143
5.3.8. Nilai Asset Rumah Tangga
Asset yang dimiliki penduduk merupakan sarana produksi yang dapat memberikan nilai tambah yang dapat berupa lahan atau alat produksi. Nilai asset
rumah tangga menjadi kunci yang menentukan kesejahteraan penduduk. Rustiadi et al.
2009 menyebutkan bahwa economic rent sebidang lahan dapat dibedakan atas i nilai intrinsik yang terkandung dalam sebidang lahan, seperti kesuburan
dan topografinya sehingga memiliki keunggulan produktivitas lahan dan ii nilai yang disebabkan oleh perbedaan lokasional locational rent. Kalau dikaitkan
dengan asset produktif yang dimiliki penduduk yang berprofesi sebagai nelayan, maka nilai intrinsik yang dimiliki oleh nelayan adalah perahu atau alat tangkap
dengan keunggulan produktivitas dan jarak jangkauan perahu yang mereka miliki. Aspek tersebut berpengaruh terhadap nilai tambah yang diterima oleh penduduk,
dimana penduduk miskin memiliki economic rent yang lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak miskin.
Hasil pendugaan variabel asset yang dimiliki oleh masyarakat memiliki peran yang tinggi dalam menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dari hasil
pendugaan variabel ini ditemukan bahwa rumah tangga dengan nilai asset produktif yang tinggi memiliki tingkat kerentanan atau peluang menjadi miskin
0.93 kali dibanding dengan rumah tangga yang memiliki nilai asset yang rendah, ceteris paribus
. Dengan perkataan lain, bahwa rumah tangga yang memiliki nilai asset produktif rendah kerentanannya terhadap kemiskinan lebih besar
dibandingkan dengan rumah tangga dengan nilai asset produktif yang tinggi. Rumah tangga dengan nilai asset produktif tinggi memiliki peluang untuk
memperoleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan rumah tangga yang memiliki nilai asset produktif rendah. Ketimpangan kepemilikan sumberdaya atau
asset menyebabkan ketimpangan dalam perolehan pendapatan. Kunci pemecahan masalah kemiskinan adalah memberi kesempatan kepada penduduk miskin untuk
ikut serta dalam proses produksi dan kepemilikan asset produktif Kartasasmita, 1998. Implikasi temuan ini, mengisyaratkan agar dilakukan kebijakan yang dapat
memberikan akses masyarakat miskin terhadap sumberdaya atau asset produktif, sehingga dapat memperoleh pendapatan yang seimbang. Hal ini sejalan dengan
144 program pemerintah yaitu revitalisasi pertanian yang sampai saat ini belum
memberikan hasil yang optimal terutama dalam distribusi lahan. Selanjutnya Todaro dan Smith 2006 menyebutkan bahwa selain
ketimpangan harga-harga faktor produksi, penyebab utama ketimpangan distribusi pendapatan per kapita hampir di semua negara berkembang adalah sangat tidak
meratanya kepemilikan assetkekayaan asset ownership. Oleh karena itu, dia merekomendasikan adanya kebijakan redistribusi melalui reformasi hak
pertanahan land reform. Tujuan utama land reform adalah mengubah petani penggarap buruh tani atau penyewa tanah menjadi petani pemilik tanah.
Kepemilikan tanah diyakini merupakan insentif yang besar untuk meningkatkan produksi dan pendapatan kaum miskin. Demikian halnya dengan nelayan dan
buruh nelayan yang memiliki alat tangkap sederhana perlu dilakukan kebijakan peningkatan penyediaan sarana dan prasarana usaha. Penyediaan akses rumah
tangga miskin nelayan tangkap melalui kemudahan untuk memperoleh perahu atau alat tangkap yang representatif dan dapat memberi jaminan peningkatan
produktivitas dan pendapatan para nelayan miskin, seharusnya menjadi prioritas. Reformasi pertanahan dalam konteks pengentasan kemiskinan bukan hanya
diarahkan pada kepemilikan lahan, akan tetapi dapat juga dilakukan melalui peningkatan akses atau hak pengelolaan terhadap lahan-lahan produktif yang tidak
atau kurang dimanfaatkan yang penguasaannya hanya oleh segelintir orang saja. Dari hasil survei diperoleh bahwa di Kabupaten Barru terdapat lahan produktif
yang dikuasai dalam bentuk hak guna usaha, akan tetapi tidak dimanfaatkan dengan baik, dan bahkan ditemukan beberapa lahan yang diterlantarkan. Di
samping itu, terdapat banyak lahan produktif yang tidak dapat diakses oleh penduduk akibat pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah seperti pada
wilayah tapal batas antara hutan lindung dengan hutan produktif, terutama pada wilayah pegunungan.
Berdasarkan data sekunder dan hasil survei ditemukan bahwa di Kabupaten Barru terdapat ribuan hektare lahan yang tidak diusahakan dengan baik, di sisi lain
penduduk miskin tidak memiliki akses. Misalnya, lahan yang tidak diusahakan seluas 695 Ha, dan padang rumput yang tidak dikelola secara optimal yaitu 1.795
145 Ha BPS, 2009. Di samping itu, terdapat lahan yang dikuasai dengan status hak
guna usaha HGU untuk peternakan dengan luas 175 Ha, tidak dimanfaatkan dengan baik, dan bahkan memperlihatkan kecenderungan diterlantarkan.
Selanjutnya, luas lahan kritis di luar kawasan yang tidak diolah dengan baik adalah sebesar 14.485 Ha BPS, 2009. Dari luas lahan yang pengelolaannya tidak
optimal tersebut di atas, dianggap perlu untuk melakukan konsolidasi lahan sehingga penduduk miskin mempunyai akses pengelolaan sesuai dengan
peruntukan dan fungsi dari lahan masing-masing, akan tetapi dapat memberi nilai tambah bagi penduduk miskin. Implementasi kebijakan revitalisasi pertanian,
perikanan, dan kehutanan yang telah dicanangkan Presiden Republik Indonesia pada tahun 2005 perlu diimplementasikan secara nyata dan efektif.
5.4. Kerentanan Kemiskinan Berdasarkan Wilayah.