27 sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan.
Ketika α = 1 maka P
1
= 1NΣz- Yiz
1
sehingga ketika P
1
= 0,3 berarti kesenjangan antara total penduduk miskin dan tidak miskin adalah 30 persen. P
1
P = 1H Σz-Yiz adalah rata-rata
kedalaman kemiskinan sebagai proporsi dari garis kemiskinan. Jika α = 2, adalah jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan
sebagai proporsi dari garis kemiskinan tersebut.
2.3. Pertumbuhan, Kesenjangan dan Kemiskinan
Salah satu ukuran kesejahteraan yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara measure of economic welfare
adalah Produk Domestik Bruto PDB atau Produk Domestik Regional Bruto PDRB. Pada waktu PDB naik, diasumsikan bahwa rakyat secara materi makin
bertambah baik posisinya. Ukuran yang digunakan adalah PDB atau PDRB per kapita Dornbusch et al. 1987 dan Mankiw 2007. Pada bagian lain Mankiw
menyebutkan output barang dan jasa suatu perekonomian GDP bergantung pada 1 jumlah input, yang disebut faktor-faktor produksi, dan 2 kemampuan untuk
mengubah input menjadi output. GDP yang ditentukan dari kedua faktor tersebut disebutkannya sebagai sisi penawaran dari pendapatan nasional GDP.
Selanjutnya output atau GDP dari sisi penggunaannya terdiri dari konsumsi C, Investasi I, Pembelian Pemerintah G dan Ekspor-Netto NX. GDP dari sisi
penggunaannya disebut sebagai sisi permintaan dari pendapatan nasional. Bank Dunia 2006 menjelaskan bahwa ada tiga cara untuk membantu
mengangkat diri dari kemiskinan adalah melalui pertumbuhan ekonomi, layanan masyarakat, dan pengeluaran pemerintah. Masing-masing cara tersebut menangani
minimal satu dari tiga ciri utama kemiskinan di Indonesia, yaitu: kerentanan, sifat multi-dimensi, dan keragaman antar daerah. Selanjutnya dijelaskan bahwa strategi
pengentasan kemiskinan yang efektif bagi Indonesia terdiri dari tiga komponen, yaitu sebagai berikut :
1 Membuat pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi rakyat miksin. Pertumbuhan ekonomi telah dan akan menjadi landasan bagi pengentasan kemiskinan.
Pertama, langkah membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat miskin
merupakan kunci bagi upaya untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan
28 proses pertumbuhan-baik dalam konteks perdesaan-perkotaan ataupun dalam
berbagai pengelompokan berdasarkan daerah dan pulau. Kedua, dalam menangani ciri kerentanan kemiskinan yang berkaitan dengan padatnya
konsentrasi distribusi pendapatan di Indonesia, apapun yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat akan dapat dengan cepat mengurangi
kemiskinan serta kerentanan kemiskinan. Dari era 1970-an sampai dengan akhir tahun 1990-an, pertumbuhan ekonomi berjalan dengan pesat dan telah
menjangkau masyarakat miskin: setiap poin persentase kenaikan pengeluaran rata-rata menghasilkan penurunan 0,3 persen angka kemiskinan. Strategi untuk
membantu masyarakat miskin memetik manfaat dari pertumbuhan ekonomi terdiri dari beberapa unsur. Pertama, penting untuk memelihara stabilitas
makroekonomi; kuncinya adalah inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil dan kompetitif. Negara-negara yang mengalami guncangan shock
makroekonomi memiliki pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan yang lebih lamban dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki
pengelolaan makroekonomi yang lebih baik Bank Dunia 2005. Kedua, masyarakat miskin perlu dihubungkan dengan peluang-peluang pertumbuhan.
Akses yang lebih baik terhadap jalan, telekomunikasi, kredit dan pekerjaan di sektor formal dapat dikaitkan dengan tingkat kemiskinan yang lebih rendah.
