Klaim Penguasaan Tanah dan SDA Secara De Facto

78 percepatan penguasaan tanah dan SDA seklaigus menjadi media asimilasi antara penduduk asli suku tobelo dengan masyarakat desa Loleo suku Buton. Untuk mendukung cerita masyarakat tersebut di atas disertai dengan bukti fisik yang secara kasat mata dapat dilihat. Tanaman kelapa yang ada di sekitar pemukiman dan kebun masyarakat merupakan bukti fisik yang dapat menjelaskan sudah berapa lama tanah dan SDA tersebut dikuasai oleh masyarakat lokal, peninggalan lokasi perkampungan pertama yang diberi nama oleh masyarakat Sosowomo dengan Kampung Binongko masih dapat ditemukan pada saat penelitian, dan lokasi perkuburan yang sudah ada sebelum zaman kemerdekaan, karena dilanda abrasi laut maka sebagian kuburan sudah tidak dapat dijumpai. Pada saat penelitian dilakukan kuburan yang paling tua yang dapat diidentifikasi adalah kuburan atas nama Ilyas yang meninggal pada tanggal 4 Oktober 1964, seperti pada Gambar 13. Gambar 13 Salah satu kuburan masyarakat Lokal dan tanaman kelapa yang sudah tua sebagai bukti fisik untuk melegitimasi klaim penguasaan tanah secara de facto dalam wilayah KPHP GS. Affif 2005 ada berbagai cara yang biasanya digunakan oleh berbagai pihak untuk melegitimasi klaim mereka atas tanah, hutan, wilayah perairan, dan sumber-sumber alam. Berbagai cara itu antara lain: 1 Peta: penggunaan peta sebagai alat untuk melegitimasi suatu klaim umumnya banyak digunakan oleh negara dan perusahaan-perusahaan yang mengantongi izin dari pemerintah yang berkuasa. 79 2 Cerita story: Masyarakat awam di banyak tempat yang umumnya tidak mempunyai bukti-bukti tertulis selalu mengandalkan cerita misalnya tentang sejarah asal usul, silsilah, lokasi-lokasi keramat untuk mendukung legitimasi mereka atas kepemilikan dan penguasaan tanah. Cerita tentang siapa yang awalnya membuka hutan dan membangun pemukiman adalah bukti penting tentang sejarah kepemilikan dan penguasaan lahan oleh masyarakat. 3 Tanda-Tanda Alam dan bukti-bukti fisik: Cerita biasanya juga didukung oleh bukti-bukti yang dapat dilihat secara kasat mata. Untuk mendukung legitimasi klaim atas sebidang tanah, tidak jarang masyarakat menanam pepohonan untuk digunakan sebagai bukti, atau di beberapa tempat bukti-bukti kepemilikan juga ditunjukkan lewat adanya benda-benda atau lokasi-lokasi yang kramat. Adanya dua sifat kepemilikan secara de jure dan de facto memunculkan persoalan tentang sumber dari legitimasi klaim atas tanah ataupun sumber-sumber daya alam Afiff 2005. Dalam wilayah KPHP GS menyimpan potensi konflik parapihak berdasarkan perbedaan legitimasi klaim tanah dan SDA. Pihak UPTD KPHP GS mendapatkan akses dan menguasai tanah dan SDA berdasarkan klaim de jure sesuai aturan-aturan hukum yang berlaku untuk melegitimasi penguasaannya, walau secara faktual di lapangan sampai dengan penelitian ini berjalan pihak UPTD belum mengetahui secara pasti wilayah KPHP secara keseluruhan yang diklaim. Masyarakat lokal yang menguasai tanah dan SDA berdasarkan klaim de facto tidak tahu kalau tanah dan SDA tersebut secara de jure di klaim oleh Negara, dari prespektif ini maka potensi konflik akan muncul ketika pihak UPTD KPHP GS melaksanakan kegiatan yang berada pada wilayah kelola masyarakat. Situasi dari sistem penguasaan tanah seperti di atas memiliki sifat-sifat kepentingan yang saling bersilangan web of intersecting interests satu sama lain. Galudra et al.2006 sifat-sifat tersebut antara lain: 1 Kepentingan yang mendominasi overridding interests; ketika kekuasaan yang berdaulat negara atau masyarakat memiliki kekuatan untuk mengalokasikan atau merelokasikan melalui pengambilalihan; 2 Kepentingan yang tumpang-tindih overlapping interests; ketika berbagai pihak mendapatkan alokasi berbagai „hak’ yang 80 berbeda pada bidang lahan yang sama; 3 Kepentingan yang mendukung complementary interests; ketika berbagai pihak memiliki kepentingan yang sama pada bidang lahan yang sama sebagai contoh, ketika anggota suatu masyarakat berbagi hak-hak komunal pada lahan penggembalaan; 4 Kepentingan yang bersaing competing interests; ketika berbagai pihak yang memiliki kepentingan yang sama „berkompetisi’ pada bidang lahan yang sama.

