yang diteliti. Penentuan responden dilakukan dengan menggunakan metode expert survey yang dibagi atas dua cara :
1. Responden dari stakeholder selain pakar di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode stratified random sampling secara proporsional Walpole,
1995 dengan rumus sebagai berikut :
ni = Ni n N
Keterangan : ni = jumlah responden strata ke-i
N = jumlah populasi kepala keluarga petani Ni = jumlah populasi strata ke-i
n = ukuran responden secara keseluruhan
2. Responden dari kalangan pakar dipilih secara sengaja purposive sampling Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar yang akan dijadikan responden,
menggunakan kriteria yaitu mempunyai pengalaman, reputasi, dan kedudukanjabatan sesuai dengan bidang yang dikaji, serta memiliki kredibilitas
yang tinggi, bersedia, dan atau berada pada lokasi yang dikaji. Pakar yang akan menjadi alternatif pilihan untuk dijadikan responden sebanyak
16 orang yang mewakili semua stakeholders seperti kelompok tani, pengusaha sapi potong, Kepala Poskeswan, Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura, Kepala
Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua, Ketua Bapeda, Perguruan Tinggi Fakultas Pertanian UNIPA, Direktur Pengembangan Peternakan Dirjen Bina Produksi
Peternakan, sehingga pakar yang terpilih diharapkan dapat mewakili setiap unsur birokrasi, akademisi pergururan tinggi, pelaku usaha, peternak, dan
asosiasiorganisasi yang peduli dengan peternakan sapi potong di Jayapura. Perincian jumlah responden penelitian disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Perincian jumlah responden penelitian. No.
Responden Teknik Pengambilan
Contoh Jumlah
Contoh I.
II.
Unit Contoh Daerah Wilayah 1. Kecamatan
2. Desa Unit Contoh Responden
A. Pakar expert
1. Ketua Kelompok
Tani 2. Pengusaha
sapi potong
3. Kepala Pos
Keswan 4. Kepala Dinas peternakan
5. Ketua BP3D
Kab. Jayapura
6. Dosen Peternakan UNIPA 7. Dirjen Bina Produksi Peternakan,
Departemen Pertanian B. Peternak
Peternak analisis sosial-ekonomi Purposive
Purposive Purposive
Purposive Purposive
Purposive Purposive
Purposive Purposive
Proportional Cluster Random Sampling
4 kecamatan 12 desa
10 orang 1 orang
1 orang 1 orang
1 orang 1 orang
1 orang 110 0rang
Jumlah 126
orang
3.4. Metode Analisis Data
Metode analisis data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
3.4.1. Metode Perbandingan Eksponensial MPE
Tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan pengambilan keputusan dengan menggunakan MPE adalah sebagai berikut.
a. Menentukan alternatif
keputusan. Dari komoditas peternakan yang ada di Kabupaten Jayapura, berdasarkan
wawancara dengan peternakkelompok peternak dan pendapat dari responden berdasarkan pengisian kuesioner, maka didapatkan komoditas alternatif
peternakan untuk penentuan komoditas unggulan. Penetapan kualitas alternatif ini sesuai dengan jenis ternak yang banyak di pelihara di Kabupaten Jayapura.
Komoditas alternatif yang ditetapkan adalah sapi potong, babi, kambing, ayam ras pedaging, ayam ras petelur, ayam buras bukan ras dan itik.
b. Menyusun kriteria keputusan yang akan diambil. Penentuan kriteria dalam pemilihan komoditas unggulan ini ditentukan melalui
kajian pustaka dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengembangan serta kebiasaan yang lazim dalam usaha pengembangan komoditas alternatif oleh
masyarakatpeternak serta pendapat dari responden. Kriteria yang digunakan adalah potensi pasar, sumberdaya peternak, kondisi sosial budaya, jumlah atau
populasi ternak, ketersediaan modal, sarana dan prasarana transportasi pendukung, ketersediaan sarana produksi, keterampilan peternak, produksi dan
produktifitas, teknologi, penggunaan teknologi, kebijaksanaan pemerintah dan ketersediaan lahan.
c. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap kriteria keputusan. Batasan angka penilaian adalah sebagai berikut : nilai 4 jika kriteria tersebut
sangat berpengaruh, nilai 3 jika kriteria berpengaruh cukup besar, nilai 2 jika kriteria kurang berpengaruh dan nilai 1 jika kriteria tidak berpengaruh terhadap
komoditas alternatif. d. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap pilihan keputusan bobot.
