1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengentasan kemiskinan poverty allevation telah menjadi komitmen dan kesepakatan bagi semua pihak. Secara global kesepakatan merujuk pada Tujuan-
tujuan Pembangunan Millenium Millenium Development GoalsMDGs dengan sasaran indikator yang ingin dicapai yaitu mengurangi setengah angka kemiskinan
pada tahun 2015. Di Indonesia urusan penanggulangan kemiskinan dijamin secara tegas dalam UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan
masyarakat yang adil dan sejahtera. Komitmen Pemerintah Indonesia dalam pengentasan kemiskinan secara terinci dijabarkan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah RPJM 2004-2009 yang disusun berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan SNPK, 2005, dengan target untuk mengurangi
angka kemiskinan dari 18,2 persen pada tahun 2002 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009.
Pengentasan kemiskinan memiliki tantangan yang sangat besar untuk dicapai, karena permasalahan dan fenomena kemiskinan memiliki sifat dan
karakteristik yang sangat beragam. Kemiskinan bukan hanya terkait dengan aspek ekonomi, akan tetapi juga terkait dengan aspek sosial, budaya, politik dan dimensi
wilayah spatial serta rentan terhadap eksternalitas RPJM 2004-2009 dan Smeru 2008. Standing 2006 memandang sebab-sebab kemiskinan tidak berasal dari
gejala sesaat, tetapi merupakan masalah struktural yang disebutnya “kerentanan ekonomi” economic insecurity, yang dipengaruhi oleh risiko-risiko sosial
ekonomi dan ketidakpastian serta kemampuan yang terbatas untuk mengatasi dan
memulihkan diri to recover. Di Indonesia terdapat pergerakan yang signifikan keluar masuknya
penduduk di bawah garis kemiskinan. Contohnya, 38 persen rumah tangga miskin pada tahun 2004 ternyata tidak miskin pada tahun 2003 Bank Dunia 2006. Di
Kabupaten Barru juga terjadi pergerakan keluar masuknya rumah tangga di bawah garis kemiskinan, sekitar 14 persen rumah tangga miskin pada tahun 2006 tidak
miskin pada tahun 2005. Guncangan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga seperti kehilangan pekerjaan, gagal usaha, gagal panen, krisis moneter, kenaikan
2 harga BBM, bencana alam dan hilangnya pendapatan yang disebabkan oleh sakit
dan biaya pengobatan, atau naiknya harga bahan pokok makanan seperti beras, dapat menyebabkan perubahan-perubahan mendadak dalam tingkat kemiskinan
rumah tangga miskin Smeru, 2008. Sedangkan Islam 2001, menyebutkan bahwa kerentanan dapat terjadi karena adanya guncangan pada tingkat mikro
seperti pencari nafkah sakit atau meninggal dunia, pada tingkat meso seperti adanya gagal panen, fluktuasi harga produk dan degradasi lingkungan, dan pada
tingkat makro karena krisis moneter atau finansial. Bank Dunia 2006 melaporkan bahwa angka kemiskinan nasional
“menyembunyikan” sejumlah besar penduduk yang hidup sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional. Hampir 42 persen dari seluruh penduduk Indonesia hidup
diantara garis kemiskinan US1 – dan US2 per hari. Hal ini menunjukkan bahwa
kerentanan rumah tangga untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia. Dengan demikian, maka penelitian dan pemahaman tentang kerentanan dalam
penanggulangan kemiskinan dianggap sangat penting, mengingat bahwa risiko sebagian besar rumah tangga di Indonesia akan jatuh ke bawah garis kemiskinan
ketika terjadi ketidakpastian ekonomi atau guncangan shock. Dalam kebijakan pengentasan kemiskinan aspek makro ekonomi yang
sering dianggap perlu adalah pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi, merupakan syarat perlu tapi belumlah cukup, artinya perlu
kebijakan lain seperti pengendalian tingkat inflasi dan tingkat suku bunga. Kebijakan yang terkait dengan individu atau rumah tangga dalam tataran mikro
serta aspek spasial perlu menjadi perhatian khusus, karena terkait dengan kemampuan internal dalam pengentasan kemiskinan. Beberapa penelitian yang
telah dilakukan terkait dengan kemiskinan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif menunjukkan hasil yang berbeda antara satu lokasi dan waktu.
