1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Realitas kawasan hutan yang bersifat open access serta lemahnya kemantapan kawasan hutan akibat rendahnya pengakuan oleh masyarakat telah
menyebabkan permasalahan sosial yang kompleks dalam pembangunan kehutanan Kartodihardjo et al. 2011. Salah satu permasalahan serius tersebut
adalah konflik tenurial kawasan hutan yang dipicu oleh beberapa hal: prosedur penetapan kawasan hutan dan klaim wilayah hutan secara sepihak oleh
pemerintah; penyerahan kawasan hutan kepada pihak ketiga melalui mekanisme perijinan tanpa mempertimbangkan keberadaan dan eksistensi masyarakat yang
ada di sekitar dan di dalam kawasan hutan beserta pengakuan pada hak-hak masyarakat. Konflik tenurial kawasan hutan hampir merata terjadi di seluruh
Indonesia. Data terbaru yang dikeluarkan HuMa
1
menyebutkan adanya 85 kasus konflik terbuka di kawasan hutan Indonesia terjadi pada tahun 2011 dan yang
paling dekat dengan ingatan kita adalah kasus konflik lahan di Mesuji yang menelan korban jiwa.
Diperkirakan lebih dari 25.000 buah desa di Indonesia yang seluruh atau sebagian wilayahnya berada di dalam kawasan hutan Kemenhut 2010 dan data
World Bank tahun 2009 memperkirakan ada 6 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya yang terdapat di dalam kawasan hutan, dan tumpang
tindihnya kebijakan pemerintah khususnya dalam pengelolaan hutan semakin memberi peluang terjadinya konflik tenurial
2
atas tanah dalam kawasan hutan oleh berbagai pihak yang berkepentingan.
Safitri et al. 2011 mengemukakan bahwa jika dilihat dari aktor yang terlibat, maka konflik tenurial kawasan hutan dapat digolongkan ke dalam
beberapa kategori:
1
HuMa Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
2
Pengertian tenurial atas tanah dalam kawasan hutan dipahami sebagai hubungan relasi, baik berdasarkan norma yang berkembang dan hukum legal formal maupun berdasarkan kesepakatan atau kebiasaan yang dipraktekkan masyarakat,
diantara orang-orang, baik sebagai individu ataupun kelompok, yang terkait dengan tanah dan sumber-sumber alam lainnya Afiff 2005.
2 1
Konflik antara masyarakat adat dengan Kementrian Kehutanan Kemenhut. 2
Konflik antara masyarakat dengan Kemenhut dengan Badan Pertanahan Nasional BPN.
3 Konflik antara masyarakat transmigrasi dengan masyarakat adatlokal dengan
Kemenhut dengan Pemerintah Daerah dengan BPN. 4
Konflik antara masyarakat petani pendatang dengan Kemenhut dengan Pemerintah Daerah.
5 Konflik antara masyarakat desa dengan Kemenhut.
6 Konflik antara calo tanah dengan elite politik dengan masyarakat petani
dengan Kemenhut dengan BPN. 7
Konflik antara masyarakat lokal adat dengan pemegang izin. 8
Konflik antar pemegang izin kehutanan dan izināizin lain seperti pertambangan dan perkebunan.
Potensi konflik tenurial kawasan hutan, salah satunya disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tercermin dalam UU Nomor 41 Tahun 1999, dimana
tidak mengharuskan pemerintah untuk melakukan apa yang disebut sebagai Free Prior Informed Consent FPIC dalam membuat keputusan atau menerbitkan ijin.
FPIC adalah satu proses yang memungkinkan masyarakat adat dan atau masyarakat lokal untuk menjalankan hak-hak fundamentalnya untuk menyatakan
apakah mereka setuju atau tidak setuju terhadap sebuah aktivitas, proyek, atau kebijakan yang akan dilaksanakan di kawasan yang dinyatakan milik masyarakat
dan berpotensi berdampak kepada tanah, kawasan, sumberdaya dan perikehidupan masyarakat DKN 2011a. Akibat dari kebijakan pemerintah di sektor kehutanan
ini, banyak sekali tanah-tanah yang diklaim oleh masyarakat berpindah kepemilikan akibat dari kebijakan pemerintah untuk mengalokasikannya untuk
kegiatan pembangunan yang dilakukan baik oleh pemerintah sendiri maupun swasta Afiff 2005.
Kondisi ketidakpastian tenurial tenure insecurity sudah terjadi semenjak masa penjajahan, dan semakin masif pada tahun 1967 dengan diberlakukannya
UU Pokok Kehutanan, dimana secara sepihak pemerintah mengklaim hampir 75 tanah-tanah di Indonesia sebagai kawasan hutan Negara Afiff 2005.
Masyarakat yang sudah melakukan aktifitas dalam kawasan hutan mengalami
3 dampak dari kebijakan pemerintah ini, sehingga klaim tanah dan SDA dalam
kawasan hutan oleh masyarakat menjadi tidak pasti dan berpotensi diklaim sebagai hutan negara oleh pemerintah.
Wilayah KPH umumnya berada pada areal yang tidak dibebani hak dan cenderung open access dan berpotensi menimbulkan konflik di dalamnya, hal ini
sangat dimungkinkan pada kawasan hutan di luar Pulau Jawa, di mana institusi lokal mengakui siapa
yang
membuka hutan pertama kali maka dialah pemiliknya, sehingga lahan-lahan usaha ladang tersebut menjadi hak milik peladang secara
de facto Nugroho 2011, sehingga menjadi sangat penting adanya suatu penataan tenurial dalam wilayah KPH. Pada situasi seperti ini keberadaan pembangunan
KPH menjadi solusi strategis yang diharapkan dapat memfasilitasi penataan tenurial kawasan hutan dalam wilayahnya.
Hubungan antara kepastian tenurial dengan penyelesaian konflik adalah tesis yang sangat populer dalam berbagai diskursus akademik, pembangunan dan
gerakan sosial Safitri 2006. Kepastian tenurial tenure security merupakan salah satu kunci penyelesaian konflik tenurial, oleh karena itu penelitian tentang
penataan kepastian tenurial atas tanah dan sumber daya alam yang ada dalam wilayah KPH sangat diperlukan.
2.2 Perumusan Masalah