5.1.4.3 Potensi Konflik UPTD KPHP GS vs PEMDA

Rencana struktur ruang Kabupaten Halmahera Tengah dilakukan dengan membagi wilayah kota ke dalam beberapa zona pengembangan yang bertujuan untuk menciptakan kondisi struktur ruang wilayah Kabupaten Halmahera Tengah yang efisien dalam pemanfaatan ruang dan efektif dalam membentuk struktur- struktur pelayanan umum serta terpadu dan bersinergis dalam memanfaatkan semua potensi dan sumberdaya yang tersedia. Kabupaten Halmahera Tengah sebagai wilayah yang relatif baru telah mengalami perubahan yang sangat besar terhadap struktur ruangnya, dimana sebelumnya hanya sebagai kawasan dengan fungsi sekunder maka setelah pemekaran, menjadi kawasan dengan fungsi primer BAPPEDA 2011 Pasal 11 Ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor: 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, menyatakan bahwa Pusat Kegiatan Lokal PKL ditetapkan dengan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi berdasarkan usulan pemerintah Kabupatenkota, setelah dikonsultasikan dengan Menteri. Berdasarkan pasal ini PEMDA telah mengusulkan PKL Kabupaten Halmahera Tengah dalam rancangan RTRW yang dalam urainnya menyebutkan bahwa Desa Loleo Kecamatan Weda Selatan dijadikan sebagai Pusat Pelayanan Kawasan PPK yang memiliki skala pelayanan kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. Selain itu Desa Loleo diusulkan juga sebagai Pusat Pelayanan Lingkungan PPL yang pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa. Selain sebagai PPK dan PPL, dalam wilayah Desa Loleo juga akan dibangun bandar udara, sebagaimana tertuang dalam struktur ruang dalam rancangan RTRW Kabupaten Halmahera Tengah. Sebagai sumber permasalahan adalah , berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan 81 Perairan Maluku, Lampiran SK Menteri Kehutanan Nomor: 415Kpts-II1999 dan Peta Wilayah KPHP GS, lampiran SK Menteri Kehutanan Nomor: SK 337Menhut-II2010, Desa Loleo kecamatan Weda Selatan masuk dalam kawasan Hutan Produksi HP dan secara keseluruhan wilayah Desa Loleo berada dalam wilayah KPHP GS. Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah memiliki aset daerah berupa Perkebunan Kelapa bekas Perusahaan Nasional Perkebunan PNP XXVIII Tilope dan masih berproduksi serta sumber PAD Kabupaten Halmahera Tengah berdasarkan Keputusan Bupati Halmahera Tengah Nomor 525KEP46.a2005. Luas perkebunan kelapa yang dikelola oleh Dinas Perkebunan Kabupaten Halmahera Tengah ini adalah 411 Ha yang terdiri dari Blok A seluas 91 Ha, Blok B seluas 55,25 Ha dan Blok c seluas 264,75 Ha. Hasil observasi terhadap Perkebunan Kelapa ini dengan menggunakan GPS secara keseluruhan masuk dalam Wilayah KPHP GS. Berdasarkan keadaan seperti di atas sangat jelas tergambar potensi konflik yang ada dalam wilayah KPHP GS antara PEMDA dengan UPTD KPHP GS, sesuai dengan beberapa definisi konflik antara lain: konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan Fisher et al. 2001. Konflik adalah fenomena yang biasa terjadi apabila dua atau lebih kelompok hidup bersama, kemudian bersitegang tentang alokasi sumberdaya, tentang akses pada kekuasaan dan tentang nilai-nilai Kartodihardjo Jhamtani 2006

5.1.4.4 Potensi Konflik UPTD KPHP Model GS dengan Masyarakat

Penjabaran lebih lanjut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, terkait dengan penguasaan tanah, pendaftaran tanah dan lain sebagainya perlu mendapatkan perhatian dimana legitimasi terkait dengan hal tersebut berimplikasi pada pengakuan kepemilikan atas tanah. Seperti pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pada Pasal 32 ayat 1 disebutkan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan