7 besar dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, karena
pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang besar pada keberlangsungan suatu negara Tambunan 2003. Bahkan, Smeru 2001
mengatakan bahwa setidaknya ada empat aspek utama mengapa upaya pengentasan kemiskinan menjadi penting bagi daerah maupun secara nasional,
yaitu aspek kemanusiaan, aspek ekonomi, aspek sosial dan politik, dan aspek keamanan.
Menyadari pentingnya pengentasan kemiskinan, maka dalam penelitian ini di fokuskan pada kerentanan dan determinan kemiskinan dengan menggunakan
pendekatan mikro dan makro yang dikaitkan dengan karakteristik wilayah pada lokasi dan unit analisis yang lebih kecil di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi
Selatan.
1.2. Perumusan Masalah
Kemiskinan identik dengan ketidakadilan, ketidakberdayaan atau ketidakmampuan, ketidakadaan akses, dan keterbelakangan. Serba ketidakadaan
ini mengepung orang miskin dan menjadi perangkap kemiskinan “poverty trap” sehingga orang miskin sulit untuk keluar dari garis kemiskinan. Munandar 2003
menyebutkan bahwa penduduk menjadi miskin karena terbatasnya sumberdaya yang mereka miliki, pendidikan rendah, kekurangmampuan mereka dalam hal
teknis dan manajemen, keterbatasan akses pada sumber permodalan, ketimpangan distribusi lahan, ketimpangan jender, bencana alam, dan kealpaan pemerintah
melalui kebijakan yang kurang berpihak pada penduduk miskin. Kondisi kemiskinan tidak hanya membuat mereka memiliki pendapatan rendah, melainkan
juga menghadapi kerentanan yang tinggi, suara mereka kurang didengar, keberadaan mereka luput diperhatikan, dan mereka tersingkir dari komunikasi
global. Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan sangat beragam, berbeda dari
satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu wilayah dengan wilayah lain, bahkan dari satu waktu ke waktu lain. Karena itu, kebijakan penanggulangan
kemiskinan yang bersifat universal dan sifatnya memberi santunan tidak terlalu tepat. Secara umum permasalahan kemiskinan dipengaruhi oleh beberapa faktor
8 yang terkait dengan aspek mikro-makro ekonomi dan aspek wilayah sebagai
berikut Menko Kesra 2007; Smeru 2006; Todaro dan Smith 2003; dan Rustiadi et al.
2009 : 1. Ketidakadilan
dalam memperoleh
akses di
bidang permodalan,
pendidikan, kesehatan, pangan dan insfrastruktur serta peluang usaha dan peluang kerja yang berakibat kegagalan kepemilikan terhadap tanah dan modal.
Ketidakadilan tersebut berdampak pada tingkat pendidikan, derajat kesehatan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan rendahnya produktivitas masyarakat yang
pada akhirnya berpengaruh kepada tingkat pendapatan masyarakat karena upahnya pun rendah
2. Ketidakadilan pertumbuhan dalam strata ekonomi, antar daerah dan antar sektor. Pertumbuhan ekonomi merupakan variabel utama yang digunakan
untuk mengukur kemajuan suatu negara atau wilayah serta digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Namun demikian, pengaruh pertumbuhan
ekonomi terhadap penanggulangan kemiskinan sangat dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan masyarakat. Artinya, pertumbuhan ekonomi
berpengaruh secara signifikan terhadap penanggulangan kemiskinan ketika ketimpangan awal tidak terlalu lebar, dan juga terjadi secara signifikan pada
negara-negara maju atau negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sementara pada negara yang pertumbuhan ekonominya rendah dengan
ketimpangan pendapatan yang lebar pengaruh pertumbuhan ekonomi tidak signifikan dalam menanggulangi kemiskinan. Blank 2003 menyimpulkan
bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan memiliki hubungan tergantung pada waktu dan tempat.
3. Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi guncangan karena: krisis ekonomi, kegagalan panen, PHK, konflik sosial politik, korban kekerasan
sosial dan rumah tangga, bencana alam dan musibah. Ketidakmampuan menghadapi guncangan atau eksternalitas karena kekurangmampuan atau
keterbatasan sumberdaya sosial, ekonomi, dan politik yang dimiliki. Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kemiskinan yang berfokus pada rumah
tangga miskin tanpa memerhatikan secara mendalam klasifikasi atau kategori kemiskinan, seperti kemiskinan kronik, miskin serta rumah tangga yang rentan
9 atau berada sedikit di atas garis kemiskinan memicu pelaksanaan program dan
kegiatan penanggulangan kemiskinan yang tidak optimal yang ditunjukkan oleh adanya kecenderungan keluar masuknya rumah tangga dalam kemiskinan
tanpa terkendali. 4. Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruknya ketidakberdayaan di dalam
institusi negara dan masyarakat karena: tidak ada kepastian hukum, kebijakan publik yang tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan serta
rendahnya posisi tawar masyarakat miskin. 5. Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor. Kebijakan
pembangunan yang berfokus pada perkotaan tanpa memerhatikan keterkaitan antara kota dan desa yang baik memicu timbulnya eksploitasi yang saling
merugikan, di perkotaan muncul fenomena berupa polusi, pengangguran, kemacetan, kriminalitas dan lainnya. Sementara di perdesaan memicu matinya
inovasi dan kreasi yang diakibatkan oleh adanya backwash effect yang massif dan terjadinya brain drain.
6. Adanya perbedaan sumberdaya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi antar wilayah. Perbedaan sumberdaya manusia dan perbedaan sektor ekonomi
antar wilayah menyebabkan produktivitas dan tingkat pembentukan modal berbeda. Di samping itu, perbedaan tersebut menimbulkan distribusi
pendapatan yang timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah yang terbatas dan kualitasnya rendah. Perbedaan ini
mengindikasikan bahwa intervensi program penanggulangan kemiskinan harusnya berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
7. Keterbelakangan dan keterisolasian secara geografis. Keterbelakangan dan keterisolasian menyebabkan produktivitas yang tidak maksimal yang
diakibatkan dengan tingginya biaya produksi dan biaya mobilitas tenaga kerja dan produksi. Perbedaan biaya produksi antar wilayah menyebabkan perbedaan
kesempatan untuk meraih peluang-peluang ekonomi antar wilayah, sehingga berdampak pada perbedaan dalam tingkat kesejahteraan.
Dalam penelitian ini beberapa permasalahan kemiskinan tersebut di atas, dijadikan sebagai rujukan untuk melihat fenomena kemiskinan yang terkait
dengan kerentanan dan determinan kemiskinan di Kabupaten Barru. Kabupaten
10 Barru merupakan salah satu dari 199 kabupaten tertinggal di Indonesia yang
ditetapkan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal Keputusan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor. 001KEPM-PDT2005. Dalam
kurun waktu 1990-2008 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Barru selalu positif, kecuali tahun 1998 -5,97. Demikian halnya dengan indikator indeks
pembangunan manusia IPM menunjukkan hasil yang semakin baik selama lima tahun terakhir.
Diterapkannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal berimplikasi juga pada meningkatnya secara signifikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBD, yaitu dari Rp. 6.165.778.857 pada tahun 1990 meningkat menjadi Rp. 329.189.948.546 pada tahun 2007. Jumlah investasi juga mengalami
peningkatan dari
Rp. 2.885.575.000,-
pada tahun
2004 menjadi
Rp. 5.278.999.000,- pada tahun 2007. Di samping itu, jumlah kredit investasi dan modal kerja yang disalurkan oleh perbankan juga mengalami peningkatan sebesar
Rp. 13.992.000.000,- pada tahun 2000 menjadi sebesar Rp. 36.993.000.000, pada tahun 2004 atau mengalami peningkatan sebesar 62.18 persen BPS Kabupaten
Barru 2008. Angka kemiskinan di Kabupaten Barru memperlihatkan kecenderungan
yang berfluktuasi dan masih berada di atas rata-rata kemiskinan Provinsi Sulawesi Selatan dan nasional. Proporsi atau persentase rumah tangga miskin berdasarkan
wilayah di Kabupaten Barru, menunjukkan bahwa rumah tangga miskin yang terbesar persentasenya berada pada wilayah pesisir, kemudian disusul oleh
wilayah pegunungan dan terkecil pada wilayah dataran rendah Grafik 1. Dari Grafik dapat ditunjukkan bahwa pada saat krisis moneter tahun
19971998 terjadi peningkatan kemiskinan di Kabupaten Barru dan mencapai puncaknya pada tahun 2002. Demikian halnya pada wilayah pesisir pada awalnya
mengalami penurunan pada tahun 1998, hal ini diakibatkan oleh meningkatnya harga komoditi perikanan pada awal resesi ekonomi. Di sisi lain, peningkatan
harga komoditi perikanan yang memiliki nilai ekspor sifatnya hanya sementara, karena dengan terjadinya krisis moneter juga berdampak pada kontraksi
pertumbuhan ekonomi yang berdampak menurunnya sisi permintaan. Di samping
11 itu, peningkatan harga komoditi perikanan tidak berdampak pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat banyak dan hanya dinikmati oleh segelintir orang. Hal tersebut dibuktikan oleh meingkatnya jumlah penduduk miskin pada
tahun 1999, yang diindikasikan bukan hanya disebabkan oleh krisis moneter pada tahun 19971998, akan tetapi juga dipengaruhi oleh terjadinya bencana alam
berupa banjir yang melanda Kabupaten Barru khususnya pada wilayah pesisir dan dataran rendah pada tahun 1998. Banjir yang melanda Kabupaten Barru pada
tahun 1998, menyebabkan penduduk yang berdomisili di wilayah pesisir dan dataran rendah mengalami gagal panen sawah dan tambak. Di samping
kegagalan panen yang terjadi pada wilayah pesisir dan dataran rendah akibat banjir juga berdampak pada rusaknya rumah penduduk pada kedua wilayah.
