Sekumpulan Hak Bundle of Rights Masyarakat Lokal

91 kelapa, demikian pula untuk memperjelas batas pada bagian terluar tanah dan SDA alam yang dikuasai berupa tanaman kelapa kembar. Selain itu Tanah dan SDA yang penguasaannya diklaim oleh seseorang saat ini adalah sebagian merupakan tanah dan SDA yang berasal dari pemberian sobat, jual beli, dan pewarisan dari orang tua. Dalam tatanan kehidupan masyarakat lokal cara memperoleh penguasaan tanah dan SDA melalui: pembukaan hutan, pemberian, jual beli dan pewarisan. Hal ini membuktikan bahwa institusi lokal mengakui adanya hak memindahtangankan rights of alienation yang melekat pada masyarakat lokal atas penguasaan tanah dan SDA dalam wilayaha KPHP GS. Sekumpulan hak-hak tersebut di atas dalam sistem penguasaan tanah dan SDA yang diklaim oleh masyarakat lokal dapat menentukan posisi mereka sebagai apa dalam kaitannya dengan sekumpulan hak bundle of rights sebagaimana tersaji dalam Tebel 13 posisi masyarakat lokal terkait dengan sekumpulan hak atas sistem penguasaan tanah dan SDA dalam wilayah KPHP GS adalah sebagai pemilik owner. Tabel 13 Posisi masyarakat lokal yang dikaitkan dengan “bundle of rights” dalam wilayah KPHP Gunung Sinopa. Pemilik Owner Pengelola Tetap Proprietor Pemakai Penyewa Claimant Pemanfaat yang diizinkan Authorized Users Hak atas akses dan pemanfaatan rights of access and rights of withdrawal X Hak Pengelolaan rights of management X Hak mengeluarkan rights of exclusion X Hak Memindahtangankan rights of alienation X Sumber: Schlager Ostrom 1992 Keterangan: = Hak yang ada pada masyarakat lokal Berdasarkan matriks posisi masyarakat lokal yang dikaitkan dengan “bundle of rights, maka sesungguhnya mereka adalah pemilik owner pada sistem penguasaan atas tanah dan SDA yang ada dalam wilayah KPHP GS. Tiap persil tanah yang dikuasai oleh masyarakat lokal menunjukan bahwa msayarakat tersebut berposisi sebagai pemilik persil tanah tersebut walupun belum dilegalkan X 92 dengan sertifikat hak milik tanah. Nugroho 2011 apabila kumpulan hak yang terdiri dari memperjualbelikan, mewariskanmenghibahkan, mengeksekusi, mengelola, memanfaatkan dan memasukiakses demikian dapat dikategorikan sebagai hak milik pribadi private property. Kondisi ini terkonfirmasikan di lapangan bahwa masyarakat lokal memperoleh keuntungan dari penguasaan tanah dan SDA tersebut melalui pengelolaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk menyekolahkan anak-anak mereka bahkan sampai ke perguruan tinggi, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa tanah dan SDA yang dikuasai merupakan penopang utama kehidupan sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan pangan, biaya pendidikan, biaya kesehatan dan bahkan presitise. Hal ini sejalan dengan Yustika 2006 bahwa hak kepemilikan individu dimaksudkan bahwa setiap individu berhak untuk menguasai dan memliki aset spesifik yang diinginkan. Dengan kepemilikan tersebut dia berhak untuk memperoleh keuntungan, mungkin dengan cara diolah, dijual atau dengan jalan lain. Selain memperoleh keuntungan atas penguasaan tanah dan SDA masyarakat lokal dalam praktek mengamankan tanah dan SDA yang dikuasai dilakukan dengan berbagai cara seperti penanaman tanaman kelapa pada setiap tanah yang dikuasai dengan tujuan untuk mendeklerasikan penguasaan mereka dan secara struktur budaya masyarakat lokal tanaman kelapa merupakan tanaman yang menjadi komoditi andalan dalam menopang kehidupan