23 Gambar 1
. Kategorisasi dinamika kemiskinan, CPRC dalam Sherperd 2007.
2.2. Ukuran-Ukuran Kemiskinan
Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik BPS membuat perkiraan jumlah penduduk miskin dibedakan antara wilayah perdesaan,
perkotaan dan propinsi di Indonesia yang berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data SUSENAS Survei Sosial Ekonomi Nasional.
Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap sebagai
“dasar” dan diperlukan dalam jangka waktu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di
bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan poverty line
. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan i biaya
untuk memperoleh sekeranjang “bundle” makanan dengan kandungan 2.100 kalori per kapita per hari, dan ii biaya untuk memperoleh “sekeranjang” bahan
bukan makanan yang dianggap dasar seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi, dan pendidikan BPS 2008.
Garis kemiskinan yang banyak dirujuk untuk menentukan jumlah penduduk miskin dan tidak miskin diajukan oleh Sajogyo 1977. Pada awalnya garis
kemiskinan adalah setara dengan harga beras 240 kg beras per orang per tahun untuk perdesaan dan 360 kg per orang per tahun untuk perkotaan. Perkembangan
24 selanjutnya ketentuan garis kemiskinan pun berubah menjadi lebih rinci yaitu di
bawah 240; 240-320; 320-480; dan lebih dari 480 kg ekuivalen beras. Klasifikasi ini biasa digunakan untuk mengelompokkan penduduk lebih secara rinci.
Kelompok paling bawah disebut sangat miskin, selanjutnya miskin, hampir berkecukupan, dan berkecukupan.
Secara umum perkembangan garis kemiskinan di Indonesia berdasarkan wilayah dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Garis Kemiskinan Menurut Daerah dan Komponennya 2007-2008 RpKapitaBulan
DaerahTahun Makanan
GKM Bukan Makanan
GKNM Jumlah
GK Perkotaan
Maret 2007 Maret 2008
Perdesaan Maret 2007
Maret 2008 Kota + Desa
Maret 2007 Maret 2008
132.259 143.897
116.265 127.207
123.993 135.270
55.683 60.999
30.572 34.624
42.704 47.366
187.942 204.896
146.837 161.831
166.697 182.636
Sumber : Badan Pusat Statistik, Jakarta Indonesia 2008.
Beberapa ukuran atau indeks kemiskinan yang sering digunakan dalam berbagai studi empiris seperti yang dilakukan oleh Blackwood and Lynch 1994
dalam Nanga 2006 dan Harniati 2007 adalah sebagai berikut:
1. Poverty Headcount yang mengukur jumlah atau persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Bentuk formula poverty headcount dapat
ditulis sebagai berikut : …………………………………………………………… 1
dimana H adalah poverty headcount, q adalah jumlah penduduk atau persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, dan n
adalah jumlah penduduk. Dengan demikian, poverty headcount tidak lain adalah persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
poverty line terhadap jumlah penduduk.
25 2. Poverty Gap atau biasa disebut sebagai income shortfall, digunakan untuk
menghitung jumlah pendapatan yang dibutuhkan untuk mengangkat penduduk miskin ke atas garis kemiskinan atau keluar dari kemiskinan.
Bentuk formula dari poverty gap, dapat dinyatakan sebagai berikut : I
= z – μ …………………………………………………………… 2
dimana I adalah kekurangan pendapatan rata-rata average income shortfall yang mengukur jumlah uang yang diperlukan untuk meningkatkan
pendapatan dari rata-rata penduduk miskin ke atas garis kemiskinan, μ adalah
pendapatan rata-rata dari penduduk miskin, dan z adalah garis kemiskinan. 3. Distribusi pendapatan diantara penduduk miskin. Ukuran ini berhubungan
dengan pembagian atau distribusi pendapatan diantara penduduk secara keseluruhan, sebab ukuran kemiskinan absolut absolute poverty measures
perdefinisi bergantung secara ekslusif pada pendapatan dari penduduk miskin. Untuk mengukur distribusi pendapatan salah satu ukuran populer yang
sering digunakan dalam penelitian empiris adalah koefisien gini Gini Coefficient
dan kurva Lorenz Lorenz Curve. Formula koefisien atau rasio gini Tambunan 2003 adalah sebagai berikut :
………………………… 3 Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 :
kemerataan sempurna setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan dan bila 1: ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian
pendapatan, artinya satu orang atau satu kelompok pendapatan di suatu negara menikmati sebagian besar pendapatan negara tersebut. Ide dasar dari perhitungan
koefisien gini berasal dari kurva Lorenz. Koefisien gini adalah rasio: a daerah di dalam grafik tersebut yang terletak di antara kurva Lorenz dan garis kemerataan
sempurna yang membentuk sudut 45 derajat dan titik 0 dari sumbu y dan x terhadap b daerah segi tiga antara garis kemerataan tersebut dan sumbu y dan x.
Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati satu atau semakin menjauh dari kurva Lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan
distribusi pendapatan, seperti dalam Gambar 2 berikut.
26 Gambar 2
. Kurva Lorenz Ukuran lain yang biasa digunakan untuk mengukur kemiskinan adalah
indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan. Indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan dapat diukur dengan menggunakan formulasi Foster,
Greer, dan Thorbecke yang biasa disebut sebagai FGT index BPS 2008; dan
Todaro et al. 2009. Formula FGT terdiri dari insiden kemiskinan, indeks kedalaman, dan indeks keparahan, dengan formulasi sebagai berikut :
... ……………………………………………… 4
dimana : P
α
= Indeks FGT Y
i
= Pendapatan dari penduduk miskin ke i, dimana i = 1,2,…..H
Y
p
= Garis Kemiskinan N
= Total Jumlah Penduduk H
= Jumlah penduduk miskin α = 0,1,2 merupakan parameter yang menyatakan ukuran kedalaman dan
keparahan kemiskinan. Semakin besar α, semakin besar bobot insiden
kemiskinan. Jika α = 0 disebut sebagai Headcount ratio, HN yang mengindikasikan proporsi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis
kemiskinan, maka P = HN. Dengan demikian, bila 30 persen penduduk dari total
penduduk diklasifikasikan miskin, maka P = 0,3. Jika α = 1, disebut sebagai
ketimpangan kemiskinan atau rata-rata kedalaman kemiskinan yang dinyatakan
27 sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan.
Ketika α = 1 maka P
1
= 1NΣz- Yiz
1
sehingga ketika P
1
= 0,3 berarti kesenjangan antara total penduduk miskin dan tidak miskin adalah 30 persen. P
1
P = 1H Σz-Yiz adalah rata-rata
kedalaman kemiskinan sebagai proporsi dari garis kemiskinan. Jika α = 2, adalah jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan
sebagai proporsi dari garis kemiskinan tersebut.
2.3. Pertumbuhan, Kesenjangan dan Kemiskinan