Ketiga, yang penting adalah melakukan investasi untuk meningkatkan
kemampuan kapabilitas masyarakat miskin, yakni menyiapkan mereka agar bisa dengan baik menarik manfaat dari berbagai kesempatan bagi pertumbuhan
pendapatan yang muncul di depan mereka. Baik di daerah perdesaan maupun di perkotaan, tingkat pendidikan yang lebih tinggi bagi kepala rumah tangga
terkait dengan tingkat konsumsi yang lebih tinggi. Investasi dalam pendidikan untuk masyarakat miskin akan memacu masyarakat miskin untuk berpartisipasi
dalam pertumbuhan. 2 Membuat layanan sosial bermanfaat bagi rakyat miskin. Penyediaan layanan
sosial bagi rakyat miskin baik oleh sektor pemerintah ataupun sektor swasta- adalah mutlak dalam penanganan kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal itu
merupakan kunci dalam menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di
29 Indonesia. Indikator pembangunan manusia yang kurang baik, misalnya angka
kematian ibu yang tinggi, harus diatasi dengan memperbaiki kualitas layanan yang tersedia untuk masyarakat miskin. Hal ini lebih dari sekedar persoalan
yang berkaitan dengan pengeluaran pemerintah, karena berkaitan dengan perbaikan sistem pertanggung jawaban, mekanisme penyediaan layanan, dan
bahkan proses kepemerintahan. Kedua, ciri keragaman antar daerah kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang
pada akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam pencapaian indikator pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan demikian, membuat
layanan masyarakat bermanfaat bagi masyarakat miskin merupakan kunci dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks keragaman antar daerah.
Di samping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran pengeluaran untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka
dalam menghadapi kemiskinan baik dari segi pendapatan maupun non- pendapatan. Pertama, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk
membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari segi pendapatan melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan
kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Kedua, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikator-
indikator pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari aspek non-pendapatan.
Pertumbuhan ekonomi
meningkatkan pendapatan
rata-rata, yang
selanjutnya memiliki dampak menurunkan kemiskinan. Jika pertumbuhan ekonomi juga meningkatkan ketimpangan inequality, yang kemudian
meningkatkan kemiskinan trade off antara pertumbuhan dan kesenjangan ekonomi. Beberapa negara pada tahun 1970-an dan 1980-an dengan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, menunjukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesenjangan dalam distribusi
pendapatan. Semakin tinggi PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya Tambunan 2003.
Sebagai suatu perbandingan, hasil studi dari ADB di tahun 1980-an terhadap
30 sepuluh negara di Asia, termasuk India, China, Malaysia, Bangladesh, Korea, Sri
Lanka dan Filipina, memperlihatkan bahwa kesejahteraan dari kelompok masyarakat termiskin membaik hanya di negara-negara yang laju pertumbuhan
ekonominya sangat besar. Hasil studi ini menunjukkan bahwa memang ada spread effect
dan trickle down effect di negara-negara tersebut. Akan tetapi, hasil analisis dengan pendekatan lintas negara cross-section tidak menunjukkan
adanya suatu relasi yang kuat antara tingkat pendapatan dan tingkat kemerataan dalam distribusi pendapatan Dowling dan Soo 1983; Bhanoji 1980 dalam
Tambunan 2003. Permasalahan yang timbul adalah kemacetan mekanisme trickle down
effects , dimana mekanisme tersebut sebenarnya sangat diyakini akan terbentuk
sejalan dengan meningkatnya akumulasi kapital dan perkembangan institusi ekonomi yang mampu menyebarkan kesejahteraan yang merata. Dengan kata lain,
di satu sisi penerapan pendekatan ini berhasil membangun akumulasi kapital yang cukup besar, namun di sisi lain juga telah menciptakan proses kesenjangan secara
simultan, baik kesenjangan desa oleh kota, maupun kesenjangan antar kelompok di masyarakat Wiranto 2007.