mereka. Batas penguasaan tanah dan SDA dengan menggunakan tanaman kelapa kembar sangat efektif dalam mencegah pihak lain untuk memasuki areal tersebut. Praktek-praktek ini jika dikaitkan dengan rezim hak kepemlikian maka dikategorikan kepemilikan privat. Hanna et al. 1996 menyatakan bahwa tipe rejim hak kepemilikan privat private property pemiliknya adalah individu dengan hak pemilik adalah pemanfaatan yang dapat diterima secara sosial, kontrol akses. Kewajiban pemilik adalah mencegah penggunaan yang tidak dapat diterima secara sosial. Kirk 1994, diacuh dalam Yustika 2006 rezim kepemilikan individu peivate property regime yakni hak kepemilikan dan aturan oleh individu sebagai pemilikinya. 93 5.2.1.4 Sekumpulan Hak Bundle of Rights Masyarakat Transmigrasi Masyarakat Desa Lembah Asri merupakan masyarakat transmigrasi yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Sebelum didefintifkan menjadi desa Lembah Asri terlebih dahulu merupakan Satuan Pemukiman SP1 yang berada di Weda bagian selatan. Yang menjadi fokus observasi dan wawancara dalam peneltian ini adalah tanah yang diberikan pemerintah kepada masyarakat transmigrasi pada lahan usaha II dan lahan yang digarap sebagian masyarakat trasmigrasi yang masih merupakan tanah Negara lahan R. Hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian lahan usaha II yang disengketakan dengan masyarakat lokal seluas 94 Ha dan lahan garapan sebagian masyarakat transmigrasi pada tanah negara masuk dalam wilayah KPHP Gunung Sinopa. Lahan usaha II merupakan bagian dari lahan yang diperoleh masyarakat transmigrasi seluas 1 Ha masing-masing kepala keluarga. Melalui pemberian hak dari negara kepada masyarakat transmigrasi dengan menerbitkan sertifikat tanda bukti hak oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 1993. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, hanya sertifikat hak atas tanah yang diakui secara hukum sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah yang menjamin kepastian hukum dan dilindungi oleh hukum. Penerbitan sertifikat dan diberikan kepada yang berhak, bertujuan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan kepemilikan tanahnya. Sertifikat tersebut berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik obyek : letak, batas, luas dan ada atau tidaknya bangunan atau tanaman diatasnya dan data yuridis haknya, pemegang haknya siapa, ada atau tidaknya beban-beban di atasnya yang termuat di dalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam Surat Ukur dan Buku Tanah Hak yang bersangkutan. Mertokusumo 2011 hak milik atas tanah merupakan hak memperlakukan tanah untuk memperoleh hasil sepenuhnya dari tanah, boleh menjualnya, menggadaikan atau menghibakan tanah itu kepada orang lain. Sejalan dengan konsep posisi terkait dengan sekumpulan hak bundle of rights yang dikemukakan oleh Schlager dan Ostrom 1992, bahwa pemilik owner 94 mempunyai sekumpulan hak yakni hak atas akses rights of access , hak pemanfaatan rights of withdrawal, hak pengelolaan rights of management, hak mengeluarkan rights of exclusion dan hak memindahtangankan rights of alienation. Hasil wawancara dan observasi di lokasi penelitian menunjukkan bahwa masyarakat transmigrasi tidak dapat memanfaatkan lahan usaha II mereka yang telah bersertifikat, hak memanfaatkan rights of withdrawal tidak bisa diperoleh, demikian pula dengan hak-hak lainnya seperti hak mengelola, hak mengeluarkan dan hak memindahtangankan. Satu-satunya hak yang bisa diperoleh masyarakat transmigrasi adalah hak untuk akses rights of access. Sehingga posisi masyarakat transmigrasi atas lahan usaha II adalah berposisi sebagai pengunjung yang diijinkan Authorized entrant yang didefinisikan sebagai individu yang memegang hak operasional untuk mengakses sumberdaya Ostrom Schlager 1996, sebagaimana pemetaan posisi masyarakat transmigrasi tersaji dalam Tabel 14. Tabel. 