129 Penjelasan koefisien dan odds ratio variabel-variabel persamaan yang
siginifikan secara statistik pada taraf nyata antara 1 sampai 10 , berturut-turut dapat diuraikan berikut ini.
5.3.1. Jenis Kelamin.
Hasil pendugaan variabel jenis kelamin menunjukkan bahwa kerentanan atau peluang rumah tangga yang kepala keluarganya laki-laki untuk menjadi
miskin adalah 0.29 kali dibandingkan dengan rumah tangga yang kepala rumah tangganya perempuan, ceteris paribus. Dengan perkataan lain, bahwa rumah
tangga yang kepala keluarganya adalah perempuan memiliki kerentanan atau peluang yang lebih besar untuk menjadi miskin dibanding dengan rumah tangga
yang kepala keluarganya laki-laki. Permasalahan utama yang dihadapi oleh rumah tangga yang dikepalai oleh
perempuan adalah kemampuan atau kapasitas perempuan yang relatif lebih rendah dibanding laki-laki. Hasil survei yang dilakukan ditemukan bahwa rumah tangga
yang dikepalai oleh perempuan di Kabupaten Barru hanya 3,25 persen yang tamat SD sedangkan selebihnya adalah tidak tamat SD 96,8 dan kemampuan baca
tulis hanya mencapai 52,8 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa kepala rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan tidak ada yang menamatkan
pendidikan menengah SMP ke atas, sehingga kemampuan dan kapasitas kepala rumah tangga perempuan jauh lebih rendah dibanding dengan kepala rumah
tangga laki-laki. Selain itu, kepala rumah tangga perempuan yang berumur di atas 55 tahun
adalah 62 kepala rumah tangga dari 123 KRT atau sekitar 50,41 persen, dan yang mengalami sakit sehingga tidak dapat bekerja lagi adalah 26,02 persen. Hal
ini menunjukkan bahwa kepala rumah tangga perempuan yang tidak produktif kalau dilihat dari tingkat umur dan sakit adalah tinggi, sehingga menyebabkan
mereka hidup dalam kemiskinan kronik. Di sisi lain, keterbatasan perempuan dalam pengambilan kebijakan merupakan salah satu faktor penyebab rentannya
terhadap kemiskinan. Dari dokumen perencanaan desa lokus penelitian ditemukan bahwa tingkat partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan
musrenbangdes pada tiga wilayah pesisir, dataran rendah dan pegunungan rata-
130 rata di bawah 5 persen. Selain itu, jenis pekerjaan yang digeluti oleh kepala rumah
tangga perempuan lebih banyak pada sektor non formal sehingga secara finansial sangat terbatas dan kurang stabil.
Kondisi ini juga menyebabkan posisi tawar perempuan dalam pengambilan keputusan dalam lingkungan masyarakat yang terbatas. Kenyataan ini turut
mempersempit sumber-sumber keuangan bagi kaum perempuan, sehingga posisi mereka secara finansial kurang stabil apabila dibandingkan dengan kaum pria.
Implikasinya bahwa, kepala keluarga perempuan adalah kemampuan untuk mendapatkan pendapatan income dalam keluarga adalah relatif rendah, karena
keterbatasan jenis pekerjaan yang sesuai dengan perempuan. Di samping itu, mobilitas untuk mendapatkan pekerjaan relatif sulit, baik di daerah perdesaan
maupun di daerah perkotaan Makmun, 2003. Beberapa kajian yang relevan seperti Amiruddin dan Purnama 2005,
menyebutkan bahwa sebagian besar perempuan Indonesia adalah miskin karena tidak hanya secara ekonomi mereka terkebelakang akan tetapi juga dalam hal
keterbatasan akses terhadap informasi, pendidikan, politik, kesehatan, dan partisipasi merekapun kurang diberi tempat, baik dalam pengambilan keputusan
keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat. Hal ini relevan dengan Bank Dunia 2006, yang menyatakan bahwa secara umum peran wanita sebagai kepala
rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya biasanya akan mengalami banyak kendala dibanding dengan peran laki-laki sebagai kepala
rumah tangga. Hal ini berkaitan dengan kodrat wanita yang harus berperan ganda di dalam rumah tangga sebagai pencari nafkah dan ibu yang harus melahirkan,
merawat dan membesarkan anak-anaknya. Cherchye et al. 2008 menyebutkan bahwa perempuan yang menjadi janda yang diakibatkan oleh suami meninggal
dan menjadi kepala rumah tangga tidak mampu memenuhi dan menyeimbangkan pengeluaran keluarganya dibanding dengan laki-laki.
