101 menderita KEK sebesar 25,0 per 1.000 ibu hamil dan yang menderita anemia
gizi besi sebanyak 22,2 per 1.000 ibu hamil.
5.1.5.3. Pendidikan
Berdasarkan data angka partisipasi kasar APK dan angka partisipasi murni untuk tingkat SDMI menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun tapi
bila dibadingkan antara jumlah siswa usia 7-12 tahun dengan jumlah penduduk yang berusia 7-12 tahun, ternyata masih banyak anak usia sekolah SD yang belum
menikmati bangku sekolah. Rendahnya pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan menjadi salah satu pemicu masih banyaknya anak
usia sekolah SD yang tidak bersekolah. Di samping itu, kejadian ini paling banyak terjadi pada wilayah pegunungan yang masih terpencil dan kurang terjangkau
dengan pelayanan pendidikan dasar. Di sisi lain, upaya pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan pendidikan dasar mengalami kemajuan yang sangat pesat,
dimana pada tahun 2009, semua desa sudah tersedia dan terjangkau pelayanan pendidikan dasar dengan konsep pendidikan gratis.
Persentase jumlah anak usia 7-12 tahun yang bersekolah meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun ajaran 20002001 jumlah anak yang bersekolah
sebanyak 76 persen 17.602 siswa meningkat menjadi 84 persen 19.276 siswa pada tahun 20042005. Sementara itu dari sisi APK dan APM menunjukkan
peningkatan secara signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, APK dan APM untuk tingkat SDMI masing-masing sebesar 92,26 persen dan 75,69 persen
sementara pada tahun 2005 meningkat menjadi 108,48 persen dan 84,48 persen. Sedangkan pada tahun 2008 APM Kabupaten Barru mencapai 96,75 persen dan
78,72 persen. Angka tersebut bila dibandingkan dengan norma Standar Pelayanan Minimum SPM masing-masing sebesar 110 persen dan 90 persen, capaian APK
dan APM untuk tingkat SDMI masih belum optimal. Pada tingkatan SMPMTs, persentase jumlah siswa usia 12-15 tahun
semakin meningkat, pada tahun ajaran 2000 sebesar 50 persen 5.128 siswa dan pada tahun ajaran 2004 meningkat menjadi 79 persen 6.854 siswa dan pada
tahun 2008 mencapai angka 80,23 persen. Walaupun demikian, bila dibandingkan dengan total penduduk usia 12-15 tahun menunjukkan bahwa jumlah penduduk
102 yang tidak bersekolah masih relatif besar. Sementara itu, APK dan APM untuk
tingkat SMPMTs. menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ajaran 2000 masing-masing sebesar 66,07 dan 50,16 persen menjadi 77,33 dan 62,89 persen
pada tahun 2004 serta pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 73,47 persen. Angka tersebut bila dibandingkan dengan norma Standar Pelayanan
Minimum SPM masing-masing sebesar 90 persen dan 80 persen, capaian APK dan APM untuk tingkat SMPMTS masih belum optimal.
Ditinjau dari aspek pemerataan untuk tingkat SDMI, angka melanjutkan pendidikan ke SMPMTs. sebesar 78,37 persen standar SPM 100 persen; Rasio
siswa per guru kelas adalah 16 norma SPM 30; sedangkan untuk tingkat SMPMTs angka melanjutkan pendidikan ke SMASMK. sebesar 62,92 persen
norma SPM 100 persen; Rasio siswa per guru kelas adalah 28. Sementara pemerataan kesempatan belajar untuk tingkat SDMI yang dicapai sebesar 1,01
norma SPM 0,80 dan untuk tingkat SMPMTs. yang dicapai 0,77 norma SPM 0,80.