14 Posisi masyarakat transmigrasi yang dikaitkan dengan “bundle o frights” pada Lahan Usaha II dalam wilayah KPHP GS Pemilik Owner Pengelola Tetap Proprietor Pemakai Penyewa Claimant Pemanfaat yang diizinkan Authorized Users Orang yang diizinkan masuk Authorized entrant Hak atas akses rights of access X Hak Pemanfaatan rights of withdrawal Hak Pengelolaan rights of management Hak mengeluarkan rights of exclusion Hak Memindahtangankan rights of alienation Sumber: Ostrom Schlager 1996 diadopsi dari Schlager Ostrom 1992 Keterangan: = Hak yang ada pada masyarakat transmigrasi Secara de jure masyarakat transmigrasi memiliki posisi sebagai pemilik owner atas lahan usaha II yang merupakan pemberian hak oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dijabarkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 X 95 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pada pasal 1 angka 20 dan pada pasal 32 ayat 1. Pada faktanya masyarakat transmigrasi hanya dapat mengakses lahan usaha II yang berada dalam wilayah KPHP GS sehingga diposisikan hanya sebagai orang yang dizinkan masuk authorized entrant. Masyarakat transmigrasi pada prinsipnya menginginkan penyelesaiaan masalah ini sehingga sudah berkali-kali masalah ini diadukan ke pihak pemerintah seperti PEMDA dan BPN, tetapi sampai saat penelitian berlangsung belum ada penyelesaiannya. Masyarakat transmigrasi mencoba memperjuangkan hak milik atas lahan usaha II sejak tahun 1994 pada saat mereka dilarang untuk mengolah lahan usaha II tersebut oleh masyarakat lokal. Dengan memegang sertifikat hak milik tanah atas lahan usaha II masyarakat transmigrasi meyakini memliki dasar klaim yang kuat dari segi hukum positif yang berlaku saat ini, akan tetapi dengan kesadaran untuk tidak bentrok dengan masyarakat lokal. Strategi perjuangan untuk mendapatkan kembali hak milik masyarakat transmigrasi maka dipilih jalur penyelesaian dengan meminta pertanggung jawaban pemerintah yang telah menempatkan mereka sebagai transmigrasi maupun BPN yang telah menerbitkan sertifikat hak milik tanah atas nama mereka. Akibat dari lahan usaha II yang jadi sengketa tidak dapat memberikan manfaat bagi masyarakat transmigrasi pada lokasi penelitian maka upaya untuk mencapai kesejahteraan sesuai dengan tujuan program transmigrasi tidak dapat dicapai dengan baik, selain itu lahan usaha I yang saat ini diolah kurang memadai, mengingat luasannya hanya mencapai 0,75 Ha dan tidak dilengkapi dengan fasilitas irigasi dan pengairan sehingga rentan dengan kegagalan panen jika tidak ada hujan yang turun. Oleh karena itu sebagian masyarakat transmigrasi, mengolah tanah di luar tanah yang bersertifikat yang berada disekitar lokasi transmigrasi. Tanah tersebut di tanamai dengan tanaman keras seperti kelapa, kakao, pala, dan tanaman buah-buahan. Tanah yang diolah oleh sebagian masyarakat transmigrasi di luar lahan usaha II keseluruhannya berada dalam wilayah KPHP Gunung Sinopa berdasarkan hasil obsevasi menggunakan