Sejarah dan Bukti Klaim Penguasaan UPTD KPHP GS

57 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KPHP Model Gunung Sinopa Pada Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara. Dengan demikian semenjak penetapan wilayah KPHP Model Gunung Sinopa dan terbentuknya organisasi pengelolah KPHP Model Gunung Sinopa maka UPTD KPHP GS diberi kewenangan untuk melaksanakan pengelolaan wilayah KPHP GS seluas ± 44.577,14 Ha sesuai lampiran Peta Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.337Menhut-II2010 dan berpedoman pada tugas pokok dan fungsi KPH sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008. Berbagai cara yang biasanya digunakan oleh berbagai pihak untuk meligitimasi klaim mereka atas tanah, hutan, wilayah perairan, dan sumber- sumber alam diantaranya dengan Peta. Penggunaan peta sebagai alat untuk melegitimasi suatu klaim umumnya banyak digunakan oleh negara dan perusahaan-perusahaan yang mengantongi izin dari pemerintah Afiff 2005. UPTD KPHP GS mengklaim wilayahnya berdasarkan lampiran Peta SK Menteri Kehutanan Nomor SK.337Menhut-II2010 seperti terlihat pada Gambar 4. Gambar 4 Peta wilayah KPHP Gunung Sinopa 58

5.1.1.2 Sejarah dan Bukti Klaim Penguasaan PEMDA

Pada desa Sosowomo dan Tilopi terdapat perkebunan kelapa yang dahulunya dikelola oleh perusahaan perkebunan Belanda dengan luas 411 Ha. Pengelolaan kebun kelapa tersebut pada awal kemerdekaan dikelola oleh Perusahaan Nasional Perkebunan PNP XXVIII Tilopi. Pada perkembangnnya setelah terbentuk Kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 1990 perkebunan kelapa tersebut diserahterimakan dari PNP XXVIII Tilopi ke Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah sebagai aset daerah . Pengelolaan perkebunan kelapa milik PEMDA Halmahera Tengah pada awalnya dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah, karena perkebunan kelapa tersebut merupakan aset daerah dan penghasil pendapatan asli daerah PAD. Pada perkembangannya, berdasarkan surat keputusan Bupati Halmahera Tengah Nomor 525KEP46.a2005 tanggal 28 Maret 2005 tentang Penetapan Pengelola Eks Kebun PNP XXVIII Tilope Kecamatan Weda Kabupaten Halmahera Tengah, pengelolaan perkebunan kelapa tersebut ditetapkan untuk dikelola oleh Dinas Perkebunan Kabupaten Halmahera Tengah dengan luas 411 Ha yang terdiri dari Blok A= 91 Ha, Blok B = 55,25 Ha dan Blok C= 264,75 Ha. Pengelolaan yang dilaksanakan saat ini hanya meliputi pemeliharaan, pemanenan, pengolahan buah kelapa menjadi kopra dan merupakan penghasil PAD bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah. Sampai saat ini, semua elemen masyarakat dan lembaga yang ada di Halmahera Tengah mengakui bahwa lahan perusahaan perkebunan eks PNP XXVIII Tilopi telah dialihkan penguasaan dan pengelolaannya kepada PEMDA Halmahera Tengah. Dalam pengelolaan perkebunan kelapa tersebut produk utama yang dihasilkan adalah kopra. Proses produksi di perkebunan kelapa dilaksanakan atas kerjasama PEMDA dengan masyarakat desa Tilopi dan desa Sosowomo di bawah pengawasan Dinas Perkebunan Halmahera Tengah. Dalam menampung produk perkebunan kelapa berupa Kopra, Dinas Perkebunan Kabupaten Halmahera Tengah telah menunjuk salah satu stafnya saudara Habel Kurung sebagai petugas di lapangan untuk melakukan pengawasan produksi kopra sekaligus bertugas menampung kopra ke dalam 59 gudang yang telah disediakan Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah. Bukti lain dari kepemilikan perkebunan kelapa oleh PEMDA adalah adanya patok-patok batas perkebunan yang sampai saat ini masih ada dan diakui oleh masyarakat sekitarnya.

5.1.1.3 Sejarah dan Bukti Klaim Penguasaan Masyarakat Lokal

Salah satu masyarakat yang mendiami bagian dari wilayah KPHP GS adalah masyarakat desa Loleo yang berasal dari suku Buton Sulawesi Tenggara. Awal penguasaan tanah dan SDA oleh masyarakat Loleo diperoleh melalui dua cara yakni pemberian kebun kelapa karena Sobat pertemanan dan melalui jual beli. Ada beberapa masyarakat desa Loleo sejak tahun 1910 sudah menjalin persahabatan bahkan sudah saling menganggap saudara dengan masyarakat asli desa Sosowomo dan Weda, sehingga jalinan hubungan persahabatan ini sampai pada saling membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pada orang tertentu kebun beserta isinya diberikan sebagai tanda persaudaraan kepada pendatang. Selain itu sebagian masyarakat asli terutama yang ada di Weda sudah merasa terlalu jauh jaraknya dengan kebun mereka yang ada di pesisir desa Loleo sehingga perlahan-lahan kebun kelapa milik mereka dijual atau ditukarkan dengan barang-barang yang didatangkan oleh pedagang dari daerah Buton dengan menggunakan kapal laut. Sampai dengan saat ini seluruh lahan dan SDA yang ada di sekitar desa Loleo sudah dikuasai oleh masyarakat Loleo. Pertambahan penduduk desa Loleo yang cepat mengakibatkan kebutuhan lahan di sekitar pesisir pantai sudah tidak mencukupi, pembukaan hutan untuk lahan bercocok tanam menjadi alternatif utama. Pembukaan hutan dengan pohon- pohon berukuran besar untuk dijadikan lahan bercocok tanam pertama kali diperkenalkan oleh masyarakat Buton. Pada saat itu masyarakat asli setempat belum mengenal teknik penebangan kayu dengan diameter besar dan belum mengenal teknik pengolahan kayu bulat menjadi kayu balok, sehingga dengan keahlian menebang kayu besar dan mengolahnya menjadi kayu balok yang dimiliki oleh masyarakat Buton dimanfaatkan untuk beberapa tujuan: 1 membuka lahan perkebunan; 2 kayu komersial yang diolah untuk diperdagangkan; 3 sarana untuk berinteraksi dengan penduduk asli dengan mengajarkan cara menebang kayu menggunakan kampak dan mengolahnya menjadi kayu balok.