Kerentanan dan Determinan Kemiskinan

35 Berdasar pada asumsi ini pelaku pembangunan terutama di negara-negara berkembang pada awal pembangunannya mengedepankan pertumbuhan ekonomi sebesar-besarnya tanpa memerhatikan aspek pemerataan. Hal ini menjadi jebakan dan pada akhirnya disadari bahwa pertumbuhan yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan masyarakat karena menimbulkan bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang tidak berkesinambungan, akan tetapi dapat menimbulkan gejolak sosial dan depresi lingkungan yang pada akhirnya meruntuhkan atau merobohkan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Pola Marx dalam Hayami 2001 tentang pertumbuhan ekonomi yang muncul pada fase awal industrialisasi, menyebabkan perekonomian negara berkembang mengalami ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi, meningkatnya ketimpangan pendapatan dapat menyebabkan pada gangguan sosial social shock dan menghancurkan dasar- dasar sosial politik aktivitas ekonomi. Marx memprediksi bahwa terjadi semakin meningkatnya ketimpangan dalam proses pembangunan kapitalis. Sejalan dengan menurunnya tingkat kepentingan lahan melalui perkembangan lebih lanjut dalam industrialisasi sejak era Ricardo, dimana pendapatan nasional diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu upah sebagai pengganti untuk tenaga kerja, keuntungan sebagai pengganti untuk modal, dan nilai sewa untuk pengganti lahan bagi tuan tanah. Marx menganalisis bagaimana pendapatan nasional terbagi diantara dua kategori yaitu upah dan keuntungan. Hal ini memprediksi bahwa pendapatan nasional akan mengalir lebih besar untuk keuntungan perusahaan dibanding untuk upah. Hal ini menyebabkan konsentrasi pendapatan pada para pemilik modal dan menyebabkan kemiskinan di pihak buruh atau penduduk yang tidak memiliki lahan atau keterampilan sebagaimana yang dibutuhkan pada sektor industri.

2.4. Kerentanan dan Determinan Kemiskinan

Kerentanan dan kemiskinan “poverty and vurnerability”, diakui semakin mendapat perhatian sebagai sebuah aspek penting dalam menelaah fenomena kemiskinan World Bank, 2000. Kerentanan bukan hanya diarahkan pada kondisi rumah tangga sekarang berkenaan dengan garis kemiskinan tertentu, tetapi lebih 36 daripada risiko atau peluang rumah tangga menjadi miskin dalam beberapa periode yang akan datang Mcculloch et al. 2001. Kerentanan terhadap kemiskinan di definisikan sebagai kerentanan terhadap garis kemiskinan Vurnerability to Poverty Line yaitu risiko atau probabilitas rumah tangga jatuh ke dalam garis kemiskinan. Peluang atau risiko rumah tangga menjadi miskin bukan hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal, akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor rumah tangga dan individu serta aspek kewilayahan. Kerentanan menurut Chambers dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin itu Chambers, 1983. Kerentanan dapat juga diartikan sebagai suatu kondisi dimana rumah tangga miskin tidak memiliki kesiapan baik mental maupun material dalam menghadapi situasi sulit yang dialaminya. Kerentanan mengacu pada kecenderungan orang jatuh atau tinggal, di bawah pra-kebutuhan dasar hidup minimal yang telah ditentukan Dasgupta, 1997; Pritchett et al. 2000; Halder dan Husain, 1999; Hashemi, 1997; Rahman, 1995. Pada dasarnya kemiskinan dan kerentanan bagai dua sisi mata uang tidak bisa dibedakan. Pengamatan status dari rumah tangga miskin biasa didefinisikan hanya dengan apakah atau tidak tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga berada di atas atau di bawah garis kemiskinan yang telah ditetapkan merupakan realisasi ex-post dari suatu keadaan probabilitas ex-ante yang dapat diambil untuk menetapkan tingkat kerentanan rumah tangga. Jadi, memprediksi probabilitas dari kemiskinan bagi rumah tangga dengan berbagai set karakteristik memperkirakan kerentanan rumah tangga Chaudhuri et al. 2001. Dalam penelitian ini, kerentanan kemiskinan didekati berdasarkan berbagai karakteristik dari rumah tangga, individu, dan kewilayahan. Dalam konteks ini, kerentanan dilihat dari seberapa besar kesiapan atau daya tahan suatu rumah tangga atau individu dalam menghadapi fenomena dan permasalahan yang terkait dengan kemiskinan. Pengukuran kerentanan kemiskinan diestimasi dengan menggunakan teknik ekonometrika dengan persamaan logit. Teknik ini dipilih karena lebih memberikan keleluasaan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang 37 memengaruhi risiko terhadap kemiskinan dan memungkinkan untuk menganalisis magnitud tingkat kerentanan dengan menggunakan data primer. Di samping itu, permasalahan besar yang dihadapi di dalam pengentasan kemiskinan yaitu masih besarnya risiko-risiko sosial ekonomi dan rendahnya kemampuan yang dimiliki oleh penduduk miskin untuk mengatasi atau memulihkan diri akibat adanya eksternalitas berupa guncangan shock ekonomi dan juga akibat kurangnya akses terhadap pelayanan dasar dan sosial. Selanjutnya, kerentanan berdasarkan karakteristik rumah tangga dan individu tersebut di atas, dalam penelitian ini juga diarahkan untuk menganalisis determinan kemiskinan atau faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan seperti pertumbuhan ekonomi, krisis ekonomi, inflasi, dan kontribusi sektor terhadap PDRB. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 19971998, bukan hanya berdampak pada dimensi ekonomi akan tetapi juga pada dimensi sosial dan politik. Krisis ekonomi yang berkepanjangan berdampak pada kemiskinan, dimana terjadi lonjakan jumlah penduduk miskin dari 34,01 juta jiwa pada tahun 1996 menjadi 49,5 juta jiwa pada tahun 1998 atau secara proporsional meningkat dari 17,47 persen pada tahun 1996 menjadi 24,23 persen pada tahun 1998 BPS 2008. Gambaran tentang dampak krisis ekonomi pada tahun 1997 mengakibatkan peningkatan kemiskinan lebih dari sepertiga kali dapat dilihat pada Gambar 4 berikut World Bank 2006. Dari gambar tersebut, dapat dibuktikan bahwa krisis ekonomi memiliki dampak yang sangat besar terhadap kemiskinan. Bahkan, pada tahun 1997-1998 ada kecenderungan terjadinya stagflasi, dimana laju pertumbuhan ekonomi menurun dari 7,82 persen pada tahun 1996 menjadi 4,7 persen pada tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 yaitu -13,13 persen. Pada tahun yang sama, laju inflasi negara kita mencapai angka yang cukup fantastis selama Orde Baru, yaitu 77,63 persen. Padahal tahun 1997 hanya 11,05 persen dan tahun-tahun sebelumnya dibawah satu digit Djunedi 2006. 38 Gambar 4 . Gambaran kemiskinan di Indonesia sebelum dan sesudah krisis ekonomi pada tahun 1997. Namun demikian, diakui bahwa krisis multidimensi tahun 1997 memiliki dampak terhadap perekonomian, akan tetapi di sisi lain dampaknya berbeda pada daerah-daerah yang memiliki komoditi ekspor non-migas. Rustiadi 2007, menyebutkan bahwa dampak krisis multidimensi tahun 1997 memiliki dampak yang berbeda pada kawasan perdesaan dan perkotaan. Pertama, dampak krisis di daerah perkotaan ternyata lebih parah dibandingkan dengan daerah perdesaan. Kedua , dampak krisis ini sangat heterogen, dimana terdapat beberapa daerah yang mengalami kesulitan parah sementara daerah-daerah lain relatif baik keadaannya. Namun demikian, di Pulau Jawa baik daerah perdesaan maupun perkotaan sama- sama mengalami dampak yang lebih serius. Beberapa daerah di Pulau-pulau lain, khususnya sebagian besar Sumatera, Sulawesi, dan Maluku mengalami dampak krisis yang tidak terlalu