GPS yang kemudian ditumpang tindihkan dengan Peta Penetepan Wilayah KPHP GS Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Uatra, lampiran SK Menhut Nomor: 96 SK.337Menhut-II2010 tanggal 25 Mei 2010. Lahan R yang diolah menurut masyarakat transmigrasi berfungsi untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dari tanaman keras, juga sebagai sebagai tanah persiapan untuk pengganti tanah lahan usaha II mereka yang dikuasai oleh masyarakat lokal. Pada kenyataannya tanah yang dikuasai masyarakat transmigrasi dapat diakses dan dimanfaatkan untuk menopang kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan tanah tidak dipengaruhi oleh siapapun dan pengelolaannya dilaksanakan seacara intensif sehingga saat ini tanah tersebut sudah ditanami dengan berbagai jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomis sesuai dengan kemauan masyarakat sendiri. Untuk membatasi orang tidak sembarangan memasuki tanah yang dikuasai, masyarakat menanami dengan tanaman seperti kelapa, kakao, pisang dan membuat batas-batas yang telah disepakati oleh masing-masing masyarakat. Berdasarkan uraian di atas sistem penguasaan tanah dan SDA yang diolah saat ini oleh masyarakat transmigrasi pada lahan R, terdapat sekumpulan hak antara lain hak atas akses rights of access, hak pemanfaatan rights of withdrawal, hak pengelolaan rights of management, dan hak mengeluarkan rights of exclusion. Hak memindahtangankan rights of alienation tidak ada pada masyarakat karena mereka menyadari bahwa tanah yang dikuasai tersebut adalah tanah milik negara, sehingga apabila dipetakan berdasarkan matrik bundle of rights Schlager Ostrom 1992 maka posisi transmigrasi pada penguasaan lahan R sebagai pengelola tetap proprietor sebagaiman tersaji dalam Tabel 15 Tabel 15 Posisi masyarakat Desa Lembah Asri yang dikaitkan dengan “bundle of rights ” pada lahan R Dalam Wilayah KPHP GS Pemilik Owner Pengelola Tetap Proprietor Pemakai Penyewa Claimant Pemanfaat yang diizinkan Authorized Users Hak atas akses dan pemanfaatan rights of access and rights of withdrawal X Hak Pengelolaan rights of management X Hak mengeluarkan rights of exclusion X Hak Memindahtangankan rights of alienation Sumber: Schlager Ostrom 1992 Keterangan: = Hak yang ada pada masyarakat transmigrasi. X 97 Tebel 15 menggambarkan posisi masyarakat transmigrasi terkait sekumpulan hak atas klaim penguasaan tanah dan SDA pada wilayah transmigrasi yang belum disertifikat lahan R dan berada dalam wilayah KPHP GS, menunjukan bahwa masyarakat transmigrasi sebagai pengelola tetap Proprietor yang dapat didefinisikan sebagai individu yang memiliki hak pilihan kolektif untuk terlibat dalam mengelola dan menentukan pihak-pihak yang terlibat. Proprietor berhak mengakses dan menentukan bentuk pengelolaan terhadap sumberdaya meskipun tidak memiliki hak untuk mewariskan atau menghibahkan Nugroho 2011. 5.2.2 Implikasi Posisi Hak Kepemilikan Parapihak Hasil analisis bundle of rights parapihak atas penguasaan tanah dan SDA dalam wilayah KPHP GS sebagaiman diuraikan di atas memperjelas posisi masing-masing pihak terkait sekumpulan hak yang melekat pada diri mereka atas klaim penguasaan tanah dan SDA baik secara de jure maupun de facto pada areal yang sama. Affif 2005 sering kali pada objek yang sama, misalnya tanah, terdapat berbagai hak yang melekat dan hak-hak ini dapat saja dimiliki oleh tidak pada satu orang atau kelompok yang sama. Inilah yang