Selain itu, sumber dari permasalahan lainnya yang dihadapi oleh perempuan sebagaimana disampaikan oleh Muhajir 2005, terletak pada budaya patriarki
yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan subordinat. Budaya patriarki seperti tercermin dalam
131 kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi sumber
pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi
sumberdaya yang bias gender. Kultur yang demikian ini akhirnya akan bermuara pada terjadinya perlakuan diskriminatif, marjinalisasi, eksploitasi maupun
kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan Todaro dan Smith 2006, menyebutkan bahwa kelemahan-
kelemahan perempuan, biasa dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti i rendahnya kesempatan dan kapasitas mereka dalam memiliki pendapatan sendiri; ii
terbatasnya kesempatan untuk menikmati pendidikan, pekerjaan yang layak di sektor formal, dan berbagai tunjangan sosial; dan iii terbatasnya akses ke
program-program penciptaan lapangan kerja oleh pemerintah bias gender policy. Di sisi lain, hasil temuan ini mengisyaratkan bahwa keterbatasan perempuan
dalam segala aspek tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena bisa berdampak pada generasi yang akan datang, maka perlu dilakukan pemberdayaan perempuan
dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam aktivitas sosial, politik dan ekonomi. Hal ini sejalan dengan beberapa ekonom yang menyatakan bahwa,
ketika pemberdayaan perempuan dapat ditingkatkan dalam aktivitas ekonomi, maka pengentasan kemiskinan dapat dilakukan secara optimal Yunus, 2007.
Demikian halnya dengan Hayami 2001, yang menyebutkan bahwa kontribusi perempuan dalam meningkatkan kesejahteraan rumah tangga sangat tinggi,
sehingga peran perempuan dalam pengambilan kebijakan, aktivitas non pertanian dan perdagangan perlu ditingkatkan. Salah satu cara untuk meningkatkan peran
perempuan dalam perbaikan kondisi sosial ekonomi keluarga adalah peningkatan kualitas pendidikan perempuan dan peningkatan partisipasi dalam proses
pembangunan dan pengambilan kebijakan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Todaro dan Smith 2006 menyebutkan bahwa tingkat pengembalian rate of return
dari pendidikan perempuan lebih tinggi daripada tingkat pengembalian pendidikan laki-laki. Peningkatan pendidikan kaum perempuan tidak hanya
menaikkan produktivitasnya, tetapi meningkatkan partisipasi tenaga kerja,
132 fertilitas yang lebih rendah, dan perbaikan kesehatan serta gizi anak-anak.
Kesehatan dan gizi anak-anak yang lebih baik serta ibu yang lebih terdidik akan memberikan dampak pengganda multiplier effect terhadap kualitas anak bangsa
pada generasi yang akan datang. Bahkan diyakini bahwa perbaikan yang signifikan dalam peran dan status perempuan melalui pendidikan dapat
mempunyai dampak penting dalam memutuskan lingkaran setan kemiskinan. Dari hasil pembahasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kesehatan, usia lanjut, dan rendahnya partisipasi dalam proses pembangunan diindikasikan sebagai penyebab
utama tingginya kerentanan atau peluang rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan untuk menjadi miskin. Di samping itu, budaya patriarki, diskriminasi
dalam kepemilikan asset dan kurangnya desain program yang pro jender, serta kurangnya kesempatan yang dimiliki untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
menjadi penyebab lain rentannya perempuan untuk menjadi miskin dibanding dengan laki-laki.
5.3.2. Jumlah Tanggungan Keluarga.