Dari aspek makro beberapa penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan, namun
magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar. Inflasi maupun populasi
penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, namun besaran pengaruh masing-masingnya relatif kecil Wahyuniarti dan Siregar 2007;
Ravallion, 2001; dan Adams 2004. Peningkatan share sektor pertanian dan share
3 sektor industri juga signifikan mengurangi jumlah kemiskinan. Variabel yang
signifikan dan relatif besar pengaruhnya terhadap penurunan jumlah kemiskinan adalah pendidikan.
Fenomena kemiskinan berdasarkan wilayah menunjukkan karakteristik dan penciri yang berbeda sebagaimana dilaporkan beberapa penelitian terdahulu,
terutama di negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia. Studi yang dilakukan oleh Harniati 2007 di Indonesia menunjukkan bahwa kemiskinan
berasosiasi kuat dengan faktor lokasi spasial berdasarkan agroekosistem. Tipologi kemiskinan berbeda pada setiap agroekosistem dimana hutan memiliki
insiden kemiskinan tertinggi dibandingkan agroekosistem lainnya diikuti oleh lahan campuran. Agroekosistem dataran tinggi, lahan basah dan lahan kering serta
pesisirpantai insiden kemiskinannya berada di bawah angka insiden nasional. Namun, jumlah rumah tangga miskin di lahan kering dan dataran tinggi jauh lebih
besar daripada di lahan basah dan pesisirpantai. Selanjutnya disebutkan bahwa, kerentanan terhadap kemiskinan di lahan basah lebih rentan terhadap perubahan
misalnya perubahan harga barang dan jasa yang termasuk dalam bundel garis kemiskinan. Ternyata, rumah tangga di kawasan hutan relatif paling rendah
kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Studi yang dilakukan oleh Usman et al. 2005 di Indonesia menemukan
bahwa pada sisi karakteristik wilayah, daerah pegunungan ternyata memiliki risiko kemiskinan lebih tinggi dibandingkan daerah pantai dan dataran rendah.
Sementara itu, daerah pantai memiliki risiko kemiskinan paling rendah. Daerah pegunungan dengan potensi yang terbatas seperti lahan tandus, berada pada
kemiringan, terisolir serta terbatasnya infrastruktur fisik dan sosial ekonomi. Kondisi ini menyebabkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia, dan penduduk
dalam melakukan aktivitas ekonominya membutuhkan biaya tinggi sehingga produktivitasnya rendah sebagai penyebab tingginya risiko penduduk terhadap
kemiskinan. Di samping itu, perbedaan potensi dan kondisi infrastruktur fisik, sosial dan
ekonomi antar wilayah menyebabkan perbedaan peluang-peluang ekonomi rumah tangga antar wilayah pula. Selanjutnya, hal ini berpengaruh pula pada perbedaan
peluang atau kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan. Sejalan dengan itu,
4 pemahaman tentang karakteristik wilayah dan keluarga miskin pada tataran mikro
secara lokalitas dianggap penting dan strategis dalam konteks pendalaman permasalahan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat miskin, serta diagnosis
dalam perumusan intervensi kebijakan penanggulangan kemiskinan ke depan. Dalam studi ini karakteristik wilayah disesuaikan dengan demografi dan
tipologi Kabupaten Barru sebagai lokasi penelitian. Kabupaten Barru mempunyai tiga tipologi wilayah, yaitu wilayah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan.
