158 sehingga dengan selesainya tahun anggaran maka selesailah program dan kegiatan
tersebut, padahal keberlanjutan dari program perlu dijaga sampai si miskin keluar dari kemiskinan secara mandiri. Untuk menjaga orang miskin keluar dari
kemiskinan secara mandiri perlu dilakukan pendekatan dan desain program dan kegiatan secara komprehensif dimulai dari menemukan rumah tangga miskin
sampai memperkuat kapasitas institusi masyarakat miskin, sehingga dapat berkembang menjadi institusi yang sehat, kuat, dan mandiri.
Sejalan dengan itu, beberapa kajian dan pengalaman membuktikan bahwa untuk menjaga orang miskin keluar dari kemiskinan secara mandiri perlu
dilakukan beberapa tahapan dengan berpusat pada beberapa prinsip dasar sebagai berikut Setiabudi, 2002; SNPK, 2005; Smeru, 2008; dan Yunus, 2007: i
Menemukan rumah tangga miskin berdasarkan kriteria lokal; ii Penumbuh- kembangan kesadaran; iii Partisipatif; iv Keberlanjutan; dan v Kemandirian.
Implikasi dari temuan ini menunjukkan bahwa kalau pengentasan kemiskinan ingin dipercepat, maka belanja langsung yang diarahkan kepada
penanggulangan kemiskinan budgeting pro poor harus ditingkatkan. Namun, di sisi lain perlu adanya komitmen yang kuat antar stakeholder terutama bagi
masyarakat miskin itu sendiri serta perlu peningkatan kapasitas kelembagaan terutama bagi aparat pelaksana yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan
pada semua level pemerintahan. Hal ini diperlukan karena dengan komitmen yang tinggi dan kapasitas yang baik dari pelaksana atau pendamping di lapangan,
penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Beberapa kajian dan pandangan menjelaskan bahwa, belanja langsung yang
diarahkan bagi rumah tangga miskin berupa perbaikan kualitas sumberdaya manusia modal manusia yakni perbaikan keterampilan melalui pelatihan dan
kursus serta penyediaan modal usaha dalam bentuk Skim usaha mikro pengaruhnya sangat besar dalam mereduksi kemiskinan Smeru, 2006, World
Bank 2005, dan Todaro dan Smith 2006.
5.6.2. Pertumbuhan Ekonomi PDRB Per Kapita dan Kemiskinan
Hasil analisis variabel pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini adalah PDRB per kapita menunjukkan bahwa peningkatan 1 satuan PDRB per kapita
159 berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0046 persen per
tahun, ceteris paribus. Hasil ini mengindikasikan bahwa peningkatan rata-rata pendapatan PDRB per kapita di Kabupaten Barru mencerminkan adanya
peningkatan pendapatan masyarakat yang dibarengi dengan pemeraataan hasil- hasil pembangunan growth with equity. Namun demikian, pengaruh PDRB per
kapita tersebut terhadap penurunan jumlah penduduk miskin masih relatif kecil. Hal ini terjadi lebih dikarenakan oleh faktor-faktor produksi yang tidak
terdistribusi dengan baik, seperti lahan atau asset produktif lain yang dimiliki. Sebagaimana diketahui bahwa distribusi pendapatan dapat melalui semakin
baiknya distribusi faktor-faktor produksi, yaitu upah bagi pekerja, sewa lahan bagi pemiliki lahan, dan keuntungan bagi entrepreneur.
Berdasarkan hasil survei ditemukan bahwa ketiga faktor produksi tersebut tidak terdistribusi dengan baik, seperti lapangan pekerjaan formal tidak dapat
diakses oleh keluarga miskin karena kualitas sumberdaya manusia rumah tangga miskin sangat rendah, yaitu rata-rata lama sekolah di bawah 7 tahun atau
maksimum tamatan SD. Dengan pendidikan yang rendah, maka produktivitasnya pun rendah sehingga imbalan berupa upah yang diterima tidak cukup memadai
untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum atau kebutuhan dasarnya. Akibatnya, rumah tangga miskin akan menghasilkan keluarga-keluarga miskin pula pada
generasi berikutnya Kartasasmita 1996. Demikian halnya dengan faktor produksi berupa lahan, dimana hasil survei
menunjukkan bahwa hampir 90 persen rumah tangga miskin hanya memiliki lahan dibawah 0,5 ha per rumah tangga. Di samping itu, sebagian besar penduduk
miskin bekerja sebagai petani dan nelayan, yang semakin hari memiliki nilai tawar yang semakin menurun. Hal tersebut dipengaruhi oleh semakin menurunnya
produksi dan produktivitas di sektor pertanian, ditambah lagi semakin meningkatnya harga sarana produksi, yang pada akhirnya berdampak pada
semakin menurunnya tingkat pendapatan masyarakat. Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan hasil
temuan yang sama. Temuan Adelman dan Morris 1973, menunjukkan bahwa disatu sisi pertumbuhan ekonomi memang memberikan dampak peningkatan
160 pendapatan per kapita, tetapi di sisi lain ternyata meninggalkan masalah yang lain,
seperti kemiskinan. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai oleh suatu negara atau wilayah menyembunyikan adanya sekelompok masyarakat yang
menjadi bertambah buruk worse off dalam hal kondisi sosial ekonomi secara relatif dibandingkan dengan kelompok yang lain, dan bahwa terdapat perbedaan
pendapatan yang semakin melebar antar kelompok atau antar golongan masyarakat Tambunan 2003; Todaro dan Smith 2009.