kemudian menyebabkankan mengapa konsep tenurial ini seringkali dijelaskan dengan prinsip bundle of rights. Posisi kepemilikan parapihak pada sisitem penguasaan tanah dan SDA dalam wilayah KPHP dapat digambarkan pada Tabel 16. Tabel 16 Posisi p arapihak yang dikaitkan dengan “bundle of rights” Pada sistem penguasaan tanah dan SDA dalam wilayah KPHP GS. Jenis-Jenis Hak Yang Melekat Pada Parapihak Pemilik Owner Pengelola tetap Proprietor Pemakai Penyewa Claimant Pemanfaat yang diizinkan Authorized Users Orang Yang diizinkan Masuk Authorized entrant 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Hak atas akses X X X X Hak pemanfaatan X X X Hak Pengelolaan X X X Hak Mengeluarkan X X X Hak Memindahtangankan X X Sumber: Ostrom Schlager 1996 dimodifikasi. Keterangan 1 = UPTD KPHP GS 2= PEMDA 3= Masyarakat Lokal 4=Transmigrasi 98 Posisi PEMDA dan masyarakat lokal sebagai Pemilik owner atas klaim penguasaan tanah dan SDA yang ada dalam wilayah KPHP GS merupakan tantangan tersendiri bagi UPTD KPHP GS dalam pengelolaan wilayahnya ke depan. Jika dikaitkan dengan tipe rezim hak kepemilikan Hanna et al. 1996 maka tipe hak kepemilikan PEMDA dan masyarakat lokal merupakan kepemilikan privat, konsekuensinya adalah owner PEMDA dan masyarakat lokal berhak pada pemanfaatan yang dapat diterima secara sosial dan memegang kontrol terhadap akses, sebaliknya kewajibannya adalah mencegah penggunaan yang tidak dapat diterima secara sosial. Yustika 2006 hak kepemilikan privat dimaksudkan bahwa setiap individu berhak untuk menguasai dan memiliki aset yang spesifik yang diinginkan, sehingga individu tersebut berhak memperoleh keuntungan dengan berbagai cara seperti diolah, dijual, atau dengan jalan lain. Fakta di lapangan menunjukan bahwa masyarakat lokal sudah menegakkan hak dan kewajiban sebagai pemilik owner untuk memperoleh manfaat ekonomi dan sosial atas tanah dan SDA yang diklaim penguasaannya, dapat menjual tanah yang diklaim, serta memindahtangankan melalui hibah dan pewarisan. Fakta inilah yang berimplikasi pada potensi resisteni bahkan penolakan masyarakat lokal atas upaya pihak UPTD KPHP GS untuk mengakomodir masyarakat lokal dalam pengelolaan wilayah KPHP GS dengan skema model-model pengelolaan hutan yang dapat diakses oleh masyarakat seperti hutan tanaman rakyat HTR, hutan kemasyarakatan HKm, hutan desa HD, dan hutan dengan tujuan khusus HDTK. Warman et al. 2012 menyatakan bahwa sebagian besar institusi hak yang berbasiskan aturan kehutanan HKm, HTR, dan HD tidak dapat diperjualbelikan tradable dan tidak dapat dipindahtangankan transferable, sebagaimana tersaji pada Tabel 17. 99 Tabel 17 Kesempurnaan hak pada model pengelolaan hutan yang diakses masyarakat berbasiskan aturan kehutanan Model Kelembagaan Hak Komponen Kesempurnaan Hak Tradable Transferable excludable Enforceable Hutan Kemasyarakatan HKm Tidak Tidak Ya Ya Hutan Tanaman Rakyat HTR Tidak Tidak Ya Ya Hutan Desa HD Tidak Tidak Ya Ya Hutan adat Tidak Tidak Tidak Tidak Hutan Hak Ya Ya Ya Ya Sumber: Warman et al. 2012

5.3 KeamananKepastian Tenurial Tenure Security menurut Persepsi