Penentuan bobot kriteria dilakukan berdasarkan Paired Comparison Criteria yaitu dengan memberikan panilaian atau pembobotan angka pada masing-masing
kriteria. Penilaian angka pembobotan adalah sebagai berikut : nilai 2 jika kriteria horizontal lebih penting dari kriteria vertikal, nilai 1 jika kriteria horizontal sama
penting dengan kriteria vertikal dan nilai 0 jika kriteria horizontal kurang penting dari kriteria vertikal.
e. Melakukan perhitungan nilai dari setiap alternatif keputusan. f.
Memberi peringkat nilai dari setiap alternatif keputusan. Pembobotan dari setiap penilaian dilakukan dengan menggunakan matrik seperti
terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Matriks nilai untuk setiap kriteria alternatif keputusan NK
Kriteria Alternatif Keputusan
Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria N
Nilai Rangking
Alternatif keputusan I Nkn
Nk12 Nk1n
Alternatif keputusan II
Alternatif keputusan
m Nkm1
Bobot Bobot 1
Bobot 2 Bobot n
Keterangan : N
k
m
1
= Nilai kriteria ke n untuk alternative keputusan ke m Bobot i
= Bobot untuk kriteria ke I m
= Pilihan Keputusan ke-m n
= Kriteria ke-n
3.4.2. Analisis Perilaku Peternak dan Karakteristik Peternak
Analisis perilaku peternak bertujuan untuk mengetahui karakteristik personal umur, tingkat pendidikan, lama beternak, sumber modal, tingkat penghasilan, etnis;
penduduk lokal dan transmigran dan perilaku berusaha peternak sapi potong yang mendapatkan bantuan pemerintah proyek SADP, Banpres, IDT, Dinas Koperasi,
Sosial dan Transimigrasi dan petani ternak yang tidak mendapatkan bantuan pemerintah. Disamping itu juga untuk mengetahui perilaku peternak berdasarkan skala
usaha.
3.4.3. Analisis Keberlanjutan
Keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong akan dianalisis melalui pendekatan multidimensional scaling
MDS dengan analisis Rapfish. MDS adalah teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui keberlanjutan pembangunan wilayah secara multidisipliner.
Dimensi dalam MDS menyangkut berbagai aspek. Setiap dimensi memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan keberlanjutan pembangunan kawasan.
Berdasarkan indikator tersebut dilakukan analisis status masing-masing dimensi pengelolaan lingkungan apakah mendukung atau tidak terhadap keberlanjutan
∑
=
=
n 1
i i
bobot
N
k
m
1
m Nilai
sumberdaya dalam suatu wilayah tertentu untuk jenis kegiatan yang spesifik. Dasar dari penentuan status ini menjadi barometer dalam penentuan kebijakan yang harus
dilakukan guna terjaminnya keberlanjutan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong.
Penggunaan teknik MDS mempunyai berbagai keunggulan diantaranya adalah sederhana, mudah dinilai, cepat serta biaya yang diperlukan relatif murah Pitcher
1999. Selain itu, teknik ini dapat menjelaskan hubungan dari berbagai aspek keberlanjutan, dan juga mendefenisikan pembangunan kawasan yang fleksibel.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan software pendukung MDS. Dalam penelitian ini analisis MDS dilakukan dengan menggunakan
software pendukung MDS yang dimodifikasi dari software Rapfish rapid assesment techniques for fisheries yang dikembangkan oleh Fisheries Center University of British
Columbia, Kanada. Dalam analisis MDS setiap data yang diperoleh diberi skor yang menunjukkan
status sumberdaya tersebut. Ordinasi MDS dibentuk oleh aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di
setiap aspek yang disajikan dalam skala 0 sampai 100. Manfaat dari teknik MDS ini adalah dapat menggabungkan berbagai aspek untuk dievaluasi komponen
keberlanjutannya dan dampaknya terhadap kegiatan pengelolaan lingkungan. Prosedur MDS ditampilkan pada Gambar 8.
Terdapat lima dimensi yang digunakan dalam menilai pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong sebagai indikator keberlanjutan.
Setiap dimensi tersebut dilengkapi dengan atribut yang digunakan untuk menilai kondisi di masa lalu dan saat ini. Atribut yang tersebar dalam lima dimensi kondisi
disajikan pada Tabel ,5, 6, 7, 8 dan 9.
