122 pegunungan yaitu Rp. 2,09 juta per rumah tangga. Hal ini mengindikasikan bahwa
luas lahan bukan berarti memiliki nilai yang tinggi, artinya nilai asset produktif tergantung pada nilai intrinsik yang dimiliki, baik berupa tingkat kesuburan
maupun terkait dengan lokasi.
Grafik 12. Kondisi kepemilikan lahan dan nilai asset produktif rumah tangga
miskin berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 2009.
Sumber : Diolah dari data primer survei rumah tangga Tahun 2009. Selanjutnya, dari hasil uji beda Anova ditunjukan bahwa karakteristik
kepemilikan lahan rumah tangga miskin berbeda antar wilayah. Rumah tangga pada wilayah dataran rendah 0 berbeda secara nyata dengan rumah tangga
miskin pada wilayah pegunungan 1 dengan nilai mean difference adalah -0.267 dan tidak berbeda nyata dengan rumah tangga pada wilayah pesisir 2. Selain itu,
karakteristik rumah tangga miskin pada wilayah pegunungan 1, berbeda secara nyata dengan kedua wilayah, dengan nilai mean difference dengan wilayah
dataran rendah 0 yaitu 0.267 dan wilayah pesisir 2 adalah 0.288. Sedangkan hasil analisis untuk nilai asset produktif yang dimiliki rumah tangga miskin tidak
berbeda secara nyata antara wilayah.
5.2.6. Akses ke Lembaga Keuangan Formal
Akses ke lembaga keuangan formal merupakan fenomena dan permasalahan yang dihadapi oleh rumah tangga miskin dalam mendapatkan modal usaha. Hal
ini disebabkan karena rendahnya kemampuan penduduk miskin dalam memenuhi persyaratan administrasi yang dipersyaratkan oleh lembaga keuangan formal. Di
samping keterbatasan administrasi tersebut, ketersediaan lembaga permodalan yang ada di tengah-tengah masyarakat seperti tengkulak, ponggawa bonto
123 pemodal pada nelayan dengan suku bunga yang tinggi tidak memberikan solusi
bagi masyarakat terutama masyarakat miskin dalam mengembangkan usahanya. Justru yang terjadi adalah sebaliknya yaitu menjadi beban dan penghambat
perkembangan usaha kecil dan mikro masyarakat karena terjadinya hubungan eksploitatif.
Di Kabupaten Barru karakteristik rumah tangga miskin dalam mengakses lembaga keuangan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Akses
penduduk miskin ke pelayanan lembaga keuangan formal tertinggi pada wilayah pesisir yaitu 15,42 persen, kemudian pada wilayah dataran rendah sebesar 7,56
persen, dan terkecil berada pada wilayah pegunungan yaitu hanya 5,78 persen Grafik 13. Namun demikian, akses masyarakat terhadap lembaga keuangan
formal yang hanya berada di bawah 15,42 persen memberikan gambaran bahwa penyediaan modal usaha bagi penduduk, khususnya penduduk miskin masih
relatif rendah.
Grafik 13. Aksesibilitas rumah tangga terhadap lembaga keuangan formal
berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 2009.
Sumber : Diolah dari data primer survei rumah tangga Tahun 2009. Dari hasil analisis Anova juga menunjukkan bahwa akses penduduk miskin
ke lembaga keuangan formal memiliki karakteristik yang berbeda secara nyata antar wilayah lampiran 1. Antara wilayah dataran rendah 0 berbeda
karakteristiknya dengan wilayah pegunungan 1, namun sama karakteristiknya dengan wilayah pesisir 2. Sedangkan karakteristik rumah tangga pada wilayah
20 40
60 80
100
Dtrn Rdh Pegunungan
Pesisir 7.56
5.78 15.42
92.44 94.22
84.58 Tdk Akses
Akses
124 pegunungan 1 terhadap akses ke lembaga keuangan formal berbeda antara kedua
wilayah lainnya, dimana wilayah pesisir -0.138, lebih besar dibandingkan dengan wilayah dataran rendah -0.084.
5.2.7. Akses ke Pelayanan Publik.