Tingkat penyelesaian sekolah yang dicapai untuk tingkat SDMI sebesar 95,1 persen norma SPM 90 persen dan untuk tingkat SMPMTs. sebesar 97
persen norma SPM 90 persen. Angka partisipasi anak perempuan untuk tingkat SDMI sebesar 1,01 norma SPM 0,80 dan untuk tingkat SMPMTs. sebesar 0,79
norma SPM 0,80. Capaian ketersediaan Guru dan Kepala Sekolah untuk SDMI sebesar 70 persen norma SPM 90 persen dan untuk tingkat SMPMTs. sebesar
93,89 persen norma SPM 90 persen. Ketersediaan tenaga kependidikan non guru untuk tingkat SDMI yang dicapai sebesar 25 persen norma SPM 80 persen dan
untuk tingkat SMPMTs. sebesar 15 persen norma SPM 80 persen. Sementara untuk kelayakan prasarana sekolah, capaian untuk tingkat SDMI
sebesar 85 persen norma SPM 90 persen dan untuk tingkat SMPMTs. sebesar 65 persen norma SPM 90 persen. Adapun siswa yang mempunyai buku
pelajaran lengkap, capaian untuk tingkat SDMI sebesar 60 persen norma SPM 90 persen dan untuk tingkat SMPMTs. sebesar 65 persen norma SPM 90
persen. Penerapan manajemen berbasis sekolah MBS untuk tingkat SDMI
103 yang dicapai sebesar 75 persen norma SPM 90 persen dan untuk tingkat
SMPMTs. sebesar 90 persen norma SPM 90 persen. Berdasarkan data indikator pendidikan; apabila indikator pemerataan
persentase melanjutkan, rasio siswa per kelas dan indikator mutu persentase lulusan, persentase guru layak mengajar, persentase mengulang, persentase putus
sekolah, serta indikator keberhasilan yang merupakan gabungan indikator pemerataan dan mutu dijadikan ukuran kemajuan pendidikan, maka dari aspek
pemerataan yang terdiri dari; angka melanjutkan lulusan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, rasio siswa per kelas, ternyata untuk jenjang pendidikan dasar
dan menengah adalah belum merata. Sedangkan dari aspek mutu yang terdiri dari; persentase lulusan, persentase
guru layak mengajar, persentase mengulang dan persentase putus sekolah; jenjang pendidikan SDMI menunjukkan level belum bermutu, sedangkan SMPMTs.
kurang bermutu. Sementara itu dari aspek keberhasilan yang merupakan gabungan dari indikator pemerataan dan mutu menunjukkan bahwa untuk jenjang
pendidikan dasar dan SMPMTs. adalah belum berhasil Bappeda Kabupaten Barru, 2008.
Permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan adalah masih rendahnya angka partisipasi kasar, masih tingginya guru tidak layak mengajar, masih
tingginya peserta didik yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, rendahnya kelayakan prasarana sekolah, rendahnya rasio jumlah siswa dengan
jumlah buku pelajaran Bappeda Kabupaten Barru, 2009. Di samping itu, permasalahan lain yang dihadapi sehingga rendahnya tingkat partisipasi kasar
terutama pada tingkat pendidikan SMP dan SMA ke atas, adalah rendahnya aksesibilitas dan kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan karena
tingginya biaya transport sebagai akibat keterisolasian wilayah, terutama pada wilayah pegunungan.
104
5.2. Karakteristik Rumah Tangga Miskin Menurut Wilayah di Kabupaten
Barru.
Karakteristik rumah tangga miskin menjadi penting untuk dikaji agar dapat digambarkan secara detil penciri rumah tangga miskin menurut wilayah, yaitu
rumah tangga miskin yang berdomisili di wilayah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan. Penciri rumah tangga miskin berdasarkan wilayah dilakukan untuk
menemukan fenomena dan permasalahan rumah tangga miskin dengan menggunakan analisis deskriptif Tabel dan Grafik. Untuk mempertegas
perbedaan penciri rumah tangga miskin berdasarkan wilayah dilakukan “Analysis
of Variance “Anova” yang dikenal dengan analisis ragam Walpole, 1982.
Dengan diketahuinya permasalahan dan karakteristik rumah tangga miskin menurut wilayah, maka intervensi kebijakan dan program dapat dilakukan secara
optimal, tepat sararan, dan tepat guna. Bukti empiris menunjukkan bahwa intervensi kebijakan dan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan selama
ini yang di desain oleh pemerintah pusat seringkali tidak memerhatikan fenomena kemiskinan berdasarkan wilayah. Hasilnya adalah jumlah penduduk miskin masih
tinggi dan capaian sasaran yang ditargetkan tidak dapat dicapai. Proporsi rumah tangga miskin sebagaimana digambarkan pada Grafik 1 di bagian pendahuluan
terbesar berada pada wilayah pesisir, yaitu rata-rata 56,68 persen dari total rumah tangga miskin di Kabupaten Barru, kemudian pada wilayah pegunungan yaitu
rata-rata 24,77 persen dan proporsi terkecil berada pada wilayah dataran rendah yaitu rata-rata 18,83 persen.
Namun, kalau dilihat dari insiden kemiskinan menunjukkan hasil yang berbeda. Pada periode tahun 1990
– 1994, insiden kemiskinan antara wilayah pesisir dan pegunungan relatif sama yaitu sekitar 21 persen dan terendah pada
wilayah dataran rendah. Sedangkan pada periode 1995 – 2008 terjadi perubahan
insiden kemiskinan, dimana insiden kemiskinan pada wilayah pegunungan yang tertinggi, kemudian disusul pada wilayah pesisir, dan terkecil pada wilayah
dataran rendah Grafik 2. Tingginya insiden kemiskinan pada wilayah pegunungan terutama pada
tahun 1995 diindikasikan oleh adanya bencana alam berupa angin puting beliung