besar, bahkan beberapa daerah yang memiliki komoditi ekspor seperti coklat, kopi, karet, dan udang merasa lebih beruntung dengan terjadinya krisis. Ketiga, terdapat kaitan yang kecil antara tingkat kemiskinan awal dengan derajat besarnya dampak krisis, dimana terdapat beberapa daerah yang relatif miskin yang ternyata tidak begitu terkena krisis, sementara terdapat beberapa daerah lain yang lebih makmur ternyata mengalami dampak krisis yang besar. Artinya, guncangan krisis ekonomi pada tahun 1997 diakui dampaknya sangat besar akan tetapi tidak berlaku secara umum untuk beberapa wilayah. 39 Guncangan selanjutnya yang memengaruhi kemiskinan, yaitu adanya kenaikan harga bahan bakar minyak BBM. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005, harga premium naik menjadi Rp 4.500,- per liter yang sebelumnya hanya Rp 2.400,- naik 87,5 persen, harga solar menjadi Rp 4.300,- per liter yang semula Rp 2.100,- naik 104,76 persen dan harga minyak tanah menjadi Rp 2.000,- per liter yang semula Rp 700,- naik 185,7 persen. Kenaikan harga yang berlaku sejak 1 Oktober 2005 ini berdampak pada meningkatnya harga bahan kebutuhan dasar atau lonjakan inflasi yang sangat tinggi yaitu sebesar 17 persen. Peningkatan laju inflasi yang sangat tinggi menyebabkan garis kemiskinan pada tahun 2006 naik secara signifikan sehingga meningkatkan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan RPJM 2004-2009 dan Djunedi 2006. Sirait 2003 menjelaskan bahwa kenaikan harga BBM membuat masyarakat semakin terpuruk kondisi ekonominya, ditengah-tengah kenaikan komoditas-komoditas kebutuhan hidup lain. Kenaikan BBM ini akan berdampak langsung terhadap semakin tingginya biaya hidup yang ditanggung oleh masyarakat lapisan rentan miskin, miskin, dan sangat miskin. Dampak yang ditimbulkan akan sangat berpengaruh signifikan terhadap perubahan pola kehidupan dan pola pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia, ini dikarenakan kenaikan tersebut tidak diikuti dengan kenaikan tingkat kesejahteraan atau pendapatan. Perubahan pola perilaku kehidupan atau pemenuhan kebutuhan dasar tersebut dapat berupa perilaku mengurangi kuantitas yang dikonsumsi dan pengalihan alokasi konsumsi. Intinya, bahwa kenaikan BBM berdampak langsung pada penurunan kualitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan kualitas pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan, dan kesehatan dan perubahan ini akan merubah potret kemiskinan di Indonesia. Peningkatan harga bahan kebutuhan dasar ini berdampak besar kepada menurunnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat berakibat pada menurunnya permintaan terhadap barang dan jasa yang pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi Mankiw 2007. Di samping itu, dampak dari peningkatan inflasi lainnya adalah pertambahan jumlah penduduk miskin. 40 Menurut Sadli 2005 bahwa peningkatan inflasi 1 persen berdampak pada peningkatan 0,1 persen penduduk miskin. Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh penduduk miskin, adalah rendahnya akses ke lembaga permodalan bank. Sebagian besar penduduk miskin bekerja pada sektor informal dengan usaha skala kecil dan mikro. Dalam mengembangkan usahanya memerlukan pembiayaan yang besar, namun di sisi lain mereka tidak memiliki akses ke lembaga permodalan karena terkendala dengan persyaratan administrasi berupa agunan. Di samping itu, permodalan yang bisa diakses melalui perbankan mengisyaratkan suku bunga yang tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan kebijakan mikro yang dapat meningkatkan pendapatan melalui pembangunan modal fisik, manusia dan finansial. Muhammad Yunus 2007 peraih hadiah nobel perdamaian tahun 2006, meyakini bahwa penyediaan modal mikro