Lima kecamatan dari tujuh kecamatan yang ada di Kabupaten Barru merupakan wilayah kecamatan yang memiliki pantaipesisir dan dua kecamatan lainnya tidak
memiliki wilayah pesisir dan pantai. Dari 54 desakelurahan yang ada, 29 diantaranya berada pada lokasi pesisirpantai dan 13 desakelurahan berada pada
daerah pegunungan serta 12 desakelurahan merupakan daerah dataran rendah. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah
Daerah bahkan melibatkan lembaga internasional dan lembaga swadaya masyarakat Non Government OrganizationNGO dengan waktu dan biaya yang
tidak terhitung jumlahnya. Hal ini seiring dengan diimplementasikannya otonomi daerah yang dibarengi dengan desentralisasi fiskal, dimana pemerintah daerah
diberikan kewenangan besar dalam menetapkan kebijakan publik melalui APBD termasuk dalam alokasi anggaran pengentasan kemiskinan.
Berdasarkan pada berbagai program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan tersebut dan semakin meningkatnya atau membaiknya asumsi-asumsi
makroekonomi, maka seyogyanya jumlah penduduk miskin dapat ditanggulangi secara signifikan dan permanen. Namun demikian, upaya tersebut belum
memberikan hasil yang optimal sesuai dengan yang telah ditetapkan. Secara nasional target penurunan jumlah kemiskinan menjadi 8,2 persen pada tahun 2009
seperti dijelaskan sebelumnya sudah dapat dipastikan tidak akan tercapai. Realitas di sebagian besar daerah KabupatenKota di Indonesia menunjukkan bahwa hal
ini belum terpenuhi Hirawan 2007. Indikasi
menguatnya permasalahan
atau melemahnya
kinerja penanggulangan kemiskinan dapat dilihat dari naik-turunnya jumlah penduduk
miskin, baik antar waktu maupun antar wilayah. Pada periode 2003-2004 proporsi penduduk miskin mengalami penurunan dari 20,23 persen menjadi 20,11 persen
5 pada daerah perdesaan, dan di perkotaan menurun dari 13,57 persen menjadi
12,13 persen. Dalam periode 2005-2006, proporsi penduduk miskin mengalami peningkatan yang relatif signifikan, dimana pada daerah perdesaan meningkat dari
19,5 persen menjadi 21,9 persen dan di perkotaan dari 11,4 persen menjadi 13,4 persen. Sedangkan pada periode 2007-2008 secara proporsional terjadi penurunan
kembali yaitu dari 20,37 persen menjadi 18,93 persen di daerah perdesaan dan di daerah perkotaan menurun dari 12,52 persen menjadi 11,65 persen BPS 2008.
Secara umum perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia pada periode 2000-2008 menunjukkan hasil yang berfluktuasi dari
tahun ke tahun meskipun terlihat ada kecenderungan menurun pada periode 2000- 2005 sebagaimana dilihat pada Tabel 1 berikut BPS 2008.
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Wilayah, periode 2000-2008.
Tahun Jumlah Penduduk Miskin
juta Persentase Penduduk Miskin
Kota Desa
Kota+ Desa Kota
Desa Kota+ Desa
2000
2
2001
2
2002
1
2003
3
2004
3
2005
3
2006
3
2007
3
2008
3
12,30 8,60
13,30 12,20
11,40 12,40
14,49 13,56
12,77 26,40
29,30 25,10
25,10 24,80
22,70 24,81
23,61 22,19
38,70 37,90
38,40 37,30
36,10 35,10
39,30 37,17
34,96 14,60
9,76 14,46
13,57 12,13
11,68 13,47
12,52 11,65
22,38 24,84
21,10 20,23
20,11 19,98
21,81 20,37
28,93 19,14
18,41 18,20
17,42 16,66
15,97 17,75
16,58 15,42
Catatan:Dihitung dengan metode 1998
1
Dihitung berdasarkan data Susenas Kor 2000 dan 2001
2
Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Feb 2003, 2004, dan 2005
3
Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007, dan 2008
Sedangkan perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Kabupaten Barru tahun 1990-2008, juga menunjukkan hasil yang berfluktuasi