Gambar 8. Proses aplikasi MDS
Penentuan skor setiap atribut dilakukan dengan berbagai teknik yaitu: untuk atribut yang datanya tersedia dalam bentuk numerik, maka menggunakan data
dokumentasi. Atribut yang datanya berupa persepsi atau pandangan maka dilakukan wawancara terhadap responden yang mengetahui dengan tepat kondisi atribut
tersebut. Output dari hasil analisis ini adalah berupa status keberlanjutan pengembangan
agropolitan berbasis peternakan sapi potong untuk ke-lima dimensi dalam bentuk skor dengan skala 0 – 100. Kategori keberlanjutan adalah: skor 50 berarti tidak
berkelanjutan; skor 50 – 75 berarti belum berkelanjutan; dan skor 75 berarti berkelanjutan. Kategori ini sesuai dengan standar Mersyah 2005, CSD 2001, dan
Kavanagh 2001. Hasil lain yang diperoleh adalah penentuan faktor pengungkit leverage factors
untuk pengelolaan kawasan yang merupakan faktor-faktor strategis yang harus diperhatikan dalam pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong di
masa mendatang. Kegunaan faktor pengungkit adalah untuk mengetahui faktor sensitif atau intervensi yang dapat dilakukan dengan cara mencari faktor sensitif untuk
pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Tabel 5. Dimensi ekologi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong
No Atribut dimensi ekologi
1 Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik
2 Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak
3 Sistem pemeliharaan
4 Lahan tingkat kesuburan tanah
5 Tingkat pemanfaatan lahan
6 Daya dukung pakan ternak
7 Jenis pakan ternak
8 Ketersediaan RPH dan IPAL RPH
9. Pemotongan ternak betina produktif
10 Kebersihan kandang
11 Kuantitas limbah
peternakan 12 Kejadian
kekeringan 13 Kejadian
banjir 14 Agroklimat
15 Jarak lokasi dengan pemukiman
16 Rencana Tata Ruang Wilayah
17 Kondisi prasarana jalan usahatani
Tabel 6. Dimensi teknologi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong
No Atribut dimensi teknologi
1 Teknologi pengolahan hasil produk peternakan
2 Teknologi pakan
3 Teknologi pengolahan limbah peternakan
4 Ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hewan poskeswan
5 Ketersediaan tempat pelayanan inseminasi buatan IB
6 Penggunaan vitamin dan probiotik untuk pertumbuhan ternak
7 Ketersediaan teknologi informasi dan transportasi
8. Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis
9. Standar mutu produk peternakan
Tabel 7. Dimensi ekonomi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong
No Atribut dimensi ekonomi
1 Pendapatan dari usaha non tani
2 Trend harga ternak dan hasil ternak
3 Kontribusi terhadap PDRB dan PAD
4 Kontribusi terhadap total pendapatan keluarga
5 Besarnya pasar
6 Rata-rata penghasilan peternak antar skala usaha
7 Rata-rata pendapatan peternak terhadap UMR
8 Transfer keuntungan
9 Kelayakan finansial
10 Ketersediaan industri pakan ternak 11 Ketersediaan agroindustri peternakan
12 Perubahan nilai APBD subsektor peternakan 13 Keuntungan profit dalam usaha agribisnis peternakan
Tabel 8. Dimensi sosial keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong
No Atribut Dimensi sosial
1 Peran masyarakat dalam usaha agribisnis sapi potong
2 Jumlah rumah tangga peternak
3 Pertumbuhan rumah tangga peternak
4 Rasio tenaga kerja
5 Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak
6 Curahan waktu kerja dalam usaha peternakan
7 Frekuensi konflik
8 Partisipasi keluarga dalam usaha
9 Frekuensi penyuluhan dan pelatihan
10 Pengetahuan terhadap lingkungan 11 Pertumbuhan
penduduk 12 Kesehatan
masyarakat peternak
13 Alternatif usaha selain peternakan Tabel 9. Dimensi kelembagaan keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong
No Atribut dimensi kelembagaan
1 Kemitraan kelompok tani
2 Kemitraan dengan pemerintah
3 Kemitraan dengan lembaga adat
4 Koperasi peternakan
5 Ketersediaan lembaga penyuluhan pertanian
6 Sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah
7 Partisipasi pengusaha dalam usaha peternakan
8 Kerjasama antar negara dalam pengembangan peternakan
9 Ketersediaan lembaga keuangan bankkredit
Evaluasi pengaruh galat error acak pada proses pendugaan nilai ordinasi pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong dilakukan dengan
menggunakan analisis Monte Carlo. Menurut Kanvanagh 2001 dan Fauzi dan Anna 2002 analisis Monte Carlo juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut ini.
