51 yang menjadikan mobilitas tenaga kerja mahal. Tradisi masyarakat lokal,
hambatan budaya dan agama misalnya sistim kasta di India akan menambah biaya substansial non-ekonomi. Jenis hambatan kelembagaan di negara-negara
berkembang juga membuat biaya mobilitas tenaga kerja yang tinggi. Sedangkan Barret 2007, menjelaskan bahwa perangkap kemiskinan
disebabkan oleh beberapa kasus, seperti ketidaksempurnaan pasar market imperfection
, pengetahuan yang tidak sempurna imperfect learning, keterbatasan
rasionalitas bounded
rationality ,
kegagalan koordinasi
coordination failures, kelembagaan tidak berfungsi secara ekonomi economically dysfunctional institutions pada tingkat ruang dan waktu yang
berbeda.
2.8. Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia.
Tujuan utama penanggulangan kemiskinan adalah membebaskan dan melindungi masyarakat dari kemiskinan dalam arti luas, jadi bukan hanya
mencakup upaya mengatasi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi juga sejauh mana masyarakat miskin atau kelompok miskin
mempunyai akses terhadap berbagai aspek kebutuhan dasar lainnya, seperti kesehatan, pendidikan, dan partisipasi dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya
dan politik secara penuh. Untuk mengatasi problema kemiskinan dirumuskan lima strategi utama,
yaitu 1 Strategi Perluasan Kesempatan. Strategi ini ditujukan untuk menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang
memungkinkan masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan
peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan; 2 Strategi Pemberdayaan Masyarakat.
Strategi ini dilakukan untuk memperkuat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, dan memperluas partisipasi
masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak-hak dasar; 3 Strategi Peningkatan Kapasitas. Dilakukan untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha
52 masyarakat
miskin baik
laki-laki maupun
perempuan agar
dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan; 4 Strategi Perlindungan Sosial.
Dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok rentan perempuan kepala rumah tangga, fakir miskin, orang jompo, anak terlantar,
kemampuan berbedapenyandang cacat dan masyarakat miskin baru baik laki- laki maupun perempuan yang disebabkan antara lain oleh bencana alam, dampak
negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial; dan 5 Strategi Kemitraan Global. Dilakukan untuk mengembangkan dan menata ulang hubungan dan kerjasama
global, regional, nasional, dan internasional guna mendukung pelaksanaan ke empat strategi di atas TKPK 2006.
Selama 30 tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, baik melalui pendekatan
sektoral, regional, kelembagaan, maupun strategi dan kebijakan khusus. Pada era Orde Baru misalnya, pembangunan ekonomi merupakan fokus utama
pemerintah saat
itu, sehingga
program-program dan
strategi yang
dilaksanakan tidak dinyatakan secara resmi untuk tujuan penanggulangan kemiskinan, melainkan hanya diletakkan dalam kerangka pembangunan
nasional melalui pendekatan sektoral Pelita. Baru
pada 1994-1998
diperkenalkan secara
eksplisit program
penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan regional, yaitu IDT Instruksi Presiden tentang Desa Tertinggal. Dalam pelaksanaannya, IDT didampingi oleh
P3DT Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal yang didanai oleh berbagai dana internasional. Pada 2001, P3DT diubah menjadi P2D
Pengembangan Prasarana Desa. Pada saat krisis ekonomi, pemerintah Indonesia merancang program
penanggulangan kemiskinan di bawah payung Program JPS Jaring Pengaman Sosial, di antaranya untuk bidang pendidikan dan kesehatan, yang diikuti dengan
program lainnya, baik dari LSM lokal maupun lembaga keuangan internasional. Beberapa di antaranya masih berlangsung sampai sekarang, walaupun telah
beberapa kali mengalami perubahan nama dan orientasi kegiatan. Salah satu contohnya adalah OPK Operasi Pasar Khusus, bantuan pangan yang
53 dilaksanakan sejak 1998 sebagai bagian dari Program JPS dalam rangka
meminimalisasi dampak krisis ekonomi. Pada 2001, dengan tujuan untuk mempertajam penetapan sasaran, program ini berubah nama menjadi Program
Raskin Beras untuk Keluarga Miskin. Berbagai evaluasi dan studi terhadap program OPK dan Raskin menunjukkan kelemahan program tersebut, terutama
dalam penetapan sasaran. Program
Subsidi Langsung
Tunai SLT
merupakan program
kompensasi kenaikan harga BBM kepada rumah tangga miskin yang diluncurkan pemerintah pada kuartal terakhir 2005. Melalui kantor-kantor
cabang PT Pos Indonesia, setiap rumah tangga miskin menerima Rp.100.000 per bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Kemudian digantti nama menjadi
Bantuan Langsung Tunai yang dilaksanakan sampai sekarang. Program P4K Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil
yang merupakan kerja sama antara Departemen Pertanian dengan Bank Rakyat Indonesia BRI. Indikator keberhasilan yang ditetapkan untuk Program P4K
adalah tumbuh dan berkembangnya KPK kelompok petani-nelayan kecil menjadi kelompok mandiri yang ditandai dengan pengurus dan anggota yang
aktif, dana bersama yang terus berkembang, dan terintegrasinya Program P4K ke dalam program pembangunan daerah. Namun demikian, dari dokumen-dokumen
yang ada, baik dalam petunjuk pelaksanaan maupun hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh pihak internal dan eksternal, tidak ditemukan adanya
pedoman mengenai bagaimana indikator-indikator keberhasilan tersebut bisa tercapai dan bagaimana strategi pengakhiran program.