bagi si miskin merupakan hak-hak asasi. Wibisono 2008 menjelaskan salah satu jalan keluar untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan kebijakan mikro melalui penyediaan modal finansial. Efektivitas kebijakan kredit mikro dalam mengentaskan kemiskinan memerlukan banyak kualifikasi. Pertama, adanya program peningkatan aset fisik dan modal manusia secara simultan. Ini dikarenakan modal finansial saja tidak mencukupi untuk membuat si miskin meningkatkan pendapatannya. Modal finansial membutuhkan faktor produksi lain seperti modal fisik dan modal manusia agar dapat menjadi produktif secara optimal. Karena itu, program technical assistance dan reformasi aset finansial seharusnya berjalan beriringan dengan program kredit mikro. Kedua, adanya lingkungan makro yang kondusif seperti kebijakan moneter dan perbankan yang berpihak atau setidaknya netral terhadap sektor riil, kebijakan fiskal dan redistribusi yang berkeadilan, kebijakan perdagangan dan investasi yang tidak memarginalkan kelompok miskin. Kebijakan mikro seperti mikro kredit, bisa terhapus seketika oleh kebijakan makro yang tidak bersahabat, seperti suku bunga yang tinggi dan pajak retribusi yang tinggi. Secara umum kredit mikro di perbankan sangat mahal dengan suku bunga antara 15-20 persen per tahun. 41 Dalam tingkat suku bunga yang tinggi menyebabkan usaha mikro yang digeluti oleh kaum miskin tidak mampu bersaing dengan usaha yang berskala besar. Usaha mikro umumnya memiliki risiko usaha yang tinggi risk premium. Dalam sistem bunga, tingginya risiko usaha dikompensasi oleh suku bunga yang lebih tinggi untuk mengantisipasi kegagalan pembayaran modal dan bunganya Wibisono 2008 dan Mankiw 2007. Hal ini mencipatakan lingkaran yang tidak berujung, risiko tinggi membawa pada harga kredit yang tinggi, tetapi suku bunga yang tinggi membawa pada peluang kegagalan mengembalikan kredit yang tinggi pula. Dalam kondisi demikian, kreditor kredit mikro selalu ditempatkan pada posisi yang lemah dan rentan sehingga melemahkan motivasi si miskin untuk menjadi wirausahawan dan memperkecil peluang usahanya berhasil. Bahkan biasa berakhir dengan jatuhnya ke dalam rimba kemiskinan yang paling dalam ketika agunan yang serba terbatas harus dijual untuk menutupi hutang-hutang dari kreditor tersebut. Selanjutnya, guncangan lain yang sering mempengaruhi kemiskinan adalah melalui kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merupakan instrumen kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui dua pendekatan yaitu belanja pemerintah government expenditure dan pajak taxation. Sebagaimana di ketahui bahwa peningkatan belanja pemerintah berpengaruh pada output perekonomian. Mankiw 2007 mencontohkan bahwa kenaikan satu satuan belanja pemerintah dapat meningkatkan GDP sebesar 1,93. Artinya peningkatan Rp. 100 milyar dalam belanja pemerintah meningkatkan GDP sebesar Rp. 193 milyar. Di sisi lain kebijakan fiskal lainnya seperti peningkatan pajak berdampak pada penurunan output perekonomian. Kenaikan satu satuan pajak berdampak pada penurunan GDP atau PDRB sebesar -1,19. Artinya, kenaikan pajak sebesar Rp. 100 milyar menurunkan GDP atau PDRB sebesar Rp. 119 milyar. Peningkatan pajak daerah atau retribusi bukan hanya berpengaruh pada output perekonomian, akan tetapi secara langsung juga berpengaruh pada menurunnya daya beli masyarakat. Dana yang siap untuk dibelanjakan semakin berkurang yang pada akhirnya memengaruhi permintaan terhadap barang dan jasa. Oleh karena itu, perlu dilakukan kebijakan fiskal yang berkeadilan dengan 42 melakukan pengenaan pajak yang proporsional berdasarkan garis kemiskinan dan kedalaman kemiskinan Smeru 2008.

2.5. Konsep dan Karakteristik Wilayah dan Kemiskinan