1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemanaman
terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut; 2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh
peneliti yang berbeda;
3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang iterasi; 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang missing data;
3.4.4. Analisis Prospektif
Analisis prospektif merupakan suatu upaya untuk mengeksplorasi kemungkinan di masa yang akan datang. Hasil analisis ini akan mendapatkan informasi mengenai
faktor kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam pengembangan sistem budidaya sapi potong berkelanjutan di Kabupaten Jayapura sesuai dengan kebutuhan
dari para pelaku stakeholders yang terlibat dalam sistem ini. Faktor kunci tersebut akan digunakan untuk mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi
pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong berkelanjutan. Penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut sangat penting, dan sepenuhnya merupakan
pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli mengenai agribisnis sapi potong. Pendapat tersebut diperoleh melalui bantuan kuesioner dan wawancara
langsung di wilayah studi. Bourgeois dan Yesus 2004 menjelaskan tahapan analisis prospektif yaitu: 1
Mengidentifikasi faktor kunci penentu untuk masa depan dari sistem yang di kaji. Pada tahap ini dilakukan identifikasi semua faktor penting dengan menggunakan kriteria
faktor variabel, menganalisis pengaruh dan kebergantungan seluruh faktor dengan melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan
pengaruh dan kebergantungan dari masing-masing faktor ke dalam empat kuadran utama; 2 Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan 3
Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan
keadaan state pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan, dan menggambarkan skenario dengan memasangkan perubahan yang
akan terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya terhadap sistem. Penentuan faktor kunci keberlanjutan pengembangan agropolitan berbasis
agribisnis peternakan sapi potong dilakukan dengan analisis prospektif. Pada tahap ini dilakukan seluruh faktor penting dengan menggunakan kriteria faktor pengungkit
berdasarkan hasil analisis MDS. Data yang digunakan dalam analisis prospektif adalah pendapat pakar dan stakeholder yang terlibat dalam pengembangan
agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, wawancara serta melalui diskusi. Pengaruh langsung antar faktor
dalam sistem, pada tahap pertama dapat dilihat dengan menggunakan matriks pada Tabel 10.
Tabel 10. Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam sistem pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong
Dari Terhadap
A B
C D
E F
G H
I A
B C
D E
F G
H I
Sumber: Godet et al. 1999. Keterangan: A - I = Faktor penting dalam sistem Analisis prospektif dilaksanakan dengan metode kuesioner dan FGD melalui
tahapan: menjelaskan tujuan studi, identifikasi faktor-faktor, dan analisis pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Analisis pengaruh dan ketergantungan seluruh faktor
melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor pada empat kuadran utama.
Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor di dalam sistem disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem Pengaruh langsung antar faktor dalam sistem yang dilakukan pada tahap
pertama analisis prospektif menggunakan matriks. Pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor diisi dengan teknik sebagai berikut:
1. Apakah faktor tidak mempunyai pengaruh terhadap faktor lain? Jika jawabannya ya, maka diberi skor 0.
2. Jika jawabannya tidak, maka dilanjutkan ke pertanyaan berikut: Apakah pengaruhnya sangat kuat? Jika jawabannya ya diberi skor 3.
Kuadran I Faktor penentu
INPUT Kuadran II
Faktor penghubung STAKES
Pengar u
h
Kuadran IV Faktor bebas
UNUSED Kuadran III
Faktor terikat OUTPUT
Ketergantungan
3. Jika jawabannya tidak, maka dilanjutkan dengan pertanyaan apakah pengaruhnya kecil? jika jawabannya ya diberi skor 1, jika jawabannya tidak, diberi skor 2.
Hasil analisis tersebut selanjutnya dikonfirmasi kepada semua stakeholder terkait. Hal ini dilakukan guna memperkuat hasil analisis. Selain itu, hasil kajian ini
diharapkan dapat diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura sehingga hasil analisis ini dilakukan secara partisipatif.
3.4.5. Analytical Hierarchy Process
Penentuan kebijakan pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong dilakukan dengan analisis multikriteria secara partisipatif. Alat analisis yang
digunakan adalah AHP. Penggunaan AHP dimaksudkan untuk penelusuran permasalahan secara bertahap dan membantu pengambilan keputusan dalam memilih
strategi terbaik dengan cara: 1 mengamati secara sistematis dan meneliti ulang tujuan dan alternatif kebijakan atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini
kebijakan yang baik; 2 membandingkan secara kuantitatif dari segi manfaat dan resiko dari tiap alternatif; 3 memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan; dan 4
membuat skenario kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan, dengan cara menentukan prioritas kebijakan.
Penetapan prioritas kebijakan dalam AHP dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi masyarakat, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang tidak
terukur intangible ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. Tahap terpenting dari AHP adalah penilaian perbandingan berpasangan, yang pada dasarnya
merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar komponen dalam suatu tingkat hirarki Saaty, 1993.
Dalam melakukan perhitungan matriks, akan sangat rumit sehingga diperlukan paket komputer khusus mengenai AHP. Pengolahan data berbasis komputer
menggunakan perangkat lunak expert choice 2000. Expert choice merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas metodologi
pengambilan keputusan yakni AHP. Langkah-langkah dalam analisis data dengan AHP adalah:
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah 2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan fokus, dilanjutkan dengan tujuan,
kriteria dan alternatif kebijakan pada tingkatan level paling bawah. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh
relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari stakeholder dengan menilai
tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Dalam
rangka mengkuantifikasi data kualitatif pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi 1 – 9 berdasarkan skala Saaty seperti pada Tabel 11.
Tabel 11. Skala perbandingan berpasangan
Skala Definisi 1
Kedua elemen sama pentingnya equally importance terhadap tujuan
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen lainnya
moderately importance 5
Elemen satu lebih penting dari pada elemen lainnya strongly importance
7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting dari pada elemen lainnya
very strongly importance 9
Satu elemen mutlak penting dari pada elemen lainnya extremely importance
2, 4, 6 dan 8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan intermediate value
Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka jika dibandingkan dengan
aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i
Sumber: Saaty 1993 4. Melakukan perbandingan berpasangan. Kegiatan ini dilakukan oleh stakeholder
yang berkompeten berdasarkan hasil identifikasi stakeholder. 5. Menguji konsistensinya. Indeks konsistensi menyatakan penyimpangan konsistensi
dan menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penilaian perbandingan berpasangan. Nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk mengetahui
konsistensi jawaban dari responden karena akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil.
Pembahasan strategi implementasi kebijakan dilalukan dengan melibatkan pakar dan stakeholder dalam bentuk FGD. FGD dilakukan untuk menemukan alternatif
penyelesaian secara partisipatif. Diskusi difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dari sudut pandang dan
pengalaman peserta, persepsi, pengetahuan, dan sikap tentang pengelolaan lingkungan kawasan.
Wakil stakeholder ditentukan secara sengaja purposive sampling. Dasar pertimbangan dalam menentukan atau memilih pakar untuk dijadikan responden
adalah: 1 mempunyai pengalaman yang memadai sesuai dengan bidangnya, 2 mempunyai reputasi, jabatan dan telah menunjukkan kredibilitas sebagai stakeholder
yang konsisten atau pakar pada bidang yang diteliti, dan 3 kesediaan untuk menjadi responden.
IV. PROFIL KAWASAN PENELITIAN
4.1. Letak Kawasan dan Aksesibilitas
Kawasan pengembangan agropolitan mencakup 4 kelurahan dan 53 kampung. Sebaran jumlah kelurahan dan kampung serta luasannya disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Jumlah kelurahan dan kampung serta luas keempat distrik kawasan pengembangan agropolitan Kabupaten Jayapura.
No Distrik
Jumlah Kelurahan
Jumlah Kampung Luas Ha
1 Nimboran 1
20 24.647
2 Nimbokrang 1
9 15.057
3 Kemtuk 1
10 20.175
4 Kemtuk Gresi
1 14
25.179
Jumlah 4 53 85.058
Kawasan pengembangan ini memiliki aksesibillitas yang cukup tinggi karena dapat dijangkau dengan sarana transportasi baik dari ibukota kabupaten Sentani
maupun ibukota provinsi Jayapura. Jarak tempuh dari ibukota kabupaten pada berbagai jalur transportasi alternatif disajikan pada Tabel 13.
