154 hipotesis yang menyatakan residual terdistribusi normal, dengan demikian
persamaan yang dibangun dalam studi ini memenuhi asumsi normalitas. Berdasarkan pada gambaran umum hasil dugaan dari persamaan yang
dibangun, serta berbagai hasil pengujian terhadap asumsi-asumsi penting dalam analisis regresi linear, maka dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun
dalam penelitian ini cukup baik untuk menjelaskan keragaan determinan kemiskinan di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan selama periode tahun
1990 – 2008. Secara ringkas hasil estimasi model persamaan regresi determinan
kemiskinan di Kabupaten Barru dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Hasil Estimasi Model Persamaan Regresi Determinan Kemiskinan di
Kabupaten Barru
Variabel Koefisien
Std. Error t-Statistic
Probability Intercept
G_PUBLIK-3 G_POV-3
PDRBKAP-2 PAD-3
GDP_DEF-4 SSAGR-1
SSIND-2
Dummy D.Fiskal-4
Dummy Krisis Moneter-1
R-Square =98,17 96.069
-0.00012 -0.00051
-0.00462 0.00228
0.09598 -1.45064
-3.20603 -9.79067
5.23922 17.0003
0.00004 0.00084
0.00134 0.00052
0.01430 0.30046
1.51627
2.88093 1.59403
5.6511 -3.2893
-0.5997 -3.4446
4.2051 6.7111
-4.8281 -2.1144
-3.3984 3.2867
0.0024 0.0217
0.5749
0.0183 0.0084
0.0011 0.0048
0.0881
0.0193 0.0218
Hasil estimasi persamaan determinan kemiskinan sebagaimana dalam persamaan dan Tabel 19 di atas, diperoleh nilai intercept sebesar 96.069 yang
mengindikasikan bahwa akan terjadi peningkatan jumlah rumah tangga miskin sebesar 96.069 persen, ketika semua variabel dependent lainnya X tidak
berubah, ceteris paribus. Selanjutnya pengaruh variabel dependent lainnya terhadap kemiskinan di Kabupaten Barru, secara ringkas dan berturut-turut dapat
dijelaskan berikut ini.
5.6.1. Pengaruh Belanja Publik terhadap Kemiskinan di Kabupaten Barru.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD memuat semua kebijakan yang terbagi ke dalam belanja aparatur dan belanja publik. Dalam
155 penelitian ini difokuskan pada belanja publik dalam 4 empat komponen besar
yang meliputi belanja di bidang pendidikan, belanja di bidang kesehatan, belanja di bidang pertanian, dan belanja di bidang infrastruktur. Ke empat bidang ini
menerima alokasi anggaran terbesar selama periode 1990-2008. Alokasi anggaran yang dialokasikan untuk ke empat komponen belanja publik tersebut, sejalan
dengan tujuan fungsi alokasi dan fungsi distribusi, yaitu mensejahterakan masyarakat. Di Kabupaten Barru sendiri memperlihatkan kecenderungan yang
semakin baik dalam pengelolaan anggaran better budget yang ditandai dengan meningkatnya alokasi anggaran belanja publik dari tahun ke tahun. Persentase
belanja publik dua tahun terakhir beralih dari belanja aparatur ke belanja publik, dimana pada tahun 2007 alokasi anggaran untuk belanja publik adalah 42,36
persen masih lebih kecil dibanding dengan belanja aparatur, namun pada tahun 2008 mengalami pergeseran, dimana alokasi belanja publik menjadi 59,39 persen
atau lebih besar dibanding dengan belanja aparatur termasuk dana yang bersumber dari dana alokasi khusus yang di daerahkan dan tertuang dalam APBD
Kabupaten Barru. Implikasi dari semakin membaiknya pengelolaan anggaran dan semakin
meningkatnya proporsi anggaran belanja publik dibanding belanja aparatur adalah mendorong perbaikan kesejahteraan masyarakat dan dapat mereduksi kemiskinan.
