164 signifikan, akan tetapi kontribusi terhadap belanja daerah sangat kecil dan setelah
tahun 2004 sampai tahun 2008 justru mengalami kecenderungan menurun. Menurunnya kontribusi PAD terhadap belanja daerah, disebabkan oleh semakin
meningkatnya dana transfer oleh Pemerintah melalui dana alokasi umum dan alokasi khusus serta sumber pembiayaan lain yang sah.
Implikasi temuan penelitian ini, mengisyaratkan perlunya pengkajian secara obyektif, realistis, dan proporsional dalam penetapan obyek pajak dengan
menjadikan skala usaha dan kemampuan dan karakteristik rumah tangga miskin. Hal ini sejalan dengan Smeru 2008, yang menjelaskan bahwa untuk menghindari
terjadinya kontraproduktif dalam peningkatan PAD, maka perlu pengenaan retsribusi dan pajak yang proporsional berdasarkan garis kemiskinan dan
kedalaman kemiskinan.
5.6.4. Pengaruh Inflasi GDP_Deflator terhadap Kemiskinan
Inflasi dalam penelitian ini menggunakan GDP_Deflator, dengan asumsi bahwa perubahan harga pada semua barang dan jasa berpengaruh terhadap daya
beli masyarakat secara keseluruhan termasuk rumah tangga miskin. Hasil pendugaan
variabel GDP_Deflator
menunjukkan bahwa
peningkatan GDP_Deflator sebanyak 1 persen per tahun berdampak pada peningkatan angka
kemiskinan sebesar 0.096 persen per tahun, ceteris paribus. Peningkatan inflasi yang besar berdampak pada peningkatan jumlah
penduduk miskin pada semua wilayah, yaitu wilayah pesisir, dataran rendah, dan pada wilayah pegunungan. Peningkatan jumlah penduduk miskin terbesar adalah
pada wilayah pegunungan, kemudian pada wilayah dataran rendah dan pesisir. Di sisi lain, pengaruh peningkatan inflasi yang rendah terhadap kemiskinan pada
wilayah dataran rendah dan pesisir berdasarkan grafik di atas menunjukkan hubungan yang tidak jelas. Peningkatan jumlah penduduk miskin di wilayah
pegunungan akibat peningkatan inflasi beberapa hal yang diindikasikan berpengaruh yaitu peningkatan harga bahan makanan, peningkatan harga sarana
produksi dan peningkatan harga bahan bakar minyak BBM. Peningkatan harga BBM seperti pada tahun 2005 menunjukkan peningkatan grafik jumlah penduduk
miskin pada wilayah pegunungan. Peningkatan harga BBM berdampak pada
165 meningkatnya harga sarana produksi akibat meningkatnya biaya transportasi pada
wilayah pegunungan yang mana lokasinya masih relatif terpencil dan terisolir. Grafik 16, menunjukkan bahwa peningkatan inflasi yang besar terutama pada saat
krisis moneter tahun 19971998 berdampak besar pada peningkatan jumlah pendduduk miskin di Kabupaten Barru.
Grafik 16. Hubungan antara inflasi dan perkembangan rumah tangga miskin di Kabupaten Barru berdasarkan wilayah.
Sumber : Diolah dari data rumah tangga dan inflasi Kabupaten Barru BKCKB dan Bappeda Kabupaten Barru 1990-2008.
Dari temuan itu diindikasikan bahwa perlu pengaturan yang hati-hati terhadap pengendalian inflasi yang disesuaikan dengan perubahan harga yang
berpengaruh terhadap penduduk miskin. Sejalan dengan itu, Suryahadi et al 2006 merekomendasikan bahwa pengendalian inflasi wajib dilakukan untuk
mempertahankan daya beli masyarakat sehingga peningkatan pendapatan yang diperolehnya menjadi lebih berarti dalam memenuhi kebutuhan dasar atau
meningkatkan kualitas hidup mereka. Selanjutnya, Santoso et al. 2007 mengatakan bahwa dalam jangka panjang, inflasi yang rendah dan stabilitas
ekonomi makro yang baik berasosiasi secara signifikan dengan tingkat kemiskinan yang lebih rendah dan distribusi pendapatan yang lebih baik.
Hasil temuan ini juga sejalan dengan Sadli 2005 yang menyebutkan bahwa peningkatan inflasi 1 menambah jumlah orang miskin sebesar 0.1. Sedangkan
temuan Usman et al. 2005 menemukan bahwa peningkatan inflasi menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin. Sama halnya dengan Siregar dan
Wahyuniarti 2007 menemukan bahwa peningkatan inflasi sebesar 1 unit persen
10 20
30 40
50 60
70
1990 1991
1992 1993
1994 1995
1996 1997
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008
Pe re
n tas
e
Inflasi Pesisrr
D. Rendah Pegunungan
166 per tahun dapat menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin sebesar
2.375 orang. Peningkatan inflasi berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat
purchasing power parity, dimana dengan meningkatnya harga barang dan jasa akan menurunkan kemampuan daya beli masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa
upaya pengendalian inflasi seyogyanya tidak hanya dipandang demi kestabilan makromoneter, akan tetapi juga untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya
pada masyarakat yang memiliki pendapatan rendah Siregar dan Wahyuniarti, 2007. Namun demikian, inflasi yang rendah tidak selamanya bisa
diinterpretasikan sebagai hal yang baik, karena hal ini bisa terjadi sebagai akibat dari ketidakberdayaan sisi permintaan Hartati, 2005. Akibatnya, dapat
menurunkan produksi dan pada akhirnya berakibat pada pemutusan hubungan kerja dan berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Oleh karena itu,
perlu kebijakan yang hati-hati prudential policy agar inflasi berada pada titik yang diharapkan.
5.6.5. Pengaruh Kontribusi Sektor terhadap Kemiskinan