Waktu tempuh dari ibu kota kabupaten Sentani ke ibu kota distrik terjauh Nimbokrang lebih kurang 1,5 jam pada kecepatan normal. Jarak tempuh dari
ibukota provinsi Jayapura ke ibukota kabupaten adalah 45 km, sehingga waktu tempuh dari ibukota provinsi ke ibukota distrik terjauh sekitar 2,5 jam pada kecepatan
normal pada jalur transportasi tengah. Tabel 13. Jarak tempuh antar ibukota distrik dalam kawasan pengembangan
agropolitan dan dengan ibukota kabupaten km DariKe
DistrikKab Sentani
Kabupaten Sabron
Samon Kemtuk
Genyem Nimboran
Sawoy Kemtuk
Gresi Nimbokrang
Nimbokrang Sentani
Kabupaten - 31,7
55,7 55,2 60,6
Sabron Kemtuk
31,7 - 26,3 25,8 26,2
Genyem Nimboran
55,7 26,3 - 12,4 10,8 Sawoy
Kemtuk Gresi 55,2 25,8 12,4 -
20,6 Nimbokrang
Nimbokrang 60,6 26,2 10,8 20,6
-
4.2. Keadaaan Biofisik dan Lingkungan.
4.2.1. Klimatologi
Letak geografis Jayapura yang berada di daerah katulistiwa menyebabkan daerah ini beriklim tropis. Perletakan Jayapura di antara Benua Asia dan Australia
menyebabkan iklimnya dipengaruhi oleh angin muson tenggara yang bertiup secara bergantian 6 bulan sekali. Berdasarkan data tahun 2006 yang bersumber dari Badan
Meteorologi dan Geofisika Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah V tahun 2007, suhu udara minimum dari stasiun Klimatologi Genyem adalah 20
o
C dan maksimum 35
o
C. keterangan lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.
Gambar 11. Suhu udara maksimum mutlak tahun 2004 – 2006 dalam
o
C Stasiun Klimatologi Genyem.
Gambar 12. Suhu udara minimum mutlak tahun 2004 – 2006 dalam
o
C Stasiun Klimatologi Genyem.
4.2.2. Fisiografi
Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa topografi pada keempat distrik tersebut bervariasi dari datar hingga berbukit, tanpa bergunung yang mempunyai kemiringan
≥ 26. Daerah datar 57,21 pada umumnya terdapat di distrik Nimboran, distrik
Nimbokrang didominir oleh daerah berbukit 55, 47 dan datar 41,62, distrik Kemtuk oleh daerah berbukit 50,66, sedangkan didaerah Kemtuk Gresi didominir
oleh daerah bergelombang 66,12 dan berombak 33,22. Berdasarkan persentasenya terhadap luas total keempat distrik, maka topografi datar lebih banyak
terdapat di daerah Distrik Nimboran, daerah berombak dan bergelombang di Distrik Kemtuk Gresi dan daerah berbukit di Distrik Kemtuk. Sebaran fisiografi lahan dalam
kawasan pengembangan agropolitan menurut distrik disajikan Tabel 14 dan Gambar 13.
Tabel 14. Sebaran luas lahan menurut fisiografi lahan setiap distrik dalam kawasan agropolitan
No Distrik
Topografi Kemiringan
Luas Ha
terhadap sub-total
terhadap total
1 Nimboran
Datar 0 – 2
14.003 57,21
16,46 Berombak
3 – 8 4.057
16,57 4,77
Bergelombang 9 – 15
5.500 22,47
6,47 Berbukit
16 – 25
918 3,75
1,08 Bergunung
26 -
- -
Sub Total
24.478 100 28,78
2 Nimbokrang
Datar 0 – 2
6.267 41,62
7,37 Berombak
3 – 8 438
2,91 0,51
Bergelombang 9 – 15
- -
- Berbukit
16 – 25 8.352
55,47 9,82
Bergunung 26
- -
-
Sub Total
15.057 100 17,70
3 Kemtuk
Datar 0 – 2
- -
- Berombak
3 - 8 5.186
25,71 6,09
Bergelombang 9 – 15
4.768 23,63
5,61 Berbukit
16 – 25 10.221
50,66 12,02
Bergunung 26
- -
-
Sub Total
20.175 100 23,72
4 Kemtuk Gresi
Datar 0 – 2
- -
- Berombak
3 – 8 8.420
33,22 9,90
Bergelombang 9 – 15
16.759 66,12
19,70 Berbukit
16 – 25 169
0,66 0,20
Bergunung 26
-
Sub. Total
25.348 100 29,80
Total 85.058
100