Dalam beberapa dokumen disebutkan bahwa salah satu penggerak utama program ini adalah para PPL petugas penyuluh lapangan, yang
bertugas mendampingi KPK dalam mengembangkan usaha mereka dan sekaligus membantu mengelola uang hasil pinjaman. Dengan berakhirnya
program, maka tidak ada lagi insentif yang akan diterima PPL terutama dalam penetapan sasaran.
PPK Program Pengembangan Kecamatan dan P2KP Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan adalah program penanggulangan
54 kemiskinan berbasis masyarakat yang merupakan kerja sama Pemerintah
Indonesia dan Bank Dunia, dan diluncurkan pada kurun waktu 1998-1999 dengan tujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan sarana perkotaan P2KP dan
pedesaan PPK. PPK dan P2KP terdiri dari beberapa fase dan pada fase terakhir tercakup di
dalamnya strategi pengakhiran. Pada program PPK, tujuan strategi pengakhiran adalah terjadinya alih kelola program kepada masyarakat dan pemerintah daerah
agar prinsip, tujuan, dan sistem PPK dapat melembaga sebagai suatu sistem pembangunan partisipatif di desa dan kecamatan PPK 2006. Sementara itu, pada
P2KP, strategi pengakhiran dilakukan pada fase terminasi yang bertujuan untuk menjamin agar indikator keberlanjutan P2KP dapat tercapai. Langkah-langkah
penyiapan yang dilakukan pada fase ini di antaranya: evaluasi partisipatif P2KP di tingkat kelurahan, penguatan kembali lembaga lokal, perluasan program oleh
masyarakat, dan mengintegrasikan P2KP dengan program lainnya P2KP, 2005. Namun, rencana strategi pengakhiran kedua program ini menjadi pertanyaan
karena pada 2007, seiring dengan pengembangan kebijakan payung umbrella policy
untuk program-program pemberdayaan masyarakat, PPK dan P2KP diintegrasikan di bawah payung PNPM Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat dan direvisi menjadi PNPM Mandiri dan diimplementasikan sampai sekarang.
Semua program pengentasan kemiskinan yang diuaraikan di atas di rancang dan di desain oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah daerah,
walaupun dalam pelaksanaannya beberapa program telah melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Permasalahan yang muncul seringkali dalam
implementasi program tidak terjadi sinkronisasi dan terjadi pemahaman yang parsial antara semua level baik di birokrasi maupun dalam level masyarakat.
Tidak menyatunya dan lemahnya komitmen antara pemerintah di semua level berdampak pada banyaknya program yang diimplementasikan hanya berorientasi
proyek, ketika akhir anggaran berakhir maka selesai pula program tersebut. Hal ini diperparah karena tidak adanya strategi pengalihan program antara pemerintah
pusat dan daerah serta kepada masyarakat sebagai sasaran kegiatan. Akhirnya,
55 yang terjadi adalah banyaknya program pengentasan kemiskinan tidak mampu
menurunkan atau mereduksi jumlah penduduk miskin secara permanen dan bahkan diindikasikan justru menimbulkan budaya malas dan ketergantungan
masyarakat terhadap pemerintah yang semakin meningkat. Mengacu pada program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan
nasional, pemerintah daerah Kabupaten Barru mempertegas komitmen penanggulangan kemiskinan melalui Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Daerah SPKD tahun 2003-2008 berdasarkan Surat Keputusan Bupati Barru Nomor 11 Tahun 2003. SPKD ini merupakan payung hukum penanggulangan
kemiskinan di Kabupaten Barru dengan sasaran yang ingin dicapai yaitu menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 60 dari 11.864 KK pada tahun
2003 menjadi 7.118 KK pada tahun 2008. Pada tahun yang sama di bawah Komite Penanggulangan Kemiskinan
Kabupaten Barru melakukan kajian berdasarkan pengalaman empiris implementasi program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Hal ini
dilakukan mengingat upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan selama ini pada umumnya berorientasi terhadap permasalahan ekonomi, bersifat parsial,
sektoral dan tidak terintegrasi. Hasilnya, secara absolut memang terjadi penurunan angka kemiskinan, tetapi hal itu tidak tahan terhadap berbagai kerentanan baik
yang berdimensi ekonomi, sosial, sumberdaya alam maupun politik yang terjadi disekitarnya. Hal ini terbukti oleh masih tingginya jumlah penduduk miskin dan
menunjukkan kecenderungan yang berfluktuasi terutama setelah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 19971998.