Parapihak Dalam Wilayah KPHP GS. Kepastian tenurial pada umumnya diartikan sebagai pemberian atau pengakuan hak pada masyarakat. Jika diartikan dengan cara demikian maka kepastian tenurial merupakan ekspresi dari pendekatan berbasis hak right-based approach-RBA dalam pembangunan Safitri 2006. RBA ini sangat terkait dengan analisis hukum, oleh karena itu sangat beralasan jika kepastian tenurial selalu dikaitkan dengan konstruksi normatif dari sebuah sistem hukum apapun. Berkaitan dengan hal inilah kepastian tenurial sering menjawab pertanyaan tentang hak apa yang seharusnya diperoleh masyarakat dan bagaimana prosedur y ang seharusnya dilalui. Penekanan pada kata „seharusnya’ inilah yang menyebabkan kepastian tenurial itu merupakan sebuah konstruksi normatif. Selain sebagai sebuah konstruksi normatif, kepastian tenurial juga bisa dipahami dengan cara lain. Place et al. 1994, diacu dalam Safitri 2006 mengartikan sebagai persepsi individual tentang kepemilikan atas sebidang tanah atau sebuah sumber daya secara langgeng, bebas dari kendali atau intervensi pihak lain, dan memungkinkan orang yang bersangkutan memperoleh keuntungan atas tanah dan sumber daya tersebut serta mempunyai kebebasan untuk menggunakan atau mengalihkannya kepada orang lain, jika mengikuti konsep ini maka kepastian tenurial itu bukan saja sebuah konstruksi normatif tetapi ia adalah sebuah konsep yang terkait dengan alam pikir dan persepsi. Penelitian ini mencoba menggali persepsi parapihak terkait dengan makna keamanankepastian tenurial tenure security atas klaim penguasaan tanah dan 100 SDA yang ada dalam wilayah KPHP GS. Pendekatan yang digunakan adalah dengan mengidentifikasi peristiwa-peristiwa yang menjadi ancaman terhadap keamanankepastian tenurial parapihak, makna keamanankepastian tenurial itu sendiri menurut parapihak dan bagaimana konsistensi antara pemaknaan keamanankepastian tenurial dengan tindakan nyata yang dilakukan parapihak dalam mencapai keamanankepastian tenurial sesuai persepsi makna keamanankepastian tenurial itu sendiri. 5.3.1 KeamananKepastian Tenurial Menurut UPTD KPHP GS 5.3.1.1 Peristiwa yang Menjadi Ancaman KeamananKepastian Tenurial Menurut Bapak Fachrurozi, S.Hut calon Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, kepastian wilayah KPHP Gunung Sinopa akan lebih jelas setelah diadakan tatabatas dan pemancangan batas wilayah KPHP. Tatabatas belum dapat dilaksanakan saat ini karena, seluruh Kabupaten Kota di Provinsi Maluku Utara mangajukan review kawasan dalam rangka penyusunan RTRW Provinsi Maluku Utara. Berdasarkan hasil wawancara dengan calon KKPH Gunung Sinopa diketahui bahwa penguasaan wilayah KPHP Gunung Sinopa akan mengalami perubahan dalam bentuk pengurangan areal dengan mengikuti pola ruang dan struktur ruang yang tengah diproses pengesahan peraturan daerah Perda tentang RTRW Kabupaten Halmahera Tengah. Hasil wawancara dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Tengah, menyampaikan bahwa telah diadakan pembebasan lahan sekitar 100 Ha untuk pembangunan bandara yang lokasinya berada dalam wilayah KPHP GS. Pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Tengah cukup menyayangkan pengusulan wilayah KPHP tidak menyesuaikan dengan pola ruang dan strukutur ruang rancangan RTRW Kabupaten Halmahera Tengah, sebab Wilayah KPHP GS yang sudah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan meliputi sebagian besar wilayah Ibukota Kabupaten Halmahera Tengah. Pada saat kosultasi publik terkait action plan KPHP GS, pihak BAPPEDA dan Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Tengah sudah menyampaikan keberatan atas wilayah KPHP GS. Selain masalah RTRW Kabupaten Halmahera Tengah persoalan lain yang cukup berpeluang menganggu keamanankepastian tenurial wilayah KPHP GS