Terbukti dari hasil pendugaan variabel belanja publik menunjukkan bahwa peningkatan satu satuan anggaran belanja publik dapat mereduksi rumah tangga
miskin sebanyak 0,0000122 persen. Dengan perkataan lain peningkatan Rp. 100 Milyar anggaran belanja publik yaitu dalam bidang pendidikan,
kesehatan, pertanian, dan infrastruktur dapat menurunkan rumah tangga miskin sebanyak 0.0012 persen per tahun pada tahun ke tiga t-3, ceteris paribus.
Artinya, belanja publik yang dilaksanakan tidak secara otomatis berdampak pada tahun tersebut, akan tetapi pengaruhnya terhadap penurunan jumlah penduduk
miskin baru dirasakan pada tahun ke tiga. Alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan ditujukan untuk memperbaiki
kualitas sumberdaya manusia. Alokasi anggaran pendidikan diprioritaskan pada pendidikan dasar dengan berbagai skenario untuk mendukung wajib belajar
156 sembilan tahun. Program dan kegiatan bidang pembangunan yang dilakukan
meliputi pembangunan sarana dan prasarana pada semua level pendidikan, pemberian beasiswa, dan pelaksanaan pendidikan gratis pada tingkat SD yang
disertai dengan penyediaan buku tulis secara gratis pada semua murid SD. Sedangkan untuk bidang kesehatan diarahkan juga untuk sarana dan prasarana
kesehatan terutama pembangunan rumah sakit, pembangunan puskesmas dan puskesmas pembantu pada wilayah terpencil dan pegunungan yang dibarengi
dengan pelayanan kesehatan dasar di puskesmas secara gratis. Kalau dikaitkan dengan analisis deskriptif dan analisis kerentanan
sebelumnya, maka belanja publik di bidang pendidikan dan kesehatan masih perlu dilakukan sinkronisasi dan integrasi yang lebih kuat. Dalam bidang pendidikan
misalnya masih perlu perbaikan pemerataan distribusi pelayanan pendidikan terutama pendidikan menengah atau SMP ke atas ke semua wilayah. Sedangkan
untuk pelayanan di bidang kesehatan, belanja publik juga perlu penekanan bukan hanya kepada pelayanan kesehatan dasar, akan tetapi juga memberi jaminan
kesehatan kepada masyarakat yang membutuhkan biaya besar seperti operasi terutama bagi penduduk miskin.
Selain itu, alokasi anggaran di bidang pertanian mencakup pengembangan produktivitas pada semua sektor pertanian, seperti pertanian tanaman pangan,
perikanan dan kelautan, peternakan dan kehutanan. Sedangkan belanja di bidang infrastruktur mencakup pembangunan jalan dan jembatan, irigasi dan irigasi desa,
dan sarana dan prasana pendukung aktivitas ekonomi lainnya. Hal tersebut sejalan dengan Daimon 2001 yang menemukan bahwa belanja publik yang diarahkan
kepada bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, dan infrastruktur yang dapat mendukung perkembangan ekonomi antar sektor dan antar wilayah secara
langsung memberi peluang kepada penduduk miskin untuk memperoleh peluang- peluang di bidang ekonomi.
Beberapa temuan penelitian lainnya menunjukkan hal yang sama bahwa peningkatan belanja publik yang diarahkan untuk meningkatkan aktivitas ekonomi
dan peningkatan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi berpengaruh secara nyata terhadap penurunan jumlah penduduk miskin, namun magnitudnya
157 berbeda Suryadarma dan Suryahadi 2007; Yudoyono, 2004; World Bank 2006;
dan Hirawan 2007. Lebih lanjut, Yudoyono 2004 menunjukkan bahwa kombinasi skenario peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian
sebesar 15 persen dan peningkatan upah sebesar 20 persen, merupakan kombinasi kebijakan jangka pendek yang potensial terutama dalam mengurangi kemiskinan.
Berbeda dengan belanja publik, belanja langsung yang diarahkan untuk penanggulangan kemiskinan walaupun arahnya negatif, akan tetapi pengaruhnya
tidak signifikan secara statistik. Belanja langsung terhadap kemiskinan dalam penelitian ini meliputi program dan kegiatan yang diarahkan secara langsung
untuk meningkatkan pendapatan penduduk miskin. Program dan kegiatannya meliputi program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir PEMP, program
penaggulangan kemiskinan perkotaan P2KP, program nasional pemberdayaan masyarakat PNPM, pilot proyek penanggulangan kemiskinan terpadu PIK-
PAKET, dan gerakan pembangunan dan pengentasan kemiskinan GERBANG TASKIN, serta pembinaan keterampilan dan peningkatan kelembagaan penduduk
miskin dari semua instansi yang sumber pembiayaannya berasal dari APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten yang dirangkum dari tahun 1990-2008.
Tidak signifikannya pengaruh belanja langsung terhadap kemiskinan, diindikasikan oleh desain program yang ada masih didominasi oleh pemerintah
atau masih bersifat top-down, walaupun dalam implementasinya sebagian sudah melibatkan masyarakat dalam proses. Selain itu, banyaknya program yang
digelontorkan oleh departemen teknis, diterjemahkan secara parsial di daerah menyebabkan terjadinya ego sektoral yang berdampak pada tidak tepatnya sasaran
dan tidak efektif, dan bahkan beberapa rumah tangga miskin terlibat dalam beberapa kegiatan, di sisi lain banyak rumah tangga tidak tersentuh dengan
program penanggulangan kemiskinan sama sekali. Kondisi demikian menyebabkan semakin meningkatnya ketergantungan masyarakat terhadap
pemerintah dan munculnya kecemburuan sosial yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan distrust oleh sebagian masyarakat.
Desain program dan kegiatan berorientasi pada pendekatan proyek atau masa tahun anggaran, dan diperparah oleh kurangnya strategi pengalihan program
158 sehingga dengan selesainya tahun anggaran maka selesailah program dan kegiatan
tersebut, padahal keberlanjutan dari program perlu dijaga sampai si miskin keluar dari kemiskinan secara mandiri. Untuk menjaga orang miskin keluar dari
kemiskinan secara mandiri perlu dilakukan pendekatan dan desain program dan kegiatan secara komprehensif dimulai dari menemukan rumah tangga miskin
sampai memperkuat kapasitas institusi masyarakat miskin, sehingga dapat berkembang menjadi institusi yang sehat, kuat, dan mandiri.
Sejalan dengan itu, beberapa kajian dan pengalaman membuktikan bahwa untuk menjaga orang miskin keluar dari kemiskinan secara mandiri perlu
dilakukan beberapa tahapan dengan berpusat pada beberapa prinsip dasar sebagai berikut Setiabudi, 2002; SNPK, 2005; Smeru, 2008; dan Yunus, 2007: i
Menemukan rumah tangga miskin berdasarkan kriteria lokal; ii Penumbuh- kembangan kesadaran; iii Partisipatif; iv Keberlanjutan; dan v Kemandirian.
Implikasi dari temuan ini menunjukkan bahwa kalau pengentasan kemiskinan ingin dipercepat, maka belanja langsung yang diarahkan kepada
penanggulangan kemiskinan budgeting pro poor harus ditingkatkan. Namun, di sisi lain perlu adanya komitmen yang kuat antar stakeholder terutama bagi
masyarakat miskin itu sendiri serta perlu peningkatan kapasitas kelembagaan terutama bagi aparat pelaksana yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan
pada semua level pemerintahan. Hal ini diperlukan karena dengan komitmen yang tinggi dan kapasitas yang baik dari pelaksana atau pendamping di lapangan,
penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Beberapa kajian dan pandangan menjelaskan bahwa, belanja langsung yang
diarahkan bagi rumah tangga miskin berupa perbaikan kualitas sumberdaya manusia modal manusia yakni perbaikan keterampilan melalui pelatihan dan
kursus serta penyediaan modal usaha dalam bentuk Skim usaha mikro pengaruhnya sangat besar dalam mereduksi kemiskinan Smeru, 2006, World
Bank 2005, dan Todaro dan Smith 2006.
5.6.2. Pertumbuhan Ekonomi PDRB Per Kapita dan Kemiskinan