Menyadari akan kondisi dan kejadian yang tercipta pada berbagai upaya penanggulangan kemiskinan tersebut dan sekaligus menghindari replikasi
kelemahan dan kekurangan yang terjadi, maka pada tataran Pemerintah Daerah Kabupaten Barru, dilakukan upaya khusus dengan mengangkat isu kemiksinan
sebagai “arus utama” tujuan dan sasaran pembangunan yang akan dicapai dalam proses mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Upaya khusus tersebut dikemas
dalam bentuk “Pilot Proyek Penanggulangan Kemiskinan Terpadu dan Terintegrasi atau disingkat dengan PIK-PAKET
”.
56 Prinsip-prinsip yang dianut dalam pelaksanaan PIK-PAKET tersebut, adalah
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, keberlanjutan, dan kolaborasi. Prinsip transparansi mengisyaratkan bahwa serangkaian proses manajemen kegiatan dan
organisasi yang dilakukan oleh unit pengelola kegiatan dapat dilakukan dengan jelas, terbuka dan mudah diketahui oleh semua pihak yang terkait, khususnya
masyarakat termasuk kemudahan cara untuk mengakses dan mengetahuinya. Prinsip partisipasi, mengisyaratkan bahwa setiap langkah kegiatan PIK-PAKET
harus dilakukan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa memiliki dan proses belajar dan bekerja bersama dari para pihak. Partisipasi dibangunan
dengan penekanan bahwa partisipasi dimulai dari tahap identifikasi masalah, identifikasi potensi, identifikasi peluang, perencanaan kegiatan, pengorganisasian,
pemupukan sumberdaya, pelaksanaan kegiatan hingga tahap monitoring dan evaluasi serta keberlanjutan hasil.
Prinsip akuntabilitas, mengandung isyarat bahwa setiap bentuk kegiatan yang dilakukan harus jelas siapa yang bertanggung jawab tentang apa, dan kepada
siapa serta bagaimana caranya dan kapan dilakukan. Selanjutnya, prinsip keberlanjutan mengisyaratkan bahwa segala bentuk kegiatan yang dilakukan
haruslah selalu mempromosikan dan menumbuhkan peluang pemindahan kemampuan dan kekuasaan pengelolaan kegiatan kepada masyarakat miskin
sehingga segala bentuk ketergantungan masyarakat miskin terhadap sumberdaya dari luar sedapat mungkin dielaminir baik dari segi jumlah maupun dari segi
rentang waktu. Terakhir, prinsip kolaborasi mengisyaratkan bahwa setiap tahap pelaksanaan haruslah dilakukan dengan melibatkan pihak terkait dalam suatu
bentuk kerja sama yang melembaga sehingga dapat menciptakan sinkronisasi energi dalam mencapai keluaran dan hasil pada tiap tahapan kegiatan.
Organisasi pengelolaan dilakukan dengan jelas dan tegas termasuk dalam pengaturan tata peran tiap pelaku pada semua level dari tingkat kabupaten sampai
pada tingkat kelompok masyarakat miskin POKMAS. Dalam pelaksanaan di lapangan dilakukan dengan pendekatan partisipatif “Partisipatory Rural
AppraisalPRA”, dengan memberi ruang gerak sebesar-besarnya kepada
masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan. Namun, dalam perjalanannya
57 pelaksanaan PIK-PAKET mengalami hambatan dan kendala terutama dalam
mengorganisir instansi teknis terkait dalam memberdayakan anggota kelompok masyarakat miskin, termasuk dalam komitmen pembiayaan dan belum
berjalannya kolaborasi antar semua stakeholder dalam semua proses pelaksanaan program tersebut.
2.9. Tinjauan Studi Terdahulu tentang Kemiskinan