Kesenjangan tingkat
kesejahteraan masyarakat
pada dasarnya
diakibatkan oleh faktor 1 sosial ekonomi rumah-tangga atau masyarakat, 2 struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumah-
tangga atau masyarakat, 3 potensi regional sumberdaya alam, lingkungan, dan infrastruktur yang memengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi, dan
4 kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global.
Literatur mengenai evolusi atau perubahan kesenjangan pendapatan pada awalnya didominasi oleh apa yang disebut dengan hipotesis Kuznets. Simon
Kuznets mengatakan bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya distribusi
pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva
Kuznets “U-terbalik”, karena perubahan longitudinal time-series dalam
distribusi pendapatan-seperti yang diukur dengan koefisien Gini, tampak seperti
31
Ko efi
si en Gi
n i
Pendapatan Nasional bruto per kapita
kurva berbentuk U-terbalik, seiring dengan naiknya GNI per kapita, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut Tambunan 2003 dan Todaro 2009.
0,75
0,50
0,35 0,25
Gambar 3 . Kurva Kuznets “U-Terbalik”
Dari periode 1970-an hingga sekarang sudah banyak studi empiris yang menguji hipotesis Kuznets tersebut dengan menggunakan data agregat dari
sejumlah negara, diantaranya Kravis 1970, 1973, Watkins 1995, Adelman dan Morris 1973, Chenery et al. 1974, Chen dan Ravillon 1997 dan Deininger
dan Squire 1995a, b, 1996 dalam Tambunan 2003. Beberapa catatan penting dari penemuan studi-studi tersebut diantaranya sebagai berikut. Pertama, sebagian
besar studi-studi mendukung hipotesis Kuznets, sedangkan sebagian lainnya menolak atau tidak menemukan adanya korelasi seperti gambar 1 di atas. Kedua,
walaupun secara umum hipotesis itu diterima, namun sebagian besar dari studi- studi tersebut menunjukkan bahwa relasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan dalam distribusi pendapatan nasional pada periode jangka panjang terbukti hanya untuk kelompok negara-negara maju negara-negara dengan
tingkat pendapatan yang tinggi. Ketiga, bagian kesenjangan dari kurva Kuznets bagian kiri dari gambar 1 cenderung lebih tidak stabil dibandingkan porsi
kesenjangan menurun dari kurva tersebut bagian kanan. Kesenjangan cenderung menurun untuk negara-negara pada tingkat pendapatan menengah hingga tinggi.
Jadi, seperti telah dijelaskan sebelumnya, sejak bagian kesenjangan dari kurva tersebut terdiri dari negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah, maka
relasi itu lebih tidak stabil untuk negara-negara tersebut.
32 Sama halnya dengan kesenjangan antar kelompok atau antar golongan,
kesenjangan antar wilayah juga terjadi dalam negara-negara berkembang. Berdasar pada hal tersebut beberapa ahli ekonomi mencoba mengembangkan
suatu pemikiran tentang pembangunan ekonomi wilayah sebagai reaksi atas kurang berhasilnya pemerataan kesejahteraan antar wilayah. Pemikiran tentang
pertumbuhan ekonomi wilayah ini dimulai sejak tahun 50-an pada saat perhatian terhadap pembangunan daerah meningkat. Pemikiran tentang pertumbuhan
ekonomi wilayah bertujuan untuk membahas secara rinci faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Perhatian terhadap hal ini
timbul karena dalam kenyataannya laju pertumbuhan ekonomi wilayah sangat bervariasi, ada yang pertumbuhannya sangat tinggi dan ada pula yang sangat
rendah. Di samping itu, juga tujuan lainnya adalah untuk membahas hubungan antara pertumbuhan ekonomi wilayah dengan ketimpangan pembangunan antara
wilayah Syafrizal 2008. Konsep pembangunan wilayah yang dianut selama ini mengacu pada
konsep-konsep pembangunan klasik yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan. Simon Kuznet 1966 dengan teorinya yang
dikenal yaitu “The first fundamental theorem of welfare economic” menyatakan bahwa negara yang baru berkembang atau pendapatannya rendah,
dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonominya harus mengorbankan dulu tujuan pemerataan pembangunan trade off antara pertumbuhan dan pemerataan.