Bank Dunia 2006, mencatat bahwa di Indonesia telah memiliki sukses luar biasa dalam pengentasan kemiskinan sejak tahun 1970-an. Periode dari akhir
tahun 1970-an hingga pertengahan tahun 1990-an dianggap sebagai periode pertumbuhan yang berpihak pada masyarakat miskin pro-poor growth terbesar
dalam sejarah perekonomian negara manapun, dengan keberhasilan Indonesia dalam mengurangi angka kemiskinan lebih dari separuhnya. Di Era 1970-an
sampai dengan akhir tahun 1990-an, pertumbuhan ekonomi berjalan pesat dan telah menjangkau masyarakat miskin, setiap point persentase rata-rata
menghasilkan penurunan 0,3 persen angka kemiskinan. Beberapa penelitian lain yang mendukung bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang hati-hati prudential
berdampak pada penurunan jumlah rumah tangga miskin, namun magnitudnya berbeda antar suatu lokasi dan waktu Siregar dan Wahyuniati 2007; Balisacan et
al. 2003; Suryahadi et al. 2006; dan Suryadarma dan Suryahadi 2007.
Selain itu, Ravallion 2001 menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan pendapatan rata-rata dan kemiskinan dengan koefisien
elastisitas sebesar -2,5. Sedangkan Adams 2004 dengan mengamati 50 negara sedang berkembang menemukan bahwa koefisien elastisitas dengan menggunakan
pendapatan rata-rata US 1hari per kapita terhadap kemiskinan adalah -5,75 pada Negara-negara Asia Tengah dan Eropa Timur, tapi berbeda elastisitasnya tanpa
Negara-negara Asia Tengah dan Eropa Timur, yaitu -2,5. Demikian halnya yang ditemukan oleh Squire 1993 bahwa jika terjadi kenaikan 1 persen dalam
pertumbuhan ekonomi akan mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 0,24 persen per tahun. Para ekonomi meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi atau
pertumbuhan pendapatan rata-rata berpengaruh secara signifikan terhadap
161 penurunan jumlah penduduk miskin, apabila ketimpangan awalnya rendah.
Sejalan dengan itu, Dollar dan Kray 2002; Bigsten dan Levin 2000 menyebutkan bahwa pertumbuhan akan memberikan manfaat yang besar bagi
penduduk miskin jika pertumbuhan tersebut disertai dengan kebijakan penegakan hukum, disiplin fiskal, dan adanya kebijakan dukungan dan lingkungan
kelembagaan institutional environment yang tepat. Hal ini mengindikasikan bahwa, untuk menurunkan jumlah orang miskin di
Kabupaten Barru, harus dilakukan dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan dinikmati oleh sebagian besar masyarakat melalui intervensi
kebijakan yang memberi peluang kepada sebagian besar masyarakat untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi tersebut. Todaro dan Smith 2009,
menyebutkan bahwa intervensi kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, yaitu i Mengubah distribusi fungsional, tingkat hasil yang diterima dari faktor-
faktor produksi tenaga kerja, tanah dan modal yang sangat dipengaruhi oleh harga masing-masing faktor produksi tersebut, tingkat pendayagunaannya, dan bagian
atau persentase dari pendapatan nasional yang diperoleh para pemilik masing- masing faktor tersebut; ii Memeratakan distribusi ukuran, distribusi pendapatan
fungsional dari suatu perekonomian yang dinyatakan sebagai distribusi ukuran, yang didasarkan pada kepemilikan dan penguasaan atas asset produktif serta
keterampilan sumberdaya manusia yang terpusat dan tersebar ke segenap lapisan masyarakat. Distribusi kepemilikan asset dan keterampilan tersebut pada akhirnya
akan menentukan merata atau tidaknya distribusi pendapatan secara perorangan; dan iii Meratakan meningkatkan distribusi ukuran golongan penduduk
berpenghasilan rendah, melalui pengeluaran publik yang dananya bersumber dari pajak untuk meningkatkan pendapatan kaum miskin secara langsung misalnya,
melalui “pembayaran transfer” atau disebut pula money transfer atau tidak langsung misalnya, melalui penciptaan lapangan kerja dan penyediaan pelayanan
publik yang pro-poor. Sedangkan Siregar dan Wahyuniarti 2007 menyebutkan bahwa agar
pertumbuhan ekonomi berdampak langsung dalam mereduksi kemiskinan, maka pertumbuhan ekonomi perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana orang
162 miskin bekerja pertanian dan sektor-sektor yang padat tenaga kerja. Selanjutnya,
secara tidak langsung diperlukan pemerintah yang cukup efektif meredistribusi manfaat pertumbuhan yang boleh jadi diperoleh dari sektor modern seperti jasa
dan manufaktur yang padat modal ke golongan penduduk miskin.
5.6.3. Pengaruh Peningkatan PAD terhadap Kemiskinan