Kedua kondisi ini berperan dalam mendorong peningkatan jumlah penduduk miskin terutama pada wilayah pesisir dari 47,24 persen pada tahun 1998 menjadi
59,06 persen pada tahun 1999. Grafik 1. Perkembangan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Barru Berdasarkan
Karakteristik Wilayah 1990-2008.
Sumber : Diolah dari Data Badan Kependudukan dan Catatan Sipil dan BPS Kabupaten
Barru, 1990-2008.
Selanjutnya, di wilayah pegunungan pada saat krisis moneter tahun 19971998 pada awalnya mengalami penurunan jumlah penduduk miskin, akan
tetapi berangsur-angsur mengalami peningkatan, tetapi tidak sebesar
dibandingkan peningkatan jumlah penduduk miskin pada wilayah pesisir. Penurunan penduduk miskin pada wilayah pegunungan disebabkan oleh beberapa
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
1990 1991
1992 1993
1994 1995
1996 1997
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 Per
sen tase
R TM
th d
p To
tal R
T Kab
B ar
ru
Pesisir D.Rendah
Pegunungan Total
12 hal seperti meningkatnya harga produk pertanian yang memiliki nilai eksport
tinggi seperti coklat, kemiri, kopi dan jambu mete. Di samping itu, fluktuasi kemiskinan di wilayah pegunungan juga disebabkan oleh adanya bencana alam
berupa angin puting beliung Angin Barubu yang secara siklus terjadi dan terparah pada tahun 2004.
Dari uraian dan data tersebut di atas menunjukkan bahwa, adanya eksternalitas seperti bencana alam dan krisis moneter berdampak pada
meningkatnya penduduk miskin. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab gagalnya program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan dalam mengatasi
masalah kemiskinan. Selain penyebab tersebut, menurut Prihatini 2008 bahwa pada dasarnya ada dua faktor penting yang menyebabkan kegagalan program dan
kegiatan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya
penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Kedua, yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman
berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program- program penanggulangan kemiskinan serta program-program pembangunan yang
ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal dan waktu.
Sementara itu Sumodiningrat 2005; Ritonga 2003; dan Mega 2003; menyatakan bahwa kegagalan program-program penanggulangan kemiskinan
disebabkan oleh beberapa kelemahan mendasar, antara lain 1 pembangunan terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan kurang memerhatikan
pemerataan, 2 cenderung lebih menekankan pendekatan sektoral dan kuatnya arogansi sektoral, 3 kurang mempertimbangkan persoalan-persoalan kemiskinan
yang multidimensi, 4 cenderung terfokus pada orientasi kedermawanan, 5 menganggap diri lebih hebat dan tahu segala-galanya, 6 monopoli pemerintah
dalam upaya penanggulangan kemiskinan, dan 7 kurangnya pemahaman tentang akar penyebab kemiskinan.
13 Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan tipologi wilayah
di Kabupaten Barru? 2. Bagaiamana pengaruh tingkat pendidikan, kesehatan, aksesibilitas, kondisi
ekonomi rumah tangga, dan tingkat partisipasi dalam proses pembangunan terhadap kerentanan kemiskinan di Kabupaten Barru?.
3. Apakah kerentanan rumah tangga miskin di Kabupaten Barru berbeda magnitutnya berdasarkan karakteristik wilayah pesisir, dataran rendah, dan
pegunungan?. 4. Apakah pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah, pendapatan asli daerah,
inflasi, share sektor terhadap PDRB, dan krisis moneter berpengaruh secara nyata dan signifikan terhadap kemiskinan di Kabupaten Barru?
1.3. Tujuan Penelitian