Hal ini telah memberi legitimasi dominasi peranan pemerintah untuk memusatkan pengalokasian sumber-sumber daya pada sektor-sektor atau
wilayah-wilayah yang
berpotensi besar
dalam menyumbang
pada pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya “net transfer”
sumberdaya daerah ke pusat kekuasaan secara besar-besaran melalui ekspor ke negara-negara maju. Implikasi dari penekanan pertumbuhan ekonomi adalah
terjadinya polarisasi spasial geografi alokasi sumberdaya capital investment antar wilayah melalui aglomerasi industri di tempat-tempat yang kompetitif
perkotaan. Sehingga program dalam bentuk bantuan pembangunan daerah tidak mampu untuk mengurangi ketimpangan yang terjadi.
33 Lewis dalam Rustiadi et al. 2009 menjelaskan bahwa untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan modernisasi pembangunan dibutuhkan adanya “transfer surplus” dari sektorkawasan pertanian perdesaan ke sektor industri di
perkotaan. Transfer surplus dapat terjadi melalui pengambilan dan penarikan sumber daya manusia tenaga kerja, modal dan sumberdaya lainnya oleh
perkotaan atas nama kepentingan pembangunan. Dalam alam pikir seperti itu, upaya-upaya mengakselerasi mempercepat pertumbuhan industri dan transmisi
menuju masyarakat urban menjadi agenda pembangunan yang dianggap sangat penting.
Namun, pada kenyataannya transfer surplus tersebut menyebabkan “backwash effect” yang masif, eksploitasi terhadap perdesaan semakin
meningkat menyebabkan hilangnya inovasi dan berakibat pada meningkatnya kemiskinan di perdesaan. Di samping itu, mendorong terjadinya urbanisasi yang
besar-besaran dan berdampak pada meningkatnya pengangguran dan kemiskinan di perkotaan.
Para penganut teori klasik berkeyakinan bahwa mekanisme pasar, dalam jangka panjang dapat menciptakan struktur perkembangan wilayah yang
seimbang. Sedangkan Myrdal 1957 dalam Rustiadi et al. 2009, berpendapat lain, bahwa dengan adanya faktor sebab-akibat kumulatif circular cumulative
causation dalam proses pembangunan dalam jangka panjang justru ketimpangan-
ketimpangan ekonomi wilayah tersebut akan semakin melebar. Ada dua kekuatan penting yang dikemukakan Myrdal yaitu i wilayah-wilayah yang sudah maju
menciptakan keadaan yang menghambat perkembangan wilayah-wilayah yang masih terkebelakang back wash effects dan ii wilayah-wilayah yang telah maju
menciptakan keadaan yang mendorong perkembangan wilayah-wilayah yang masih terkebelakang spread effects. Selanjutnya Myrdal menyebutkan beberapa
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya backwash effects Rustiadi et al. 2009 yaitu :
1. Corak perpindahan penduduk dari wilayah yang masih terkebelakang ke wilayah maju. Sejumlah tenaga kerja yang berpendidikan berkualitas lebih
dinamis dan selalu mencari alternatif yang lebih baik. Adanya
34 perkembangan ekonomi di wilayah-wilayah yang lebih maju merupakan daya
tarik bagi perpindahan tenaga kerja berkualitas tersebut. Sedangkan di wilayah- wilayah yang terkebelakang tinggal orang-orang yang pada umumnya lebih
konservatif. Keadaan
demikian sangat
tidak menguntungkan
bagi perkembangan wilayah yang masih terkebelakang karena setiap saat
kehilangan putra-putri daerahnya yang bermutu brain drain. 2. Arus investasi yang tidak seimbang. Karena struktur masyarakatnya yang lebih
konservatif maka permintaan modal di wilayah terkebelakang sangat minimal. Di samping itu, produktivitas yang rendah tidak menarik investor dari luar.