pada tiga dimensi wilayah. Tingkat persentase rumah tangga miskin di Barru yang
tertinggi adalah pada wilayah pesisir, disusul wilayah pegunungan dan paling rendah pada wilayah dataran rendah. Pada periode yang sama kecenderungan
terjadinya fluktuasi pada semua wilayah sebagaimana digambarkan Tabel 2. Dari Tabel 2 tersebut, dapat disimpulkan bahwa penanganan masalah
kemiskinan baik di Indonesia maupun di Kabupaten Barru belum berhasil dengan baik dan menunjukkan kecenderungan yang berfluktuasi. Keluar masuknya rumah
tangga di bawah garis kemiskinan, di samping disebabkan oleh ketidakmampuan
6 untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang melilitnya, juga dipengaruhi oleh
adanya eksternalitas seperti kebijakan pengentasan kemiskinan dan gejolak atau guncangan ekonomi. Artinya, kebijakan penanggulangan kemiskinan yang
dilakukan selama ini masih bersifat universal terhadap rumah tangga di satu sisi, padahal di sisi lain rumah tangga miskin memiliki karakteristik permasalahan
yang berbeda antara satu dengan lainnya individu dan rumah tangga serta antar waktu dan antar wilayah. Di samping itu, sebagian besar program pengentasan
kemiskinan masih bersifat top-down, parsial dan tidak berkelanjutan serta kurangnya inovasi baru dari pemerintah daerah dalam kebijakan pengentasan
kemiskinan yang disesuaikan dengan fenomena dan permasalahan lokal yang dihadapi Smeru 2008 dan Hardojo et al, 2008.
Tabel 2. Tingkat Perkembangan Rumah Tangga Miskin RTM berdasarkan karakateristik wilayah di Kabupaten Barru 1990-2008
Tahun Jumlah
RTM RTM
Pesisir Persentase
Jumlah RTM
D. Rendah Persentase
Jumlah RTM
Pegunungan Persentase
1990 5715
3473 60.77
1040 18.19
1202 21.03
1991 5886
3567 60.60
1076 18.28
1243 21.12
1992 6054
3661 60.47
1107 18.29
1348 22.27
1993 6222
3756 60.36
1143 18.37
1323 21.26
1994 6388
3849 60.25
1172 18.35
1367 21.39
1995 5949
2861 48.09
1143 19.21
1945 32.70
1996 5912
2977 50.35
1035 17.51
1900 32.14
1997 4980
2795 56.12
837 12.79
1638 32.89
1998 4337
2049 47.24
930 21.45
1358 31.31
1999 6225
3932 59.06
1258 19.21
1045 21.73
2000 8962
5049 56.34
1618 18.05
2297 25.63
2001 11960
6406 53.56
2481 20.74
3073 25.69
2002 13010
6964 54.53
2708 20.81
3338 25.66
2003 11864
6914 58.28
2410 20.31
2540 21.41
2004 12244
6609 53.98
2465 20.13
3170 25.89
2005 10802
6008 55.62
1906 17.64
2888 26.74
2006 13284
6986 54.98
2422 19.06
3298 25.96
2007 13266
7397 53.43
2571 18.57
3876 27.99
2008 13364
7247 54.23
2635 19.72
3482 26.05
Sumber : Diolah dari data Badan Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Barru 1990-2008. Mengacu pada uraian dan beberapa hasil penelitian tersebut di atas
menunjukkan kompleksitas permasalahan kemiskinan baik dari segi penyebab, lokasi dan hirarki penanganannya. Kemiskinan merupakan masalah yang sangat
7 besar dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, karena
pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang besar pada keberlangsungan suatu negara Tambunan 2003. Bahkan, Smeru 2001
mengatakan bahwa setidaknya ada empat aspek utama mengapa upaya pengentasan kemiskinan menjadi penting bagi daerah maupun secara nasional,
yaitu aspek kemanusiaan, aspek ekonomi, aspek sosial dan politik, dan aspek keamanan.
Menyadari pentingnya pengentasan kemiskinan, maka dalam penelitian ini di fokuskan pada kerentanan dan determinan kemiskinan dengan menggunakan
pendekatan mikro dan makro yang dikaitkan dengan karakteristik wilayah pada lokasi dan unit analisis yang lebih kecil di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi
Selatan.
1.2. Perumusan Masalah