Bahkan modal yang ada di dalam justru mengalir secara terus menerus ke luar wilayah wilayah yang lebih maju karena lebih terjamin untuk menghasilkan
pendapatan yang lebih tinggi. 3. Pola dan aktivitas perdagangan yang didominasi oleh industri-industri di
wilayah yang lebih maju. Sehingga wilayah terkebelakang sangat sukar mengembangkan pasar bagi hasil-hasil industrinya.
Braun 2007 mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya ketimpangan adalah adanya berbagai tatanan sosial yang bersifat dualistis.
Tatanan sosial yang lebih tradisional dengan yang lebih modern seringkali ditemui secara bersamaan pada suatu wilayah. Tatanan sosial modern merupakan produk
interaksi sosial dengan tatanan luar yang di adopsi, sedangkan tatanan sosial tradisional merupakan corak khas milik pribumi. Hal ini menyebabkan timbulnya
dualisme dalam berbagai aspek seperti dualisme teknologi dan dualisme finansial. Berbagai jenis dualisme tersebut ternyata berkaitan erat dengan aspek
kewilayahan. Sektor modern pada umumnya berada di daerah perkotaan sedangkan sektor tradisional berada pada daerah perdesaan. Ketimpangan
produktivitas antara kota dan desa menyebabkan ketimpangan penanaman modal dan pembangunan di kedua sub wilayah tersebut. Dengan demikian, akibatnya
adalah terjadi
jurang ketimpangan
yang bertambah
lebar antara
perkembangan wilayah kota yang cukup pesat, sementara perkembangan perdesaan sangat lambat. Kenyataan inilah yang dikenal dengan dualisme
regional Mbawu dan Thorbecke 2001; dan Rustiadi et al. 2009.
35 Berdasar pada asumsi ini pelaku pembangunan terutama di negara-negara
berkembang pada
awal pembangunannya
mengedepankan pertumbuhan
ekonomi sebesar-besarnya
tanpa memerhatikan
aspek pemerataan. Hal ini menjadi jebakan dan pada akhirnya disadari bahwa
pertumbuhan yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan masyarakat karena menimbulkan
bukan hanya
pertumbuhan ekonomi
yang tidak
berkesinambungan, akan tetapi dapat menimbulkan gejolak sosial dan depresi lingkungan yang pada akhirnya meruntuhkan atau merobohkan pertumbuhan
ekonomi itu sendiri. Pola Marx dalam Hayami 2001 tentang pertumbuhan ekonomi yang
muncul pada fase awal industrialisasi, menyebabkan perekonomian negara berkembang mengalami ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Dari sudut
pandang pertumbuhan ekonomi, meningkatnya ketimpangan pendapatan dapat menyebabkan pada gangguan sosial social shock dan menghancurkan dasar-
dasar sosial politik aktivitas ekonomi. Marx memprediksi bahwa terjadi semakin meningkatnya ketimpangan dalam proses pembangunan kapitalis. Sejalan dengan
menurunnya tingkat kepentingan lahan melalui perkembangan lebih lanjut dalam industrialisasi sejak era Ricardo, dimana pendapatan nasional diklasifikasikan ke
dalam tiga kategori, yaitu upah sebagai pengganti untuk tenaga kerja, keuntungan sebagai pengganti untuk modal, dan nilai sewa untuk pengganti lahan bagi tuan
tanah. Marx menganalisis bagaimana pendapatan nasional terbagi diantara dua kategori yaitu upah dan keuntungan. Hal ini memprediksi bahwa pendapatan
nasional akan mengalir lebih besar untuk keuntungan perusahaan dibanding untuk upah. Hal ini menyebabkan konsentrasi pendapatan pada para pemilik modal dan
menyebabkan kemiskinan di pihak buruh atau penduduk yang tidak memiliki lahan atau keterampilan sebagaimana yang dibutuhkan pada sektor industri.
2.4. Kerentanan dan Determinan Kemiskinan